Anda di halaman 1dari 110

SKRIPSI

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

Oleh : SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Sigit Nurdyansyah Putra. F24104026. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc dan Ir. Subarna, M.Si.

RINGKASAN Mi berbahan tepung jagung merupakan produk pangan baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Optimalisasi formula dan proses dilakukan untuk menentukan tahapan proses dan kondisinya dalam proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering pada skala 1kg/batch. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, meliputi penentuan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan dan penentuan parameter proses. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan yaitu 30, 40, 50 dan 60%. Parameter proses meliputi jumlah bagian adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu 100:0, 90:10, 80:20, 70:30; penentuan waktu pengukusan adonan pada suhu 90oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit; penggilingan adonan dengan variasi tanpa grinding, grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm; penentuan jarak roller pada proses reduksi ukuran; penentuan waktu pengukusan mi pada suhu 95oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit; serta penentuan waktu optimum pengovenan dengan suhu 60oC variasi waktu 35, 40, dan 45 menit, suhu 70oC variasi waktu 30, 35, dan 45 menit, serta suhu 80oC variasi waktu 25, 30, dan 35 menit. Berdasarkan hasil penelitian, dilakukan penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) pembuatan mi jagung. Jumlah air sebesar 50% menghasilkan adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran cukup plastis namun waktu pembentukan lembaran lama. 70% adonan yang dikukus menghasilkan adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting namun waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran adonan dengan tepung kering belum merata. Pengukusan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit menggunakan steam blancher. Formulasi terpilih terdiri dari tepung jagung pregelatinisasi (70%), tepung jagung kering (30%), air (50%), garam (1%), dan guar gum (1%) (persentase dari berat total tepung jagung). Adonan yang dikukus dicampurkan dengan bagian tepung jagung kering secara manual menggunakan tangan. Penggilingan dilakukan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm sebanyak 2x menghasilkan adonan yang paling mudah ditangani saat sheeting dengan kualitas mi paling bagus. Adonan yang telah digiling dilewatkan di antara dua roller yang mengubah adonan menjadi lembaran. Sheeting dilakukan sebanyak 8x dengan jarak roller 0,3 cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm. Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting menggunakan tepung jagung (12 gram untuk 1 kg bahan baku) agar adonan tidak lengket pada roller saat jaraknya direduksi. Lembaran dengan ketebalan 0.12 cm selanjutnya dicetak menjadi untaian mi menggunakan roller pencetak (slitter). Pengukusan mi

pada suhu 95oC selama 20 menit menghasilkan mi dengan elongasi tertinggi secara manul dan tingkat kematangan yang cukup matang. Berdasarkan pengukuran didapatkan nilai persen elongasi setelah pencelupan berturut-turut untuk penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm sebesar 232,44% dan 268,34%; dan nilai persen elongasi setelah perendaman berturut-turut sebesar 207,62% dan 219,96%. Cooking loss mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (8,21%) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (12,91%). Kekerasan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (2418,65 gf) menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf). Sedangkan nilai kelengketan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (-627,42 gf) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (-1234 gf). Nilai kekenyalan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (0,2591 gs) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (0,5215 gs). Mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm dikeringkan dan harus mampu menurunkan kadar air mi sehingga memenuhi SNI 01-2974-1996 dengan kandungan air harus di bawah 13%. Waktu pengovenan yang optimum untuk suhu 60oC, 70oC, dan 80oC masing-masing adalah 40, 30, dan 25 menit. Nilai persen elongasi mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut sebesar 193,14%, 166,99%, dan 162,63%. Cooking loss mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 10,89%, 11,42%, dan 9,99%. Kekerasan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 3135,18 gf, 2408,4 gf, dan 2408,83 gf. Sedangkan kelengketan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah -1057,2 gf, -977,46 gf, dan -775,18 gf. Kekenyalan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 0,3405 gs, 0,4151 gs, 0,3245 gs. Waktu rehidrasi mi kering untuk ketiga suhu pengovenan sama yaitu 4 menit. Uji organoleptik terhadap mi kering yang dioven suhu 60oC, 70oC, dan o 80 C menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan perabaan tangan ketiga sampel tidak berbeda nyata. Untuk atribut kekerasan dan kekenyalan tekstur gigit menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antar sampel. Untuk kekerasan tekstur gigit, rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 60oC sedangkan kekenyalan tekstur gigit dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 80oC. Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf (kekerasan paling tinggi), dan nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah 0,3245 gs (kekenyalan paling rendah). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal dan lebih keras.Secara overall menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa secara overall konsumen menyukai semua sampel tersebut.

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026 Dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 Di Ngawi Tanggal lulus: 21 Agustus 2008

Menyetujui, Bogor, 12 September 2008

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing I Mengetahui,

Ir. Subarna, M.Si Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Sigit Nurdyansyah Putra yang dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 di Ngawi dan merupakan putra kedua dari pasangan Djono dan Siti Amini. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Kasreman III (1992-1998), pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Ngawi (1998-2001), dan pendidikan lanjutan di SMUN 2 Ngawi (2001-2004). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif dalam beberapa kegiatan akademik diantaranya finalis Indofood Riset Nugraha 2007, dan PKMK yang didanai DIKTI tahun 2008. Dalam kegiatan non akademik, penulis pernah aktif diantaranya BIRENA DKM Al-Hurriyyah, DKM Musholla Ash-Shaff Asrama C3, FORCES, FBI-FATETA, Masa Perkenalan Fakultas 2006,

PARCIVA-F 2005 (Pasar Amal Ramadhan Civitas Akademika Fateta), Lepas Landas Sarjana 2006, dan SNQS (Seminar Nasional Quran dan Sains), Halal Expo 2008, pembicara pada rubrik HALAL ZONE di radio ALVO-FM. Selain itu penulis juga aktif mengajar di lembaga bimbel dan privat MSC-Education sebagai pengasuh mata kuliah KIMIA TPB. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering.

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung Metode Kalendering. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada: 1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis. 2. Ir. Subarna, MSi. selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan, perhatian, masukan dan bimbingannya kepada penulis. 3. Ir. Tjahja Muhandri, Msi. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis. 4. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis. 5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 6. Bapak, Ibu, Mas Hendry, Mba Titis, dan anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 7. Shoft_Shine atas semangat, dukungan, nasehat yang akan penulis ingat selalu. 8. Kak Aminullah dan Kak Angga selaku partner penelitian atas bantuan ilmu, tenaga, dan waktu. 9. Rekan-rekan sebimbingan: Shofia, Gina, dan Rizqi atas dukungan, bantuan, dan perhatiannya kepada penulis. 10. Kak Angel dan kak Gilang ITP 40 yang telah membantu penulis di awalawal penelitian.

11. Teman-teman ETOS 41: Slamet, Aang, Agus, Malik, Eko, Aris, Defa, Novita, Umul, Giyarti, Risma, Ana atas persahabatan, dukungan, dan kemurahan hati kalian selama ini. 12. Keluarga Besar ETOS Bogor: Ust. Arif Hartoyo, Ust. Karantiano, Ust. Asep Nurhalim, Mas Budi, Mas Supri, Mas Nurmaulana, Mas Andri, Mas Febri, Mba Nisa, Deden, Bams, TJ, Yuda, Deni, Saiful, Rinto, Salman, Deni, Wahyu, Dedi, AW, Eful, Iful, Dodik, dll . Kalian membuat hari hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa. 13. Teman-teman di Al-Inayah: Mas Krist, Mas Bambang, Mas Habro, Mas Yose, Mas Rio, Taqi, Rangga, Ahmad, Syaiful, Toni, Wely, Gina, Dika, Eko, Yaya, Roby, Fuad, Anas, Hanif, Yudi, Syahroni, Triyadi, Fakih, Rudi, Triono, Kamal, Omen, Hans atas kebersamaan, dukungan, dan nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis. 14. Sahabat-sahabat ITP 41 atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna. 15. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya. 16. Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 12 September 2008

Penulis

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan

yang kurang stabil. Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, sehingga ketika kebutuhan beras dalam negeri tidak tercukupi, bangsa Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut dikenal dengan usaha diversifikasi pangan. Bagi masyarakat di Indonesia, produk mi baik berupa mi basah, mi kering, maupun mi instan, kini sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras. Namun berbeda dengan beras, 100% bahan dasar pembuatan mi, yaitu berupa biji gandum harus diimpor dari luar negeri karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki usaha pertanian gandum secara komersial. Biji gandum impor tersebut kemudian diolah di penggilingan gandum di dalam negeri untuk menghasilkan tepung terigu. Tepung terigu inilah yang kemudian dijadikan bahan baku dalam pembuatan mi. Upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap biji gandum impor kini sudah mulai dirintis, diantaranya dengan percobaan penanaman gandum di sejumlah daerah termasuk upaya mencari varietas-varietas tanaman gandum yang sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia. Namun, upaya tersebut sejauh ini belum membuahkan hasil yang cukup memadai dalam rangka menanggulangi ketergantungan terhadap biji gandum impor. Oleh karena itu, pencarian berbagai bahan pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan. Salah satu alternatif substitusi tepung terigu terutama dalam pembuatan mi adalah dengan pemanfaatan jagung. Jagung merupakan salah satu komoditas yang memiliki kandungan nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia sudah digunakan sebagai makanan pokok. Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006, produksi jagung nasional mencapai 11,6 juta ton.

Sementara itu, produksi jagung secara nasional untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007). Pemilihan jagung sebagai bahan baku dalam penelitian ini sejalan dengan program pemerintah dalam mendukung upaya diversifikasi pangan dan pemantapan ketahanan pangan nasional 2005-2010. Arah pengembangan dan sasaran komoditas pangan untuk jagung adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan arah pengembangan di atas, perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas produksi jagung dan peningkatan nilai tambah jagung yang tidak hanya terbatas pada penggunaannya sebagai makanan pokok saja. Salah satu rencana peningkatan nilai tambah jagung adalah dengan pengembangan industri berbasis jagung untuk konsumsi dalam negeri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk pangan non beras, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Hal ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan industri berbasis jagung dengan meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mi. Selanjutnya Juniawati (2003) menyatakan bahwa semua responden menyukai produk-produk yang berasal dari jagung. Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Selain itu, warna kuning mi jagung merupakan warna alami dari pigmen kuning pada jagung, yaitu -karoten, lutein, dan zeaxanthin. Optimalisasi formula dan proses dilakukan untuk menentukan tahapan proses dan kondisinya dalam proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering pada skala 1kg/batch. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengaplikasikan pembuatan mi jagung dalam skala industri kecil.

B.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan tahapan proses dan kondisi

yang optimal dalam proses pembuatan mi jagung metode kalendering pada skala produksi 1kg/batch.

C.

Manfaat Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan formula dan desain proses

produksi mi jagung yang sesuai untuk diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG

Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman bijibijian dari keluarga rumputrumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).

Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour (Anonimc, 2005).

Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna

bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn).

Morfologi dan Anatomi Biji Jagung Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat masingmasing 250300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 m tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat). Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84% dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron atau peripheral endosperm. Lapisan ini mengandung sangat sedikit granula pati yang

dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy endosperm terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak. Sedangkan endosperma lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat seperti pada bagian yang keras (Watson, 2003).

Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991).

Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1,1% dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30,8% protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium, parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang

mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron, pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma. Tabel 1. Distribusi protein di dalam endosperma jagung Protein Albumin Globulin Prolamin Glutelin Residu Kandungan pada jagung Normal (%) 4,7 3,5 45,8 38,0 9,0 Opaque-2 (%) 20,2 14,6 53,2 12,0 Floury-2 (%) 5,6 3,4 32,3 44,3 14,5

Sumber: Lawton dan Wilson (2003)

Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa komponen, yaitu , , , dan -zein. -zein merupakan prolamin terbanyak dalam biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan -zein, -zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan asam amino glutamin, leusin, dan prolin. -zein merupakan prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya -zein dan -zein, zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein. Sedangkan -zein kaya akan asam amino metionin (Lawton dan Wilson, 2003). Adapun glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein, tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996).

Jagung Pioneer-21 Jagung Varietas P-21 (Pioneer-21) memiliki umur panen 100 hari. Tepung jagung yang dihasilkan memiliki kandungan lemak yang rendah yaitu 1,73 %. Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan. Tabel 2. Komposisi kimia tepung jagung P-21 (Etikawati, 2008) Kadar Komponen (%) Kadar air Protein Lemak Abu Karbohidrat 5.46 6.32 1.73 0.31 86.18

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa (Winarno, 2004).

Kandungan total pati, amilosa, dan amilopektin dari tepung jagung varietas P-21 ditunjukkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung jagung P-21 (Etikawati, 2008) Komponen Kadar (%) Amilosa Amilopektin Total pati 23.04 43.52 66.56

Tepung jagung P-21 memiliki derajat Hue 82.65 yang berarti tepung ini memiliki warna yellow red (Etikawati, 2008). Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Warna kuning tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih

lanjut warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning.

B.

PATI JAGUNG Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan

produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling) dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat. Menurut Tanikawa dan Motohiro (1995), bahan pengikat berfungsi untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turunturunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk membentuk kekentalan tertentu. Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Pada umumnya, pati mengandung 2530% amilosa dan 7075% amilopektin. Menurut Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan -(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Umumnya amilosa dikatakan sebagai bentuk linier dari pati. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa). Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 45% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin. Bobot molekul amilopektin berkisar antara 1075x108 (Fennema, 1996).

Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn.

Gambar 3. Struktur amilosa dan amilopektin (Waigh et al., 2000).

Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah. Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.

Tabel 4. Karakteristik granula pati Jenis pati Ukuran granula (m) Padi 3-8 Gandum 20-35 Jagung 15 Sorgum 25 Rye 28 Barley 20-25 Sumber: Hoseney (1998) Bentuk granula Poligonal Lentikular atau bulat Polihedral atau bulat Bulat Lentikular atau bulat Bulat atau elips

Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan (Tabel 4). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 230 m. Jagung yang tinggi amilosa (highamylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 m. Sedangkan pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 m, 4-35 m, dan 2-55 m (Fennema, 1996). Menurut Boyer dan Shannon (2003), granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf.

C.

GELATINISASI PATI

Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolakbalik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop (Hoseney, 1998). Selain itu, granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa

larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).

Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel

Gambar 4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1990) Menurut Swinkels (1995), pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolakbalik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4. Suhu Gelatinisasi Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu

gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Pengukuran suhu gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan Brabender Visco-amylograph dan Differential Scanning Calorimetry. Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996) Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1991) menyatakan keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.

D.

RETROGRADASI Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena

rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa. Lebih lanjut, Swinkle (1995) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1)

meningkatnya viskositas, 2) terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 3) terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 4) terbentuknya gel, dan 5) keluarnya air dari pasta (sineresis). Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1995). Peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan sangat lambat pada pH dibawah 2. Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregrat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregrat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200 unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin. Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioca. Menurut Swinkle (1995) hal ini disebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.

E.

MI

Mi Basah Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992), definisi mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b). Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal dari gandum. Sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann, 2001). Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami pengeringan (Anonimb, 2007). Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 4. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi. Tabel 6. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992) Satuan Persyaratan No. Kriteria uji 1. Keadaan : 1.1. bau Normal 1.2. rasa Normal 1.3. warna Normal 2. Kadar air % b/b 20 35 3. Kadar abu (dihitung atas dasar % b/b Maks. 3 bahan kering) 4. Kadar protein ((N x 6,25) % b/b Min. 3 dihitung atas dasar bahan kering) 5. Bahan tambahan pangan 5.1 boraks dan asam borat Tidak boleh ada 5.2 pewarna Sesuai SNI-022-M dan peraturan MenKes No. 722/MenKes/Per/IX/

7. 8.

5.3 formalin Cemaran logam 6.1 timbal (Pb) 6.2 tembaga (Cu) 6.3 seng (Zn) 6.4 raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba : 8.1 angka lempeng total 8.2 E. Coli 8.3 kapang

88 Tidak boleh ada Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks 0,05 Maks 0,05

mg/kg

mg/kg

Koloni/g Maks 1,0 x 106 Maks. 10 APM/g Koloni/g Maks 1,0 x 104

Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al., 1995). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 7. Syarat Mutu Mi Kering (SNI 01-2974-1996) Persyaratan Persyaratan No Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II Keadaan: 1.1 Bau Normal Normal 1. 1.2 Warna Normal Normal 1.3 Rasa Normal Normal 2. Air % b/b Maks. 8 Maks. 10 4. Protein (N x 6,25) % b/b Min. 11 Min. 8 Bahan Tambahan Makanan: 5. 5.1 Boraks Tidak boleh ada sesuai dengan 5.2 Pewarna SNI 01-0222-1995 Tambahan Cemaran Logam: 6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 6. 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0 6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0 6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05

7.

8.

Arsen (As) Cemaran mikroba: 8.1 Angka lempeng total 8.2 E. coli 8.3 Kapang

mg/kg

Maks. 0,5

Maks. 0,5

koloni/g APM/g koloni/g

Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104

Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104

Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi yang hampir sama. Adapun yang membedakan keduanya adalah kadar air, kadar protein, dan tahapan proses pembuatan. Untuk mendapatkan mi kering, mi mentah dikeringkan dengan cara penjemuran atau di angin-anginkan atau juga dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC. Mi kering mempunyai daya simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya. Selama kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 6-12 bulan. Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997).

Mi Jagung Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung jagung. Proses pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahap yaitu pencampuran bahan, pengukusan adonan, sheeting, slitting, pengukusan mi. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan proses pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan adonan. Pengukusan dilakukan agar adonan dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Pada terigu, yang berperan penting dalam pembentukan adonan adalah protein, sedangkan pada jagung yang berpengaruh terhadap adonan adalah patinya. Pembuatan mi jagung dengan teknik calendering diawali dengan pencampuran tepung jagung dengan larutan garam (1% garam dilarutkan dalam air) dan guar gum 1%.

Tabel 8. Pengaruh penambahan beberapa bahan tambahan makanan (BTM) terhadap cooking loss dan kelengketan (Fadlillah, 2005) No. BTM Kelengketan Cooking loss Keterangan 1. Guar Gum ++ ++++ Konsentrasi 1% 2. K2CO3 dan +++++ ++++++++ Warna berubah menjadi Na2CO3 gelap 3. RESL/ ++++ +++++ Konsentrasi 1% Alginat 4. Tawas ++++ ++++++++ Konsentrasi 1% (Alum) 5. CMC ++++ +++++ Konsentrasi 1% 6. Tawas++++ ++++++ Masing-masing alginat konsentrasi 1% Keterangan: Kelengketan : + (tingkat kelengketan, makin banyak makin lengket) Cooking loss : + (tingkat kekeruhan air, makin banyak berarti makin keruh, pati yang larut makin tinggi) CMC, guar gum, dan alginat dapat berfungsi sebagai pengikat komponenkomponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss. Penambahan RSEL (alginat), CMC, tawas dan (K2CO3 dan Na2CO3) tidak telalu mempengaruhi kelengketan dan cooking loss (Fadlillah (2005). Tabel 9. Pengaruh jumlah air yang ditambahkan terhadap karakteristik adonan (Kurniawati, 2006) Jumlah air yang Hasil pengamatan ditambahkan 30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus 33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus 35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus Penambahan jumlah air 30% dari berat tepung jagung menghasilkan adonan cukup basah dan mudah dikukus. Penambahan air > 30% menyebabkan adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus.

Tabel 10. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual Proses Kriteria Pengukuran Mixing Adonan seragam; mampu menyerap air secara optimal Lembaran mi mudah dibentuk; permukaannya halus; tidak Sheeting bergaris-garis; dan tidak ada noda Ukurannya seragam dan sesuai; tersisir dengan baik; bentuknya Slitting bagus Steaming Memiliki derajat gelatinisasi yang baik; tidak lengket Waktu pemasakan singkat; rendah cooking loss (kehilangan Cooking padatan akibat pemasakan); teksturnya bagus Sumber: Hou dan Kruk (1998) Campuran ini kemudian dikukus pada kisaran suhu 90oC-100oC. Pengukusan menyebabkan adonan mengalami gelatinisasi, sehingga

menyebabkan terbentuknya massa yang elastis dan kohesif setelah pengulenan. Tahap selanjutnya adalah pressing untuk pembentukan lembaran. Pengepresan lembaran dilakukan bertahap dengan melewatkan adonan di antara roll pengepres sehingga didapatkan ketebalan 2 mm. Lembaran ini kemudian dipotong menjadi untaian mi. Agar untaian mi tidak mudah patah, maka jumlah pati yang dipregelatinisasi harus cukup karena pati inilah yang berfungsi sebagai pengikat (Soraya, 2006). Selanjutnya, untaian mi dimatangkan dengan pengukusan pada kisaran suhu 90oC-100oC. Berikut ini beberapa hasil penelitian mi jagung yang telah dilakukan:

Tabel 11. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung No. Produk Bahan Baku Proses 1. Mi Tepung jagung Tepung jagung + air + garam + jagung (70%), pati jagung baking powder kering (30%), air (30%), garam (1%), guar Pencampuran gum (1%), baking powder (0,3%) Pengukusan (15 menit) Pembentukan lembaran pencetakan, dan pemotongan Pengukusan (10 menit) Pengeringan (55-60oC, 1jam) mie jagung kering

Parameter Mutu Analisis fisik Cooking loss: 17,82% (CMC); 20,72% (guar gum) Daya serap air: 285,71% (CMC); 202,42% (guar gum) Kekerasan: 1153,65 gf (CMC); 1469,20 gf (guar gum) Kelengketan: -469,75 gf (guar gum); -295,95 gf (CMC) Analisis kimia Mi yang terbuat dari tepung penggilingan kering: Kadar air: 7,80% Kadar abu: 1,50% Kadar protein: 6,93% Kadar lemak 0,19% Kadar karbohidrat: 84,17% Mi yang terbuat dari tepung penggilingan basah: Kadar air: 4,66% Kadar abu: 1,27% Kadar protein: 6,13%

Referensi Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

2.

Mie jagung basah

Tepung jagung varietas srikandi (100 g), air (30 ml), garam (1%), baking powder (0,3%)

Tepung jagung + air + garam + baking powder Pencampuran Pengukusan adonan (7 menit) Pressing, slitting, cutting Mi basah mentah Perebusan (2 menit) Mi basah matang

Kadar lemak 1,83% Kadar karbohidrat: 86,11% Analisis fisik Suhu adonan setelah pengukusan: 73,45 oC Derajat gelatinisasi: 65,75% Persen elongasi: 19,78% KPAP: 17,60% Kekerasan: 1089,63 gf Kelengketan: -288,66 gf Analisis kimia Kadar air: 196% (bk) Kadar abu: 0,41% Kadar protein: 6,45% Kadar lemak: 8,20% Kadar karbohidrat: 85,0% Analisis fisik Warna mi jagung basah o Hue: 92,8 (kuning) Persen elongasi: 14,7% Resistensi terhadap tarikan: 9,9 gf Kekerasan: 736,49 gf Kelengketan: 558,48 gf KPAP: 10,10%

Rianto, B. F. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.

3.

Mie jagung basah

Tepung jagung varietas srikandi kuning kering panen (HQPM) (100 g), garam (0,6%), baking powder (0,2%), guar gum (0,6%).

70% tepung jagung basah + garam + baking powder Pengukusan adonan (5 menit) Pencampuran dengan 30% tepung jagung kering @

Soraya, A. 2006. Perancangan proses dan formulasi mie jagung basah berbahan dasar High Quality Protein Maize varietas srikandi kuning kering panen. Skripsi. Departemen Ilmu dan teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.

4.

Mie jagung basah

Maizena (90 g), Corn Gluten Meal (CGM) (10 g), air (30 ml), CMC (1%), garam (1%), baking powder (0,3%), pati kacang hijau (5%), guar gum (1%)

@ Pressing, slitting, cutting Perebusan (1,5 menit) Perendaman dalam air dingin (10 detik) Mi basah matang bagian maizena + CGM + CMC/guar gum + air + garam + baking powder Pencampuran sampai homogen Pengukusan adonan (3 menit) Penambahan dengan sisa bagian maizena Pencampuran sampai homogen Pressing, slitting, cutting Perebusan (2,5 menit) @

Analisis kimia Kadar air: 62,03% (bb) Kadar abu: 0,82% Kadar protein: 7,63% Kadar lemak: 7,05% Kadar karbohidrat: 59,18%

Analisis fisik Persen elongasi: 15,86% Resistensi terhadap tarikan: 15,73 gf Kekerasan: 964,89 gf Kelengketan: -251,2 gf KPAP terendah diperoleh pada pengunaan guar gum dengan konsentrasi: 1% Analisis kimia Kadar air: 63,71% (bb) Kadar abu: 0,41% Kadar protein: 7,14% Kadar lemak: 4,49% Kadar karbohidrat: 87,99%

Kurniawati, R. D. 2006. Penentuan desain proses dan formulasi optimal pembuatan mie jagung basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). . Skripsi. Departemen Ilmu dan teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.

5.

Mie jagung instan

Maizena (90%), gluten terigu : CGM (10%; 9:1), air (35% total adonan), garam (1%), baking powder (0,3%), CMC (1%)

@ Perendaman dalam air dingin (15 detik) Penirisan Penambahan minyak (2%) Mi jagung basah matang Maizena + gluten terigu + CGM + air + garam + baking powder + CMC Pencampuran Pengukusan I (10 menit) Pengadukan sampai adonan kalis Pressing, slitting, cutting Pengukusan II (10 menit) @

Analisis fisik Persen elongasi: 150.63% Kekerasan: 53.33 Kgf

Fadlillah, H. N. 2005. Verifikasi formulasi mie jagung instan dalam rangka penggandaan skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.

6.

Mie jagung instan

Pati jagung (90%), Corn Gluten Meal (CGM) (10%), air (35%), CMC (1%), garam (1%), baking powder (0,3%)

@ Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 2 jam Mi jagung instan bagian pati jagung + air + CGM Pencampuran Pengukusan I (7 menit) Penambahan dengan sisa bagian pati jagung + garam + CMC + baking powder Pencampuran sampai kalis Pressing, slitting, cutting Pengukusan II (10 menit) Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 2 jam Mi jagung instan

Analisis fisik Ketebalan mi: 0,43-0,47 mm KPAP: 24,39% Daya serap air: 75% Waktu rehidrasi: 4 menit Analisis kimia Kadar air: 7,95% (bb) Kadar abu: 1,26% Kadar protein: 3,43% Kadar lemak: 2,52% Kadar karbohidrat: 84,84% Nilai energi: 376 kalori

Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (CGM) dalam pembuatan mie jagung instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.

7.

Mie jagung instan

Tepung jagung : air (1:1), baking powder (0.3%), garam

Tepung jagung + air + garam + baking powder Pencampuran Pengukusan I (15 menit) Pressing, slitting, cutting Pengukusan II (15 menit) Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 1-2 jam Mi jagung instan

Analisis fisik Warna mi jagung oHue: 5490 (yellow red) Tingkat gelatinisasi: 80,77% KPAP: 8,47% Daya serap air: 91,97% Waktu rehidrasi: 7 menit Analisis kimia Kadar air: 11,67% (bb) Kadar abu: 1,20% Kadar protein: 6,16% Kadar lemak: 2,27% Kadar karbohidrat: 78,69% Kadar pati: 65,92% Kadar serat makanan: 6,80% Nilai energi: 360 kkal/100 g

Juniawati. 2003. Optimasi proses pengolahan mie jagung instan berdasarkan kajian preferensi konsumen. Skripsi. Departemen Ilmu dan teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas pioner 21 (P-21). Bahan-bahan tambahan yang digunakan antara lain air, garam, dan guar gum. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuat mi, horizontal dough mixer, grinder daging dengan die berdiameter 8 cm (die pertama memiliki 75 lubang dengan diameter masing-masing lubang 0,60 cm, die kedua memiliki 128 lubang dengan diameter masing-masing lubang 0,30 cm), steam blancher, alat penggilingan jagung (hammer mill dan disc mill), oven, timbangan, alat-alat untuk analisis seperti Texture Analyzer, oven, tanur, neraca analitik, dan alat-alat gelas serta peralatan masak lainnya.

B. Metoda Penelitian 1. Pembuatan Tepung Jagung Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits, lembaga, kulit dan tip cap. Kemudian hasil penggilingan direndam dalam air untuk memisahkan bagian endosperm jagung dengan lembaga, kulit dan tip cap. Bagian yang tenggelam adalah endosperm yang dipakai pada penggilingan berikutnya, sedangkan bagian yang mengapung adalah lembaga, kulit dan tip cap yang dipisahkan dengan saringan yang selanjutnya akan dibuang. Endosperm yang sudah dipisahkan ditiriskan, kemudian digiling menggunakan disc mill, yang bertujuan untuk memperhalus ukuran grits menjadi tepung. Untuk menghasilkan tepung jagung yang halus dan homogen, maka dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran mesh 100.

Jagung kering pipil

Penggilingan I (hammer mill)

Grits, lembaga, tip cap, dan kulit

Pemisahan endosperm dari lembaga, kulit dan tip cap

Lembaga, kulit dan tip cap

Grits jagung

Penirisan dan pengeringan

Penggilingan II (discmill)

Tepung kasar

Pengayakan 100mesh (vibrating screen)

Tepung jagung 100mesh

Gambar 5. Pembuatan Tepung Jagung

2. Penentuan Jumlah Air Formula yang digunakan terdiri dari 1 kg tepung jagung, 10 gram garam dan 10 gram guar gum. Sedangkan jumlah air yang ditambahkan yaitu 30, 40, 50, dan 60% (dihitung dari berat tepung jagung). 1 kg tepung jagung dicampur dengan 10 gram guar gum diaduk menggunakan

hand mixer 5 menit, kemudian dicampurkan dengan larutan garam (dibuat dengan cara melarutkan 10 gram garam dalam air) dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit, kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan dilakukan terhadap sifat adonan saat sheeting.

3. Penentuan Parameter Proses a. Jumlah bagian adonan yang dikukus Adonan dibuat dari 1 kg tepung jagung dengan perbandingan adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu 100:0, 90:10, 80:20, dan 70:30; 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Bagian tepung yang tidak dikukus dicampur dengan guar gum, kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit., Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan bagian tepung yang tidak dikukus dan diaduk secara manual menggunakan tangan kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting. b. Penentuan suhu dan waktu pengukusan adonan Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan diaduk menggunakan tangan kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting.

c.

Penggilingan adonan Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung,10 gram guar gum,

dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan

diaduk menggunakan tangan. Penggilingan adonan dilakukan dengan tiga variasi yaitu tanpa grinding, grinding dengan diameter die 0,60 cm, dan grinding dengan diameter die 0,30 cm. Adonan dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran, dilanjutkan dengan slitting untuk membentuk untaian mi. Kemudian mi dimatangkan dengan pengukusan pada suhu 95oC selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pengamatan parameter fisik mi basah jagung yang dihasilkan dari tahapan-tahapan yang telah dioptimasi. Parameter yang diukur meliputi cooking loss, persen elongasi dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan) secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer. d. Penentuan jarak roller pada proses reduksi ukuran Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan

diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Jarak antar roller diukur menggunakan batang kayu yang dimasukkan ke dalam roller dengan ketebalan yang pas dengan jarak tersebut. Batang kayu ini kemudian diukur

ketebalannya menggunakan penggaris. Sheeting dilakukan dengan variasi jarak awal roller yaitu 0,5 cm (biasa digunakan untuk mi terigu), dan 0,3 cm selain itu dilakukan variasi terhadap perpindahan jarak roller yaitu 1 satuan , 0,5 satuan dan perpaduan diantara keduanya. Kemudian dilanjutkan dengan slitting saat ketebalan lembaran 0,12 cm untuk membentuk untaian mi. Penentuan jarak roller berdasarkan pengamatan kemudahan penanganan adonan saat sheeting dan slitting. e. Penentuan waktu pengukusan mi Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan

diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting mulai jarak roller 0,3 cm sampai 0,12 cm, dilanjutkan dengan slitting pada saat ketebalan lembaran mi 0,12 cm. Setelah itu, untaian mi dimatangkan dengan cara pengukusan pada suhu 95oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit. Waktu pengukusan mi paling optimal yaitu waktu yang menghasilkan tingkat elongasi paling tinggi dengan tingkat kematangan yang cukup. Elongasi diukur secara manul dengan cara sebagai berikut: untaian mi dengan panjang 10 cm diletakkan menempel pada penggaris dimulai dari ujung skala 0 cm sampai skala 10 cm. Kemudian ditarik perlahan sampai putus. Jarak terakhir yang ditempuh oleh untaian mi sampai putus ditulis sebagai elongasi secara manual. Sedangkan kematangan dilihat dari pemerataan tingkat kematangan mi sampai lapisan yang paling dalam, ditandai dengan tidak adanya warna khas tepung mentah pada lapisan mi paling tengah.

f.

Penentuan waktu optimum pengovenan Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum,

dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan

diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran, dilanjutkan dengan slitting saat ketebalan mi 0,12 cm. Untaian mi dimatangkan dengan pengukusan pada suhu 95oC selama 20 menit. Mi kemudian dikeringkan dengan variasi suhu 60, 70, dan 80oC. Pengovenan suhu 60oC dilakukan dengan waktu 35, 40, dan 45 menit; suhu 70oC dengan waktu 30, 35, dan 40 menit; dan suhu 80oC dengan waktu 25, 30 dan 35 menit. Setelah dioven, mi diukur kadar ainya. Pengamatan didasarkan pada nilai kadar air, untuk kemudian ditentukan waktu paling optimum. Kadar air harus > 13% (SNI 01-29741996). Pengamatan parameter fisik dilakukan terhadap mi kering jagung yang dihasilkan dari pengovenan suhu 60oC selama 40 menit, suhu 70oC selama 30 menit, dan suhu 80oC selama 25 menit . Parameter yang diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi, persen elongasi dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan) secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer. Kemudian dilanjutkan dengan uji organoleptik terhadap atribut tekstur (kekerasan dan kekenyalan) dengan perabaan tangan dan tekstur (kekerasan dan kekenyalan) gigit serta overall (penampakan

keseluruhan) mi kering jagung yang dihasilkan dari pengovenan suhu 60oC selama 40 menit, suhu 70oC selama 30 menit, dan suhu 80oC selama 25 menit.

C. Metode Analisis Analisis Sifat Fisik 1. Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT2 yang digunakan tertera pada Tabel 9. Tabel 12. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis) Parameter Setting Pre test speed 2,.0 mm/s Test speed 0,1 mm/s Post test speed 2,0 mm/s Rupture test speed 1,0 mm Distance 75% Force 100 g Time 5 sec Count 2 Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gf). Sedangkan kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi.

Gambar 6. Kurva profil tekstur mi 2. Persen Elongasi Menggunakan Texture Analyzer Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus. Sampel dililitkan pada probe dengan jarak antar lilitan sampel sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0.3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus : 2cm

a b

b=

x 100%

a : distance = waktu putus sampel (s) x 0,3 cm/s b : persen elongasi

3. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/Cooking Loss ( metode Oh et al., 1985) Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan (4 menit untuk mi jagung), mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

berat sampel setelah di ker ingkan KPAP = 1 100% berat awal (1 kadar air contoh)

4. Waktu Rehidrasi Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam 150 ml air. kemudian dihitung waktunya pada saat mi telah terhidrasi sempurna (tidak ada spot putih di tengah untaian mi). Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh tekstur yang homogen.

5. Pengukuran Derajat Gelatinisasi (Birch et al., 1999) Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan merebus 1 gram tepung jagung dalam 100 ml air hingga menjadi bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi merupakan suspensi tepung dalam air. Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%, 60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi 100% dan pati yang tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 20%, 40:60 untuk sampel

dengan derajat gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat

gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%. Tahap berikutnya adalah pembacaan absorbansi masingmasing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini kemudian diaduk menggunakan stirer selama satu menit dan

ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan diaduk kembali menggunakan stirer selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi A dan B masingmasing sebanyak 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masingmasing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9 ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan dibaca absorbansinya menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B. Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa : Y = a + bX Di mana Y merupakan absorbansi dan X merupakan derajat gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta. Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama seperti di atas. Derajat gelatinisasinya dihitung menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar.

Analisis Sifat Kimia 1. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (sekitar lima gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1000C selama kurang lebih enam jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus: Kadar air (% b.b) = c ( a - b ) x 100% Keterangan : c a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g) Uji Organoleptik (Meilgaard, 1999) Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji rating dengan 30 orang panelis. Uji ini dapat digunakan untuk membedakan seluruh atribut antara produk satu dengan produk lainnya yang ada di pasaran. Sampel disiapkan dengan cara merebus mi selama 4 menit, kemudian ditiriskan selama 2 menit. Selanjutnya diambil 6 untai mi dengan panjang yang sama dan diletakkan diatas piring kertas yang sebelumnya telah diberi kode berdasarkan perlakuan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Tepung Jagung Jagung pipil yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas Pioneer 21 yang didapatkan dari sentra pertanian jagung Ponorogo, Jawa Timur. Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits jagung. Grits jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur dengan kotoran, kulit, tepung kasar dan komponen lain yang tidak diinginkan. Proses yang dilakukan untuk memisahkan grits dari semua campuran tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam dalam air. Selain untuk memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip cap dan memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi, proses pencucian dan perendaman ini juga bertujuan untuk memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling dengan disc mill lebih mudah. Pencucian membersihkan grits dari kotoran yang menjadi kontaminan, sedangkan perendaman membuat kulit dan lembaga terangkat ke permukaan air. Hal ini disebabkan dalam lembaga terdapat banyak kandungan lemak yang mempunyai massa jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan air. Proses pengadukan dilakukan selama pencucian agar bahan campuran yang akan dibuang tidak terendap dalam tumpukan grits. Kemudian grits ditiriskan selama 2 jam. Endosperm yang sudah dipisahkan kemudian digiling menggunakan disc mill yang bertujuan untuk memperhalus ukuran grits menjadi tepung. Tepung yang dihasilkan masih berupa tepung kasar yang belum terpisahkan berdasarkan ukurannya. Untuk menghasilkan tepung jagung yang halus dan homogen, maka dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran mesh 100. Tepung ukuran 100 mesh kemudian dioven 60o C selama 2 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian besar air pada tepung sehingga tepung jagung lebih tahan lama ketika penyimpanan.

Jagung kering pipil (10 kg)

Penggilingan I (hammer mill)

Grits, lembaga, tip cap,kulit yang terbuang (0.23 kg/2,3%)

Grits, Lembaga, tip cap, dan kulit (9,77 kg/97,7%)

Pemisahan endosperm dari lembaga, kulit dan tip cap

Lembaga, tip cap, kulit (3,47 kg/34,7%)

Grits jagung (6,3 kg/63%)

Penggilingan II (discmill)

Grits jagung yang terbuang (0.9 kg/9%)

Tepung kasar (5,4 kg/54%)

Pengayakan 100 mesh (vibrating screen)

Tepung jagung tidak lolos 100 mesh (2,486 kg/24,86%)

Tepung jagung lolos 100 mesh (2,914 kg/29,14%)

Gambar 7. Diagram Alir Kesetimbangan Massa Proses Penepungan Jagung

Sebanyak 10 kg jagung pipil varietas Pioneer-21 melalui proses penepungan menghasilkan 2,914 kg tepung jagung lolos ayakan 100 mesh. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan 29,14% dari keseluruhan bahan baku. Kemudian tepung jagung ini dikemas dalam wadah plastik ukuran 500 gram dan disimpan di freezer sebelum digunakan untuk proses pembuatan mi jagung. Pembuatan tepung jagung dengan metode penggilingan kering didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan sebanyak dua tahap. Penggilingan tahap pertama menggunakan hammer mill yang dilanjutkan dengan perendaman dan pencucian untuk memisahkan bagian endosperma (grits) jagung dengan kulit, lembaga, dan tip cap. Perendaman juga bertujuan untuk melunakkan endosperma jagung agar mudah dihancurkan saat proses penggilingan kedua. Penggilingan tahap kedua bertujuan untuk menghaluskan grits jagung menjadi tepung dengan menggunakan disc mill. Grits jagung terlebih dahulu dikeringkan sehingga diperoleh kadar air + 17%. Jika kadar air terlalu tinggi, maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran partikel yang seragam, dapat dilakukan pengayakan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar. Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit (pericarp), dan tip cap (Hoseney, 1998). Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung yang paling tinggi kandungan karbohidratnya (pati). Bagian inilah yang kemudian dibuat menjadi tepung jagung. Sedangkan kulit dan tip cap harus dipisahkan karena dapat membuat tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Begitu pula dengan lembaga yang harus dipisahkan karena kandungan lemaknya yang tinggi dapat membuat tepung jagung cepat tengik akibat oksidasi lemak.

B. Penentuan Jumlah Air Dalam pembuatan mi jagung ini formula yang digunakan terdiri dari 1 kg tepung jagung, 10 gram garam dan 10 gram guar gum. Sedangkan jumlah air yang ditambahkan yaitu 30, 40, 50, dan 60% (dihitung dari berat tepung jagung). 1 kg tepung jagung dicampur dengan 10 gram guar gum diaduk menggunakan hand mixer selama 5 menit, kemudian dicampurkan dengan larutan garam (dibuat dengan cara melarutkan 10 gram garam dalam air) dan diaduk menggunakan hand mixer selama 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit, kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Tabel 13. Sifat adonan pada penambahan jumlah air yang berbeda Jumlah air (%) 30 Sifat adonan mi (secara visual) Adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting, namun lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu pembentukan lembaran lama Adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting, namun lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu pembentukan lembaran lama Adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran yang dihasilkan cukup plastis namun waktu pembentukan lembaran lama Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran yang dihasilkan elastis dan waktu pembentukan lembaran lama

40

50

60

Pada penambahan air sebanyak 30% dan 40%, adonan tidak lengket pada mesin sheeting, namun lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu pembentukan lama. Hal ini menyebabkan karakteristik lembaran adonan kasar dan mudah sobek. Pada penambahan air sebanyak 60%, adonan lengket pada mesin sheeting, dan waktu pembentukan lama. Hal ini menyebabkan karakteristik lembaran adonan elastis dan tidak bisa ditipiskan. Sedangkan pada penambahan air sebanyak 50%, adonan agak lengket pada mesin sheeting, lembaran yang dihasilkan cukup plastis namun waktu pembentukan lama. Penambahan air selama proses mengakibatkan partikel pati

membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari amilosa

berdifusi keluar disebabkan oleh pengaruh panas (Janssen, 1993). Jumlah air < 50% menyebabkan proses pregelatinisasi adonan kurang sempurna, sedangkan jumlah air > 50% menyebabkan adonan menjadi lengket. Air berfungsi sebagai pengikat garam dan membantu proses gelatinisasi saat adonan dikukus. Dengan adanya air, maka unsur kimia dalam bahan akan bereaksi dan dengan proses pengadukan akan tercampur sehingga menjadi homogen (Buckle et al., 1998). Jumlah air sangat menentukan kelengketan mi. Bila air yang ditambahkan terlalu sedikit, maka proses gelatinisasi kurang sempurna sehingga pati tergelatinisasi yang dihasilkan sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik. Namun bila penambahan air terlalu banyak maka adonan terlalu matang. Adonan yang terlalu matang menyebabkan untaian mi yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007). Berdasarkan pengamatan sifat adonan saat sheeting, jumlah air yang dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi jagung selanjutnya adalah 50%.

C. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi Jagung Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatannya. Oleh karena itu, penentuan parameter-paramater pada tiap tahap proses yang dianggap kritis harus dilakukan untuk memperbaiki proses pada skala besar. Parameter proses tersebut diantaranya jumlah bagian adonan yang dikukus, penentuan waktu pengukusan adonan, penggilingan adonan, penentuan jarak roller pada proses reduksi ukuran, penentuan waktu pengukusan mi, serta penentuan waktu optimum pengovenan. 1. Jumlah Bagian Adonan yang Dikukus Protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas zein yang untuk membentuk massa yang elastic-cohesive memerlukan proses pregelatinisasi sehingga terbentuk pati tergelatinisasi yang berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran adonan. Sedangkan protein total endosperm dalam gandum sebagian besar terdiri

atas gliadin dan glutelin yang merupakan jenis protein yang mempunyai sifat mampu membentuk massa yang elastic-cohesive dengan penambahan air dan pengadukan tanpa pemanasan. Proses pregelatinisasi ini harus dilakukan secara tepat dari segi jumlah bagian adonan yang dikukus, suhu pengukusan, serta waktu pengukusan. Pengukusan adonan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit. Pengurangan waktu pengukusan menyebabkan lembaran yang dihasilkan rapuh dan mudah sobek. Proses pregelatinisasi yang tepat akan menghasilkan gelatinisasi yang cukup dengan pati tergelatinisasi menjadi zat pengikat antar granula pati di dalam adonan (Susilawati, 2007). Pada pati yang mengalami pregelatinasi masih terlihat adanya granula yang masih utuh (Anwar, et al., 2006). Tabel 14. Sifat adonan pada berbagai jumlah bagian adonan yang dikukus Bagian adonan Sifat adonan (kukus:tidak) (secara visual) 100:0 Adonan terlalu lengket pada roller mesin sheeting dan waktu pembentukan lembaran lama 90:10 Adonan terlalu lengket pada roller mesin sheeting, waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran adonan dengan tepung kering cukup merata 80:20 Adonan masih agak lengket pada roller mesin sheeting, waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran adonan dengan tepung kering belum merata 70:30 Adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting namun waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran adonan dengan tepung kering belum merata Tepung jagung yang dikukus 100% dan 90%, menghasilkan karakteristik adonan mi yang relatif sama, yaitu adonan yang terlalu lengket pada roller mesin sheeting, sehingga mengakibatkan permukaan lembaran elastis sehingga sulit untuk ditipiskan. Hal ini dikarenakan jumlah pati tergelatinisasi terlalu banyak sehingga adonan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati. Tepung jagung yang dikukus 80% masih menghasilkan adonan yang agak lengket pada roller mesin sheeting. Sedangkan untuk tepung

jagung yang dikukus 70%, menghasilkan adonan yang tidak lengket pada roller mesin sheeting. Lembaran bersifat plastis sehingga bisa ditipiskan. Berdasarkan pengamatan sifat adonan, perbandingan adonan yang dikukus dengan yang tidak dikukus, yang dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi jagung selanjutnya adalah adonan dengan perbandingan 70:30. Faktor yang mempengaruhi karakteristik adonan adalah jumlah fraksi air bebas atau fraksi cair yang terkandung dalam adonan. Tepung jagung yang dikukus 70% mempunyai kandungan fraksi air bebas yang pas sehingga menghasilkan karakteristik adonan yang tepat. Efisiensi waktu pembuatan adonan dengan pengukusan 100% tidak bisa dilakukan karena jumlah fraksi bebas dalam adonan yang dikukus 100% tidak pas sehingga karakteristik adonan yang dihasilkan tidak tepat. Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik adonan adalah tingkat gelatinisasi pati. Jumlah pati tergelatinisasi yang kurang menyebabkan pengikatan terhadap adonan kurang. Hal ini menyebabkan mi rapuh dan mudah patah. Namun bila jumlah pati tergelatinisasi berlebih maka adonan yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007).

2. Penentuan Suhu dan Waktu Pengukusan Adonan Faktor penting lainnya yang harus diperhatikan selama pengukusan adalah suhu dan waktu proses. Kedua parameter ini akan mempengaruhi jumlah pati yang tergelatinisasi dalam adonan. Pada penelitian ini, proses pengukusan adonan dilakukan menggunakan steam blancher. Boiler (sumber uap panas) dinyalakan terlebih dahulu, kemudian kran steam blancher dibuka sampai suhu pengukusan tercapai. Setelah suhu tercapai, adonan yang akan dikukus ditaburkan merata di atas kain saring dengan ketebalan 0,5 cm, kemudian kain saring tersebut diletakkan dalam tray steam blancher. Tray dimasukkan ke dalam steam blancher, dan pengukusan dilakukan selama 15 menit.

Gambar 8. Proses pengukusan adonan menggunakan steam blancher Tabel 15. Pengaruh suhu pengukusan terhadap sifat adonan Suhu pengukusan Sifat adonan (secara visual) < 90oC Lembaran adonan yang dihasilkan rapuh dan mudah sekali sobek 90oC Lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya >90oC Lembaran adonan terlalu lengket pada roller sehingga tidak bisa ditipiskan Selama proses pengukusan, suhu pengukusan harus dipertahankan tetap. Suhu pengukusan yang lebih rendah dari 90oC menyebabkan pregelatinisasi kurang terpenuhi, sehingga lembaran adonan yang dihasilkan rapuh dan mudah sekali sobek. Pengukusan pada suhu 90oC menghasilkan lembaran yang plastis sehingga dapat direduksi ukurannya. Sedangkan suhu pengukusan yang lebih tinggi dari 90oC menyebabkan pregelatinisasi terlampaui, sehingga lembaran adonan terlalu lengket pada roller sehingga tidak bisa ditipiskan. Tabel 16. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC Waktu Sifat adonan (menit) (secara visual) 10 Pada saat sheeting lembaran yang sudah terbentuk terlipat kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru dan menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah sobek 15 Lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya 20 Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran elastis sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang)

30

Adonan sangat lengket dan lolos dari pisau trap sehingga melapisi roller saat sheeting, lembaran terlalu elastis sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang) Pengukusan dengan suhu 90oC selama 10 menit menghasilkan

lembaran yang terlipat kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru dan menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah sobek. Hal ini dikarenakan jumlah pati yang tergelatinisasi akibat pengukusan selama 10 menit kurang sehingga menyebabkan pengikatan terhadap adonan juga berkurang. Waktu pengukusan 15 menit menghasilkan adonan dengan karakteristik lembaran adonan mudah dibentuk, lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya. Waktu pengukusan 20 menit menghasilkan adonan yang lengket pada roller mesin sheeting, lembaran elastis sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang). Hal yang sama dialami adonan yang dikukus selama 30 menit, namun adonannya lebih lengket dibandingkan pengukusan selama 20 menit. Hal ini dikarenakan jumlah pati yang tergelatinisasi akibat pengukusan selama 20 dan 30 menit berlebih sehingga adonan yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati Pengukusan pada suhu yang lebih tinggi dari 90oC dengan waktu kurang dari 15 menit tidak bisa menghasilkan lembaran yang mempunyai karakteristik yang sama dengan pengukusan pada suhu 90oC selama 15 menit. Berdasarkan pengamatan saat sheeting waktu pengukusan adonan yang dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi jagung selanjutnya adalah pengukusan menggunakan steam blancher pada suhu 90oC selama 15 menit. Penyerapan air selama proses pengukusan mengakibatkan partikel pati membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari amilosa berdifusi keluar disebabkan oleh pengaruh panas (Janssen, 1993). Gelatinisasi pada tingkat tertentu menghasilkan adonan yang kohesif, namun jika gelatinisasi berlebih membuat adonan menjadi lengket.

Proses pengukusan adonan tersebut bertujuan untuk pregelatinisasi tepung jagung. Tepung yang tergelatinisasi tersebut akan berperan sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan lembaran dan untaian mi. Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel (Harper, 1990). Namun demikian, pengukusan adonan ini hanya bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Proses

gelatinisasi yang kurang menyebabkan pati tergelatinisasi yang dihasilkan sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik. Hal ini menyebabkan mi rapuh dan mudah patah. Namun bila proses gelatinisasi berlebih maka adonan yang dihasilkan terlalu matang. Gelatinisasi yang berlebih menyebabkan adonan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007). 3. Penggilingan Adonan Setelah pengukusan, adonan dicampurkan dengan bagian tepung jagung kering yang tidak dikukus. Pencampuran dilakukan secara manual menggunakan tangan. Pencampuran yang kurang sempurna antara adonan dengan tepung jagung yang tidak dikukus, kesulitan penanganan adonan, kesulitan saat pembentukan lembaran adonan dan waktu yang lama untuk pembentukan lembaran mendasari optimasi proses sesudah pengukusan. Optimasi proses dilakukan dengan menambahkan tahapan proses baru, yaitu penggilingan. Penggilingan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi (lampiran 5). Hal ini menyebabkan lebih banyak amilosa yang keluar dari granula pati dan berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Selain itu, penggilingan juga menyebabkan kompresi terhadap adonan meningkat. Kompresi menyebabkan adonan lebih kompak dan mudah dibentuk menjadi lembaran (Susilawati, 2007).

Tabel 17. Pengaruh perlakuan penggilingan terhadap sifat adonan Perlakuan penggilingan Tanpa grinding Sifat adonan (secara visual) Adonan susah ditangani, lembaran adonan susah dibentuk dan rapuh, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus belum tercampur merata, waktu pembentukan lembaran relatif lama Penanganan adonan lebih mudah, lembaran mudah dibentuk karena saat keluar dari grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat Penanganan adonan lebih mudah, lembaran mudah dibentuk karena saat keluar dari grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat

Grinding dengan diameter die 0,60 cm

Grinding dengan diameter die 0,30 cm

Tanpa grinding, adonan susah ditangani, lembaran adonan susah dibentuk dan rapuh, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus belum tercampur merata, waktu pembentukan lembaran relatif lama. Sedangkan penggilingan menggunakan grinding baik dengan diameter die 0,60 cm ataupun 0,30 cm memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap sifat adonan. Penanganan adonan menjadi lebih mudah, lembaran mudah dibentuk karena saat keluar dari grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat.

a) Gambar 9. a) Grinder

b)

b) Dari kiri ke kanan: die grinder d = 0,60 cm, d = 0,30 cm

Kerja ulir pada mesin grinder menghasilkan akumulasi tekanan, bahan dipaksakan keluar melalui die yang kecil ukurannya (Hariyadi, 2000). Perbandingan kompresi antara dua die plate adalah sebagai berikut:

P1:P2

= = n2 x A2
2

: : : : : n1 x A1 75 x 1/4 (0,6)2 27 7

= 128 x1/4 (0,3) = P1:P2 = Keterangan: 11,52 3

P1: kompresi die 0,6 cm P2: kompresi die 0,3 cm n : jumlah lubang A : luas permukaan lubang die (1/4 d2)

Gaya yang dihasilkan dari mesin grinder sama untuk semua diameter die. Die dengan diameter 0,6 cm memiliki lubang sebanyak 75, sedangkan die dengan diameter 0,3 memiliki lubang sebanyak 128. Rasio kompresi antara die berdiameter 0,6 cm dan 0,3 cm adalah 3:7.

Tabel 18. Pengaruh jumlah grinding terhadap sifat adonan Jumlah grinding 1x Sifat adonan (secara visual) Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering belum tercampur merata, setelah disheeting tampak warna lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna tepung dikukus dan ada yang didominasi warna tepung kering Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering tercampur cukup merata Terjadi penurunan suhu adonan yang cukup drastis, sehingga susah untuk dibentuk lembaran (adonan mengeras)

2x >2x

Grinding sebanyak 1x, membuat adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering belum tercampur merata, setelah disheeting tampak warna lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna tepung dikukus dan ada yang didominasi warna tepung kering. Jumlah grinding sebanyak 2x, membuat adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering tercampur cukup merata. Sedangkan jumlah grinding lebih dari 2x menyebabkan penurunan suhu adonan yang cukup drastis. Adonan yang terlanjur dingin susah untuk dibentuk lembaran (adonan mengeras).

Gambar 10. Adonan saat keluar dari grinder Kompresi yang dihasilkan dari penggilingan menggunakan grinding mampu meningkatkan sifat kohesif adonan. Sifat ini

memudahkan penanganan adonan saat sheeting. Peningkatan sifat kohesif sebanding dengan besarnya kompresi yang diberikan saat penggilingan. Derajat gelatinisasi adonan setelah dikukus sebesar 34,08%. Setelah penggilingan pertama, derajat gelatinisasi adonan tersebut meningkat menjadi 37,39% (die 0,60 cm) dan 39,28% (die 0,30 cm), setelah penggilingan kedua adonan mempunyai derajat gelatinisasi sebesar 37,86% (die 0,60 cm) dan 39,75% (die 0,30 cm). Sedangkan setelah mi dimatangkan dengan pengukusan suhu 95oC selama 20 menit mempunyai derajat gelatinisasi sebesar 87,53% (die 0,60 cm) dan 88,00% (die 0,30 cm) (lampiran 5). Formula dan tahapan proses yang telah dioptimalisasi

menghasilkan mi jagung basah. Dilakukan analisis fisik terhadap mi jagung basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm. Mi basah yang dibuat tanpa grinding tidak dianalisis, hal ini dikarenakan sifat lembaran yang susah dibentuk sehingga mi yang dihasilkan tidak optimal (mi rapuh dan warna tidak seragam akibat pencampuran tidak sempurna). Parameter fisik yang diukur meliputi cooking loss, persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan).

a.

Cooking Loss Cooking loss menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang

keluar ke dalam air selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi lebih kental. Cooking loss merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak. Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan parameter terpenting untuk produkproduk mi basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang

relatif kecil Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen.
14 12 Cooking loss (%) 10 8 6 4 2 0 0,60 Diameter die (cm) 0,30

12,91 0,83815

8,21 0,69356

Gambar 11. Perbandingan cooking loss mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati, 2006). Seperti dapat dilihat pada Gambar 11, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (12,91%) memiliki nilai cooking loss yang lebih tinggi dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (8,21%). Penggilingan menggunakan grinding dengan diameter die yang lebih kecil mampu menurunkan nilai cooking loss. Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar meningkatkan kekompakan dan ikatan antar partikel, sehingga cooking loss akan berkurang.

b.

Persen Elongasi Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi

yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Elongasi diukur setelah mi basah dicelup air panas sebanyak 3x (elongasi pencelupan) dan setelah direndam dalam air panas selama 2 menit (elongasi perendaman).
300 Persen elongasi (%) 250 200 150 100 50 0 0,60 Diameter die (cm) Elongasi pencelupan Elongasi perendaman 0,30

268,34 32,56476 232,44 21,85390 207,62 17,56408 219,96 15,59867

Gambar 12. Perbandingan persen elongasi mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm Seperti dapat dilihat pada Gambar 12, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (232,44%) memiliki persen elongasi setelah pencelupan yang lebih kecil

dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (268,34%). Demikian juga untuk persen elongasi setelah perendaman, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (207,62%) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (219,96%). Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering

semakin meningkat. Hal ini menyebabkan elongasi mi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan mi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,60.

c.

Kekerasan dan kelengketan Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental

menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan semakin meningkat. Kelengketan didefinisikan sebagai absolute (-) peak yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi.
3000 Kekerasan&kelengketan (gf) 2500 2000 1500 1000 500 0 -500 -1000 -1500 0,60 0,30

2377,73 278,4694

2418,65 153,9247

-627,42 67,13576 -1234,00 90,80208


Diameter die (cm) Kekerasan Kelengketan

Gambar 13. Perbandingan kekerasan dan kelengketan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm Seperti dapat dilihat pada Gambar 13, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf) menunjukkan nilai kekerasan yang lebih kecil daripada mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm

(2418,65 gf). Sedangkan untuk nilai kelengketan, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (1234,00 gf) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (627,42 gf). Penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter lebih kecil menyebabkan peningkatan kekerasan dan penurunan kelengketan. Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan peningkatan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga kekerasan meningkat.

d.

Kekenyalan Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan

untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi).

0.6

0,5215 0,0331822
0.5 Kekenyalan (gs) 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0,60 Diameter die (cm) 0,30

0,2591 0,0171912

Gambar 14. Perbandingan kekenyalan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm Seperti dapat dilihat pada Gambar 14, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (0,5215 gs) menunjukkan nilai kekenyalan yang lebih tinggi daripada mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (0,2591 gs). Penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter lebih kecil menyebabkan penurunan kekenyalan. Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan peningkatan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga elongasi meningkat. Peningkatan elongasi menyebabkan meningkatnya kekenyalan. Namun pada pada penelitian ini, meningkatnya kompresi tidak diikuti dengan meningkatnya kekenyalan. Hal ini mungkin dikarenakan meningkatnya kekerasan akibat kompresi yang lebih besar, sehingga kekenyalan cenderung berkurang.

4. Penentuan Jarak Roller pada Proses Reduksi Ukuran Adonan yang telah digiling dilewatkan di antara dua roll pada mesin sheeting yang mengubah adonan tersebut menjadi lembaran.

Adonan yang sudah berbentuk lembaran (masih agak tebal) dilewatkan lagi di antara dua roller pada mesin sheeting yang telah diatur jaraknya sampai menghasilkan ketebalan tertentu. Tabel 19. Pengaruh jarak awal roller dan skala perpindahan terhadap sifat adonan Jarak Skala perpindahan Sifat adonan awal (secara visual) 0,50 cm 1 satuan skala Lembaran adonan awal terlalu tebal, skala perpindahan kurang bertahap sehingga lembaran lengket dan terlipat kembali, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang cukup lama Lembaran adonan awal terlalu tebal, skala perpindahan kurang bertahap dan reduksi awal terlalu rapat sehingga lembaran lengket dan terlipat kembali, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang cukup lama perpaduan keduanya Lembaran adonan awal terlalu tebal, skala perpindahan bertahap sehingga lembaran tidak terlipat kembali namun masih lengket, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang cukup lama 1 satuan skala Lembaran awal ketebalannya pas, skala perpindahan kurang bertahap sehingga lembaran lengket dan terlipat kembali, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang lebih singkat 0,5 satuan skala Lembaran awal ketebalannya pas, skala perpindahan kurang bertahap sehingga lembaran lengket dan terlipat kembali, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang lebih singkat perpaduan keduanya Lembaran awal ketebalannya pas, skala perpindahan bertahap sehingga lembaran mudah direduksi dan hasilnya tidak terlipat kembali namun masih lengket, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang lebih singkat perpaduan keduanya Lembaran awal ketebalannya pas, skala dengan perlakuan perpindahan bertahap sehingga dusting lembaran mudah direduksi dan hasilnya tidak terlipat kembali dan tidak lengket lengket, reduksi ukuran membutuhkan waktu yang lebih singkat 0,5 satuan skala

0,30 cm

Jarak awal 0,50 cm (skala yang tertera pada roller 1,8) biasa digunakan pada proses pembuatan mi terigu. Sheeting dengan jarak awal 0,50 cm menghasilkan lembaran adonan awal yang terlalu tebal, sehingga reduksi ukuran sampai menghasilkan lembaran yang siap dislitting membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan sheeting dengan jarak awal 0,30 cm (skala yang tertera pada roller 1,0) menghasilkan lembaran awal yang ketebalannya pas, reduksi ukuran sampai menghasilkan lembaran yang siap dislitting membutuhkan waktu yang lebih singkat. Skala perpindahan roller juga perlu diatur, karena berpengaruh terhadap tingkat kemudahan reduksi ukuran dan penanganan lembaran adonan. Skala perpindahan 1 satuan ( 0,04 cm) terus-menerus sampai ketebalan lembaran siap dislitting menyebabkan lembaran lengket dan terlipat kembali. Hal ini terjadi pula pada skala perpindahan 0,5 satuan ( 0,02 cm) yang terus-menerus. Sedangkan skala perpindahan yang dilakukan perpaduan antara keduanya menghasilkan lembaran yang mudah direduksi dan hasilnya tidak terlipat kembali. Skala perpindahan dimulai dari skala 1 satuan, dimulai jarak roller 0,3 cm (skala yang tertera pada roller 0,8); 0,26 cm; 0,22 cm. Pada jarak 0,22 cm, lembaran mulai lengket. Oleh karena itu dilakukan dusting (pelapisan) menggunakan tepung jagung. Dusting dilakukan terhadap kedua sisi lembaran, dengan menaburkan tepung jagung secara bertahap ke permukaan lembaran, kemudian diratakan dengan telapak tangan. Setelah selesai sisi yang pertama, lembaran dibalik kemudian dilakukan proses yang sama pada sisi lembaran yang kedua. Pelapisan menggunakan 12 gram tepung jagung untuk 1 kg bahan baku. Kemudian sheeting dilanjutkan dengan skala perpindahan 0,5 satuan, dimulai jarak roller 0,20 cm; 0,18 cm; 0,16 cm; 0,14 cm; dan 0,12 cm. Total sheeting dilakukan sebanyak 8 kali. Ukuran roller dikurangi secara gradual menyebabkan lembaran yang terbentuk memiliki tekstur yang halus dan tidak mudah robek. Selain jarak antar roller, faktor yang mempengaruhi proses pembentukan lembaran adalah suhu adonan. Untuk pembuatan mi jagung,

adonan yang dilewatkan pada roller sheeting harus dalam keadaan masih panas. Jika adonan yang digunakan sudah dingin, maka proses pembentukan lembaran adonan lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan adonan yang sudah dingin akan mengeras sehingga tidak bisa ditipiskan.

Gambar 15. Proses pembentukan lembaran adonan Saat proses pembentukan lembaran, lembaran adonan ditarik ke satu arah sehingga serat-seratnya sejajar. Menurut Astawan (2005), serat yang halus dan searah menghasilkan mi yang halus, kenyal, dan cukup elastis. Mikrostruktur adonan selama pengepresan menyebabkan partikel endosperma bercampur menyusun matriks dari protein sehingga menjadi lebih homogen (Kruger, 1996).

Gambar 16. Dari kiri ke kanan: slitter untuk mencetak untaian mi dan slitter yang dilengkapi dengan lempengan pemotong

Gambar 17. Proses pencetakan untaian mi Lembaran adonan dengan ketebalan 0.12 cm selanjutnya dicetak menjadi untaian mi menggunakan roller pencetak mi (slitter) (Gambar 16). Seperti halnya roller pressing, slitter juga terdiri dari dua rol logam tetapi sekeliling permukaannya telah dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menjadi cetakan untuk membuat mi. Pada tiap cetakan tersebut terdapat semacam sisir untuk melepaskan untaian mi dari slitter. Selain itu, bagian bawah slitter juga dilengkapi dengan lempengan berbentuk siku yang berfungsi untuk menekan untaian mi yang telah dicetak. Keseluruhan proses ini menghasilkan mi mentah. Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pencetakan untaian mi adalah jarak antar roller, dan ketajaman sisir pemotong. Jarak antar roller pada slitter harus disesuaikan dengan jarak roller terakhir saat pembentukan lembaran (0.12 cm). Hal ini dimaksudkan agar lembaran tidak terlipat kembali, dan ketebalan lembaran dan untaian mi yang dihasilkan sama. Ketajaman sisir sangat menentukan mutu untaian mi yang tercetak. Jika sisir kurang tajam, untaian mi yang tercetak tidak rapi, permukaannya kasar/bergerigi, ketebalan mi tidak sama, atau bahkan mi menempel di slitter. Hasil cetakan mi yang kurang rapi berpengaruh terhadap cooking quality dari mi tersebut karena dapat meningkatkan cooking loss saat pemasakan. Keseluruhan proses di atas, mulai dari pembentukan lembaran, pencetakan, hingga pemotongan untaian mi biasanya dilakukan dalam satu alat. Mesin mi yang digunakan pada penelitian ini dilengkapi dengan konveyor berjalan dan memiliki kapasitas produksi sekitar 1-1,5 kilogram.

5. Penentuan Waktu Pengukusan Mi Untuk menghasilkan mi basah matang, untaian mi yang tercetak perlu dikukus terlebih dahulu. Pengukusan untaian mi ini bertujuan untuk menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak. Seperti halnya pada pengukusan adonan, pengukusan mi ini juga dilakukan dengan cara pemberian uap. Uap panas dialirkan dari steam generator atau boiler melalui pipa-pipa menuju steam blancher. Steam blancher yang digunakan dilengkapi dengan tray-tray untuk menempatkan mi yang akan dikukus. Proses pengukusan kedua dilakukan pada suhu 95oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit. Tabel 20. Pengaruh waktu pengukusan mi (95oC) terhadap elongasi mi Waktu pengukusan (menit) 10 15 20 30 Elongasi mi (%) 136,7 148,0 153,5 147,3 Tingkat kematangan mi

Belum matang Cukup matang Matang Sangat matang (mi mengembang)

Pada pengukusan selama 10 dan 15 menit, mi yang dihasilkan mempunyai elongasi berturut-turut sebesar 136,7% dan 148,0%, dengan kondisi mi yang belum cukup matang. Hal ini terlihat masih adanya bagian dalam mi yang berwarna tepung mentah. Sedangkan pengukusan selama 20 dan 30 menit menghasikan mi dengan elongasi berturut-turut sebesar 153,5% dan 147,3%, dengan kondisi mi yang matang. Namun, mi hasil pengukusan 20 menit memiliki elongasi yang lebih tinggi dibandingkan mi hasil pengukusan 30 menit. Demikian pula untuk tingkat kematangan, mi hasil pengukusan 30 menit terlalu matang, sehingga mi terlihat mengembang dan berwarna pucat. Berdasarkan pengamatan elongasi dan tingkat kematangan mi,

waktu pengukusan mi selama 20 menit dipilih sebagai waktu optimum dan digunakan dalam proses pembuatan mi jagung. Kecukupan proses

penyerapan air saat pengukusan sangat menentukan elongasi mi. Air akan berdifusi ke dalam granula pati dan menyebabkan pengembangan granula. Menurut Astawan (2005), proses gelatinisasi ini dapat

menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang memberikan kelembutan pada mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi, serta terjadi perubahan pati beta menjadi pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air sekitar 11-12%. Selain itu, proses ini menghasilkan mi yang solid dengan tekstur yang lebih lembut, kenyal, basah, lunak, dan warnanya menjadi lebih kuning( Merdiyanti, 2008).

6. Penentuan Waktu Optimum Pengovenan Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan akibat proses pindah panas yang berhubungan dengan adanya perbedaan suhu antara permukaan produk dengan permukaan air pada beberapa lokasi dalam produk. Ukuran bahan yang dikeringkan dapat

mempengaruhi kecepatan waktu pengeringan. Semakin kecil ukuran bahan, semakin cepat waktu pengeringannya. Hal ini disebabkan bahan yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan proses penguapan air dari bahan (Wirakartakusumah et al., 1992). Pada penelitian ini, metode pengeringan yang digunakan adalah pengeringan menggunakan panas (oven). Pengovenan dilakukan dengan 3 variasi suhu yaitu: 60, 70 dan 80oC. Variasi suhu dilakukan untuk menyesuaikan dengan ketersediaan oven yang dimiliki oleh industri. Waktu pengovenan optimum adalah waktu yang menghasilkan mi kering yang memenuhi SNI 01-2974-1996 tentang mi kering dengan padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%.

16 14 12 10 8 6 4 2 0

13.76 10.76 11.49 8.54 9.82 8.17 11.34 9.9 8.23

Kadar air (%)

25

30

35 Waktu (menit)

40

45

Suhu 60 derajat celsius Suhu 80 derajat celsius

Suhu 70 derajat celsius

Gambar 18. Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC Seperti dapat dilihat pada Gambar 18 dapat diketahui bahwa waktu optimum pengovenan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI pada suhu 60oC adalah 40 menit dengan kadar air 11,34%; suhu 70oC adalah 30 menit dengan kadar air 11,49%; dan suhu 80oC adalah 25 menit dengan kadar air 10,76%. Pada industri hal ini dapat diaplikasikan dengan penggunaan variasi waktu optimum tersebut tergantung suhu oven yang dimiliki oleh industri. Menurut Hou dan Kruk (1998), proses pengeringan mi dapat dilakukan dengan menggunakan udara panas (oven), penggorengan (deep frying), atau pengeringan vakum (vacuum drying). Pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering. Mi kering yang diperoleh dengan cara pengeringan memiliki kandungan lemak yang rendah dan umur simpannya juga lebih lama karena tidak berhubungan dengan ketengikan akibat adanya sedikit lemak

dalam produk. Selain umur simpannya lebih lama, beberapa keuntungan dari proses pengeringan antara lain volume bahan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta produk menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih kecil. Namun ada pula kerugian dari proses pengeringan, diantaranya perubahan sifat asal dari produk seperti bentuk dan penampakannya, serta sifat fisik dan kimianya yang pada akhirnya dapat menurunkan mutu produk (Wirakartakusumah et al., 1992). Mi kering diperoleh dari mi basah yang telah dikeringkan menggunakan oven. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Menurut Hou dan Kruk (1998), pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering. Lama waktu pengeringan juga menentukan karakteristik produk akhir yang dihasilkan. Jika waktu pengeringan terlalu lama, mi kering menjadi rapuh. Pengeringan harus mampu menurunkan kadar air mi menjadi < 13%. Selanjutnya, dilakukan analisis fisik terhadap mi jagung kering hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm.. Parameter fisik yang diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi, persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan).

a.

Cooking Loss Seperti dapat dilihat pada Gambar 19, cooking loss terendah

diperoleh dari pengeringan dengan suhu 80oC yaitu sebesar 9,99%. Pengeringan dengan suhu 60oC menghasilkan mi kering dengan cooking loss sebesar 10,89%, sedangkan pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan cooking loss sebesar 11,42%. Proses penetrasi panas pada suhu rendah lebih cepat dengan waktu yang lebih lama menyebabkan meningkatnya kekompakan dan ikatan antar partikel,

sehingga nilai cooking loss akan berkurang. Namun ketika suhunya 80oC nilai cooking loss menurun lagi.
12 11.5 Cooking loss (%) 11 10.5 10 9.5 9 60 70 Suhu pengovenan (derajat Celcius) 80

11,42 1,24780 10,85 0,78549

9,99 1,45887

Gambar 19. Perbandingan cooking loss mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan parameter terpenting untuk produkproduk mi basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang relatif kecil. Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen. Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati, 2006).

b.

Waktu Rehidrasi Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk

untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Mi yang direhidrasi selama 2 menit masih agak keras serta terlihat ada spot di bagian tengah. Hal yang sama didapatkan pada rehidrasi selama 3 menit. Waktu rehidrasi selama 4 menit menghasilkan mi yang lunak, lembut, dan

tidak ada spot di bagian tengah mi. Sedangkan waktu rehidrasi selama 5 menit menghasilkan mi yang lembek, dan menjadi patah-patah. Waktu rehidrasi selama 4 menit merupakan waktu rehidrasi mi jagung kering yang paling optimum. Waktu rehidrasi mi ini sudah memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan/kering adalah selama 4 menit. Tabel 21. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum Waktu rehidrasi Sifat mi setelah rehidrasi (menit) 2 Mi masih agak keras serta terlihat ada spot di bagian tengah mi 3 4 Mi lunak, lembut, dan tidak ada spot di bagian tengah mi 5 Mi lembek, dan menjadi patah-patah Pada saat proses perebusan terjadi pengembangan pati karena molekul-molekul air yang masuk. Semakin cepat penetrasi air yang masuk, maka waktu rehidrasi dipersingkat.

c.

Persen Elongasi Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi

yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Elongasi diukur setelah mi kering direbus dalam air panas selama 4 menit. Seperti dapat dilihat pada Gambar 20, persen elongasi tertinggi diperoleh dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 193,14%. Pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan elongasi 166,99%, sedangkan pengeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi kering dengan elongasi 162,63%. Penetrasi panas pada suhu yang rendah berlangsung dalam waktu yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga elongasi semakin meningkat.

200 195 190 185 180 175 170 165 160 155 150 145

193,14 13,50782

Persen elongasi (%)

166,99 19,42538 162,63 31,61255

60

70 Suhu pengovenan (derajat Celcius)

80

Gambar 20. Perbandingan persen elongasi mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda d. Kekerasan dan Kelengketan Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan semakin meningkat. Kelengketan didefinisikan sebagai absolute (-) peak yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi.

Kekerasan&kelengketan (gf)

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 -500 -1000 -1500

3135,18 623,49625 2408,40 957,4573 2408,83 242,8322

60

70

80

-1057,20 153,04740

-977,46 329,70257

-775,18 137,01540

Suhu pengovenan (derajat Celcius) Kekerasan Kelengketan

Gambar 21. Perbandingan kekerasan dan kelengketan mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda Seperti dapat dilihat pada Gambar 21, kekerasan tertinggi diperoleh dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 3135,18 gf. Pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan kekerasan sebesar 2408,40 gf, pegeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi kering dengan kekerasan sebesar 2408,83 gf. Sedangkan nilai kelengketan terendah dihasilkan dari pengeringan dengan suhu 80oC (-775,18 gf), sedangkan pengeringan dengan suhu 60oC dan 70oC menghasilkan mi dengan kelengketan masing-masing sebesar -1057,2 gf dan -977,46 gf. Pengovenan dengan suhu 60oC menghasilkan mi dengan kekerasan tertinggi. Penetrasi panas pada suhu yang rendah berlangsung dalam waktu yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga kekerasan dan kelengketan meningkat.

e.

Kekenyalan Seperti dapat dilihat pada Gambar 22, kekenyalan tertinggi

diperoleh pada mi jagung hasil pengovenan pada suhu 70oC (0,415 gs). Pengovenan pada suhu 60oC dan 80oC menghasilkan mi dengan kekenyalan masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,3245 gs.

Secara umum, pengovenan dengan suhu tinggi menghasilkan kekenyalan yang lebih rendah. Penetrasi panas pada suhu yang tinggi berlangsung dalam waktu yang lebih singkat, menyebabkan penurunan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga elongasi menurun. Penurunan elongasi menyebabkan menurunnya kekenyalan.
0.45 0.4 0.35 Kekenyalan (gs) 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 60 70 Suhu pengovenan (derajat Celcius) 80

0,4151 0,0532079 0,3405 0,0295739 0,3245 0,0655804

Gambar 22. Perbandingan kekenyalan mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda

D. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Nilai 5 diberikan untuk sampel yang sangat disukai dan nilai 1 untuk sampel yang sangat tidak disukai. Penilaian panelis kemudian diolah dengan program SPSS 13.0. Pengujian dilakukan untuk mengetahui perlakuan terbaik dan pengaruhnya terhadap kekerasan dan kelengketan (tekstur perabaan dengan tangan dan tekstur gigit) serta penampakan keseluruhan (overall). Perlakuan yang dilakukan adalah variasi suhu pengovenan yaitu pada suhu 60, 70, dan 80oC.

Tabel 22. Data hasil uji organoleptik mi kering jagung Suhu Rata-rata 70oC 80oC Kekerasan perabaan tangan p > 0,05 3,15 Kekerasan tekstur gigit 3,50 b 3,03 a 3,20 ab 3,24 Kekenyalan perabaan tangan p > 0,05 3,13 a a b Kekenyalan tekstur gigit 3,10 3,10 3,50 3,23 Overall p > 0,05 3,53 Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p 0.05 60oC 1) Kekerasan Setiap makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung keadaan fisik, ukuran, dan bentuknya. Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas, kerenyahan, kelengketan, dan sebagainya. Tekstur merupakan penentu terbesar mutu rasa. Hasil analisis ragam kekerasan dengan perabaan tangan (lampiran 11) menunjukkan bahwa kekerasan ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Nilai rataan kesukaan panelis untuk atribut kekerasan dengan perabaan tangan adalah 3,15 (netral).
Kekerasan tekstur gigit
3.6 3.5 Tingkat kesukaan 3.4 3.3 3.2 3.1 3 2.9 2.8 2.7 F1 F2 F3 3.03 3.2 3.5

Parameter

F1: mi kering pengovenan 60oC F2: mi kering pengovenan 70oC F3: mi kering pengovenan 80oC Gambar 23. Hasil analisis organoleptik terhadap atribut kekerasan tekstur gigit

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kekerasan gigit (lampiran 12) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kekerasan yang nyata antar sampel. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan tekstur gigit berkisar antara 3,03 (netral) sampai 3,53 (netral). Kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 70oC dan 80oC berada pada subset yang sama. Nilai rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 60oC yaitu 3,50 (netral). Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf. Nilai ini merupakan kekerasan yang paling tinggi diantara ketiga sampel. Kekerasan mi kering hasil pengovenan pada suhu 70oC dan 80oC masing-masing sebesar 2408,4 gf dan 2408,83 gf. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang lebih keras.

2) Kekenyalan Selain kekerasan, atribut tekstur lain yang diukur adalah kekenyalan. Kekenyalan merupakan salah satu parameter organoleptik yang sangat penting.
Kekenyalan tekstur gigit
3.6 3.5 Tingkat kesukaan 3.4 3.3 3.2 3.1 3 2.9 F1 F2 F3 3.1 3.1 3.5

F1: mi kering pengovenan 60oC F2: mi kering pengovenan 70oC F3: mi kering pengovenan 80oC Gambar 24. Hasil analisis organoleptik terhadap atribut kekenyalan tekstur gigit

Hasil analisis ragam kekenyalan menggunakan tangan (lampiran 11) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tersebut tidak berbeda nyata. Sedangkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kekenyalan gigit (lampiran 12) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kekenyalan yang nyata antar sampel. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap atribut kekenyalan tekstur gigit berkisar antara 3,1 (netral) sampai 3,5 (netral). Kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC dan 70oC berada pada subset yang sama. Nilai rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 80oC. Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah 0,3245 gs. Nilai ini merupakan kekenyalan yang paling rendah diantara ketiga sampel. Kekenyalan mi kering hasil pengovenan pada suhu 60oC dan 70oC masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,415 gs. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal.

3) Overall Penilaian secara overall meliputi atribut warna dan ukuran mi. Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan konsumen terhadap suatu produk. Penilaian mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Hasil analisis ragam (lampiran 13) menunjukkan bahwa atribut overall ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa secara overall konsumen menyukai semua sampel tersebut. Nilai rataan kesukaan panelis untuk atribut overall adalah 3,53 (netral).

E. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) Pembuatan Mi Jagung Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan pembuatan mi terigu. Pada pembuatan mi jagung dilakukan proses pregelatinisasi untuk membentuk pati tergelatinisasi yang berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran adonan. Penambahan air yang tidak tepat, serta gelatinisasi yang tidak pas menyebabkan mi yang dihasilkan memilki kualitas yang rendah. Oleh karena itu perlu disusun sebuah prosedur tertulis agar proses pembuatan mi berjalan sesuai dengan standar dan tidak melenceng. Solusinya adalah dengan menyusun suatu dokumen yang disebut SOP (Standard Operating Prosedur). SOP merupakan dokumen tingkat kedua dalam struktur dokumentasi setelah manual mutu (quality manual). Menurut Priyadi (1996), prosedur adalah cara tertulis yang ditentukan untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh bagian atau personel, dalam hal ini adalah kegiatan produksi. Penggunaan SOP bertujuan untuk mengatur aliran kegiatan tertentu oleh bagian atau personil. SOP bermanfaat sebagai standarisasi dalam melaksanakan kegiatan produksi, mengurangi kesalahan dan kelalaian serta meningkatkan

akuntabilitas. Berikut SOP (Standard Operating Procedure) pembuatan mi jagung: 1. Timbang bahan-bahan sebagai berikut (untuk 1 kg adonan): a. Tepung jagung 1kg, pisahkan dalam dua wadah (700 gram : 300 gram) b. Air 500 mL c. Garam 10 gram d. Guar gum 10 gram 2. Buatlah larutan garam dengan cara melarutkan 10 gram garam kedalam 500 mL air. 3. Aduk 700 gram tepung jagung dengan 10 gram guar gum menggunakan hand mixer selama 5 menit (guar gum dimasukkan secara bertahap ke dalam tepung jagung). Setelah itu masukkan larutan garam yang telah dibuat tadi secara bertahap, (penuangan air dilakukan sebanyak 5 kali), setelah larutan garam dituangkan aduk adonan menggunakan hand mixer

selama 1 menit, kemudian tuangkan larutan garam dan diaduk kembali begitu seterusnya hingga larutan garam habis. 4. Nyalakan terlebih dahulu steam blancher, buka tutup kran dan tunggu sampai suhu 90oC tercapai. 5. Adonan yang telah diaduk ditaburkan di atas kain saring yang telah diletakkan dalam tray steam blancher secara merata dengan ketebalan 0,5 cm. 6. Setelah itu, masukkan tray ke dalam steam blancher yang telah diatur suhunya sebesar 90oC. Pengukusan dilakukan selama 15 menit. 7. Setelah 15 menit, keluarkan tray dari steam blancher dan angkat kain saring yang berisi adonan. Pindahkan adonan ke wadah baskom. 8. Aduk secara manual tepung yang telah dikukus dengan 300 gram tepung jagung kering. 9. Masukkan ke mesin grinding dengan die berdiameter 0,30 cm, dalam kondisi panas. Pemasukan dilakukan sebanyak 2x agar tepung yang telah dikukus dengan tepung kering tercampur secara merata. Adonan yang keluar dari mesin grinding berbentuk silinder pejal. 10. Segera setelah keluar dari mesin penggilingan, adonan dilewatkan alat pembentuk lembaran (sheeter). Adonan dilewatkan sebanyak 8x, dengan mengubah ketebalan roller secara bertahap, dimulai dari ukuran roller 0,3 cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm. Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting (pelapisan) menggunakan tepung jagung (12 gram untuk 1 kg bahan baku) agar adonan tidak lengket pada roller saat jaraknya direduksi. Proses pelapisan ini dilakukan terhadap kedua sisi lembaran, dengan menaburkan tepung jagung secara bertahap ke permukaan lembaran, kemudian diratakan dengan telapak tangan. Setelah selesai sisi yang pertama, lembaran dibalik kemudian dilakukan proses yang sama pada sisi lembaran yang kedua. Saat proses pengepresan ini, lembaran adonan ditarik ke satu arah sehingga serat-seratnya sejajar.

11. Lembaran adonan yang telah dilewatkan sebanyak 8x dengan ketebalan 0.12 cm selanjutnya dicetak menjadi untaian mi menggunakan roller pencetak mi (slitter). 12. Untaian mi yang sudah jadi disusun di atas tray untuk kemudian dikukus menggunakan steam blancher pada suhu 95oC selama 20 menit. 13. Setelah 20 menit, keluarkan tray dari dalam steam blancher. Mi yang dihasilkan sampai pada tahapan ini adalah mi basah. 14. Untuk membuat mi kering, mi basah tersebut dimasukkan ke dalam oven pengering. 15. Diamkan selama 5 menit, kemudian mi siap untuk dikemas.

Tabel 23. Trouble shooting selama proses pembuatan mi jagung Tahap Penimbangan Pembuatan larutan garam Pengadukan adonan Persiapan alat pengukus Pengukusan adonan Langkah kerja Masalah yang mungkin dihadapi (berdasarkan SOP) No.1 No.2 No.3 Distribusi air dalam adonan tidak merata No.4 dan 5 No.6, 7 dan 8 Setelah tutup steam blancher dibuka, suhu pengukusan yang terlihat pada termometer kurang dari 90oC Solusi Pencampuran air harus dilakukan secara bertahap Suhu pengukusan akan tercapai kembali 3 menit setelah tutup steam blancher ditutup kembali (suplai uap tidak perlu dinaikkan, karena akan menyebabkan kenaikan suhu proses yang akan mempengaruhi kualitas adonan saat sheeting) Proses pengukusan harus tepat baik waktu maupun suhu, yaitu suhu 90oC selama 15 menit Sisir pemotong harus tajam, jarak roller saat slitting harus sama dengan jarak roller terakhir sheeting Pengukusan harus dilakukan pada suhu 95oC selama 20 menit -

Penggilingan Sheeting

No.9 No.10

Slitting

No.11

Adonan lengket pada roller mesin sheeting, adonan terlalu rapuh dan mudah sobek Untaian mi bergerigi, ketebalan mi tidak sama Ketidakseragaman suhu -

Pengukusan mi Pengovenan Pengemasan

No.12 No.13 No.14

Tepung jagung (700 g) Guar Gum (10 g) Mixing 5 menit Larutan garam (10 g garam + 500 mL air) Mixing 5 menit

Adonan (1,207 kg)

Pengukusan I ( 90oC 15 menit)

Adonan pre-gelatinisasi (1,286 (1,472 kg) Tepung jagung (300 g) Grinding 2x

Adonan pre-gelatinisasi + tepung jagung (1,461 kg)

Sheeting 8x

Lembaran mi (1,446 kg)

Slitting

Untaian mi (1,446 kg)

Pengukusan II ( 95oC 20 menit)

Mi basah (1,731 kg)

Oven

Mi kering (0,971 kg)

Gambar 25. Diagram alir kesetimbangan massa proses pembuatan mi jagung kering

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penggilingan kering. Proses pembuatan mi kering dari tepung jagung terdiri atas tahapan pencampuran bahan, pengukusan adonan, penggilingan adonan, pencetakan (sheeting, dan slitting), pengukusan mi, serta pengovenan. Jumlah air sebesar 50% menghasilkan adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran yang dihasilkan cukup plastis namun waktu pembentukan lembaran lama. Bagian adonan yang dikukus sebesar 70%

menghasilkan adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting namun waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran adonan dengan tepung kering belum merata. Pengukusan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit menggunakan steam blancher. Formulasi terpilih terdiri dari tepung jagung pregelatinisasi (70%), tepung jagung kering (30%), air (50%), garam (1%), dan guar gum (1%) (persentase dari berat total tepung jagung). Pencampuran antara tepung jagung pregelatinisasi dan tepung jagung kering dilakukan dengan penggilingan menggunakan grinding berdiameter die 0,30 cm. Sheeting dilakukan sebanyak 8x dengan jarak roller 0,3 cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm. Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting menggunakan 12 gram tepung jagung. Slitting dilakukan saat ketebalan lembaran 0.12 cm. Pengukusan mi dilakukan pada suhu 95oC selama 20 menit menghasilkan mi dengan elongasi tertinggi secara visual dan tingkat kematangan yang cukup. Mi basah ini memiliki nilai cooking loss sebesar 8,21%, elongasi setelah pencelupan 268,34%, elongasi setelah perendaman 219,96%, kekerasan 2418,65 gf, kelengketan -627,42 gf dan kekenyalan sebesar 0,2591 gs. Mi kering diperoleh dari mi basah yang mengalami proses pengeringan menggunakan oven. Pengeringan harus mampu menurunkan kadar air mi sehingga memenuhi SNI 01-2974-1996 tentang mi kering dengan kandungan air harus di bawah 13%. Waktu pengovenan yang optimum untuk suhu 60oC,

70oC, dan 80oC masing-masing adalah 40, 30, dan 25 menit. Waktu rehidrasi mi kering untuk ketiga suhu pengovenan sama yaitu 4 menit. Dari uji orgenoleptik terhadap mi kering yang dioven suhu 60oC, 70oC, dan 80oC menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan dengan perabaan tangan ketiga sampel tidak berbeda nyata. Untuk atribut kekerasan dan kekenyalan tekstur gigit menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antar sampel. Untuk kekerasan tekstur gigit, rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 60oC sedangkan untuk kekenyalan tekstur gigit dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 80oC. Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf (kekerasan paling tinggi), dan nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah 0,3245 gs (kekenyalan paling rendah). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal dan lebih keras. Sedangkan secara overall menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa secara overall konsumen menyukai semua sampel tersebut. Nilai rataan kesukaan panelis untuk atribut overall adalah 3,53 (netral). B. Saran Mi jagung memiliki prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan dalam skala industri. Namun, proses pembuatan mi jagung masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya pada saat pencampuran tepung jagung yang dikukus dengan tepung jagung kering masih dilakukan secara manual disebabkan karena keterbatasan alat. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dibuat desain alat pencampur yang bisa memecah tepung jagung yang dikukus dan mencampurnya dengan tepung jagung kering dalam waktu yang cukup singkat.

DAFTAR PUSTAKA Anonima. 2007. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [12 Juni 2008]. Anonimb. 2007. Expert in Food Product Development. http://www.intota.com/ viewbio.asp?bioID=603568&perID=108041&strQuery=pilot+plant+scale% 2Dup. [7 Mei 2008]. Anonimc. 2005. Whats New in Version 7 (The Highlights). http://www.stat-ease. com. [21 Mei 2008]. Anwar, E., Yusmarlina, D., Rahmat, H., dan Kosasih. 2006. Fosforilasi Pregelatinasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) sebagai Matriks Tablet Lepas Terkendali Teofilin. Majalah Farmasi Indonesia, 17(1), 37 44. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th ed. AOAC International, Gaithersbug, Maryland. Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis. http://www.litbang.deptan.go.id/special/ komoditas/b1pascapanen. [12 Juni 2008]. Badan Pusat Statistik. 2007. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize by Province (2007). http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table4.shtml. [12 Juni 2008]. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-29871992. Syarat Mutu Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-29741996. Syarat Mutu Mi Kering. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Budiyah. 2004. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (CGM) dalam Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Birch, G. G., Brennan, J. G., Priestly, R. J., dan Sodah, A. G. 1999. The Molecular Basis of Starch Technology in New Food Product. Di dalam : Molecular Structure and Function of Food Carbohydrate. Birch,G. G. dan Green, L. F. (eds). Applied Science Publishers Ltd, London. Buckle, K. A., Edward R. A., Fleet G. H, Wooton M. 1998. Ilmu Pangan (Penerjemah: Purnomo H dan Adiono). UI Press, Jakarta.

Darrah, L. L., M. D. McMullen, dan M. S. Zuber. 2003. Breeding, Genetics, and Seed Corn Production. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. Etikawati, E. C. 2008. Pengaruh Perlakuan Passing, Konsentrasi Na2CO3, dan Kadar Air Terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Dibuat Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fadlillah, H. N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., Basel. Fuglie, K. O. dan Hermann M. 2001. Sweetpotato Post-Harvest Research and Development in China. International Potato Center, Bogor. Harper, J. M. 1990. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida. Hariyadi, P. 2000. Produk Ekstrudat, Flakes dan Tepung Kedelai. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota. Hou, G. dan M. Kruk. 1998. Asian Noodle Technology. http://www.secure.aibonline.org /catalog/example/V20Iss12.pdf. [28 Juni 2008].

Intan, A. D. 1997. Mempelajari Proses Produksi Mi Kering dan Mi Instan di PT Asia Inti Selera, Cimanggis-Bogor. Laporan Praktek Lapang. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Janssen, L.P.B.M. 1993. Influence of Process on Raw Material Properties. In Extrusion Cooking. Encyclopaedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. Edited by Macrae, R., Robinson, R.K. and Sadler, M.J. Academic Press Ltd. London. Johnson, L. A. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam: Lorenz, K. J. dan K. Kulp (eds.). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker Inc., New York.

Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kruger, J. E. 1996. Cereal Processing Technology. Owes G (ed.). 2001. Woodhead Publishing Limited, England. Kurniawati, R. D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Laztity, R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Meilgaard, M., G. V. Civille, dan B. T, Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd edition. CRC Press, New York. Oh, N. H., P. A. Seib, dan D. S. Chung. 1995. Noodles III. Effect of processing variables on the quality characteristic of dry noodles. Cereal Chem. 62(6): 437-440. Priyadi, G. 1996. Menerapkan SNI Seri 9000: ISO 9000 (Series) Produk Manufakturing. Buni Aksara, Jakarta. Rianto, B. F. 2006. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Basah Berbahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soraya, A. 2006. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Jagung Basah Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swinkels, J. J. M. 1995. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beynum V. dan J. A. Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel. Suprapto dan H. A. R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung (edisi revisi). Cetakan ke-14. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susilawati, I. 2007. Mutu Fisik dan Oganoleptik Mi Basah Jagung dengan Teknik Ekstrusi. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tanikawa, E. T. dan A. Motohiro. 1995. Marine Products in Japan. Kosersha Koseikaku Co. Ltd., Tokyo. Waigh, T.A., Kato, K.L., Donald, A.M., Gidley, M.J., Clarke, C.J., and Riekel, C. 2000. Side-Chain Liquid Crystalline Model for Starch. Starch 52, 450460. Watson, S. A. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of the Corn Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Winarno, F. G. 2004. Teknologi Pengolahan Jagung. Di dalam: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ed.). Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Wirakartakusumah, M. A. 1991. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison. Wirakartakusumah, M. A., Subarna, M. Arpah, D. Syah, dan S. I. Budiawati. 1992. Peralatan dan unit proses industri pangan. DEPDIKBUD, Dirjen Dikti, PAU, IPB, Bogor.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Peralatan penepungan jagung No. Peralatan Spesifikasi 1. Multi mill Manufactured by Gansms Limited Bombay 55 Engineers to the chemical and pharmaceutical industry RPM 750 3000 3 H. P 3 440 V SR. NO. 1452 Ayakan 20 mesh Kapasitas : 300 kg/jam

Gambar

Lampiran 1. Lanjutan No. Peralatan 2. Disc mill

Spesifikasi Ayakan: 60 mesh Kapasitas : 6.25 kg/jam Spesifikasi motor listrik: TECO 3 Phase Induction Code AEE AO 4 Pole, INS 1 1425 RPM BS 4999 & 5000 Cont. Rating 198 BRG No. 62066303 SER No. IF 3074 50 Hz, 220 Volt, 8077 A TECO ELEC & MACH PTE, LTD Made in Singapore

Gambar

Lampiran 1. Lanjutan No. Peralatan 3. Vibrating Screen

Spesifikasi Kotobuki Vibrating Screen Type : TM 70 25 Date : Nov. 1981 MFG No. 8111922 TOKUJU KOSAKUSHO CO. LTD TOKYO, JAPAN

Gambar

Lampiran 1. Lanjutan No. Peralatan 4. Tray dryer

Spesifikasi PILOT PLANT Engineering and Equipment GmbH 6072 Dreieich West Germany H. ORTH GmbH Masch. Bau u. Verfahrenstechnik, D-6700 Ludwigshafen Baujahr : 1981 Fabr. Nr. : 2193 / 1 Type : ITHU Nenntemperatur : 1200C Frischluftwechsel/min: 4.94 m3 Nutzraum : 2.64 m3 Gesamtdampfraum : 2.88 m3 Stromart : 3 PH ~ Spannung : 220 / 380 V Ukuran : 179 x 205 x 155 cm Jumlah tray : 20 buah (75 x 98 cm) Sistem pemanas: berasal dari uap panas yang disuplai dari boiler Spesifikasi boiler: Model no: VS 300/80 Power input: 80 KW Electrical supply: 122 Amps/PH 380 V 3 phase Test pressure: 1125 kPa Design pressure: 750 kPa

Gambar

Lampiran 2. Peralatan produksi mi jagung No. Peralatan Spesifikasi 1. Steam Blancher Dimensi:130 x 70 cm Ukuran tray: 60 x 60 cm Sistem pemanasan: berasal dari uap panas yang disuplai dari boiler Spesifikasi boiler: Model no: VS 300/80 Power input: 80 KW Electrical supply: 122 Amps/PH 380 V 3 phase Test pressure: 1125 kPa Design pressure: 750 kPa 2. Grinder Alexanderwerk Masch. Typ : U.G. II Masch. Nr : 23515 Mot. Nr : 444170 B 35 3,2/4,3 A 1,3/1,8 kW 148/299 U/min 50 P.s. 116 rpm Dimensi screw: d = 3,5 cm

Gambar

Lampiran 2. Lanjutan No. Peralatan 3. Mesin mi

Spesifikasi 124 rpm Konveyor berjalan ukuran: 100 x 30 cm Kapasitas : 1-1.5 kg Spesifikasi motor listrik: SINGLE PHASE AC MOTOR Type JY2B-4 HP 1420 RPM CONT CLASS E 110/220 V 11/5,5 A 50 Hz No. 040113 Made in China Sama dengan spesifikasi tray dryer pada lampiran1

Gambar

4.

Tray dryer

Lampiran 3. Data elongasi mi jagung secara manual Waktu steam (menit) 10 15 20 30 Elongasi mi secara visual Ulangan I (%) Ulangan II (%) 1 2 3 1 2 3 137,0 136,0 137,0 135,0 139,0 136,0 148,0 146,0 147,0 152,0 148,0 147,0 154,0 153,0 153,0 156,0 149,0 156,0 148,0 148,0 144,0 152,0 146,0 146,0 Rata-rata (%) 136,7 148,0 153,5 147,3

Lampiran 4. Data kurva standar derajat gelatinisasi Derajat gelatinisasi (%) 0 20 40 60 80 100 a = 2,3810.10-4 b = 5,2857.10-4 r = 0,9812 y = 2,3810.10-4 + 5,2857.10-4 x y : absorbansi x : derajat gelatinisasi Absorbansi 0,004 0,011 0,018 0,026 0,045 0,056

Lampiran 5. Data derajat gelatinisasi adonan Perlakuan Tanpa penggilingan Grinder die 0,60 cm Grinder die 0,30 cm Pengukusan mi (die 0,60 cm) Pengukusan mi (die 0,30 cm) Pelewatan 0 1 2 1 2 Derajat Gelatinisasi (%) U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 33,60 35,50 33,60 33,60 39,28 39,28 33,60 37,39 39,28 33,60 37,39 41,17 39,28 37,39 41,17 39,28 41,17 39,28 41,17 37,39 86,58 88,47 88,47 86,58 88,47 86,58 86,58 90,36 Rata-rata (%) 34,08 37,39 37,86 39,28 39,75 87,53 88,00

Lampiran 6. Data cooking loss mi basah jagung Diameter die (cm) 0,60 0,30 U1.1 13,89 7,91 Cooking loss (%) U1.2 U2.1 12,15 12,27 7,42 8,48 U2.2 13,31 9,02 Rata-rata (%) 12,91 8,21 SD 0,83815 0,69356

Lampiran 7. Data elongasi, kekerasan, kelengketan dan kekenyalan mi basah jagung Daimeter Ulangan Elongasi (%) Kekerasan Kelengketan Kekenyalan die (cm) (gf) (gf) (gs) Pencelupan Perendaman U1.1 256,56 189,36 2638,7 -1263,57 0,4789 U1.2 243,35 202,38 2219,5 -1165,58 0,5252 0,60 U2.1 207,23 231,38 2585,4 -1349,41 0,5219 U2.2 222,62 207,36 2067,3 -1157,45 0,5599 Rata-rata 232,44 207,62 2377,73 -1234,00 0,5215 SD 21,85390 17,56408 278,4694 90,80208 0,331822 U1.1 252,13 205,26 2419,2 -660,56 0,2730 U1.2 231,11 207,75 2345,3 -627,89 0,2677 0,30 U2.1 302,32 232,19 2632,6 -687,61 0,2612 U2.2 287,78 234,63 2277,5 -533,61 0,2343 Rata-rata 268,34 219,96 2418,65 -627,42 0,2591 SD 32,56476 15,59867 153,9247 67,13576 0,0171912 Lampiran 8. Data kadar air mi jagung setelah pengovenan Suhu pengovenan Waktu (menit) Ulangan U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Kadar air (%) 11,77 11,91 15,75 15,61 13,76 10,39 10,65 12,29 12,03 11,34 10,49 9,95 9,33 9,81 9,90 10,30 10,45 12,58 12,62

35

60oC

40

45

30

70oC

35

40

25

80oC

30

35

Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata

11,49 9,01 9,05 10,66 10,57 9,82 8,34 8,54 8,02 8,02 8,23 10,57 10,28 11,03 11,16 10,76 8,09 8,10 8,98 8,98 8,54 7,92 7,79 8,48 8,50 8,17

Lampiran 9. Data cooking loss mi kering jagung Suhu pengovenan 60oC 70oC 80oC U1.1 11,66 11,54 8,08 Cooking loss (%) U1.2 U2.1 9,78 11,07 10,23 13,11 9,84 11,55 U2.2 10,89 10,80 10,52 Rata-rata (%) 10,85 11,42 9,99 SD 0,78549 1,24780 1,45887

Lampiran 10. Data elongasi, kekerasan, kelengketan dan kekenyalan mi kering jagung Suhu Ulangan Elongasi Kekerasan Kelengketan Kekenyalan pengovenan (%) (gf) (gf) (gs) U1.1 203,16 2653,3 -1011,13 0,3811 U1.2 195,38 2540,2 -863,44 0,3399 60oC U2.1 200,56 3662,6 -1207,51 0,3297 U2.2 173,47 3684,6 -1146,71 0,3112 Rata-rata 193,14 3135,18 -1057,20 0,3405 SD 13,50782 623,49625 153,04740 0,0295739 U1.1 187,45 1688,3 -825,05 0,4887 U1.2 140,61 1477,8 -590,47 0,3996 70oC U2.1 170,18 3193,7 -1308,97 0,4099 U2.2 169,70 3273,8 -1185,36 0,3621 Rata-rata 166,99 2408,40 -977,46 0,4151 SD 19,42538 957,4573 329,70257 0,0532079 U1.1 140,61 2406,5 -976,35 0,4057 U1.2 207,75 2177,7 -747,37 0,3432 80oC U2.1 161,33 2306,2 -683,58 0,2964 U2.2 140,82 2744,9 -693,41 0,2526 Rata-rata 162,63 2408,83 -775,18 0,3245 SD 31,61255 242,8322 137,01540 0,0655804

Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perbedaan Suhu Pengovenan Mi Jagung terhadap Tekstur dengan Perabaan Tangan a. Kekerasan

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 918.822(a) 19.156 3.489 35.178 df 32 29 2 58 Mean Square 28.713 .661 1.744 .607 F 47.341 1.089 2.876 Sig. .000 .382 .064

954.000 90 a R Squared = .963 (Adjusted R Squared = .943)

b. Kekenyalan

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekenyalan Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 917.133(a) 33.067 .467 26.867 df 32 29 2 58 Mean Square 28.660 1.140 .233 .463 F 61.872 2.462 .504 Sig. .000 .002 .607

944.000 90 a R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .956)

Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perbedaan Suhu Pengovenan Mi Jagung terhadap Tekstur Gigit a. Kekerasan

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 977.356(a) 26.622 3.356 22.644 1000.000 df 32 29 2 58 90 Mean Square 30.542 .918 1.678 .390 F 78.229 2.351 4.297 Sig. .000 .003 .018

a R Squared = .977 (Adjusted R Squared = .965)

Uji Lanjut Duncan


Kekerasan Duncan
a,b

Subset Sampel B C A Sig. N 30 30 30 1 3.03 3.20 3.20 3.50 2

.306 .068 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .390. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.

Lampiran 12. Lanjutan b. Kekenyalan

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekenyalan Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 984.200(a) 40.100 3.200 28.800 df 32 29 2 58 Mean Square 30.756 1.383 1.600 .497 F 61.940 2.785 3.222 Sig. .000 .000 .047

1013.000 90 a R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .956)

Uji Lanjut Duncan


Kekenyalan Duncan
a,b

Subset Sampel A B C Sig. N 30 30 30 1 3.10 3.10 3.50 2

1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .497. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.

Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perbedaan Suhu Pengovenan Mi Jagung terhadap Penerimaan Overall

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Overall Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 1136.733(a) 13.067 .067 31.267 df 32 29 2 58 Mean Square 35.523 .451 .033 .539 F 65.895 .836 .062 Sig. .000 .696 .940

1168.000 90 a R Squared = .973 (Adjusted R Squared = .958)

Lampiran 14. Kuisioner Uji Organoleptik Evaluasi Sensori Mi Jagung Nama Tanggal : :

Tingkat Penilaian: 5. Sangat suka 4. Suka 3. Netral 2. Tidak suka 1. Sangat tidak suka a. Tekstur menggunakan tangan 1. Kekerasan dan kekenyalan Instruksi: Ambil 1 untai mi, kemudian tekan dengan jari tangan sampai gepeng. Berikan penilaian terhadap kekerasan dan kekenyalan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa membandingkan dengan sampel yang lain). Kode Sampel Kekerasan Kekenyalan b. Tekstur gigit 1. Kekerasan Instruksi: Ambil 1 untai mi, kemudian gigit sampai putus. Berikan penilaian terhadap kekerasan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa membandingkan dengan sampel yang lain). Kode Sampel Kekerasan 2. Kekenyalan Instruksi: Ambil 1 untai mi, kemudian dikunyah. Berikan penilaian terhadap kekenyalan/ kemembalan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa membandingkan dengan sampel yang lain). Kode Sampel Kekenyalan c. Overall (penampakan keseluruhan: warna, ukuran diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa membandingkan dengan sampel yang lain) Kode Sampel Penilaian

Lampiran 15. Hasil Pengujian Hedonik Rating Mi Jagung No Nama Tekstur tangan Kekerasan 618 471 218 4 3 3 4 3 2 4 4 4 4 3 3 3 4 3 3 2 3 4 3 2 3 2 4 4 4 2 4 2 3 3 2 4 4 3 2 2 2 4 4 4 4 4 2 4 2 2 3 3 3 2 2 3 4 4 4 3 4 3 4 4 2 3 3 3 4 Kekenyalan 618 471 218 3 3 4 3 3 2 4 4 5 4 3 3 4 4 3 3 2 3 3 3 2 2 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 3 2 2 4 3 3 2 4 2 4 2 3 2 3 3 2 2 2 3 2 2 3 2 3 4 2 4 4 3 3 4 Tekstur gigit Kekerasan 618 471 218 3 4 4 4 4 2 4 2 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 4 4 2 3 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 2 4 3 3 3 2 2 4 4 3 3 2 3 4 3 3 4 3 3 3 2 3 2 3 4 Kekenyalan 618 471 218 3 4 4 2 4 4 4 2 4 4 3 3 3 4 4 3 3 4 2 2 3 2 2 3 2 3 2 4 4 5 3 3 4 3 2 2 3 4 4 3 3 2 4 3 3 2 3 4 4 3 3 3 4 4 3 2 3 4 3 5 2 3 4 2 2 4 618 3 3 4 4 4 3 3 4 4 4 3 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 3 Overall 471 5 4 2 3 3 2 4 4 4 4 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 2 3 218 4 4 5 3 4 4 2 4 2 4 4 4 4 4 4 3 2 3 3 4 4 4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Hamigia Ririn Agnani Sri Rini Anto Eka F Stella Anggun Dyah A Ary I Silvana Endro Ami Dedeh Rian Iqbal Sukma Arif M Qia Chie2 Catur P Citra

23 24 25 26 27 28 29 30

Sabrina Mike Novia Jamal Inke Indi Yoga Akhsay Jumlah Rataan

4 4 2 3 2 4 4 4 103 3,43

4 3 2 4 3 3 4 4 90 3,0

2 2 2 3 3 2 4 3 91 3,03

3 3 2 3 2 4 4 4 91 3,03

4 2 3 4 3 3 4 5 95 3,16

3 3 2 4 2 2 4 4 97 3,23

4 4 4 4 3 4 4 4 105 3,5

4 2 4 4 2 3 5 4 91 3,03

4 3 4 4 2 2 4 4 96 3,2

3 3 2 3 4 4 4 5 93 3,1

3 4 2 4 2 3 5 4 93 3,1

3 4 2 4 2 2 4 5 104 3,47

4 4 4 4 2 4 4 4 107 3,57

3 4 4 5 4 3 4 5 105 3,5

3 3 4 4 3 3 4 3 106 3,53

Keterangan Kode : 618: Pengovenan 60oC 471: Pengovenan 70oC 218: Pengovenan 80o

Lampiran 16. Gambar Mi Basah Jagung

Lampiran 17. Gambar Mi Kering Jagung

(a) Mi basah die d = 0,30 cm (b) Mi basah die d = 0,60 cm

Anda mungkin juga menyukai