Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN Kolelitiasis merupakan penyakit yang sering ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang.

Dengan adanya perubahan keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, maka prevalensi penyakit batu empedu di negara-negara berkembang cenderung meningkat.1 Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat tiap tahunnya diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsi di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain.1 Sebagian besar pasien dengan batu kandung empedu tidak mengalami gejala (asimptomatis). Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).2 Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Sedangkan kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut. Yang bermanifestasi berupa nyeri kolik bilier.

BAB II
1

ANATOMI & FISIOLOGI SISTEM EMPEDU II.1 ANATOMI SISTEM EMPEDU Kandung empedu merupakan kantong berbentuk bulat lonjong seperti buah pir dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 40-50 ml empedu.2 Kandung empedu terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu terdiri atas fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung tulang rawan costa 9 kanan. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu. Kandung empedu berdrainase melalui infundibulum, yang sering membentuk kantong berlebih yang dinamai Hartmanns pouch/ kantong Hartmann. Baik kolum kandung empedu dan duktus sistikus memiliki lipatanlipatan mukosa dengan arah spiral, yang disebut valves of Heister/ katup Heister, yang mengatur pasase cairan empedu ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.4

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum inter lobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Duktus hepatikus kiri (2 cm) dibentuk dari kanalikuli segemen II, III, dan IV dari hepar.2 Duktus hepatikus kanan
2

dibentuk oleh segmen posterior-kanan (segmen VI, VII) dan segmen anterior-kanan (segmen V , VIII).2 Kemudian keduanya membentuk duktus hepatikus komunis yang panjangnya sangat bervariasi bergantung pada letak muara duktus sistikus. Pada saluran ini sebelum mencapai duodenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus (1-4 cm) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Variasi pada duktus sistikus dan titik penyatuannya dengan duktus hepatikus komunis penting secara bedah. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus (5-9 cm). Duktus koledokus dibagi menjadi 3 segmen: supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatikus.2 Duktus koledokus akan berjalan terus ke bawah (ke muara) ke papilla Vateri duodenum, ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Dalam keadaan normal, duktus koledokus akan bergabung dengan duktus pankreatikus Wirsungi, baru mengeluarkan isinya ke duodenum. Tapi ada juga keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya.

Secara histologi, saluran empedu dilapisi epitel toraks dengan bentuk seperti kriptus, yang diselingi sel mukus. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan kolum kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus. Sel otot polos yang jarang akan ditemukan di dalam dinding fibrosa duktus utama. Dinding kandung empedu mempunyai 4 lapisan. Daerah fundus, korpus, dan indundibulum ditutupi oleh peritoneum viseralis. Perimuskularis di bawahnya merupakan lapisan jaringan ikat dengan penonjolan yang bervariasi dan kaya pembuluh darah serta pembuluh limfe. Tunika muskularis mengandung serabut otot
3

longitudinalis. Tunika mukosa dilapisi epitel toraks tinggi yang bila terjadi peradangan, bisa berinvaginasi secara dalam untuk membentuk sinus Rokitansky-Aschoff.

Kandung empedu dipendarahi oleh arteri sistika, cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi tetapi hampir selalu di temukan di segitiga hepatosistika atau disebut juga triangle of Calot, yaitu area yang di batasi oleh duktus sistikus (inferior), duktus hepatikus komunis (medial) dan batas hepar (superior). Ketika arteri sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Vena sistika mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Duktus-duktus traktus biliaris ekstrahepatik bagian distal dipendarahi oleh arteri di gastroduodenal, retroduodenal, dan arteri pankreotikoduodenalis superior-posterior; bagian proksimal dipendarahi oleh arteri hepatika kanan dan arteri sistika. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodus limpatikus sistikus yang terletak dekat kolum kandung empedu. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodus limpatikus
4

hepatikum sepanjang perjalanan arteri hepatika menuju ke nodus limpatikus koliakus dan kemudian duktus torasikus. Persarafan otonom duktus empedu terdiri dari serabut parasimpatis (vagus) dan simpatis (torasika) melewati plexus celiac. Persarafan vagus muncul dari vagus anterior serta penting untuk mempertahankan tonus dan kontraktilitas kandung empedu. Serabut simpatis aferen memperantarai nyeri kolik biliaris. Sebagian produksi empedu dipengaruhi oleh kendali otonom. II.2 FISIOLOGI SISTEM EMPEDU Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 5001000 ml/hari.1 Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 40-50 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik.4 Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.2 Kandung empedu mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa, sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Menurut Guyton &Hall, empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:3

Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak serta

vitamin larut lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang

penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel - sel hati. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
5

dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Pengosongan kandung empedu sebanyak 50-70% dari isinya dalam 30-40 menit. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu : Hormonal : Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu. Neurogen : o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase sefalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan. Tabel 1. Komposisi Cairan Empedu1 Na K Cl HCO3 Ca Mg Bilirubin Protein Asam Empedu Hepatik 160.0 5 90 45 4 2 1.5 150 50
6

Kandung Empedu 270.0 10 15 10 25 15 150

Fosfolipid Kolesterol Total solids pH

8 40 4 18 125 7.8 7.2 *seluruh satuan dalam mEq/L, kecuali pH

Garam Empedu Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam

yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat. Fungsi garam empedu adalah : o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut. o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum sebagian besar (80 %) akan direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar 20% empedu intestinal tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan 50% akan direabsorpsi kembali. Bilirubin Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

BAB III KOLELITIASIS III.1 DEFINISI Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada keduaduanya. III.2 EPIDEMIOLOGI Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat tiap tahunnya diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsi di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Angka kejadian di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan
8

sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi. Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut 5 Fs : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun). Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : 1. Jenis Kelamin Wanita mempunyai resiko 4 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu. 2. Usia Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Batu empedu tidak biasa ditemukan pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun (< 1%), lebih sering dalam kelompok usia 40-60 tahun ( 11%) dan ditemukan 30% pada orang usia di atas 80 tahun.1 3. Berat badan (BMI) Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu. 4. Makanan Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. 5. Riwayat keluarga Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga. 6. Aktifitas fisik Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
9

7. Penyakit usus halus Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik. 8. Nutrisi intravena jangka lama Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu. III.3 PATOGENESIS Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah: terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam - garam empedu dan lesitin dari empedu, dan terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.4 Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplit sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.1
10

III.4 PATOFISIOLOGI Batu Kolesterol Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain.1 Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus, biasanya radiolusen, kurang dari 10% radioopak. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu oleh dan lesitin. Ini dapat yang dinyatakan koordinatnya grafik merupakan segitiga,

persentase

konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.1 Kunci untuk mempertahankan kolesterol dalam bentuk cairan adalah pembentukan micelles (kompleks garam empedu-kolesterol-fosfolipid) dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Teori mengatakan dalam keadaan produksi kolesterol berlebih vesikel ini juga akan meningkatkan kemampuannya untuk mentransport kolesterol, dan pembentukan kristal dapat terjadi. Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi kolesterol di bandingkan pengurangan sekresi dari fosfolipid atau garam empedu. Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase: a. Fase Supersaturasi Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi 5-7 kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan
11

supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut : o o o o o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih banyak. Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi. Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet) Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi. Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik). o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun. b. Fase Pembentukan inti batu Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, kalsium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu. c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar. Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik (statis empedu). Sekresi mukus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.

12

Batu pigmen

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Batu pigmen diklasifikasikan sebagai batu pigmen coklat maupun batu pigmen hitam. a. Batu Kalsium bilirubinat (pigmen coklat) Disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecilkecil (diameter < 1 cm), dapat berjumlah banyak, berwarna coklat kekuningan, dan rapuh. Mengandung lebih banyak kolesterol dan kalsium palmitat. Umumnya batu pigmen coklat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. Sering dijumpai di daerah Asia, merupakan 40 - 60 % dari semua batu empedu. Batu ini terbentuk akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan karena disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit. Pada infeksi empedu, kelebihan aktivitas -glucuronidase bakteri E.coli (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap dengan kalsium sebagai kalsium bilirubinat. Enzim glucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli dan kuman lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.1
b. Batu pigmen murni (pigmen hitam)

Batu tipe ini banyak dijumpai pada pasien dengan keadaan hemolisis kronik (anemia hemolitik) atau sirosis hati. Pada keadaan hemolisis, beban bilirubin dan konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi meningkat. Batu pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu yang steril. Batu empedu jenis ini umumnya berukuran lenih kecil (25 mm), keras, hitam dengan permukaan yang kasar, dan hampir selalu ditemukan di kandung empedu. Biasanya batu pigmen ini mengandung kurang dari 10% kolesterol. III.5 MANIFESTASI KLINIS III.5.A Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis) Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik, dan pasien dengan
13

komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20 tahun perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.1

Asimtomatik Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala

(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik. Simtomatik Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien.3 Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan
14

inflamasi akut. Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis. Komplikasi Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal. III.5.B Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis) Batu pada duktus koledokus dapat memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran kecil, besar, dengan jumlah tunggal maupun multipel dan dapat ditemukan pada 6 12 % pasien dengan kolelitiasis dan insidennya akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Adanya batu pada duktus sistikus ini disebabkan karena migrasi batu dari duktus sistikus.

Koledokolitiasis dapat bersifat asimptomatik dan seringkali ditemukan secara tidak sengaja.3 Koledokolitiasis dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi total maupun parsial dan dapat juga bermanifestasi sebagai kolangitis atau pankreatitis bilier. Nyeri yang ditemukan pada pasien relatif sama dengan nyeri yang dirasakan pada keadaan kolik bilier. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hasil yang normal namun dapat juga ditemukan adanya nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas atau pada daerah epigastrium disertai juga dengan adanya ikterus. Riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang
15

umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma. Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif. Pemeriksaan penunjang USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis pertama yang berguna untuk mengidentifikasi adanya batu pada kandung empedu dan menentukan ukuran duktus koledokus. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa pelebaran duktus koledokus > 8 mm. Selain USG abdomen juga dapat dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangiography (MRC) yang dapat memberikan gambaran anatomis yang detail dalam mendeteksi koledokolitiasis dengan nilai sensitivitas dan spesivisitas sebesar 95 dan 89 %. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan Endoscopic Cholangiography yang merupakan gold standard untuk mendeteksi adanya koledokolitiasis. Dengan Endoscopic Cholangiography bisa didapatkan keuntungan yaitu selain dapat digunakan sebagai sarana diagnostik, juga berguna sekaligus sebagai sarana terapi.

16

III.6. DIAGNOSIS

Anamnesis Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang

mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.4

Pemeriksaan Fisik Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

o Batu kandung empedu

o Batu saluran empedu Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

Pemeriksaan Penunjang Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
17

o Pemeriksaan laboratorium

terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Jika terjadi obstruksi pada duktus komunikus maka serum bilurubin total akan meningkat 1-4 mg/dL. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. Alanin aminotransferase (SGOT = Serum Glutamat Oksalat Transaminase) dan aspartat aminotransferase (SGPT = Serum Glutamat Piruvat Transaminase) merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu. Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin. Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.

Pemeriksaan radiologis Foto polos abdomen biasanya tidak

o Foto polos Abdomen memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak, kebanyakan batu kolesterol yang bersifat radiolusen. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
18

gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. Foto polos abdomen adalah pemeriksaan paling berguna untuk mendiagnosis atau menyingkirkan diagnosis penyebab dari nyeri akut abdomen. o Ultrasonografi (USG) Merupakan teknik yang cepat, tidak invasif, dan tanpa pemaparan radiologi. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi ada tidaknya batu, jumlah dan ukuran batu, batu di kandung empedu atau di saluran empedu, serta melihat pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Kriteria untuk diagnosis kolelitiasis mencakup acoustic shadow atau hilangnya gelombang suara di belakang batu empedu, dan batu empedu berubah pada posisi. Apabila kedua ini ditemukan, maka diagnosis batu empedu mencapai hampir 100 %. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

19

Ada 2 jenis pemeriksaan menggunakan ultrasonografi, yaitu : Ultrasonografi transabdominal Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan tidak membahayakan pasien. Hampir sekitar 97% batu empedu dapat didiagnosis dengan ultrasonografi transabdominal, namun kurang baik dalam mengidentifikasi batu empedu yang berlokasi di dalam duktus dan hanya dapat mengidentifikasi batu empedu dengan ukuran lebih besar dari 45 mm. Ultrasonografi endoskopi Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang lebih baik daripada ultrasonografi transabdominal. Karena sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus biliaris lebih baik. Kekurangannya adalah mahal dari segi biaya dan banyak menimbulkan risiko bagi pasien. o Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. o Kolangiografi transhepatik perkutan Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan kontraindikasi.

20

Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde kolangiopankreatograft) Kanulasi duktus koledokus dan/ atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater

dapat diselesaikan secara endoskopis. Tes ini dilakukan dengan menyuntikan retrogad zat kontras. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalui ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan sebagainya. Teknik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang tertinggal).

o CT scan CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik). CT scan lebih berguna untuk mendiagnosis kanker kandung empedu dibandingkan batu empedu. Bila hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. CT scan juga cukup sensitif dalam mendiagnosis kolesistitis akut. o Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP) Magnetic resonance cholangiopancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari
21

Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus. III.7 KOMPLIKASI III.7.A Kolangitis Kolangitis merupakan satu dari dua komplikasi utama dari batu duktus koledokus, sedangkan komplikasi lainnya lagi berupa pankreatitis bilier. Kolangitis akut merupakan suatu infeksi bakteri yang menyebar dari bawah ke atas yang disebabkan karena adanya obstruksi parsial maupun total dari duktus biliaris. Dalam keadaan normal, cairan empedu yang dihasilkan oleh hati bersifat steril, demikian pula dengan kondisi steril cairan empedu yang disimpan di dalam kandung empedu dipertahankan dengan aliran empedu yang berkesinambungan disertai dengan substansi antibakterial yang terdapat di dalam cairan empedu itu sendiri berupa imunoglobulin. Gabungan antara infeksi bakteri disertai dengan obstruksi bilier yang umumnya disebabkan karena batu empedu merupakan faktor yang penting dalam terjadinya kolangitis. Organisme-organisme yang umumnya menyebabkan kolangitis yaitu antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus faecalis, dan Bacteroides fragilis. Manifestasi Klinis Kolangitis dapat bermanifestasi sebagai suatu kondisi yang bervariasi mulai dari keadaan klinis yang ringan, sedang, dapat sembuh spontan sampai dengan suatu keadaan berat dan mengancam jiwa seperti pada keadaan septikemia. Gejala yang paling umum muncul adalah gejala-gejala yang dikenal sebagai Charcot triad dan muncul pada dua pertiga dari pasien-pasien yaitu berupa demam, nyeri epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas, dan disertai dengan ikterus. Gejala klinis yang muncul dapat berkembang secara progresif disertai sepsis dan keadaan ini dikenal sebagai Reynolds pentad (adanya demam, ikterus, nyeri abdomen kuadran kanan atas, syok septik dan perubahan status mental). Namun demikian keadaan ini juga bisa bermanifestasi sebagai suatu keadaan yang atipikal yaitu berupa demam yang tidak terlalu tinggi, ikterus atau nyeri abdomen kanan atas. Keadaaan ini biasanya terjadi pada orang dewasa yang bila mengalami infeksi ini tidak memberikan gejala yang bermakna sampai suatu saat jatuh kedalam kondisi sepsis. Pada pemeriksaan abdomen, hasil yang ditemukan tidak dapat dibedakan dari keadaan kolesistitis
22

akut. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium bisa ditemukan adanya leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali serta transaminase. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan USG abdomen berguna untuk mendeteksi adanya kolangitis apabila pada pasien tersebut belum pernah didiagnosa memiliki batu empedu sebelumnya karena dalam pemeriksaan akan nampak adanya batu empedu disertai dengan duktus yang berdilatasi. Pemeriksaan radiologis definitif yang juga berguna untuk diagnosa adalah Endoscopic Retrograde Cholangiopangcreatography (ERCP), namun apabila ERCP tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC). Dengan ERCP dan PTC dapat ditentukan level sereta penyebab obstruksi, memungkinkan pengambilan cairan empedu untuk dikultur, pengambilan batu empedu apabila terdapat batu empedu, dan drainase cairan empedu dengan kateter drainase atau dengan stent. CT scan dan MRI juga dapat berguna untuk menetukan apakah terdapat masssa periampular sebagai penyebab dari dilatasi duktus. III.7.B Pankreatitis bilier Batu empedu yang terdapat di duktus biliaris komunis sering memiliki hubungan dengan terjadinya pankreatitis akut. Obstruksi duktus pankreatikus karena impaksi batu atau obstruksi sementara oleh batu yang kemudian melewati ampulla dapat mengakibatkan pankreatitis. USG saluran empedu pada pasien dengan pankreatitis merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang disebabkan sifatnya berat, tindakan ERCP disertai dengan sfinkterektomi dan ekstraksi batu dapat menghentikan perjalanan penaykit pankreatitis. Setelah pankreatitis hilang, harus langsung dilakukan pengangkatan kandung empedu saat itu juga. Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang terjadi tidak terlalu berat serta dapat sembuh spontan, maka hal ini menandakan bahwa batu empedu sudah melewati duktus/ ampulla . Untuk pasien-pasien dengan kondisi seperti ini, perlu dilakukan kolesistektomi dengan kolangiogram intraoperatif atau ERCP preoperatif. III.8. PENATALAKSANAAN III.8.A Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)

23

Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimptomatik tidak dianjurkan.1 Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik adalah tidak akan mengalami keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah: keganasan Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut Untuk batu empedu simptomatik, dapat digunakan teknik kolesistektomi laparoskopik, yaitu suatu teknik pembedahan invasif minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera, dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa menyentuh dan melihat langsung kandung empedu. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan kandung empedu simptomatik. Keuntungan kolesistektomi laparoskopik ini yaitu dengan teknik ini hanya meliputi 4 insisi (2-10 mm). Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat (dapat kembali menjalankan aktivitas normal dalam 10 hari), hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,51%. Mortalitas < 0,1 %. Teknik Operasi:
1. Penderita dalam posisi supine dan dalam general anaestesi 2. Desinfeksi pada dada bagian bawah dan seluruh abdomen 3. Dilakukan insisi lengkung di bawah umbilikus sepanjang 20 mm, insisi diperdalam

Pasien dengan batu empedu > 2cm Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi

secara tajam dan tumpul sampai tampak linea alba 4. Linea alba dipegang dengan klem dan diangkat, dibuat incisi vertikal sepanjang 10 mm
5. Dengan trokar peritoneum ditembus dan dimasukkan port lalu dimasukkan CO 2 ke

dalam kavum abdomen untuk menimbulkan pneumoperitoneum sehingga abdomen cembung


6. Melalui port umbilikal dimasukkan videoscope ke dalam cavum abdomen 24

7. Tiga buah trocart dimasukkan dengan memperhatikan secara langsung tempat penetrasi intra abdomen.
- Trocart I dimasukkan di epigastrium 5 cm di bawah procesus xyphoideus

dengan penetrasi intraabdomen di sebelah kanan ligamentum falciforme - Trocart II dimasukkan pada kwadaran kanan atas abdomen beberapa cm di bawah costa terbawah pada linea midclavicula.
- Trocart III dimasukkan pada kuadran kanan atas setinggi umbilikus di sebelah

lateral dari trocart kedua. (gambar). 8. Posisi pasien diubah menjadi Anti Trendelenburg ringan (10-15) dan sedikit miring ke kiri. 9. Gall bladder dipegang dengan grasper/forcep dari port lateral (4), kemudian didorong ke arah superior dan dipertahankan pada posisi ini.

10. Infundibulum dipegang dengan grasper dari port medial (3) dan ditraksi ke arah caudal. Disecting forceps dimasukkan dari port epigastrium (2) dan jaringan di sekitar duktus sistikus dan arteri sistika disisihkan sampai kedua struktur tersebut tampak jelas.
25

11. A. Sistika dijepit dengan metal clip di bagian distal dan dua buah metal klip di bagian proksimal kemudian dipotong. 12. Duktus sistikus yang telah terlihat jelas dijepit dengan metal clip sedekat mungkin dengan kandung empedu. Duktus sistikus bagian proksimal dijepit dengan dua buah metal clip dan dipotong. (hati-hati jangan menarik infundibulum keras, dapat menjepit duktus koledokus) 13. Videoscope dikeluarkan dari port umbilikus dan dipindah ke port epigastric. 14. Kantong empedu dibebaskan dengan menarik dengan grasping forceps dari porte umbilikalis

Atau kolesistektomi, yaitu pengangkatan kandung empedu dengan cara membuka dinding perut, juga merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Mortalitas < 1 %. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif. Teknik operasi: 1. Insisi Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse. 2. Peletakan 2 mop basah
26

Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon transversum dan usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile duct untuk menyingkirkan gaster ke kiri. 3. Dapat melihat kandung empedu Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter agar kandung empedu lebih terekspos. 4. Pengangkatan kandung empedu Terdapat 2 metode
a. Metode duct first

Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan setelah kandung empedu diangkat. Indikasi: tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD Kontraindikasi: adanya adhesi dan eksudat
b. Metode fundus first

Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus sistikus (segitiga Calot). Indikasi: adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD 5. Rawat perdarahan 6. Evaluasi duktus koledokus tidak ada kelainan 7. Tutup luka operasi, operasi selesai III.8.B Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis) ERCP theurapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopi untuk mengeluarkan batu empedu. Saat ini teknik ini telah berkembang pesat menjadi standard baku terapi non operatif untuk batu saluran empedu.1 Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. Pada kebanyakan kasus, ekstraksi batu dapat mencapai 80-90% dengan komplikasi dini 7-10%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi.

27

BAB IV KOLESISTITIS IV.1 KOLESISTITIS KRONIK IV.1.A Definisi Merujuk pada keadaan sedang atau proses inflamasi berulang (rekuren) yang melibatkan kandung empedu.1 Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, lebih dari 90 % pasien dengan kolelitiasis juga mengalami kolesistitis yang dikarakteristikan dengan adanya serangan nyeri berulang dan keadaan ini sering juga dinamakan dengan kolik bilier. Nyeri terjadi ketika batu empedu menyumbat duktus sistikus sehingga menghasilkan peningkatan tekanan dinding kandung empedu yang progresif. Secara patologi terjadi perubahan kandung empedu mulai dari keadaan yang normal dengan hanya sedikit inflamasi kronik pada mukosa menjadi kandung empedu yang mengkerut dengan fibrosis transmural, peningkatan subepitelial, infiltrat sel mononuclear, serta adhesi ke struktur sekitarnya. IV.1.B Etiologi Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya. IV.1. C Manifestasi Klinis Keluhan utama pasien biasanya berupa nyeri terus menerus dan makin makin dirasa nyeri selama 1 jam pertama dan biasanya berlangsung selama 1-5 jam. Disebut kolik bilier, tetapi istilah ini tidak tepat karena menunjukkan
28

nyeri yang berhubungan dengan batu adalah intermiten atau spasmodic seperti nyeri kolik di tempat lain.2 Bagaimanapun juga, pola seperti ini sangat jarang. Nyeri dirasakan terutama pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas dan seringkali menyebar ke punggung kanan diantara skapula. Nyeri akibat obstruksi duktus sistikus ini akibat peningkatan progresif tegangan dinding kandung empedu, nyeri bisa sangat hebat dan muncul tiba-tiba, biasanya muncul pada malam hari atau stelah pasien mengkonsumsi makanan berlemak, tapi pada kenyataannya hanya terjadi pada < 50 % kasus dan biasanya terjadi 1 jam setalah makan makanan berlemak.2 Keluhan ini dapat juga disertai dengan mual dan muntah. Nyeri juga dapat bersifat episodik, pasien dapat mengeluhkan adanya serangan nyeri yang menyebar diselingi dengan keadaan normal tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas pada saat timbul episode nyeri. Jika pasien sedang dalam keadaan bebas nyeri, maka pemeriksaan fisik dapat memberikan hasil yang normal. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan hasil tes fungsi hati dan leukosit yang normal pada pasien kolesistitis yang tidak memiliki komplikasi. Kondisi kolelitiasis yang atipikal juga sering muncul. Pada keadaan ini biasanya tidak ditemukan nyeri abdomen kanan atas meskipun terdapat batu di dalam kandung empedu nya. Jika nyeri berlangsung selama lebih dari 24 jam, harus segera dicurigai terjadinya impaksi batu di dalam duktus sistikus atau terjadi kolesistitis akut. Impaksi batu tersebut akan mengakibatkan kondisi yang dinamakan dengan hydrops kandung empdu dimana terjadi keadaan berikut yaitu cairan empdu diabsorbsi namun epitel kandung empedu terus menerus menghasilkan sekret mukus sehingga terjadi distensi kandung empedu oleh mukus. IV.1.D Pemeriksaan Penunjang USG memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk mendeteksi adanya batu empedu dengan ukuran > 2 mm. USG abdomen juga sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kolesistitis akut tanpa komplikasi. Gambaran yang didapatkan pada keadaan ini adalah adanya penebalan dinding kandung empedu (> 5 mm), cairan perikolekistik, distensi kandung empedu > 5 mm. Ketika kandung empedu sudah dipenuhi oleh batu seluruhnya, batu-batu tersebut dapat tidak terlihat pada gambaran USG namun masih bisa didapatkan gambaran acoustic shadow. IV.1.E Penatalaksanaan Penatalaksanaan terpilih untuk pasien dengan batu empedu yang simtomatik adalah kolesistektomi laparoskopik elektif. Komplikasi yang penting pada kosistektomi
29

laparoskopik adalah cedera saluran empedu. Angka kesakitan dan kematian pada kolesistektomi laparoskopik dan kosistektomi terbuka kurang lebih sama. Angka kematian < 0,1 % dengan komplikasi kardiovaskular. Hasil jangka panjang dari kolesistektomi laparoskopik pada > 90 % pasien dengan nyeri bilier tipikal sangat baik, keluhan menjadi tidak ada sama sekali. IV.2 KOLESISTITIS AKUT IV.2.A Definisi Sebanyak 90 - 95 % kolesistitis disebabkan sekunder karena kolelitiasis.2 Secara umum kolesistitis merupakan suatu proses inflamasi akut dinding kandung empedu. Obstruksi batu pada duktus sistikus merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya distensi kandung empedu, inflamasi, serta edema dinding kandung empedu. Pada kolesistitis akut kandung empedu menjadi menebal dan kemerahan disertai dengan perdarahan subserosa dan cairan perikolestatik. Selain itu pada mukosa kandung empedu tampak hiperemis serta nekrosis di beberapa tempat. Jika disertai dengan adanya infeksi sekunder bakteri, dapat terjadi kolesisititis gangrenosa dan terbentuk abses atau empyema di dalam kandung empedu. Kadang kala juga dapat terjadi perforasi di dareah subhepatik. IV.2.B Etiologi dan Patogenesis Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus). Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies
30

Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu. Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 5 - 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises). Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. IV.2.C Manifestasi Klinis Kolesistitis akut dapat bermula dengan adanya serangan kolik bilier, tapi hal ini berlawanan dengan keadaan kolik bilier itu sendiri yaitu karena nyeri yang timbul tidak menghilang. Nyeri tersebut terus menerus menetap selama beberapa hari. Pasien sering kali mengalami demam dan mengeluhkan adanya anoreksia, mual, muntah, lemas, dan apabila proses inflamasi sudah menjalar ke peritoneum parietale, maka pasien akan malas untuk bergerak karena adanya nyeri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri fokal pada abdomen kuadran kanan atas, nyeri ketok subkosta kanan, dan Murphy sign yang positif merupakan tanda yang khas pada keadaan ini. Pada pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan jumlah leukosit normal atau leukositosis sedang dengan jumlah 12.000 15.000/mm3 dan adanya peningkatan sedang dari bilirubin serum < 4 mg/ml dalam 20 % kasus, seiring dengan peningkatan fosfatase alkali, transaminase dan amilase. Apabila konsentrasi bilirubin tinggi atau ikterus berat perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik (duktus koledokus), terjadi
31

obstruksi pada duktus sistikus karena inflamasi perikolestatik sebagai akibat dari impaksi batu pada infundibulum kandung empedu yang secara mekanis mengakibatkan obstruksi duktus sistikus (Mirizzi syndrome). Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya IV.2.D Pemeriksaan Penunjang USG abdomen merupakan pemeriksaan penunjang radiologis yang paling bermanfaat dalam mendiagnosa adanya kolesistitis akut dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95 %. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa penebalan dinding kandung empedu disertai dengan cairan perikolestatik. Nyeri tekan pada daerah kandung empedu saat probe USG menekan daerah tersebut juga mengindikasikan adanya kolesistitis akut (sonographic Murphy sign positif). Selain USG abdomen juga dapat dilakukan CT scan abdomen dengan gambaran yang didapatkan berupa adanya penebalan dinding kandung empedu disertai dengan cairan perikolestatik, dan batu empedu. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Normalnya
32

gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi menandakan tersumbatnya duktus sistikus dan menyokong kolesistitis akut. IV.2.E Penatalaksanaan Terapi konservatif Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi. Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram/ 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg/ 6 jam, IV. Pada kasus kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg/ 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan antiemetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien-pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda-tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda-tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit-penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.

Terapi Bedah

33

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan. Kolesistektomi dini/ segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu. Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu.
34

Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien. Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester.

BAB V KESIMPULAN

35

Kolelitiasis dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya etnis, jenis kelamin, komorbiditas, dan genetik. Prevalensi kolelitiasis di Asia dan Afrika lebih rendah daripada negara Barat. Angka kejadian pada wanita lebih banyak 3-4 kali lebih banyak daripada pria. Risiko terjadinya kolelitiasis juga meningkat dengan bertambahnya umur. Penyebab dari batu empedu ini belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan ada 3 faktor predisposisi terpenting, yaitu: gangguan metabolisme yang menyebabkan perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Adanya faktor resiko terbentuknya batu empedu dikenal dengan 5F yaitu fatty, fourty, fertile, fair, dan female. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pada Asia lebih banyak batu pigmen. Kebanyakan kolelitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda. Perpindahan batu menuju duktus sistikus menyebabkan kolik selain itu dapat menyebabkan kolesistitis akut. Kolangitis dapat terjadi ketika batu menghambat duktus hepatikus atau duktus billiaris sehingga mengakibatkan infeksi dan inflamasi. Kolelitiasis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung empedu, selain itu merupakan faktor predisposisi terjadinya kanker pada kandung empedu. Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan penyakit kandung empedu dan saluran empedu. Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka diperlukan kolesistektomi. Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Patofisiologi kolesistitis akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Penegakkan diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada wanita, usia > 40 tahun, dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pasienpasien yang menerima nutrisi parenteral total (TPN) beresiko menderita kolesistitis akut akalkulus. Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia, dan demam. Dapat teraba pula massa di
36

kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan leukositosis, peningkatan serum aminotransferasi, alkali fosfatase, serum bilirubin dan serum amilase. Pemeriksaan USG dapat merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya sampai 95%. Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan antiemetik dan terapi pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa perawatan, dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of

Surgery. 17th ed. USA: Saunders Company. 2004; p. 1597-1622.


2. Brunicardi FC. Schwartz's Principles of Surgery. 9th ed. USA:McGraw Hill

Company. 2010; p. 1135-54.


37

3. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-9.


4. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Available at: http://emedicine.medscape.

com/article/175667-overview. Accessed on: June 1st, 2012.

38

Anda mungkin juga menyukai