Anda di halaman 1dari 34

ANOMALI MASYARAKAT FETISH TERHADAP BLACKBERRY

Pengantar Teori Kitis oleh Dian Kirana Putri

Program Paralel Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

LATAR BELAKANG

Dalam bukunya, Das Kapital II, Karl Marx pernah menulis tentang bagaimana seorang individu dalam masyarakat kapitalis modern mempercayai bahwa suatu barang hasil produksi memiliki kekuatan otonom untuk menentukan relasi sosialnya (Lewin dan Morris, 1977). Hal ini berarti dalam diri individu tersebut timbul keyakinan bahwa nilai-nilai eksistensi dirinya dalam ruang sosial bisa tersimbolisasikan dalam barang-barang produksi tersebut. Pada indvidu ini, yang terjadi ialah ia membeli barang hanya untuk mendapatkan nilai yang melekat pada barang itu, bukan karena membutuhkan nilai gunanya. Pemikiran Marx tersebut relevan dengan kondisi masyarakat modern saat ini yang identik dengan suatu paradigma bahwa barang produksi dapat mendefinisikan status sosial mereka. Dengan menjual brand, sebuah produk menghadirkan prestise, untuk menunjukkan apa posisi pemiliknya. Berbagai komoditas dengan segala simbol yang melekat di dalamnya telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat modern. Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada masyarakat di kalangan menengah. Di Indonesia, perubahan gaya hidup kelas menengah ini sangatlah terlihat dari tingkat belanja kelas menengah yang

semakin meningkat. Berdasarkan Survei Nielsen yang dilakukan sepanjang tahun 2011 pada responden kelas menengah kelas menengah Indonesia dinilai sebagai pasar yang luar biasa kuat daya belinya (Kompas, 9 Desember 2011). Kuatnya daya beli masyarakat kelas menengah ini salah satunya dipengaruhi oleh tingkat penggunaan media yang juga tinggi. Produsen produk apa pun dapat mengiklankan berbagai macam produknya melalui segala media, mulai dari televisi (96 % kelas menengah menontonnya), internet (22% kelas menengah mengaksesnya), telepon seluler karena 71% kelas menengah di perkotaan memakainya, dan jejaring sosial, mengingat 94% kelas menengah Indonesia terkoneksi satu sama lain. Pesan-pesan yang disampaikan melalui berbagai media membentuk konstruk sosial mengenai gambaran masyarakat ideal yang didefinisikan dengan segala macam kepemilikan barang. Berbagai konstruk sosial tersebut pada menumbuhkan sifat fetish yang mendorong masyarakat pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Media, dengan segala kontennya, membangun persepsi sosial yang mempercayai bahwa gaya hidup modern adalah yang senantiasa memperbaharui diri dengan mengkonsumsi barang-barang bermerk yang paling up to date. Pola belanja semacam ini terlihat jelas dalam konsumsi gadget terbaru, salah satunya ialah ponsel. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mahbubani Kishore dalam bukunya, Asian: The New Hemisphere (2008), yang menggambarkan bahwa salah satu dampak modernisasi ialah merebaknya telepon seluler. Dalam laporan tahun 2010, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga menunjuk kepemilikan ponsel sebagai salah satu indikator meningkatnya kelas menengah. Di Indonesia sendiri, tingkat penetrasi ponsel mencapai 60% dari
3

populasi atau lebih dari 100 juta penduduk. Perkembangan teknologi ponsel yang demikian cepatnya dan menghasilkan berbagai macam ponsel yang selalu fitur dan berganti brand dengan membuat menghadirkan berbagai macam

masyarakat modern merasa tertinggal jika tidak membeli ponsel dengan model terbaru. Masyarakat kelas menengah pun pada akhirnya terbentuk menjadi kelompok yang konsumtif terhadap pembelian penggunaan konsumerisme. Di Indonesia, konsumerisme kelas menengah terhadap ponsel dan didorong semakin terjebak konsumtif dalam oleh ponsel sehingga lingkaran

teknologi dibuktikan oleh fenomena maraknya ponsel Blackberry (BB). Sejak hadir di Indonesia, ponsel ini mulanya hanya dinikmati oleh kalangan atas, tetapi kini semua orang yang berasal dari berbagai Blackberry lapisan karena masyarakat terdorong pun oleh berlomba-lomba tren. Angka membeli penjualan

Blackberry yang terus meningkat membuktikan hal tersebut. Animo masyarakat terhadap smartphone ini begitu besar, sampai bisa dibilang tak rasional.

Sumber: http://newspaperdesign.ning.com (Tgl. 7 Juni 2012, pkl. 11.41).

Data di atas menunjukkan data penjualan Blackberry di berbagai belahan dunia. Terlihat jelas bahwa Blackberry mendominasi penjualan ponsel di pasaran pada tahun 2008-2009 dibandingkan dengan brand lain. Hal ini membuktikan bahwa trend teknologi, dalam hal ini Blackberry, telah mendunia dan tentunya kemudian diadaptasi di Indonesia. Sedangkan di Indonesia sendiri, penjualan Blackberry tahun 2011 menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan akan mencapai 4 juta unit sedangkan penjualannya di Malaysia saja tidak sampai 400 ribu unit. Dengan harga US$ 300 dolar per unit, penjualan di Indonesia akan mencapai US$ 1,2 miliar. Gregory Wade, Direktur Regional RIM menyatakan bahwa di Indonesia, BlackBerry smartphone. Fenomena ricuhnya antrian peluncuran perdana BB Bellagio pada 26 November 2011 menunjukkan bahwa fetisisme terhadap BB telah melanda masyarakat. Blackberry dianggap dianggap sebagai lambang modernitas mendorong masyarakat untuk belanja gaya hidup modern, bukan belanja fungsi sebuah ponsel. Oleh karena itulah, fenomena maraknya konsumsi Blackberry oleh kelas menengah di Indonesia menarik untuk dikaji dalam kerangka teori fetisisme komoditas untuk menjelaskan bagaimana sifat fetish terhadap Blackberry dapat melanggengkan kapitalisme modern melalui pembentukan masyarakat konsumtif. memimpin pangsa pasar mencapai 42% pasar

KERANGKA PEMIKIRAN
TEORI FETISISME KOMODITAS

Jika

ditilik

berdasarkan

terminologi

harfiahnya,

kata

fetisisme merujuk pada suatu sifat memuja (fetish). Fetisisme pada komoditas merupakan rangkaian dari proses konsumsi pada produk setelah perilaku konsumsi menjadi bersifat konsumtif dan berkembang menjadi gaya hidup (Mulvey, 1993; 1996). Fetisisme berkaitan erat dengan konsumtivisme, atau kondisi di mana seorang individu, sebagai konsumen, mengkonsumsi barang di luar kebutuhan riilnya. Dalam perspektif Teori Kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika menganalisis mengapa individu yang terdominasi yang dapat menerima dan dan mengadopsi kepercayaan dapat mendukung

mereproduksi status quo kapitalisme. Tesis Marx ini selajutnya dikembangkan menjadi terfokus pada operasionalisasi berbagai komoditas yang dihasilkan kapitalis dalam membentuk kepercayaan individu yang terdominasi. Bagi Marx, cara seorang individu menerima dan mengalami dominasi kapitalis, berbeda dari cara bagaimana sistem kapitalisme itu bekerja (Marx, dalam Lloyd, 2008). Dengan demikian, berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem kapitalisme, dalam Teori Fetisisme Komoditas, yang menjadi fokus adalah bagaimana kapitalisme bekerja membentuk kepercayaan pada tataran individu. Fetisisme terjadi apabila konsumsi individu terhadap suatu produk tidak berada pada level yang dibutuhkan, tetapi pada level di mana individu tersebut bahkan tidak mengetahui fungsi utama produk tersebut. Pada fetisisme komoditas, kebutuhan seorang individu didominasi dan dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang diperoleh dari komoditas tersebut (Ripstein, fetisisme
6

1987). menjadi

Dalam salah

relevansinya satu pondasi

dengan yang

kapitalisme, menyebabkan

kapitalisme tetap bertahan dan abadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bourdieu (1989) melalui teori distingsi sosialnya bahwa status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu-individu di dalamnya melalui cara konsumsi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Akar konseptual Teori Fetisisme Komoditas berasal dari pemikiran Karl Marx. Tesis Marx tentang fetisisme komoditas merupakan landasan teori bagaimana bentuk-bentuk komodifikasi bisa berfungsi mengamankan dominasi modal ekonomi. Menurut Marx, asal mula fetisisme komoditas adalah hasil usaha kerja manusia yang diobjektifikasi. Hubungan antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri dihadirkan sebagai suatu hubungan sosial sosial yang tidak hanya terjadi di antara produsen itu sendiri, tetapi juga di antara berbagai hasil produksi mereka. Hasil-hasil usaha tersebut menjadi sebuah komoditas yang seolah menjelma sebagai entitas otonom dan menjalin relasi sosial di antara mereka. Berbagai komoditas tersebut seolah memiliki wujud jiwa yang nyata, memiliki sifat dapat ditangkap sekaligus tidak dapat ditangkap oleh sebenarnya perwujudan kemampuan indrawi. komoditas tersebut Meskipun hanyalah

pendefinisian manusia yang mengambil wujud fantastis dari suatu hubungan di antara benda-benda hasil produksi tersebut. Inilah yang disebut Marx sebagai fetisisme, yang merekatkan manusia pada hasil-hasil kerja ketika diproduksi sebagai komoditas (Marx, 1963 dalam Strinati, 2007: 63). Kerangka sejati pemikiran Marx mengenai fetisisme. cara pertukaran fetisisme Menurut dapat

dikembangkan oleh Adorno, untuk menganalisis tentang rahasia keberhasilan fetisisme kapitalisme komoditas bahwa melalui merupakan asas Adorno, produsen
7

bagaimana

menunjukkan

memaksakan kekuatannya secara khusus dalam dunia bendabenda budaya (Adorno, 1991, dalam Strinati, 2007). Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena roda eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di mana masyarakat merasa bahwa konsumsi yang dilakukan merupakan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang dilakukan kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya melalui fetisisme komoditas ialah mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia dengan kebutuhan semu untuk melakukan pertukaran yaitu dengan mengkonsumi berbagai komoditas yang dihasilkan para produsen kapitalis tersebut. Dengan demikian, dalam fetisisme komoditas, asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat dengan cara menyamarkan dirinya sebagai objek kenikmatan (Strinati, 2007). Merujuk pada Bourdieu (1989), pola konsumsi individu dalam masyarakat kapitalis modern ini dapat mereproduksi kapitalisme dalam dua jalan. Pertama, membuat inidvidu untuk mengkonsumsi secara gila-gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi kelas atas. Namun yang terjadi adalah muncul kelas menengah beranggotakan sekumpulan individu dalam jumlah besar yang memiliki komoditas yang serupa. Pembagian kelas pekerja-dan kelas penguasa dalam level produksi pun menjadi sumber tersamarkan besar. masalah dengan Hal yang ini adanya pada kelas dan menengah dalam jumlah akhirnya

menyamarkan

sebenarnya

melanggengkan dominasi pemilik modal.

Kedua, kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus berebut menduduki hirarki sosial dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas high-end atau barang-barang yang paling mutakhir. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan status dalam hirarki sosial. Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan memperbaharui produk high-end tersebut secara kontiyu dan gradual. Pola konsumsi modern yang terjadi dalam repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus catch-up consumption. Sehingga, yang terjadi pada akhirnya adalah berlangsungnya konsumsi terus menerus dan bertambahnya kelas menengah yang terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd, 2008). Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola konsumsi kelas atas tersebut. Bourdieu (1989) menyebutkan bahwa yang diciptakan fetisisme sebenarnya tak lebih dari differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah demikian, dan jarak sosial antara keduanya fetisisme selamanya ini menjadi dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas atas. Dengan differensiasi sosialmelalui kontributor utama dalam kelanggengan dominasi kapitalis.

KONSUMERISME Pemahaman kata konsumerisme pada masa sekarang identik dengan sebuah bentuk atau gaya hidup. Gagasan tentang konsumerisme kapitalisme
9

ini

terkait yang

dengan berakar

teori-teori dari

konsumsi

dan

modern

pemikiran

Mahzab

Frankfurt. Menurut Mahzab Frankfurt, melalui konsumerisme, sistem kapitalisme memanfaatkan kesempatan untuk menciptakan masyarakat kelas menengah sebagai konsumen produknya. Oleh karena itu, keruntuhan akhir kapitalisme dan kebangkitan sosialisme serta masyarakat tanpa kelas merupakan hal utopis yang agaknya tak mungkin terwujud. Hal ini disebabkan pada fleksibilitas dan sifat tahan lama sistem kapitalisme yang didasarkan pada kemakmuran dan konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk kontrol sosial yang lebih umum melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007). Sistem kapitalisme modern menciptakan kemakmuran bagi kelas pekerja dengan tingkat pengendalian idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan kelas menengah tersebut. Para pekerja kelas menengah seolah diberi jaminan keamanan secara finansial agara bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan dan meraka butuhkan, sementara barang-barang tersebut adalah hasil produksi kapitalisme. Segala macam komoditas semakin mudah terjangkau. Konsekuensinya, komoditas tersebut lebih mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme membawa seorang konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli barang-barang tersebut dan membuatnya tidak sadar akan kebutuhan yang sebenarnya, saat itulah kapitalisme suskses mencipatakan fetisisme dalam diri konsumen (Strinati, 2007). Dalam konsumerisme, juga terdapat adanya kebutuhan palsu yang konsepnya dikembangkan oleh Herbert Marcuse (1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui
10

berbagai

komoditas

yang

diperoleh

dengan

jalan

konsumerisme. Implikasinya, kebutuhan-kebutuhan palsu yang diciptakan dipenuhi sementara kebutuhan-kebutuhan sejati yang sebenarnya masih belum terpenuhi. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan palsu, mereka memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan. Seorang tokoh posmodern, Jean Baudrillard (1998), memberi kontribusi berupa gagasannya tentang masyarakat konsumsi. Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak dan konkret, yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang material. Lebih lanjut ia menunjukkan gagasan manusia dalam memenuhi kebutuhannya: the immediately self-evident, such as an analysis in term of needs, will never produce anything more than a consumed reflection on consumption. Pemikiran Baudrillard ini menginterpretasikan bahwa sesungguhnya manusia tak pernah terpuaskan secara actual, sehingga segala kebutuhannya pun tak akan pernah terpuaskan. DETERMINISME TEKNOLOGI Teori ini dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertama kali pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum
11

mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik. McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh

bagaimana cara kita berkomunikasi. Perubahan pada mode komunikasi membentuk suatu budaya dengan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1.

Penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya.

2.

Perubahan

di

dalam jenis-jenis

komunikasi akhirnya

membentuk kehidupan manusia.


3. Sebagaimana

yang

dikatakan

McLuhan

bahwa

Kita

membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri. Dengan dilaluinya ketiga tahapan di atas, maka akhirnya peralatan tersebut membentuk atau mempengaruhi kehidupan manusia. Kita belajar, merasa dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio menyediakan kepada manusia lewat indera pendengaran (audio), sementara televisi menyediakan tidak hanya pendengaran tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa yang diterpa dari dua media itu masuk ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Selanjutnya, kita ingin menggunakannya lagi dan terus menerus. Bahkan McLuhan
12

sampai pada kesimpulannya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message). Media tak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan buku itu seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita akan bisa melihat dunia. Mengikuti teori ini, ada beberapa perubahan besar yang mengikuti perkembangan teknologi dalam berkomunikasi. Masingmasing periode sama-sama memperluas perasaan, dan pikiran manusia. McLuhan membaginya ke dalam empat periode. Di dalam masing-masing kasus yang menyertai perubahan itu atau pergerakan dari era satu ke era yang lain membawa bentuk baru komunikasi yang menyebabkan beberapa macam perubahan dalam masyarakat. Pertama-tama adalah era kesukuan. Era ini kemudian diikuti oleh era tulisan, kemudian era mesin cetak dan terakhir adalah era media elektronik dimana kita berada sekarang. Bagi masyarakat primitif di era kesukuan, pendengaran adalah hal yang paling penting. Peran otak menjadi sangat penting sebagai wilayah yang mengontrol pendengaran. Dengan pengenalan huruf lambat laun masyarakat berubah ke era tulisan. Era ini mendudukkan kekuatan penglihatan sepenting pendengaran. Dengan memasuki era tulisan terjadi perubahan yang penting dan perasaan serta pikiran manusia semakin
13

diperluas. McLuhan menyebutkan bahwa perubahan dengan penggunaan pendorong tulisan munculnya sebagai ilmu alat berkomunikasi filsafat menjadi dan ilmu matematika,

pengetahuan yang lain.

14

GAMBARAN KASUS

15

16

17

ANALISIS KASUS
FETISISME KOMODITAS TERHADAP BLACKBERRY Kasus kisruh yang terjadi saat sejumlah massa mengantre Blackberry Bellagio yang dijual dengan diskon 50 % di Pacific Place dinilai mengundang keheranan banyak orang, terutama karena penyebab rusuh adalah Blackberry, smartphone yang dinilai melekat dengan orang terliterasi dan berkebutuhan akan teknologi. Telepon seluler itu pun hanya boleh dibayar menggunakan kartu kredit sesuai identitas pengantre. Lokasi penjualan di mal kelas atas Jakarta. Semua mengindikasikan para pengantre berasal dari kelas menengah yang asumsinya punya kemampuan ekonomi dan rasionalitas cukup. Oleh karena itulah, jika sampai terjadi keksiruhan yang sampai menyebabkan puluhan orang pingsan, tentu ada suatu irasionalitas yang menjangkiti para pengantre tersebut, yang menjadi tanda tanya besar, mengapa mereka rela berdesak-desakan demi membeli BB terbaru yang didiskon setengah harga dan hanya boleh dibayar dengan kartu kredit? Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, kasus

rusuhnya antrian masyarakat pada acara peluncuran BB Bellagio merupakan sebuah fenomena yang meggambarkan bagaimana fetisisme telah merasuki para konsumen teknologi dalam sistem sosial masyarakat di Indonesia, yang notabene didominasi oleh kalangan menengah. Sebagaimana yang dikatakan Mulvey (1963) mengenai fetisisme sebagai gaya hidup, dalam fenomena tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia cenderung terjebak pada gaya hidup fetish dengan berusha mati-matian mendapatkan BB Bellagio yang dijual separuh harga tersebut.

18

Sesuai

dengan

konsep

fetisisme

komoditas

yang

dikemukakan Marx dalam Das Kapital (1954), orang-orang yang turut terlibat dalam antiran peluncuran BB Bellagio itu dapat dipandang sebagai entitas yang terdominasi oleh sistem kapitalisme. Namun, sebagai pihak yang berada dalam posisi subordinat, perilaku mereka justru merupakan suatu bentuk adapatasi dan reproduksi kapitalisme. Operasionalisasi sistem kapitalis kelas menengah bekerja melalui pembentukan kepercayaan akan nilai-nilai sebuah komoditas. Begitu juga dengan kelas menengah yang menganggap Blackberry adalah alat pemuas kebutuhan. Mereka seolah-olah tak mau kehilangan kesempatan ketika ada produk terbaru BB. Kasus diskon ponsel hanya titik peledak untuk menyalurkan rasa frustrasi karena tidak puas dengan keadaan diri. Berbagai acara di media, iklan, serta tren masyarakat sosial berusaha menyampaikan bahwa Blackberry dapat memberikan kepuasan diri sebagai produk yang melambangkan status sosial tinggi dan gaya hidup modern. Berbagai konstruk sosial tersebut pada menumbuhkan sifat fetish dalam diri individu tersebut. Realitas mengenai diskon Blacberry di atas menunjukkan fenomena fetisisme terhadap suatu produk, di mana seorang individu tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya demi kepuasan akan sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri individu tersebut membawanya pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Pada akhirnya, sistem kapitalisme menggiring perilaku konsumtif ini pada belanja gaya hidup modern, bukan belanja fungsi barang tersebut. Marx menjelaskan bahwa fetisisime komoditas merupakan jawaban mengapa komodifikasi bisa mengamankan dominasi
19

kapital. Hal ini bisa dilihat dari berbagai komoditas bermerk Blackberry yang berhasil menarik animo masyarakat, khususnya kelas menengah untuk membeli dan mengonsumsinya. Komoditas tersebut sebenarnya merupakan hasil produksi yang dijadikan sebagai objek pemuas kebutuhan. Melaui merk-merk yang melekat pada komoditas itu, hadir hubungan sosial, hadir suatu konstruk sosial tentang citra, prestise, dan status sosial yang terbentuk dalam diri seseorang ketika ia menggunakan Blackberry, apalagi model terbaru. Produsen berbagai komoditas itu berusaha menancapkan suatu definisi diri yang tersampaikan melalui merk BB Bellagio tersebut. Fetisisme terhadap komoditas Blackberry ini merupakan cara bagaimana produsen produk kapitalis seperti Blackberry menunjukkan bahwa asas pertukaran dapat memaksakan kekuatannya secara khusus dalam benda-benda yang menjadi lambang kultural masyarakat. Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena roda eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di mana masyarakat merasa bahwa konsumsi harus terus menerus dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itulah, produsen komoditas kapitalis berusaha menciptakan definisi sosial melalui sebuah lambang produk atau brand Blackberry. Setelah brand tercipta, produsen kapitalis tren berusaha membentuk dan definisi sosial dalam brand untuk yang dengan tersebut melalui konstruksi media, konstruksi media ini membentu masyarakat, mempengaruhi dengan masyarakat modern sosial melakukan merasa
20

konformitas ia

kehidupan secara

dilambangkan dalam produk tersebut. Ketika masyarakat telah bahwa harus konform

menggunakan brand Blackberry, produsen Blackberry ini terus menjaga agar masyarakat tetap membeli dan membeli Blackberry dengan cara terus memproduksi dan memperbaharui produkproduk Blackberry dengan tipe terbaru yang bisa jadi tak berisikan peningkatan teknologi secara signifikan, hanya reka ulang model atau penambahan sedikit fitur. Jika merujuk pada Bourdieu (1989), apa yang dilakukan produsen Blackberry tersebut menunjukkan sistem reproduksi kapitalisme modern. Bourdieu (1989) menjelaskan ada dua jalan para produsen kapitalis ini dapat mempertahankan sistem kapitalisme modern melalui pola konsumsi masyarakat. Pertama, membuat inidvidu untuk mengkonsumsi secara gila-gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi kelas atas. Contohnya ialah upaya mobilisasi vertikal yang dilakukan orangorang ketika mereka menginginkan membeli produk Blackberry demi kepentingan prestisius. Namun yang terjadi adalah bukanlah orang-orang tersebut tergolong sebagai kelas atas dengan memakai Blackberry, tetapi muncul kelas menengah beranggotakan sekumpulan individu dalam jumlah besar yang memiliki komoditas yang serupa, yaitu Blackberry. Terjadinya kelas menengah ini sangat tampak di Indonesia dengan adanya kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan mencukup tapi tak besar dan memiliki daya beli yang luar biasa yang ditunjukkan dengan tingkat belanja yang tinggi (Nielsen, dalam Kompas, 9 Desember 2011). Menurut Nielsen, kelas menengah ini dapat ditandai dengan kepemilikan beberapa barang yang serupa, terutama barang-barang konsumsi yang identik dengan kepraktisan, antara lain produk teknologi. Fenomena kisuruhnya antrian BB Bellagio juga menunjukkan jalan kedua reproduksi kapitalisme yang dilakukan para produsen
21

dengan memebntuk siklus konsumsi melalui produk yang plaing up-to-date. Dimulai dari kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus berebut menduduki hirarki sosial dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas high-end atau barang-barang yang paling mutakhir, salah satunya ialah Blackberry. Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan memperbaharui produk high-end tersebut secara kontiyu dan gradual, yang terlihat dari maraknya produk-produk BB masuk ke Indonesia dengan berbagai tipe dan rutin diperbaharui, mulai dari BB Curve, BB Gemini, BB Apollo dan lain-lain yang diproduksi dnegan berbagai macam fitur dan harga jual, disesuaikan untuk kelas atas atau kelas menengah. Para pemilik BB yang memiliki model tertentu biasanya menunjukkan kecenderungan untuk terus meng-upgrade tipe BB yang dimilikinya. Bellagio yang harga aslinya dibanderol sekita 4,6 juta rupiah ini cenderung diperuntukkan untuk masyarakat kelas atas. Ketika BB ini akhirnya diluncurkan perdana, masyarakat kelas menengah pun berlomba-lomba untuk memanfaatkan kesempatan memiliki produk prestisius dengan harga yang cukup terjangkau. Diskon peluncuran perdana membuat mereka seolaholah merasa bahwa inilah kesempatan langka yang datang hanya sekali untuk melakukan mobilitas sosial vertikal dengan membeli produk BB prestisius. Keinginan masyarakat untuk terus memperbaharui produk Blackberry yang dimilikinya tersebut akhirnya membentuk pola konsumsi modern yang terjadi dalam repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus catch-up consumption. Sehingga, yang terjadi adalah berlangsungnya konsumsi terus menerus dan bertambahnya kelas menengah yang terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd, 2008). Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme.
22

Fetisisme bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola konsumsi kelas atas tersebut.

MEMBANGUN KONSUMERISME KELAS MENENGAH LEWAT BLACKBERRY Ricuhnya antrian Blackberry yang pembelinya didominasi masyarakat prosuksi kelas menengah berhasil tersebut menunjukkan pasar bahwa untuk kapitalisme menciptakan

mereproduksi sistem kapitalisme. Sistem produksi kapitalisme modern dengan sengaja membangun kemakmuran bagi kelas pekerja menengah dengan tingkat pengendalian idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan kelas menengah tersebut. Hal ini dibuktikan dari peningkatan pendapatan per kapita Indonesia di akhir tahun 2011 menjadi USD 3.269, padahal analis dari Golden & Sach memperkirakan pendapatan per kapita Indonesia baru tumbuh menjadi USD3.000 pada tahun 2020. Naiknya pendapatan per kapita ini dibareng dengan melonjaknya tingkat konsumsi di kalangan kelas menengah, sehingga dari total pendapatan tersebut, hampir 8090% habis dibelanjakan, bahkan ada yang tingkat konsumsinya melebihi pendapatan (Nielsen, dalam Kompas, 9 Desember 2011). Kondisi tingkat kemakmuran dan pembentukan gaya hidup konsumtif kelas menengah masyarakat Indonesia tersebut sangat erat kaitannya dengan kapitalisme (Chaney, 1996). Sistem kapitalisme
23

dengan

segala

kebebasan

produksinya

telah

mengkondisikan individu pada pemikiran delusional mengenai status, kelas, posisi sosial, dan prestise, dan berbagai pakem standar yang harus diikuti dalam kehidupan modern. Kapitalisme memastikan bahwa keuntungan diperoleh melalui produksi yang memberi keuntungan sebanyak-banyaknya. Salah satu produk kapitalis modern yang memiliki pengaruh terkuat kepada konsumen ialah produk teknologi, seperti Blackberry ini. Melalui penciptaan sebuah brand yang mengandung fitur khas di dalamnya, Blackberry berhasil menciptakan fetisisme terhadap brand ini, yang membuat orang tak lagi rasional ketika melakukan pembelian Blackberry. Kelas pekerja yang telah mengalami kemakmuran ini pada dasarnya menginginkan untuk mengonsumsi kemewahan Blackberry untuk membeli citra sosial yang dibangun di dalamnya, bukan untuk memperoleh fungsi telepon genggam yang mereka butuhkan, atau membeli teknologi yang ada di dalamnya. Sesuai dengan yang dikatakan pakar teknologi, Onno W. Purbo, tak ada peningkatan teknologi dalam BB Bellagio terbaru ini. Masyarakat hanya menginginkannya karena produk tersebut bermerk, dicitrakan sebagai lambang modernitas, dan dijual dengan harga yang sangat menggiurkan. Meskipun masyarakat kelas menengah ini telah mengalami kenaikan penghasilan, merek tetap kelompok yang dihadapkan pada keterbatasan finansial, apalagi demi memuaskan hasrat konsumsinya. Irasionalitas masyarakat dalam mengonsumsi produk

Blackberry terbaru tersebut menunjukkan adanya dorongan akan kebutuhan semu seperti yang didelaskan oleh Marcuse (1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan oleh produk
24

Blackberry.

Sehingga

ketika

diluncurkan

produk

Blackberry

terbaru, mau tidak mau masyarakat tentu tergoda dengan status sosial, prestise, dan citra yang bisa didapatkan melalui Blacberry dan dan bisa diperoleh dengan setengah harga. Implikasinya, kebutuhan-kebutuhan palsu terhadap pencitraan sosial yang dibentuk melalui produk kapitalis ini membuat masyarakat bernafsu untuk memenuhinya, sementara kebutuhan-kebutuhan sejati yang sebenarnya, seperti kebebasan diri, rasa aman, perlindungan terhadap diri sendiri justru diabaikan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan kebutuhan-kebutuhan palsu yang membuat mereka berpikir bahwa mereka harus memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan. Oleh karena itu, masyarakat kelas menengah ini seperti tak mau ketinggalan untuk mendapatkan produk mewah yang harganya didiskon sampai 50%. Mereka tak peduli meskipun harus berdesak-desakan dan harus menggunakan kartu kredit untuk membelinya, segala cara dilakukan untuk memuaskan hasrat memiliki produk terbaru Blackberry. Pola perilaku konsumsi yang cednerung irasional ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah komoditas, Blackberry mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme membawa seorang konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli Blackberry model terbaru dan membuatnya tidak sadar akan kebutuhan akan keamanan diirinya, saat itulah kapitalisme suskses mencipatakan fetisisme Blackberry dalam diri konsumen. Fetisisme ini kemudian mendorong pada konsumerisme. Masyarakat yang telah fetis terhadap Blackberry akan mudah terpengaruh untuk terus membeli dan mengonsumsi Blackberry yang paling up-to-date. Hal ini ditopang dengan konstruksi media massa terhadap produk Blackberry terbaru yang dinilai sesuai
25

dengan gaya hidup modern dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat urban. Oleh karena itulah, sasaran penjualan produk tersebut tak hanya kelas borjuis, tetapi telah mengarah kepada kelas menengah yang yang didasarkan pada kemakmuran dan konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk kontrol sosial yang lebih umum melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007). Metode pembelian BB Bellagio yang menggunakan credit card juga semakin menguatkan bahwa obral Blackberry ini hanyalah salah satu cara atau insentif yang diberikan kepada kelas menengah untuk medorong mereka terus dan terus mengonsumsi ke depannya. Masyarakat kelas menengah menjadi berpikir bahwa kartu kredit adalah barang yang identik dengan gaya hidup modern dan harus dimiliki untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan modern tersebut. Fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan melalui sistem kredit, juga hadirnya kartu ajaib credit card akhirnya menjadi solusi instan untuk memenuhi hasrat akan produk-produk up to date. Dengan hanya menggesek kartu kredit, dalam sekejap barang-barang mewah tersebut berada dalam genggaman. Meskipun barang-barang mutakhir tersebut belum tentu menjadi kebutuhan, masyarakat tetap saja membelinya demi membiayai prestise yang menjadi penunjang gaya hidup modern. Pola konsumsi berlebihan dan cenderung irasional tersebut akhirnya membentuk individu-individu dalam kehidupan modern menjadi masyarakat yang konsumtif yang tak pernah puas dalam membeli barang, persis seperti yang dikatakan Baudrillard (1998) tentang wujud masyarakat konsumsi. MASYARAKAT DETERMINISTIK TEKNOLOGI

26

Analisa di atas meninggalkan pertanyaan, mengingat secara ekonomi Indonesia masih berada dalam urutan ke 86 negara termiskin di dunia dilihat dari angka GDP-nya, belum lagi jika dilihat dari beban utang luar negri dan jumlah angka kemiskinan yang ada. Maka, semua fakta ini tentu akan mengarah pada sebuah pertanyaan, Mengapa dan Bagaimana pengguna Blakcberry di Indonesia? Untuk menjawabnya, penulis melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa pecinta Blackberry. Lima sampel yang dipilih sesuai dengan karakteristik misalnya selalu menggunakan Blackberry setiap hari dan telah memilikinya paling tidak selama satu tahun. Kemudian, hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka menyukai Blackberry karena teknologi Blackberry Messenger (BBM) yang tertanam di dalamnya karena dengan menggunakan BBM maka komunikasi menjadi lebih mudah dan murah. Hal ini mengindikasikan bahwa BBM menggunakan pendekatan seperti menciptakan fleksibel apa yang dikatakan McLuhan sebagai baru tentang komunikasi manusia pendekatan interaksi sosial, dimana BBM lebih interaktif dan sebuah pemahaman dinamis, yang pribadi. BBM menjadi sebuah lingkungan informasi yang terbuka, dan memungkinkan mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru yang lebih interaktif dan berdasarkan pada masyarakat. BBM memberikan tempat pertemuan semu yang memperluas dunia sosial, menciptakan peluang pengetahuan baru dan menyediakan tempat untuk berbagi pandangan secara luas. Tentu saja penggunaan Blackberry tidak seperti melakukan interaksi tatap muka, tetapi memberikan bentuk interaksi baru yang membawa kita kembali pada hubungan pribadi dalam cara yang tidak bisa dilakukan oleh media sebelumnya. Namun tentu
27

ada kekurangannya misalnya Blackberry mungkin memberikan penggunaan yang terbuka dan fleksibel, tetapi dapat juga menyebabkan terjadinya kebingungan dan kekacauan. Media yang baru memang pilihan yang sangat luas, tetapi pilihan tidak selalu tepat ketika kita membutuhkan panduan dan susunan. Blackberry mungkin memberikan keluwesan waktu dalam penggunaan, tetapi juga menciptakan tuntutan waktu yang baru Lebih lanjut sampel menyatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan Blackberry jika tidak banyak orang lain yang menggunakannya, karena tentu layanan BBM pun menjadi tidak berguna bagi mereka. Sehingga pada dasarnya mereka memang menggunakan Blackberry karena sudah menjadi tren dalam pergaulan mereka dan membentuk kebiasaan terhadap relasi sosial masyarakat masa kini untuk mengobrol lewat BBM. Namun yang terjadi akhirnya komunikasi via teknologi akhirnya dapat mengalahkan esensi interaksi langsung manusia. pertemuan tatap muka dianggap tak lagi penting mengingat segala pembicaraan dapat dilakukan kapan saja dengan Blackberry. Trend yang berlaku tersebut membentuk pemikiran bahwa sebegitu pentingnya Blackberry bagi hidup mereka sampai 4 dari 5 sampel menyatakan Blackberry milik mereka tidak pernah mereka non aktifkan, berarti 24 jam nonstop aktif dimana Blackberry menjadi barang terakhir yang mereka pegang sebelum tidur dan barang pertama pula yang mereka pegang begitu mereka bangun tidur di pagi harinya. Alasannya lebih karena mereka tidak mau jika ada berita atau kabar penting yang mereka lewatkan. Sampai sebegitu fokusnya manusia terhadap teknologi. Uraian tersebut berkaitan dengan penjelasan pendekatan integrasi sosial yang mana menggambarkan media bukan dalam bentuk informasi, interaksi dan penyebarannya tetapi dalam
28

bentuk ritual atau bagaimana manusia media sebagai cara menciptakan masyarakat. Media bukan hanya sebuah instrument informasi atau cara untuk mencapai ketertarikan diri, tetapi menyatukan menggunakan mungkin atau sebenarnya. Menurut pandangan integrasi sosial, interaksi kita dalam beberapa bentuk ritual masyarakat bersama interaksi dan yang yang memberi kita rasa saling memiliki. Hal ini terjadi dengan media tidak sebagai mungkin sebuah menggunakan

bahkan bukanlah sebuah komponen penting dalam integrasi sosial melalui ritual. Maka interaksi tatap muka bukan lagi standar utama atau dasar bagi perbandingan media komunikasi. Kita tidak terlalu banyak interaksi dengan orang lain, tetapi dengan media itu sendiri. Kita tidak menggunakan media untuk memberitahu kita tentang sesuatu, tetapi karena menggunakan media adalah ritual diri yang memiliki makna dalam dan dari ritual itu sendiri. Setiap media memiliki potensi untuk ritual dan integrasi, tetapi media menjalankan fungsi ini dalam cara yang berbeda. Manusia mendengarkan dan melihat, tetapi media tidak berbicara atau berinteraksi dengan manusia. Sebaliknya kita menggunakan media sebagai semacam ritual bersama yang membuat kita merasa sebagai bagian dari sesuatu yeng lebih besar dari diri kita. Media diritualkan karena media menjadi kebiasaan, sesuatu yang formal dan memiliki nilai yang lebih besar dari penggunaan media itu sendiri. Blackberry tak lagi sekedar alat komunikasi telepon atau menyimpan data, tetapi telah memiliki nilai lebih sebagai media untuk menunjukkan diri manusia tersebut sebagai bagian dari komunitas dan bagian dari trend Blackberry yang sedang melanda. Artinya, kita bergabung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
29

Media yang awalnya merupakan perpanjangan kemampuan manusia untuk penuhi kebutuhan, atasi kendala dan memudahkan kehidupan pada akhirnya menjadi hal yang lebih penting bagi masyarakat saat ini. Hal ini membawa kita kembali pada quote McLuhan the medium is the message yang menyiratkan bahwa esensi pesan yang penting bagi kita bukanlah konten dalam pesan tersebut tetapi justru media itu sendiri, dalam hal ini Blackberry. Media menjadi obyek pemuasan diri. Budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi dan seperti inilah budaya masyarakat Indonesia saat ini: mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

PENUTUP
30

Berdasarkan paparan konseptual dan hasil analisis yang telah dilakukan, oleh Karl dapat Marx disimpulkan tentang bahwa dari segi konseptual, kapitalisme pembentukan modern, fetisisme komoditas merupakan konsep yang awalnya dirumuskan bagaimana sistem mengamankan suatu hasil moda produksinya Dalam melalui

keyakinan dalam diri individu mengenai nilai dan relasi sosial produksi. masyarakat kapitalis fetisisme komoditas merupakan cara untuk mempertahankan status quo kapitalisme melalui perilaku konsumsi individu dalam kehidupan sehari-hari. Fetisisme komoditas menekankan nilai pertukaran suatu barang dibanding nilai fungsinya, sehingga dalam mengkonsumsi suatu produk, seorang individu lebih memikirkan nilai yang ia peroleh dalam relasi sosial dari produk tersebut, dibanding fungsi produk tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang menciptakan sifat konsumtif dalam diri individu. Akibatnya, terbentuklah suatu masyarakat pekerja kelas menengah yang selalu berusaha mengkonsumsi komoditas kapitalis dengan tujuan memperoleh nilai sosial barang tersebut. Fenomena konsumerisme yang terbentuk melalui fetisisme

komoditas ini dapat dilihat dalam kasus kisruh antrian BB Bellagio yang didiskon 50% pada peluncuran perdana di Indonesia. Sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam antrian tersebut adalah masyarakat kelas menengah yang notabene memiliki literasi dan rasionalitas. Namun, fetisisme terhadap komoditas Blackberry yang terbntuk dalam masyarakat kelas menengajh membuat mereka tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya demi kepuasan akan sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri individu tersebut membawanya

31

pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Fetisisme ini kemudian mendorong pada konsumerisme.

Masyarakat yang telah fetis terhadap Blackberry akan mudah terpengaruh untuk terus membeli dan mengonsumsi Blackberry yang paling up-to-date. Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan memperbaharui produk tersebut secara kontiyu dan gradual, sehingga membentuk siklus catch-up consumption dan mengakibatkan berlangsungnya bertambahnya kelas menengah dan membentuk masyarakat konsumtif. Perubahan cara berkomunikasi masyarakat dengan menggunakan Blackberry ini akhirnya turut mempengaruhi perubahan budaya masyarakat itu sendiri. Tren yang ada saat ini mengindikasikan bahwa esensi pesan yang sesungguhnya tak lagi terletak pada konten pesan tersebut tetapi pada medianya. Fetish masyarakat terhadap Blackberry akhirnya membangun tolak ukur bagi relasi sosial masyarakat masa kini.

32

DAFTAR PUSTAKA
BUKU Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Soceity: Myths and Structures. London: SAGE Publications, Ltd. Burton, Graeme. (2005). Media and Society: Critical Perspectives. New Delhi : Rawat Publication. Lloyd, Gareth. (2008). Thesis. Commodity Fetishism and Domination: The Contributions of Marx, Lukacs, Horkheimer, Adorno and Bourdieu. Rhodes University : School of Humanity. Lewin, Haskell dan Jacob Morris. (1977). Marxs Concept of Fetishism. Science and Society, Vol. 41(2), 172-190. Masniasari, Amelia. (2008). Miss Jinjing: Belanja Sampai Mati. Jakarta: Gagas Media. Mulvey, Laura. (1993). Some Thoughts on Theories of Fetishism in the Context of Contemporary Culture. October Vol. 65, 3-20. The MIT Press. Mulvey, Laura. (1996). Fetishism and Curiousity. London : British Film Institute. Ripstein, Arthur. (1987, December). Commodity Fetishism. Canadian Journal of Philosophy Vol. 17 (4), 733-748. Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terjemahan. Yogyakarta : Jejak.
33

Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada, Yogyakarta: Jalasutra. Zizek, Slavoj. 2008. The Sublime Object of Ideology 2nd Edition: The Essential Zizek. Verso:London

WEBSITE http://nurudin.staf.umm.ac.id (Tgl 7 Juni 2012, pkl. 12.16). http://tekno.kompas.com/read/2011/11/27/11355290/Gara.gara.Be llagio..Jakarta.Mendunia (Tgl 7 Juni 2012, pkl. 12.18). http://tekno.kompas.com/read/2011/11/25/10283387/Peminat.Bell agio.Membludak..Antrian.Sempat.Ricuh (Tgl 7 Juni 2012, pkl. 12.19) http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/0549551/pingsan.bereb ut.pun.dijalani Pambudy, Ninuk Mardiana. (2011, 9 Desember). Siap Berubah dan Menuntut Perubahan, dalam Kompas, 46. Redana, Bre. (2011, 9 Desember). Hiperteks, Hipermedia dalam Kompas, 45. Hiperkonsumerisme,

34

Anda mungkin juga menyukai