Anda di halaman 1dari 9

PENGGUNAAN METFORMIN PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL DAN KARDIOVASKULAR Muhammad Trihatmowijoyo Bundjali Jeffrey D.

Adipranoto Pendahuluan Metformin merupakan derivate biguanide yang digunakan untuk terapi pasien dengan diabetes tipe 2. Lain halnya seperti obat hipoglikemik yang lain seperti sulfonilurea, insulin, dan thiazolidinediones, metformin tidak meningkatkan berat badan dan tidak menyebabkan hipoglikemia. Dalam hal ini metformin menurunkan lemak tubuh total dan visceral dimana sebagai major contributor terjadinya resistensi insulin dan terlibat dalam patogenesis cardiorenal metabolic syndrome (CRS). Dengan menurunkan jaringan lemak visceral tersebut akan menurunkan resiko penyakit kardiovaskular pada penderita resistensi insulin yang diterapi dengan metformin (Klachko & Whaley-Connell, 2011). United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) (1998) memperlihatkan peran metformin terhadap kardiovaskuler sebagai satu-satunya obat anti hiperglikemia oral yang mampu menurunkan komplikasi makrovaskuler pada pasien diabetes dengan memperbaiki komponen-komponen sindrom metabolik dengan memperlihatkan manfaatnya terhadap perubahan glikemia, profil lemak, berat badan, distribusi lemak tubuh dan tekanan darah (Ripudaman & Silvio, 2003; Defronzo, 2007; Chan & Davidson, 2007). Sekitar 20-40% penderita diabetes juga mengidap diabetic nephropathy, besar kemungkinan mengalami komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada penderita seperti ini sangat dikhawatirkan untuk mengalami asidosis laktat. Mengingat metformin dieliminasi secara utuh melalui ginjal, maka secara teoritis penurunan glomerulus filtration rate (GFR) sangat berisiko menyebabkan asidosis laktat akibat akumulasinya yang berlebihan didalam tubuh (Herrington & Levy, 2011). Pada makalah ini, kami akan membahas efek pemberian metformin pada

kardiovaskular dan batasan pemberiannya pada penderita penyakit ginjal. Tinjauan Kepustakaan Departemen SMF Ilmu Penyakit Jantung danKardiovaskuler FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 2012
1

MEKANISME KERJA METFORMIN Metformin adalah suatu molekul yang bersifat lipofilik (Howlet & Bailey, 2007). Metformin mempunyai ikatan terhadap plasma sangat rendah dengan bioavalibilitas sekitar 60%. Obat ini tidak mengalami metabolisme di liver dan diekskresi melalui urine (Eng et al, 2007). Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus sesudah asupan makan (Soegondo, 2009). Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin terjadi melalui peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP activated protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas acetyl-CoA carboksilase (ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim lipogenik (Soegondo, 2009). Metformin juga dapat menstimjulasi produksi glucagon like peptide-1 (GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan fungsi sel alfa pankreas sehingga menurunkan glucagon serum dan mengurangi hiperglikemi saat puasa (Soegondo, 2009). Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu lipid, tekanan darah, dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1) (Soegondo, 2009).

EFEK METFORMIN PADA KARDIOVASKULAR Efek Kardioprotektif UKPDS 34 selama 10 tahun membandingkan metformin dengan sulfonilurea dan insulin. Dibandingkan sulfonilurea dan insulin, metformin mampu menurunkan risiko infark miokard sebesar 39%. Sementara penelitian UKPDS 35 menyatakan setiap penurunan 1% nilai HbA1c dikaitkan dengan penurunan kematian terkait diabetes, kejadian infark miokard, stroke, serta gagal jantung. Pengamatan ini menunjukkan bahwa metformin memiliki efek kardioprotektif disamping sifat hipoglikemiknya (Klachko & Whaley-Connell, 2011). Peningkatan kadar asam lemak bebas yang terjadi pada obesitas dan diabetes tidak terkontrol memberikan kontribusi pada resistensi insulin, peningkatan sintesis dan sekresi very2

low-density lipoprotein (VLDL). Peningkatan kadar trigliserida menghambat degradasi apolipoprotein B (Apo-B) di hati dan menyebabkan peningkatan LDL. Kombinasi dari sitokin dan reactive oxygen species (ROS) pada jaringan kardiovaskular dan ginjal disertai peningkatan non-enzymaticglycation of lipoproteins membawa kearah pembentukan partikel atypical glycooxidized LDL. Partikel ini terikat pada reseptor LDL tetapi memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor 'scavenger' yang terletak pada makrofag. Akumulasi partikel atypical glyco-oxidized LDL mengubah makrofag menjadi foam cell yang merupakan komponen penting dalam pembentukan plak aterosklerotik (Klachko & Whaley-Connell, 2011). Mekanisme yang mendasari manfaat metformin terhadap terapi diabetes adalah rangsangan Adenosin Monophospate-Activated Protein Kinase (AMPK) pada otot dan liver. (Zang et al, 2004; Fuji et al, 2006). AMPK adalah regulator utama dari lemak dan metabolisme glukosa (Zhou et al, 2001) dan menjadi master metabolik otot yang mengontrol metabolisme Iemak dan masukan glukosa (Winder et al, 2000). Sedangkan pada otot jantung dan skeletal aktifasi AMPK berhubungan dengan oksidasi fatty acid (Li et al, 2004; Zou et al, 2004). Aktivasi AMPK meningkatkan rasio [AMP]/[ATP] yang akhirnya meningkatkan transport glukosa. Beberapa laporan mengatakan metformin dapat mengaktifkan AMPK yang tidak tergantung dari rasio [AMP]/[ATP] (Fuji et al, 2006). AMPK-1 terdistribusi secara luas, sedangkan AMPK-2 terekpresi pada otot rangka, jantung dan hati. Efek peningkatkan aktifitas AMPK- 2 terjadi setelah pemberian metformin selama 4 minggu dan 8 minggu dengan dosis 1000 mg/hari (Musi, et al, 2002; Zou, et al, 2004; Fuji, et al, 2006; Tjokroprawiro, 2008). Pada otot jantung AMPK berinteraksi dengan nitric oxide-cGMP pathway memodulasi eNOS, serta merangsang masukan glukosa dan translokasi GLUT4 (Li et al, 2004). Metformin dapat menurunkan resiko kardiovaskuler, memperbaiki fungsi kardiovaskuler, memperlambat dan proteksi progresifitas atherogenesis pada diabetes serta mencegah DM tipe 2 pada populasi dengan resiko tinggi (Matthael et al, 2000; Zou et al, 2004; Aguiar et al, 2006;Fuji et al, 2006;Tandon, 2007). Metformin dapat mengontrol faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan

kardiovaskuler pada pasien diabetes dan obesitas (Tandon, 2007). Pada UKPDS dilaporkan bahwa monoterapi metformin menurunkan 39% kejadian infark miokardial pada pasien obesitas. Modifikasi pola hidup dapat memperbaiki kelainan metabolik pada DM tipe 2 yang berhubungan
3

dengan kejadian kardiovaskuler (Libby & Plutzky, 2002). Aktifitas kardioprotektif metformin melalui vaskuler, mitokondria, hemostasis dan penurunan AGE (Golay, 2008). Metformin dapat digunakan untuk terapi dislipidemia pada pasien diabetes (Tandon, 2007). Aktifasi metformin pada hepatosit akan menurunkan aktifitas acetyl-coA carboxylase (ACC), memacu oksidasi fatty acid dan menekan ekspresi enzim lipogenic. Aktifasi AMPK oleh metformin menurunkan ekspresi SREBP-1 mRNAs dan protein. Metformin bermanfaat terhadap sirkulasi lemak yang merupakan faktor resiko terhadap penyakit kardiovaskuler (Zhou et al, 2001). Penelitian sugiarto (2010) dengan randomized, double-blind clinical trial selama 12 minggu memperlihatkan bahwa kombinasi metformin, glibenklamid dan pola hidup memperlihatkan efek kardioprotektif dan anti-aterogenik dengan turunnya LDL, Apo-B dan ADMA pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini memperlihatkan peran metformin bermanfaat terhadap pencegahan penyakit kardiovaskuler (Sugiarto, 2010). Efek Vaskuloprotektif Beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa metformin memiliki sifat anti hipertensi pada hewan dan manusia. Pemberian metformin jangka pendek menunjukkan adanya repolarisasi otot polos kemudian mengalami relaksasi yang mekanismenya melibatkan pertukaran ion di kanal kalsium (Ca) pada sel otot polos vaskular yang terjadi sebagai respon sekunder untuk meningkatkan produksi nitric oxide (NO) oleh otot polos vaskular saat pemberian metformin. NO memang telah menunjukkan kemampuannya menurunkan respons vasokonstriksi melalui aktivasi cyclic guanosine monophosphate pathway. Metformin menurunkan Ca dengan mengaktivasi Na-ATP pump, maka cenderung lebih sensitif untuk kalium, mekanisme inilah yang dimungkinkan berkaitan dengan peningkatan asam laktat di otot polos (Klachko & Whaley-Connell, 2011). Resistensi insulin umumnya berhubungan dengan hipertensi, obesitas, penurunan fungsi ginjal, dislipidemia aterogenik, dan disfungsi pembuluh darah, yang semuanya memainkan peran penting dalam mempercepat perkembangan aterosklerosis polos (Klachko & Whaley-Connell, 2011). Metformin berhubungan dengan proteksi terhadap komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler sehingga metformin bermanfaat terhadap penurunan resiko komplikasi vaskuler pada DM tipe 2. Peran metformin terhadap penurunan komplikasi kardiovaskuler pada diabetes mellitus tipe 2 adalah menurunkan resistensi insulin, mempengaruhi homeostasis dan fungsi vaskuler, mempunyai potensi terhadap terapi sindroma metabolik dan diabetes mellitus, anti4

atherogenik, menghambat proses glycation, proteksi terhadap vaskuler serta mencegah diabetes mellitus tipe 2 dan komplikasi kardiovaskuler pada subyek dengan resiko tinggi (Tjokroprawiro, 2004;Chan & Davidson, 2007). Pada UKPDS telah memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan penyakit mikrovaskuler hampir 10 kali dan peningkatan kelainan makrovaskuler sekitar 2 kali jika dilihat dari peningkatan HbA1c dari 5, 5% menjadi 9, 5% (Brownlee, 2005). Pasien dengan hipertensi memiliki risiko komplikasi makrovaskuler lebih tinggi dari pada mikrovaskuler dan penurunan tekanan darah akan mengurangi kematian akibat gagal jantung (56%), stroke (44%) dan kematian akibat mikrovaskuler sekitar 37% (Wascher, 2003). Pada beberapa penelitian klinik dan eksperimental diyakini bahwa perbaikan fungsi endotelial, hemostasis, oxidative stress, glikasi dari protein, proses-proses seluler yang mendasari aterogenesis dan perbaikan fungsi mikrosirkulasi kemungkinan diperantarai oleh efek protektif dari metformin pada vaskuler (Chan & Davidson, 2007). Pada penelitian in vivo dan in vitro metformin dapat menurunkan kadar fibrinogen, meningkatkan aktifitas sistem fibrinolisis, menurunkan agregasi platelet, menurunkan Pal-1 dan CRP( Matthael et al, 2000;Tandon, 2007). Pada DM tipe 2 yang disertai obesitas terapi metformin berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas makrovaskuler, tidak tergantung pada perbaikan kontrol glukosa (Jager et al, 2005;Aguiar et al, 2006). Hiperglikemia kronik berhubungan dengan perkembangan komplikasi mikrovaskuler dan memperbaiki glukosa darah akan menurunkan komplikasi mikrovaskuler (Wascher, 2003;Chan & Davidson, 2007). Mekanisme metformin terhadap penurunan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler melalui: penurunan (adiposit, resisitensi insulin, oxidative stress, inflamasi, AGE, deposisi lemak, hiperglikemia), meningkatkan fibrinolisis dan memperbaiki profil lemak serta memperbaiki fungsi mikrosirkulasi kapiler (Zhou et al, 2001; Chan & Davidson, 2007; Tjokroprawiro, 2007;Tjokroprawiro, 2008). Metfromin telah dilaporkan dapat menurunkan tekanan sistolik dan diastolik serta menurunkan komplikasi makrovaskuler pada diabetes dengan memperbaiki fungsi endotel vaskuler, menurunkan sitokin pro-inflamasi dan oxidative stress (Tandon, 2007). Pada pasien DM tipe 2 metformin sebagai obat hipoglikemia dengan cara memperbaiki resistensi insulin, serta sebagai protektif terhadap vaskuler (Aguiar et al, 2006). Metformin memperbaiki fungsi dan reaktifitas endothelial vaskuler, menurunkan kejadian kardiovaskuler
5

serta resistensi insulin pada pasien sindroma metabolik dan DM tipe2 (Aguiar et al, 2006;Tandon, 2007). Metformin dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler dan penurunan progresifitas aterosklerosis (Tjokroprawiro, 2007). Resistensi insulin mempunyai peran utama dalam patogenesis disfungsi endothelial pada DM tipe 2. Terapi metformin dapat memperbaiki resistensi insulin dan fungsi endotel sehingga dapat digunakan untuk terapi penyakit vaskuler pada DM tipe 2 (Mather et al, 2OO1). Metformin dapat memperbaiki

endothelium-dependent vasodilation pada pasien dengan resistensi insulin (Hovvlet & Bailey, 2007;Muniyappa et al, 2007). Penelitian pada kultur bovine dari sel-sel endothelium aorta, metformin dalam dosis tertentu mengaktifasi AMPK. Aktifitas AMPK secara akut merangsang produksi NO melalui fosforilasi dan aktifasi eNOS melaui aktifasi mitochondria-derived ONOO dan c-Src/Pl3Kdependent. Aktifasi terhadap pembentukan ONOO akan memperbaiki fungsi endotelial. Aktifasi terhadap eNOS pada endotel berdampak terhadap pada bioenergi, angiogenesis, dan antiinflamasi (Zou et al, 2004;Levine et al, 2007). Pada kultur kardiomiosit tikus, pemberian metformin merangsangan phosphatidylinositol 3-kinase (Pi3-kinase) dan Akt dapat meningkatan AMPK sebesar 4 kali, sedangkan Akt sebesar 3 kali (Yang & Holman, 2006). Metformin memperlihatkan peningkatan eNOS, meningkatkan aktifitas NO, dengan menurunkan ekspresi adhesi molekul dan apoptosis endotel. Pada diabetes perbaikan fungsi endotel vaskuler melalui peningkatan AMPK-dependent dan aktifasi eNOS (Tandon, 2007). AMPK berperan dalam mengatur metabolisme di sel otot dan merupakan target pada pasien DM tipe 2 dan obesitas (Fryer et al, 2002). Terapi metformin dapat meningkatkan produksi NO karena aktifasi AMPK. Metformin juga menurunkan sirkulasi endothelin-1(ET-1) pada pasien dengan resistensi insulin dan memperbaiki fungsi endotel vaskuler melalui peningkatan aktifasi AMPK dan aktifasi eNOS (Davis et al, 2006;Muniyappa et al, 2007). Metformin dapat menurunkan konsentrasi dan aktifitas plasminogen activator inhibitor-1 (Pal-I), tissue plasminogen activator (tPA) antigen, von Willebrand factor, adesi dan agregasi platelet, meningkatkan aktifitas tPA, selanjutnya akan memperbaiki hiperkoagulasi (Ripudaman & Silvio, 2003). Efek Pada Penderita Gagal Jantung Satu dari empat penderita gagal jantung kronik adalah penyandang diabetes. Tingginya angka diabetes pada penderita gagal jantung kemudian dijelaskan oleh berbagai studi yang
6

menunjukkan bahwa hiperglikemia dan diabetes berhubungan dengan terjadinya gagal jantung, dengan peningkatan risiko 10-15% untuk setiap kenaikan 1% HbA1C (Shah DD et al, 2009). Beberapa studi lain menunjukkan bahwa pemberian metformin mampu memperbaiki kondisi akhir penderita gagal jantung serta menurunkan mortalitas dan angka rawat inap kembali dibandingkan dengan sulfonilurea. Berbagai studi tersebut secara konsisten menyatakan bahwa metformin dapat menurunkan angka kejadian gagal jantung dibandingkan dengan obat golongan sulfonilurea dan insulin. Sebuah penelitian Studies of Left Ventricular Dysfunction berhasil membuktikan bahwa diabetes bertanggung jawab terhadap perburukan disfungsi ventrikel kiri asimtomatik menjadi gagal jantung simtomatik, dan peningkatan angka rawat serta mortalitas pada penderita gagal jantung (Shah DD et al, 2009). Untuk mengetahui hubungan antara pemberian metformin dan akibatnya pada pasien diabetes dengan gagal jantung tahap lanjut serta untuk menilai profil keamanan pemberian metformin maka dilakukan sebuah studi terhadap 401 pasien gagal jantung sistolik tahap lanjut (klasifikasi New York Heart Association (NYHA) III-IV) di sebuah pusat Gagal Jantung Ahmanson-UCLA Cardiomyopathy pada 1994-2008. Studi ini merupakan studi observasional, tidak acak, dengan jumlah subyek 401 pasien yang dibagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok metformin (n=99) dan kelompok non-metformin (n=302). Usia subjek berkisar antara 20-84 tahun (rerata=56+11 tahun), dengan kelas NYHA III (42%) dan IV (45%) (Shah DD et al, 2009). Seluruh subjek penelitian mengalami peningkatan fraksi ejeksi yang bermakna setelah pemantauan selama 6 bulan pada kelompok metformin, dengan perbaikan ejeksi fraksi mencapai 30+10%. Perbaikan fraksi ejeksi ini bermakna jika dibandingkan dengan kelompok terapi nonmetformin. Di samping itu, pada kelompok metformin didapatkan lebih banyak subjek yang mengalami perbaikan fungsi jantung dibandingkan dengan kelompok non-metformin (Shah DD et al, 2009). Ditinjau dari segi survival rate, kelompok metformin menunjukkan angka yang lebih tinggi secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok non-metformin. Pada studi ini, persentase survival rate setelah 1 tahun dan 2 tahun untuk kelompok metformin adalah 91% dan 76%, sedangkan pada kelompok non-metformin adalah 78% dan 63% (P=0,007) (Shah DD et al, 2009).

Begitipun penelitian Eurich et al (2005) yang dilakukan secara retrospektif pada penderita gagal jantung memperlihatkan pemberian monoterapi metformin pada penderita DM tipe 2 yang disertai gagal jantung memiliki asosiasi yang lemah ditunjukkan dengan rendahnya tingkat morbiditas dan mortalitas dibanding dengan pemberian monoterapi sulfonilurea. Mekanisme kerja metformin dalam memperbaiki fungsi jantung dan survival rate diperkirakan melalui pengaruh pada aktivitas adenosine monophosphate (AMP)-activated protein kinase, sebuah enzim yang berperan sentral dalam homeostasis energi jantung dan jaringan lainnya serta berperan pada patofisiologi kelainan kardiovaskular dan metabolik. Sebuah studi yang dilakukan pada mencit yang menderita gagal jantung menunjukkan bahwa metformin memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan survival rate melalui aktivasi AMP-activated protein kinase dan mediatornya. Bukti ini menunjukkan bahwa metformin bersifat kardioprotektif tanpa dipengaruhi oleh efek antihiperglikemi. Diperkirakan mekanisme ini terjadi melalui peningkatan efisiensi miokard ventrikel kiri pada tingkat molekuler (Shah DD et al, 2009). Batasan Dosis Metformin Pada Gangguan Fungsi Ginjal Pada beberapa penelitian pengukuran estimated glomerulus filtrate rate

(eGFR) ginjal pemberian metformin didapatkan pada single dose metformin 850 mg pada orang tua sehat eGFR nya turun 35-40% lebih rendah daripada orang dewasa sehat. Ada suatu studi ketika diuji cobakan pada subjek dewasa sebanyak 15 orang dengan berbagai tingkatan Chronic kidney disease (CKD) terjadi penurunan eGFR sebesar 23-33% pada mereka yang memiliki mild CKD. Dan penurunan eGFR lebih besar sebesar 74-78% pada severe CKD. Penelitian lain pada pasien DM tipe 2 tak terkontrol yang berusia 78-88 tahun pemberian dosis metformin didasarkan pada perhitungan eGFR (30-60 ml/min/1,73m2 atau > 60 ml/min/1,73m2).m Maka diharapkan kadar metformin dalam darah jumlahnya tidak terlalu tinggi. Kadar laktat dalam darah tidak berubah dan dapat lebih rendah pada kelompok yang menerima dosis lebih sedikit (Klachko & Whaley-Connell, 2011). Konsensus terbaru dari The United Kingdom National Institute for Health and Clinical Excellence menyarankan kepada klinisi untuk mengoreksi ulang dosis metformin jika estimated GFR pasien kurang dari 45, ml/min/1,73m2 dan menghentikan penggunaannya jika perkiraan GFRnya kurang dari 30 ml/min/1,73m2. Pada konteks ini, beberapa peneliti melaporkan cara penggunaan metformin yang aman pada penderita CKD bilamana obat anti diabetik oral lainnya
8

tidak tersedia dan disarankan untuk menyesuaikan dosis metformin sesuai dengan kemampuan fungsi ginjalnya (tabel 1) (Klachko & Whaley-Connell, 2011).

Anda mungkin juga menyukai