Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN

PRODUKTIVITAS EKOSISTEM PERAIRAN


Nama Nim Kelompok Asisten Dosen Tanggal Praktikum : Ayu Septiawan : 1110095000004 : I : Angga Restiadi : 27 Maret 2012

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ekosistem yang baik harus mampu mendukung kehidupan didalamnya. Salah satu ukuran kualitas suatu ekosistem adalah adanya proses produksi atau produktivitas primer. Semakin tinggi nilai produktivitasnya maka semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya. Produsen dan konsumen primer pada ekosistem perairan sebagian besar adalah organisme plankton mikroskopik yang tersuspensi di dalam air.

Fitoplankton

merupakan produser primer pada ekosistem perairan,

memiliki susunan pigmen yang berbeda dan setiap pigmen memiliki kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan energi cahaya dalam proses fotosintesis. Cahaya adalah sumber energi dasar bagi pertumbuhan organisme autotrop terutama fitoplankton yang pada akhirnya mensuplai makanan bagi seluruh kehidupan di perairan. Produktivitas primer suatu ekosistem perairan dapat dihitung dengan adanya aktivitas fitoplankton dalam memanfaatkan energi seperti fotosintesis dan respirasi.

1.2 Tujuan Mengetahui produktivitas ekosistem perairan berdasarkan laju produksi oksigen dan konsumsi oksigen. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas ekosistem perairan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Produktivitas primer Produktivitas primer dapat didefinisikan sebagai laju penyimpanan energi radiasi matahari melalui aktivitas fotosintesis yang dilakukan produser primer yang mampu memanfaatkan zat-zat anorganik dan merubahnya menjadi bahan organik (Odum, 1971). Produktivitas primer dibatasi oleh cahaya, karena cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas cahaya menurun (Nybakken,1988). Folkowski dan Raven (1997) menambahkan bahwa cahaya merupakan komponen utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai produktivitas primer perairan. Menurut Wetzel (1983) sebagian besar produktivitas primer ekosistem perairan dilakukan oleh fitoplankton. Steeman-Nielsen (1975) menyatakan bahwa kurang lebih 95% produksi primer di laut berasal dari fitoplankton. 2.2 Fitoplankton Fitoplankton adalah alga uniseluler mikroskopis yang terdiri atas sejumlah besar klas yang berbeda. Fitoplankton adalah tumbuhan renik yang biasanya mengapung di permukaan air atau di melayang di kolom air. Fitoplankton mengandung klorofil yang memungkinkan organisme ini melakukan fotosintesis. Fitoplankton ketika berada dalam jumlah yang besar dapat tampak sebagai warna hijau di air karena mereka mengandung klorofil dalam sel-selnya, walaupun warna sebenarnya dapat bervariasi untuk setiap jenis fitoplankton karena kandungan klorofil yang berbeda beda atau memiliki tambahan pigmen seperti phycobiliprotein. (Thurman, 1997). Fitoplankton harus berada pada zona euphotic (bagian permukaan) lautan, danau atau kumpulan air yang lain untuk keperluan fotosintesis. Melalui fotosintesis, fitoplankton menghasilkan banyak oksigen yang memenuhi atmosfer bumi. Fitoplankton juga sangat tergantung dengan ketersediaan nutrisi untuk

pertumbuhannya. Nutrisi-nutrisi ini terutama makronutrisi seperti nitrat, fosfat atau asam silikat, yang ketersediaannya diatur oleh kesetimbangan antara mekanisme yang disebut pompa biologis dan upwelling. Kemampuan fitoplankton untuk mensintesis sendiri bahan organiknya menjadikan mereka sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar (UNEP, 1998). 2.3 Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken, 1988). Effendi (2003) menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat. Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35. Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah, karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna benthos yang hidup didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988). Interaksi antara

faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan fauna makrobenthos (Odum, 1993). Nybakken (1988) menjelaskan bahwa substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos. Penyebaran makrobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi. Odum (1993) menyatakan bahwa substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan benthos. Correa dan Uieda (2008) menambahkan bahwa komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat. pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 8,5. Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1988). Lebih lanjut dinyatakan bahwa daya larut oksigen dapat berkurang dengan meningkatnya suhu air dan salinitas. Connel dan Miller (1995) menambahkan bahwa secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut juga menurun dengan adanya penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang mengkonsumsi oksigen yang tersedia. Pada tingkatan jenis, masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Waktu dan Lokasi Praktikum dilakukan pada hari Selasa, 27 Maret 2012 pukul 13.30 sampai

16.00 WIB. Lokasi di Situ Gintung, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Daerah pengambilan sampel dibagi berdasarkan kelompok ada lima titik pengambilan sampel dan titik yang kami ambil ada di tititk satu. Pengamatan sampel air dilakukan di Pusat Laboraorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah water sampler bottle, pH-meter, Dissolved Oxygen-meter (DO meter), tiga botol winkler, gelas ukur, statif, buret, labu erlenmeyer, dan botol film . Bahan yang digunakan adalah sampel air, NaOH 1/44 N, indikator fenoftalein, aquades, kertas karbon hitam, tisu, karet, dan label. 3.3 3.3.1 Cara Kerja Pengambilan sampel produktivitas ekosistem perairan. Sampel air diambil lalu dimasukkan kedalam botol yang sudah diketahui volumenya. Sampel air diambil dari satu titik yang telah ditentukan pada lokasi. Jika pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dilakukkan dengan metode titrasi, diambil tiga sampel air pada titik tersebut. Botol pertama digunakan untuk menentukan konsentrasi oksigen awal atau untuk dititrasi. Dua botol lainnya digunakan untuk botol terang dan botol gelap. Tiga sampel diukur konsentrasi oksigen terlarutnya dengan menggunakan DO-meter. Botol ketiga digelapkan dengan melapisi lapisan luar botol dengan kertas karbon. Botol kedua dan ketiga diletakkan di laboratorium. Didiamkan selama 24 jam untuk proses respirasi dan fotosintesis. Jangan sampai lebih dari 24 jam karena cenderung memberi hasil yang invalid. Dihitung konsentrasi oksigen terlarut akhir dalam satuan mg/L. 3.3.2 Titrasi (Pengukuran kadar CO2 terlarut)

Disiapkan sampel air pada botol pertama sebanyak 100 cc di dalam labu erlenmeyer berukuran 250 cc diberi 1 tetes indikator fenoftalein. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 1/44 N hingga timbul warna mera jambu muda. Dicatat banyaknya larutan NaOH yang dipakai. Titrasi dilakukan secara duplo dan hasilnya dirata-rata. Jumlah cc larutan NaOH yang terpakai menunjukkan kandungan CO2 bebas terlarut dalam satuan mg/L. 3.4 Analisis Data

3.4.1 Laju respirasi (R)

R = (Co CD) /
Keterangan:

Co = Konsentrasi oksigen awal (mg/L). CD = Konsentrasi oksigen akhir dibotol gelap (mg/L). t = Periode waktu berlangsungnya proses respirasi (jam atau hari). R = Laju respirasi (mg O2 per liter per jam atau per hari). 3.4.2 Produktivitas primer total (PG)

PG = (CL CD) / t
Keterangan : PG = Produktivitas primer total. CL = Konsentrasi oksigen akhir di botol terang. CD = Konsentrasi oksigen akhir dibotol gelap (mg/L). t = Periode waktu berlangsungnya proses respirasi (jam atau hari). 3.4.3 Produktivitas primer bersih (PN)

PN = (CL Co) / t
Keterangan : PN = Produktivitas primer bersih.

atau

PN = PG R

CL = Konsentrasi oksigen akhir di botol terang. Co = Konsentrasi oksigen awal (mg/L). t = Periode waktu berlangsungnya proses respirasi (jam atau hari).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Semua organisme perairan pasti melakukkan aktivitas biologi dalam kehidupannya. Faktor fisik dan kimia suatu perairan sangat berpengaruh terhadap kegiatan tersebut salah satunya cahaya. Cahaya merupakan komponen utama bagi organisme air dalam melakukan fotosintesis dimana cahaya secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai produktivitas primer suatu perairan. Berikut ini merupakan hasil produktivitas primer di daerah Situ Gintung. Tabel 1. Produktivitas primer perairan Situ Gintung Parameter Kelompok Laju Respirasi (MgO2/L/Jam) 1 2 3 4 5 0,7125 0,84 1,22 0,079 1,358 0,11 0,345 0,325 Laju Fotosintesis (MgO2/L/Jam) 0,0916 Produktivitas Primer Bersih (MgC/L/Jam) -0,6209 0,897 -1,11 0,266 -1,033

1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1 2 3 4 5

Hasil Laju Respirasi

Kelompok
Grafik 1. Laju Respirasi di daerah Situ Gintung.

Berdasarkan grafik diatas laju respirasi tertinggi terjadi pada kelompok 5 dengan nilai 1,358 MgO2/L/Jam dan laju respirasi terendah terjadi pada kelompok 4 dengan nilai 0,079 MgO2/L/Jam. Tingginya laju respirasi pada kelompok 5 dapat diakibatkan karena pada daerah pengambilan sampel

0.4 0.35 0.3

Laju Fotosintesis

0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 -0.05 -0.1 1 2 3 4 5

Kelompok
Garfik 2. Laju Fotosintesis di daerah Situ Gintung

Berdasarkan grafik diatas laju fotosintesis tertinggi ada pada kelompok 4 dengan nilai 0,345 MgO2/L/Jam dan laju fotosintesis terendah ada pada kelompok 2 dengan nilai -0,067 MgO2/L/Jam. Laju fotosintesis dapat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang ada di perairan tersebut. Intensitas cahaya matahari yang optimal membuat mikroorganisme yang ada didalam perairan

tersebut optimal pula dalam melakukkan fotosintesis dan terlihat dari hasil yang diperoleh kelompok 4 laju fotosintesisnya tinggi. Keberadaan fitoplankton pada daerah tersebut juga berpengaruh terhadap tingginya laju fotosintesis pada kelompok 4. Semakin tinggi laju fotosintesisnya semakin tinggi pula jumlah mikroorganisme yang ada pada daerah tersebut. Menurut UNEP (1998) fitoplankton juga sangat tergantung dengan ketersediaan nutrisi untuk

pertumbuhannya. Nutrisi-nutrisi ini terutama makronutrisi seperti nitrat, fosfat atau asam silikat, yang ketersediaannya diatur oleh kesetimbangan antara mekanisme yang disebut pompa biologis dan upwelling. Kemampuan fitoplankton untuk mensintesis sendiri bahan organiknya menjadikan mereka sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar. Laju respirasi terendah pada kelompok 2 dapat terjadi karena keberadaan fitoplankton atau mikroorganisme pada daerah pengambilan sampel sehingga apabila mikroorganisme atau fitoplankton daerah tersebut sedikit mengakibatkan proses fotosintesis yang terjadi tidak optimal. Intensitas cahaya yang didapat pada daerah tersebut dapat berpengaruh terhadap penurunan laju respirasi pada kelompok 2. Menurut manurung (1992) laju fotosintesis akan tinggi bila intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas cahaya berkurang, oleh karena itu cahaya berperan sebagai faktor pembatas utama dalam fotosintesis. Dalam rantai makanan di perairan, kehidupan fitopanlkton dipengaruhi oleh biota air lainnya seperti zooplankton.

Produktivitas Primer Bersih

0.5 0 1 -0.5 -1 -1.5 2 3 4 5

Kelompok
Grafik 3. Produktivitas Primer di daerah situ Gintung.

Berdasarkan grafik diatas produktivitas tertinggi ada pada kelompok 2 dengan hasil 0,266 MgC/L/Jam dan produktivitas terendah ada pada kelompok 3 dengan hasil -1,11 MgC/L/Jam. Tingginya produktivitas pada kelompok 2 dapat terjadi karena radiasi cahaya matahari optimal pada daerah perairan tersebut. Radiasi cahaya matahari yang optimal merupakan bahan dasar penting dalam proses fotosintesis yang dilakukan oleh mikroorganisme yang ada didaerah tersebut dan dengan adanya peningkatan aktivitas fotosintesis maka oksigen yang dihasilkan juga meningkat. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingginya produktivitas primer. Dimana menurut Barus (2004) hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan berklorofil disebut sebagai produktivitas primer. Ketersediaan nutrisi didaerah tersebut juga dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya produktivitas primer daerah tersebut. Semakin tinggi ketersediaan nutrisi maka kebutuhan mikroorganisme semakin terpenuhi untuk kelangsungan hidupnya dan untuk aktivitas biologisnya. Menurut Wetzel (1983) pada umumnya produktivitas suatu ekosistem perairan dikendalikan oleh kondisi lingkungan, misalnya: radiasi cahaya matahari, konsentrasi nutrien yang tersedia serta oleh kemampuan fotosintesis spesies fitoplankton yang ada. Laju produktivitas yang tinggi pada kelompok 2 dapat dikarenakan faktor lingkungan yang cocok dan

optimal bagi kehidupan organisme. Suhu yang optimal pada daerah tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton sebagai produsen primer yang melakukan proses fotosintesis yang produknya berkotribusi dalam menaikan produktivitas primer suatu perairan. Menurut Fogg (1975) suhu berpengaruh langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton dimana suhu yang optimal mendukung pertumbuhan fitoplankton adalah 20oC - 25oC. Produktivitas primer pada kelompok 3 bernilai minus hal ini dapat disebabkan karena intensitas cahaya matahari yang didapat kurang pada daerah pengambilan sampel sehingga proses fotosintesis tidak optimal pada daerah tersebut dan organisme pada daerah tersebut kemungkinan lebih banyak melakukan proses respirasi yang menghasilkan CO2 dan berpengaruh terhadap penurunan kadar oksigen terlarut didalam air. Menurut Nybakken (1988) produktivitas primer dibatasi oleh cahaya, karena cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas cahaya menurun.

Menurut Achmad (2004) dengan penurunan suhu air terjadi kenaikan kelarutan oksigen yang dibarengi dengan turunnya kecepatan pernafasan organisme perairan, sehingga sering menyebabkan adanya suatu keadaan dimana turunnya kebutuhan oksigen diikuti oleh naiknya kelarutan gas tersebut dalam air. Berdasarkan hasil yang diperoleh pH pada botol terang dan botol gelap mengalami sedikit kenaikan dimana pH awal botol terang dan gelap adalah 6,6 menjadi 7 setelah didiamkan selama 24 jam. pH ekosistem perairan pada daerah Situ Gintung masih dalam kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Menurut Prescod (1973) kisaran pH optimum suatu perairan adalah 6,5 - 8,5. Pada dua perlakuan yaitu botol terang dan botol gelap yang didiamkan selama 24 jam biasanya pada kondisi gelap kadar pH air mengalami penurunan yaitu bersifat asam karena disaat tidak ada cahaya mikroorganime tidak bisa berfotosintesis sehingga lebih banyak melakukan

respirasi yang menghasilkan CO2 yang membuat air menjadi asam (Nybakken, 1988). Penurunan pH pada botol gelap kemungkinan karena mikroorganisme yang ada didalam botol masih mendapat sedikit cahaya dari celah bawah botol yang memungkinkan proses fotosintesis dapat berlangsung sehingga pH air menjadi netral atau tidak asam seperti pH diawal. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Konsentrasi oksigen terlarut dapat dilihat dari nilai DO yang diperoleh. DO awal botol terang 21,8 mg/L dan DO akhir botol terang 8,4 mg/L. Berdasarkan hasil yang diperoleh kadar oksigen terlarut pada botol terang setelah didiamkan selama 24 jam mengalami penurunan yang cukup besar. Hal ini dapat disebabkan ketika siang hari cahaya matahari dapat masuk kedalam botol terang (botol yang tidak dilapisi kertas karbon) sehingga mikroorganisme pada botol terang melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen. Proses fotosintesis tersebut dapat menaikkan kadar oksigen terlarut didalam air dan terlihat pada hasil DO awal botol terang lebih besar nilainya dibandingkan DO akhir botol terang. Penurunan DO akhir botol terang dapat dikarenakan pada malam hari mikroorganisme tidak dapat melakukan fotosintesis karena tidak adanya cahaya matahari sehingga pada malam hari atau dalam kondisi gelap mikroorganisme lebih banyak melakukan kegiatan respirasi yang memanfaatkan oksigen terlarut untuk proses tersebut dan produk dari respirasi adalah CO2 yang membuat O2 terlarut semakin berkurang didalam botol. Menurut Nybakken (1988) disaat tidak ada cahaya mikroorganime tidak bisa berfotosintesis sehingga lebih banyak melakukan respirasi yang menghasilkan CO2 . Terbukti dengan penurunan DO akhir pada botol terang. Secara logis DO awal pada botol gelap (tidak mendapat cahaya) hasilnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan DO awal botol terang(mendapat cahaya) karena pada botol gelap seluruh permukaan botol ditutupi oleh kertas karbon yang membuat cahaya matahari tidak dapat masuk dan mikroorganisme tidak bisa berfotosintesis sehingga mikroorganisme labih cenderung melakukkan respirasi. Tetapi pada kenyataan hasil yang didapat DO

awal botol gelap lebih tinggi dibandingkan dengan DO awal botol terang. Produktivitas primer dibatasi oleh cahaya, karena cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas cahaya menurun (Nybakken,1988). Menurut Wetzel dan Linkes (1979) tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi oleh faktor suhu, tekanan, dan konsentrasi berbagai ion yang terlarut dalam air pada perairan tersebut. Suhu awal dan suhu akhir pada botol terang maupun botol gelap samasama mengalami penurunan suhu, Menurut Barus (2004) pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan. Suhu awal pada botol terang dan botol gelap lebih tinggi dibandingkan suhu akhir botol terang dan gelap. Hal tersebut dapat dikarenakan intensitas cahaya matahari yang tinggi ketika pengambilan sampel air pada siang hari yang memungkinkan suhu dapat mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil pengamatan suhu pada botol gelap dan botol terang lebih tinggi suhunya dari 20oC - 25oC sedangkan menurut

BAB V KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Andi Press. Yogyakarta. Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi tentang Ekosistem Air dan Daratan. USU Press. Medan. Correa, M. O. D. A. dan V. S. Uieda. 2008. Composition of the Aquatic Invertebrate Fauna Associated to the Mangrove Vegetation of a Coastal Manipulative Experiment. Pan-American

River, Analyzed Through a

Journal of Aquatic Sciences 3 (1): 23-31. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Fogg, G. E. 1975. Alga Culture and Phytoplanton Ecology. Second Edition. The University of Winconsin Press. London. Folkowski, P.G. dan A. J. Raven. 1997. Aquatic Photosynthesis. New York: Blacwell Science-USA.

Hutabarat, S., dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan dari Marine Biology an Ecological Approach oleh M. Eidman. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition. W.B.Saunder Company. Philadelphia. London. Toronto. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prescod, D. W. 1973. How to Know The Freshwaters Algae. Iowa: M.W.C. Brown Company Publisher. Steeman-Nielsen, E. 1975. Marine Photosyntesis with Emphasis on the Ecologycal Aspect. Publ. Co. Amsterdam. Thurman, H. V. 1997. Introductory Oceanography. Prentice Hall College. New Jersey. UNEP. 1998. Phytoplankton. www.gcrio.org/UNEP1998/UNEP98p38.html. Elseiver Oceanography Series 13. Elsevier Sci.

diakses tanggal 29/03/2012 pukul 19.00. Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Saunder Company. Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai