Anda di halaman 1dari 11

AKHLAK TERHADAP RASULULLAH SAW

Pada dasarnya, utusan Tuhan (rasulullah) adalah manusia biasa yang tidak berbeda dengan manusia lain. Namun demikian, terkait dengan status rasul yang disandangkan Tuhan ke atas dirinya, terdapat ketentuan khusus dalam bersikap terhadap utusan yang tidak bisa disamakan dengan sikap kita terhadap orang lain pada umumnya. Sekurang-kurangnya ada sebelas butir ketentuan bersikap terhadap rasul di dalam Quran. Ketentuan ini adalah bagian dari panduan agama, karenanya ia harus diindahkan dengan sebenar-benarnya oleh orang beriman.:

1. Mencintai Dan Memuliakan Rasul


Setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tentulah harus beriman bahwa Muhammad saw adalah Nabi dan rasulullah yang terakhir, penutup sekalian nabi dan rasul; tidak ada lagi Nabi, apalagi rasul sesudah beliau (QS. Al-Ahzab 33:40). Beliau diutus oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat nanti (QS.Saba 34:28). Kedatangan beliau sebagai utusan Allah merupakan rahmat bagi alam semesta (QS. Al-anbiya 21:107). Nabi Muhammad saw telah berjuang selama lebih kurang 23 tahun membawa umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Beliaulah yang berjasa besar membebaskan umat manusia dari belenggu kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan. Berbagai penderitaan beliau alami dalam perjuangan itu; dihina, dikatakan gila, tukang sihir, tukang tenung, penyair, disakiti, diusir dan hendak dibunuh; tapi semuanya itu tidak sedikitpun menyurutkan hati beliau untuk tetap berjuang membebaskan umat manusia. Nabi sangat mencintai umatnya. Beliau hidup dan bergaul serta dapat merasakan denyut nadi mereka. Beliau sangat menyayangi umatnya. Beliau ikut menderita dengan penderitaan umat dan sangat menginginkan kebaikan untuk mereka. Tentang sikap beliau ini Allah SWT berfirman:

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. AtTaubah 9:128) Sebagai seorang mukmin sudah seharusnya dan sepantasnya kita mencintai beliau melebihi cinta kepada siapapun selain Allah SWT. Bila iman kita tulus, lahir dari lubuk hati yang paling dalam tentulah kita akan mencintai beliau, karena cinta itulah yang membuktikan kita betul-betul beriman atau tidak kapada beliau. Rasullah saw bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum aku lebih di cintai dari pada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim,dan Nasiai) Sebagai konsekuensi dari menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai cinta yang pertama dan utama, maka tentu saja cinta kepada orang tua, anak-anak, suami atau istri, sanak saudara, harta benda dan lain sebagainya harus ditempatkan dibawah kedua cinta tersebut (termasuk di bawah cinta kepada jihad pada jalan Allah). Dalam hal ini mari kita perhatikan peringatan Allah dalam ayat berikut ini: .Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At-Taubah 9:24) Berdagang misalnya, termasuk perwujudan dari cinta kepada harta benda. Tapi bila dalam berdagang seseorang tidak lagi mempedulikan halal dan haram, menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan, atau dengan ungkapan lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda itu dalam kasus ini telah mengalahkan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang seperti inilah yang mendapat peringatan keras dalam ayat di atas. Dalam mencintai Rasulullah, marilah kita meneladani para sahabatradhiyallahuanhum. Diriwatkan betapa cintanya tsauban kepada nabi sehingga dia tidak dapat menahan rindu kalau lama tidak melihatnya. Suatu ketika ia tidak dapat melihat wajah nabi beberapa hari lamanya.

Mukanya pucat, hatinya gundah gulana, ketika bertemu dengan nabi, ia ditanya tentang perubahan keadaanya yang demikian itu. Tsauban menjawab: saya tidak sakit ya rasulullah. Hanya saja apabila saya terhalang melihat wajah tuan, saya tak dapat menahan hati. Dan saya takut benar, di akhirat nanti tidak dapat memandang wajahmu. Tuan berada di surga ditempat yang sangat tinggi. Saya tentu tidak dapat menyertai tuan. Mendengar kata-kata tsauban ini, Nabi berkata: Engkau beserta orang yang engkau cintai. Pada saat itu pula, Turunlah wahyu Allah: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersamasama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang benar), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS: An-Nisa 4: 69) Demikian Pula besarnya cinta Bilal kepada Nabi. Dikisahkan waktu muazzin Nabi itu hendak menghembuskan nafasnya yang pengahabisan. Beberapa yang kawannya menyaksikan berkata: aduh betapa pedih hati kami. Mendengar kata-kata ini Bilal justru menjawab wahai betapa gembira hatiku, esuk aku akan segera bertemu dengan Nabi Muhammad! 1 Demikianlah gambaran betapa cintanya Tsauban dan Bilal, dua sahabat Nabi, kepada junjungannya Nabi Muhammad saw. Demikian pulalah kecintaan para sahabat Nabi yang lain kepada beliau. Di samping mencintai Rasulullah saw, kita juga seharusnya mencintai orang-orang yang dicintai oleh beliau dan membenci orang-orang yang dibencinya, lebih khusus lagi mencintai dan memuliakan keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah saw melarang umatnya mencela sahabat-sahabat beliau. janganlah kamu cela sahabat-sahabatku. Andaikata seorang diantara kamu memberikan infaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan sampai menyamai satu mud (infaq) salah seorang diantara mereka, bahkan seengah mud pun tidak. (HR. Bukhari)

Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia (Surabaya : Bina Ilmu, 1991), hal. 90 - 91

Karena cinta kepada Rasulullah saw, dengan sendirinya kita ikut merasa terhina apabila ada yang menghina Rasulullah saw, atau menghina orang-oarang yang dicintai beliau. Sesudah mencintai Rasulullah saw, kita juga berkewajiban menghormati dan memuliakan beliau, lebih dari pada menghormati dan memuliakan tokoh mana pun dalam sejarah umat manusia. Diantara bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap beliau adalah tidak boleh mendahului beliau dalam mengambil keputusan atau menjawab pertanyaan. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Hujarat 49:1) Menurut Muhammad ali Assh-Shabuni, para sahabat. Jika di ajukan pertanyaan didalam majlis yang dihadiri Nabi, mereka tidak mau mendahului beliau menjawab, apabila dihidangkan makanan mereka tidak akan memulai makan sebelum Nabi memulainya, kalau berjalan bersama Nabi mereka tidak akan berada di depan. 2 Para sahabat, karena sangat hati-hatinya menjaga jangan sampai mendahului Rasulullah saw, apabila ditanya oleh Rasulullah saw biasanya mereka menjawab dengan mengatakan Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, sekalipun sebenarnya mereka tahu jawabannya. Misalnya dalam haji wada, Rasulullah bertanya tentang tahun, bulan dan hari itu, mereka tahu jawabannya, tetapi tetap menjawabnya dengan menyatakan Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Waktu ditanyakan kemudian hari kenapa mereka menjawabnya seperti itu, mereka mengatakan khawatir kalau Rasulullah bertanya hanya sekedar pengantar untuk merobah nama hari, bulan dan tahun waktu itu. Demikianlah sikap para sahabat memuliakan dan menghormati Rasulullah saw. Bagi kita sekarang, di mana secara fisik Rasulullah saw tidak lagi hadir bersama kita, tidak mendahului beliau itu dimanifestasikan dengan tidak menetapkan suatu perkara sebelum membahas dan menelitinya terlebih dahulu dalam Al-Quran dan sunnah sebagai dua warisan beliau yang harus selalu dipedomani.
Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir (Beirut : Dar Al-Quran Al-Karim, 1981), jilid III, hlm 232

Bentuk lain dari penghormatan dan memuliakan Rasulullah saw adalah tidak berbicara keras di hadapan beliau. Allah SWT Berfirman Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. . (QS.Al-Hujarat 49:2) Sanksi bagi yang melanggar larangan Allah di atas tidak tanggung-tanggung, yaitu hilang lenyap seluruh pahala amal kebaikan yang telah dilakukan. Tapi sebaliknya bagi yang mematuhi juga dapat janji pahala yang besar. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. . (QS.Al-Hujarat 49:3) Apakah larangan berbicara keras dihadapan Rasulullah saw dalam ayat di atas tetap relevan setelah Rasulullah saw meninggal dunia? Menurut hemat penulis, sikap penghormatan terhadap Rasulullah saw dalam berbicara seperti yang dijelaskan di atas, dapat diteruskan setelah beliau wafat dengan tidak mengeraskan suara di depan para ulama pewaris Nabi, di dalam majlis yang sedang dibacakan atau diajarkan warisan Nabi (AlQuran dan Sunnah), dan juga di masjid Nabawi dan lebih khusus lagi di kuburan Nabi. 2. Mengikuti dan Mentaati Rasulullah Mengikuti Rasulullah SAW (ittiba ar-Rasul) adalah salah satu bukti kecintaan seorang hamba terhadap Allah SWT. Allah berfirman: Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Ali-Imran 3:31) Rasulullah SAW, sebagaimana rasul-rasul yang lain, di utus oleh Allah SWT untuk diikuti dan dipatuhi. Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah..(QS. An-Nisa)\ Ketaatan kepada Rasulullah SAW bersifat mutlak, karena taat kepda beliau merupakanbagian dari taat kepada Allah. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firmanNya.

Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa 4:80) Dalam banyak ayat, Allah SWT meletakkan perintah taat kepada Rasulullah sesudah perintah taat kepada Allah. Adakalanya perintah taat kepada Rasulullah disebut secara eksplisit sehingga kalimatnya menjadi taatlah kepada Allah dan tattlah kepada Rasul, dan ada kalanya dengan diathaf (diikutkan ) saja kepada perintah saat kepada Allah, sehingga kalimatnya menjadi taatlah kepada Allah dan Rasul-Nyaseperti dalam dua ayat berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan baru kemudian. Yang demikian itu lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa 4:59) Mengikuti dan menaati Rasulullah SAW, berarti mengikuti jalan lurus tersebut dengan mematuhi segala rambu-rambunya. Rambu-rambu jalan tersebut adalah segala aturan kehidupan yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang terlembagakan dalam Al-Quran dan Sunnah. Itulah dua warisan yang ditinggalkan Rasul untuk umat manusia, Yang apabila selalu dipegang teguh, umat manusia tidak akan tersesat buat selamanya. Ajaran Al-Quran dan sunnah yang di wariskan oleh Rasulullah SAW bersifat komprehensif (mencakup seluruh aspek kehidupan). Secara garis besar, warisan Rasulullah tersebut dapat dibagi kepada aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Di antara empat aspek tersebut ada yang dijelaskan secara terperinci yang oleh karena itu bersifat statis, dan ada yang hanya diberikan garis besar atau prinsip prinsipnyasaja sehingga bersifat dinamis. Yang bersifat statis itu adalah aspek aqidah, ibadah, akhlak (dalam pengertian nilai baik buruknya tidak berubah, tapi manifestasinya bias berubah) dan sebagian kecil aspek muamalah (yaitu tata kehidupan berkeluarga). Sedangkan yang bersifat dinamis adalah sebagian besar aspek muamalah (politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam dan lain-lain). Ajaran yang statis tidak boleh mengalami perubahan karena fungsinya sebagai dasar atau landasan normatif yang membingkai dan mewarnai semua aspek kehidupan manusia. Sejak pertama kali diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat, sampai

kepada zaman kita sekarang ini, dan untuk masa seterusnya, aspek-aspek yang statis itu tidak boleh mengalami perubahan. Apabila terjadi perubahan, akibat pengaruh yang dating dari luar islam, baik dari agama-agama maupun budaya lain, maka menjadi tugas umat islam umumnya, dan para ulama pembaharu khususnya untuk melakukan pemurnian (purifikasi). Yang dibersihkan dari aspek ibadah adalah unsure bidah. Sedangkan dari aspek akhlak nilai baik buruk yang sudah mengalami pergeseran dikembalikan kepada nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah. Berbeda dengan aspek yang statis, maka ajaran islam yang bersifat dinamis (yaitu sebagian besar aspek muamalah) selalu menerima perubahan. Oleh sebab itu islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja, sedangkan pengembangan dan penjabarannya diserahkan kepada historitas umat manusia di setiap waktu dan tempat. Misalnya prinsip musyawarah dalam memilih pimpinan, dapat dilaksanakan dengan mekanisme yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Demikianlah dalam aspek yang statis kita mengikuti dan mematuhi Rasulullah SAW adanya tanpa mengurangi dan menambahnya, tapi dalam aspek yang dinamis kita hanya dituntut mengikuti prinsip-prinsipnya atau garis besarnya saja. Dengan demikian kita dapat mengembangkannya sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan. 3. Tidak menganggap biasa seruan rasul. Di dalam pergaulan dengan sesama, tidak jarang kita menawar atau menolak suatu ajakan dari rekan kita. Misalnya ada teman yang mengajak untuk bertemu pada jam delapan, lalu kita bilang supaya pertemuannya jam sepuluh saja. Atau ketika ada rekan kita yang mengajak ke sebuah acara, mungkin kita menolaknya dengan alasan tidak menyukai acara tersebut. Reaksi seperti yang demikian lumrah saja dalam pergaulan yang umum. Namun Tuhan mengingatkan orang beriman agar tidak memperlakukan ajakan dari rasul sama seperti ajakan dari orang lain yang bisa saja ditawar atau ditolak. Ketika rasul mengimbau untuk suatu urusan, penuhilah imbauan tersebut dengan segenap kepatuhan.

Janganlah kalian jadikan panggilan rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian (kepada) sebagian (yang lain) ... (Quran 24:63) 4. Tidak mendahului rasul dalam perkataan maupun perbuatan. Ketika bersama utusan, tahanlah diri untuk tidak memutuskan sesuatu yang belum diputuskan oleh utusan. Dan jangan pula berinisiatif mengambil suatu tindakan yang belum ada ketetapan atau persetujuan dari rasul untuk itu. Wahai orang-orang yang percaya, janganlah kalian mendahului di hadapan Tuhan dan utusan-Nya, dan waspadailah Tuhan. Sesungguhnya Tuhan Mendengar, Mengetahui. (Quran 49:1) 5. Tidak coba menyimpangi apa yang telah diputuskan oleh rasul. Butir ke empat ini berkaitan dengan butir pertama, yaitu kepatuhan. Ketika suatu urusan telah diputuskan oleh rasul, tidak ada lagi ruang untuk mempertanyakan keputusan tersebut. Apabila rasul telah menetapkan A, maka tidak pada tempatnya orang beriman berkata, Bagaimana kalau B saja? atau Kami pikir C akan lebih baik, dan semacamnya. Yang patut diucapkan oleh orang beriman atas putusan rasul adalah ekspresi kepatuhan, yaitu Kami dengar, dan kami patuh. Dan tiadalah bagi lelaki beriman, dan tiadalah (pula) (bagi) perempuan beriman, apabila Tuhan dan utusan-Nya telah menetapkan suatu perkara, akan ada bagi mereka pilihan dari perkara mereka. Dan barang siapa mendurhakai Tuhan dan utusan-Nya, maka sungguh telah sesat, (dengan) kesesatan yang nyata. (Quran 33:36) 6. Merendahkan suara ketika berbicara di dekat rasul. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara mereka di sisi utusan Tuhan, mereka itulah orang-orang yang telah Tuhan uji hatinya untuk waspada. Bagi mereka ampunan dan imbalan yang besar. (Quran 49:3)

7. Bersedekah sebelum melakukan pembicaraan khusus (empat mata) dengan rasul. Orang beriman meminta kesempatan berbicara secara khusus dengan rasul biasanya sehubungan dengan hal-hal yang bersifat privat, seperti pengakuan dosa dan permohonan pengampunan. ... Dan apabila mereka menzalimi diri-diri mereka sendiri mereka datang kepada engkau, lalu meminta ampun kepada Tuhan, dan utusan (pun) memintakan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati bahwa Tuhan Penerima Tobat, Pengasih. (Quran 4:64) Sebelum seorang beriman melangsungkan pembicaraan khusus dengan utusan, wajib baginya menyerahkan sejumlah sedekah kepada rasul, kecuali jika dia memang tidak memiliki sesuatu apa yang akan disedekahkan. Wahai orang-orang yang percaya, apabila kalian berbicara khusus dengan utusan, maka sebelum pembicaraan khusus kalian itu dahulukanlah (dengan) suatu sedekah. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, dan lebih bersih. Kemudian jika kalian tidak mendapatkan, maka sesungguhnya Tuhan Pengampun, Pengasih. (Quran 58:12) Pemungutan sedekah oleh utusan atas harta orang-orang beriman sejalan dengan salah satu fungsi diutusnya rasul ke tengah-tengah umat, yaitu untuk menyucikan mereka (lihat Quran 2:129, 2:151, 3:164, 62:2). Rasul menyucikan orang-orang beriman dengan jalan menarik sedekah dari mereka. Ambillah dari harta mereka sedekah (yang) dengannya engkau membersihkan mereka dan menyucikan mereka, dan berkatilah mereka. Sesungguhnya pemberkatan engkau (adalah) ketenteraman bagi mereka. Dan Tuhan Mendengar, Mengetahui. (Quran 9:103) Sedekah yang dikutip oleh rasul selanjutnya akan digunakan sesuai dengan peruntukan sedekah sebagaimana yang telah diatur di dalam Quran. 8. Tidak mengadakan suatu pembicaraan rahasia (pembicaraan terbatas dan tanpa kehadiran rasul) dalam rangka mendurhakai rasul. Wahai orang-orang yang percaya, apabila kalian saling berbicara rahasia maka janganlah berbicara rahasia dengan dosa, dan permusuhan, dan mendurhakai utusan. Dan berbicara

rahasialah dengan kebaikan dan kewaspadaan, dan waspadailah Tuhan yang kepada-Nya kalian akan dihimpun. (Quran 58:9) 9. Tidak mengawini perempuan yang pernah diperistri oleh rasul. ... Dan tiadalah bagi kalian untuk menyakiti utusan Tuhan, dan tiada (pula) mengawini istri-istrinya sesudah dia selama-lamanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah besar pada sisi Tuhan. (Quran 33:53)

KESIMPULAN

Akhlak Terhadap Rasulullah SAW 1.


2.

Mencintai dan memuliakan rasul


Mengikuti dan mentaati rasulullah 10

3. 4. 5. 6. 7. rasul. 8.

Tidak menganggap biasa seruan rasul. Tidak mendahului rasul dalam perkataan maupun perbuatan. Tidak coba menyimpangi apa yang telah diputuskan oleh rasul. Merendahkan suara ketika berbicara di dekat rasul. Bersedekah sebelum melakukan pembicaraan khusus (empat mata) dengan

Tidak mengadakan suatu pembicaraan rahasia (pembicaraan terbatas dan

tanpa kehadiran rasul) dalam rangka mendurhakai rasul. 9. Tidak mengawini perempuan yang pernah diperistri oleh rasul.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.gudangmateri.com/2010/10/akhlak-terhadap-rasulullah-saw.html http://www.eramuslim.com/syariah/tsaqofah-islam/drs-h-ahmad-yani-ketua-lppd-khairuummah-akhlak-kepada-rasul.htm

11

Anda mungkin juga menyukai