Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana Islam, oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai
hukum yang tidak manusiawi, kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Akibatnya terjadi perdebatan yang
panjang lebar mengenai hal tersebut. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum
pidana Islam yang digariskan oleh Allah dan RasulNya. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai hal tersebut, yaitu tentang hokum mati, rajam dan
tazir. Selain itu akan disinggung pula mengenai bom bunuh diri sebagai
refleksi jihad.

B. Tujuan
Makalah dengan judul Pandangan Islam Tentang Reaktualisasi Fiqh
Jinayah Kontemporer ini disusun untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
hukum pidana dalam Islam, khususnya tentang jinayah kontemporer. Seperti
bom bunuh diri, hukum mati dan sebagainya.

C. Ruang Lingkup
1. Pandangan hukum islam tentang hukum mati dalam perspektif ham
2. Pandangan hukum islam tentang bom bunuh diri sebagai refleksi jihad
3. Pandangan hukum islam tentang reaktualisasi had/rajam
4. Pandangan hukum islam tentang reaktualisasi tazir







2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Hukum Islam Tentang Hukum Mati Dalam Perspektif HAM
Hukum Internasional HAM (HIHAM) maupun hukum Islam sama-sama
belum menghapuskan hukuman mati bagi tindak kriminal seperti kejahatan
pembunuhan atau kejahatan yang oleh komite HAM tidak dianggap serius
lainnya. Debat panjang dan serius kemudian muncul berkaitan dengan frasa
kejahatan yang paling berat/kejahatan serius.
Syekh Wahbah az-Zuhaili membagi hukuman dalam Islam menjadi dua
bentuk, yaitu: hukuman akhirat ( ) dan hukuman dunia ( )
Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang
benar (haq) dan adil (adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya.
Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan
tazir. Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh
Syari dengan nash-nash yang jelas. Hukuman mati merupakan salah satu
alternative hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudud.
Namun demikian hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelaku hudud,
yakni pezina muhson, pembunuhan sengaja, hirobah, dan murtad.
1. Pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni
dilempari batu sampai mati.
2. Pelaku pembunuhan berencana (disengaja), sebagaimana teks al-
Quran menyatakan:
}4`4 +^4C 44g`uN`
-4g-E4-G` +74.-4OE
OE4E_E_ -V)-E= OgOg
=U_EN4 +.- gO^OU4N
+O4LE4 O4N4 +O
-EO4N V1g4N ^_@
Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
3

murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang
besar baginya. (Surat An Nissa ayat 93)
Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas
(dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya,
maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus
membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta
tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.
Menurut Hanabilah dan pendapat yang sohih dari kelompok
hanabilah, qishas pada jiwa harus dilaksanakan dengan menggunakan
pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan
pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimanapun cara
atau bentuk perbuatannya. Menurut Malikiyah dan Syafiiyyah, orang
yang melakukan pembunuhan harus diqishas atau dibunuh dengan
alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan
cara yang digunakannya.
3. Al-hirabah adalah perampokan atau pengacau keamanan. Mengenai
definisi hirabah ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya
namun pada intinya sama. Para ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan
Wahbah, berbeda pendapat dalam mendefinisikan hirabah. Definisi
hirabah menurut Hanafi adalah ke luar untuk mengambil harta
dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang
lewat di jalan atau mengambil harta, atau membunuh orang.
Hukuman bagi jarimah ini ditegaskan dalam al-Quran sebagai
berikut:
E^^) W-744OE_ 4g~-.-
4pO+jOO47 -.- N.Oc4O4
4pOEO4C4 O) ^O-
-1=O p W-EOU+-NC u
W-EO+:^U=NC u E7-C>
)_CguC _UN_O4 ;}g)`
4

-U= u W-OE4NC ;g`
^O- _ CgO _ /OuO=
O) 4Ou^O- W _4 O)
jE4O=E- R-EO4N v1g4N
^@@
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar.(Surat Al Maidah ayat 33)

Dua hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku hirabah yaitu:
a. Hukuman mati biasa. Hukuman ini dijatuhkan kepada perampok
(pengganggu keamanan) apabila melakukan pembunuhan.hukum
ini merupakan hukum had bukan merupakan hukum qishas. Oeh
karena itu hukuman ini tidak boleh dimaafkan.
b. Hukuman mati disalib. Hukuman ini dijatuhkan apabila perampok
melakukan pembunuhan dan merampas harta benda. Jadi,
hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian
bersama-sama, dan pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk
memudahkan pencurian harta.

4. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadis
Nabi:
a. Dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Barang
siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (H.R. Bukhari)
b. Dari Aisyah RA.telah bersabda Rasulullah SAW: Tidak halal
darah seorang muslim kecuali orang yang membunuh jiwa
sehingga karenanya ia harus dibunuh, atau orang yang berzina
5

dan ia muhshan, atau orang yang murtad setelah tadinya ia
Islam. (H.R. Ahmad)
Dua hadits diatas menjelaskan bahwa murtad termasuk salah satu
jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
Pendapat Abu Hanifah bahwa pidana mati dilaksanakan dengan
jalan memenggal leher dengan pedang, atau senjata
semacamnya.
1


B. Pandangan Hukum Islam Tentang Bom Bunuh Diri Sebagai Refleksi
Jihad
Mengenai Bom Bunuh Diri ini ulama mempunyai perbedaan pendapat :
1. Sebagian ulama menyatakan aksi yang dinamakan dengan: Bom Bunuh Diri
sebagai amaliah istisyhadiah, maka pelakunya jika ikhlas dalam berbuat dan
melakukannya sesuai tuntunan syari, insya Allah ia syahid dijalan Allah.
Adanya aksi istisyhadiah didasari fatwa urgensi wujudnya aksi tersebut
dalam kancah jihad alami demi membebaskan diri dan negeri kaum muslimin
dari penjajahan musuh-musuh mereka, baik musuh tersebut ada dalam front
peperangan, maupun mereka berada dinegerinya, atau mereka berbenteng
dengan awam kaum muslimin yang sudah tidak lagi berpegang dengan
syariat Islam kecuali sangat sedikit, jika musuh tersebut tidak bisa ditarget
kecuali dengan jalan istyshadiah.
Sepanjang sejarah islam, kaum muslimin tidak pernah menemui keadaan
seburuk keadaan mereka dimasa globalisasi ini. Maka dari itu, jika dicari dari
perbuatan salafussholih yang melakukan aksi istisyhadiah, niscaya tidak
didapati. Apalagi penggunaan bom sebagai senjata perang baru terjadi pada
zaman ini. Namun dari perbuatan sahabat, tabiin dan yang berikutnya, telah
didapati adanya mujahidin yang melakukan perbuatan yang jelas akan
menyebabkan kematian. Seperti perbuatan baro bin malik.ra yang

1
Imam Yahya, Hukuman Mati Perspektif Syari'ah, 2009 from : http://imamyahya.blogspot.com/
6

melontarkan diri ketengah-tengah barisan musuh didalam benteng pertahanan
musuh yang saat itu telah dikepung kaum muslimin berhari-hari, guna untuk
membuka kunci gerbang benteng tersebut. Dan perbuatan sekian banyaknya
salafussholih kita yang menerobos seorang diri dalam barisan musuh yang
sedang bergerombol. Tentu mereka saat merobek barisan dan benteng musuh
dengan menggunakan senjata tradisional tidak akan mati duluan, hingga
kesannya tidak membunuh diri sendiri, tapi ia dibunuh lawannya.
Sedang yang menggunakan bom, mau tidak mau dialah orang yang
pertama mati dengan bom tersebut jika diledakkan, namun dengan
kematianya akan wujud maslahat target yang dikehendaki, yaitu hancurnya
musuh dan gentarnya lawan.
2. Sedangkan sebagian ulama yang lain, mereka berpendapat bahwa aksi
tersebut adalah merupakan aksi bunuh diri yang justru merugikan dan
membahayakan umat. Sebab pelakunya jelas mati terlebih dahulu dengan
senjatanya sendiri dan belum tentu mengenai target, lagipun ia menimbulkan
teror dikalangan masyarakat aman (jika aksi tersebut dilakukan didalam
kota), apalagi jika aksi tersebut dilakukan dinegeri berpenduduk mayoritas
muslimin.
Tidak sedikit aktifis Islam saat ini cenderung mengikuti pendapat
pertama; yaitu aksi tersebut adalah istisyhadiah bukan bunuh diri dan
berpahala besar, namun dengan syarat keikhlasan niat dan kesesuaian aksi
tersebut dengan ikatan-ikatan hukum syari, yang diantaranya:
a) Pelakunya harus mahir dan berpengetahuan cukup akan teori-teorinya.
b) Tidak dilakukan semena-mena, namun harus terjadi dengan perhitungan
detail, hingga tepat sasaran yang ditarget secara rasional.
c) Tidak dilakukan untuk selain tujuan jihad.
d) Dilakukan dalam kondisi jihad dan didalam medan jihad syari.
e) Tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian yang lebih besar dibanding
jika aksi tersebut tidak dilakukan.
7

f) Dan beberapa syarat yang lain.
2




C. Pandangan Hukum Islam Tentang Reaktualisasi Had/Rajam
Rajam merupakan sanksi pidana atas suatu perbuatan tertentu, yaitu zina
yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah (zina muhsan). Hal ini
didasarkan pada hadits Nabi SAW :
Kalian ambillah dariku, terimalah ketentuanku. Sesungguhnya kini Allah
telah menetapkan keputusan bagi mereka (yang berzina) hukumannya adalah
dicambuk seratus kali cambukan serta diasingkan satu tahun. Sedangkan bagi
pezina yang telah menikah, dicambuk seratus kali dan dirajam sampai mati.
(HR. Bukhari)
Bagi pezina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) tidak dijatuhi
hukuman rajam, melainkan dengan hukuman jilid (cambuk) sebanyak 100
kali.
3

Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum
dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Dalilnya
adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu :
Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda
Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal :
orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan
keluar dari jamaah.

Dalam syariat Islam, pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada
ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau
pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai

2
Globalkhilafah, 2011, Bom Bunuh Diri Jihad atau Sesat from :
http://globalkhilafah.blogspot.com
3
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta : Gema Insani Press, 2003) h. 91-92
8

pula dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam. Allah telah menetapkan
bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua
cara :
1. Ikrar atau pengakuan dari pelaku
Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk
yang paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di
muka hakim bahwa dirinya telah berzina, maka tidak perlu adanya
saksi-saksi. Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus
perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung.
Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita Ghamidiyah. Teknis
pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan
mengucapkannya sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh
Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu
Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
kepada pelaku zina. Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan
bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali
diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-
Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali
bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di empat tempat yang
berbeda.
2. Adanya Saksi yang Bersumpah di Depan Mahkamah
Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan
berdasarkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina
itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak
kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga
dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa
membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila
tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.
Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :
9

a. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan
terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan`.
b. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka
yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah
apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang
yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah. Mereka adalah
Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.
c. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum
baligh, maka persaksian itu tidak syah.
d. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.
e. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.
f. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa
masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang
berzina.
g. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar,
bukan dengan bahasa kiasan.
h. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu
majelis dna dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian,
maka tidak syah persksian mereka.
i. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita,
maka persaksian mereka tidak syah.
4


D. Pandangan Hukum Islam Tentang Reaktualisasi Tazir
Tazir merupakan suatu istilah untuk hukuman ata jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara. Secara bahasa ta'zir merupakan
mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah
kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga
berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir,

4
Ahmad Sarwat, Hukum Rajam from : http://blog.re.or.id/

10

karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak
kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara
para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al
Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah
dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum
dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga
disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak
diancam dengan hukuman had atau kaffarat.
Bisa dikatakan pula, bahwa ta'zir adalah suatu jarimah yang diancam
dengan hukuman ta'zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman
ta'zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik
perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak
ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah
dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan
demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-
bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
Hukuman hukuman ta'zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman
paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang
sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman
ta'zir antara lain:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk
memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan.
Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa
foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu
kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum
menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa
terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata,
11

pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut
sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman
mati.
2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman
jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama'
Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman
ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat
ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat
bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan
menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan madzhab
Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat
Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan
pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada
ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan
syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan
jarimah hudud. Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di
antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat
ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu
perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan
terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi
hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima
mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali.
Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut:
"Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam
salah satu hukuman hudud".
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian
ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman
kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari,
sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah
12

menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.
Sementara ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa
berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa
hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu,
melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan
baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat
yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah
jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman
kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik
pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang
berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah
jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan
(hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan
hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak
dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si
terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan
minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan
sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha'
tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan.
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat
akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya
dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan
hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah
13

terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan
menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu
Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya.
Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa
jahiliyah." Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam
dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa
hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana
hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang
disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah
melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut
serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin
Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima
puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah: "Dan
terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa
sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri
mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari
Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka
agar mereka bertaubat."
7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai
hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih
tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali
harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan
perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa
yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua
kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan
terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.
5



5
Ari Wibowo, Memahami Posisi Tazir Dalam Fiqh Jinayat from : http://zanikhan.multiply.com/
14








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada penjelasan pada bab sebelumnya, maka dapat
diisimpulkan bahwa :
1. Hukuman mati masih berlaku pada negara-negara yang menganut
hukum pidana Islam, akan tetapi tetap memberikan batasan atau
bahkan ketentuan-ketentuan yang sangat teliti dan serius dalam
pemberlakuan hukumnya.
2. Pada bom bunuh diri, jihad dijadikan alasan untuk melakukannya.
Mereka tidak menyadari bahwa itu adalah sama dengan membunuh
diri sendiri, sedangkan bunuh diri itu sangat dilarang dalam Islam.
3. Rajam merupakan sanksi pidana atas suatu perbuatan tertentu, yaitu
zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah (zina muhsan).
4. ta'zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir
(selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta'zir, baik
yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan
itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah
ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk
menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa).
15


B. Saran
Saran penulis terhadap pembaca adalah agar makalah ini dapat dijadikan
sebagai rujukan dalam memahami dan mengerti lebih banyak batasan-batasan
mengenai reaktualisasi fiqh kontemporer dalam hal Hukuman Mati, Bom
Bunuh Diri, Had/Rajam dan Tazir. Dan pemakalah juga menerima kritikan
dan saran dari pembaca dengan senang hati demi kesempurnaan makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai