Anda di halaman 1dari 31

BAB I PENDAHULUAN

Pada dasarnya sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan atau Trias Politika, sehingga dalam Hak Uji Materiil terhadap Undang-Undang dianggap tidak diperlukan, akan tetapi setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945 kekuasaan legislative bergeser dari tangan presiden ke DPR, jadi pemisahan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dipisahkan secara tegas. Alasan mendasar dari sudut pandang Hukum Tata Negara keharusan dilakukan Judicial Review atau kontrol judicial terhadap kekuasaan legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara adalah untuk mencegah lembaga tersebut melanggar norma-norma konstitusi pembuatan Undang-Undang. Kekuasaan kehakiman (judicative power) pasca amandemen UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar, sebelum amandemen kekuasaan terutama dalam hal

kehakiman hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya, setelah amandemen UUD 1945 kekuasaan tidak hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung , tetapi dilaksanakan bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 (ayat 2) UUD 1945. Baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan yang berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut halhal yang berkaitan dengan kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi itu kewenangannya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, pembubaran parpol, perselisihan hasil pemilu, dan sengketa antar lembaga Negara. Khususnya menyangkut kewenangan untuk menguji Undang-Undang Dasar, kekuasaan judikatif dalam konstitusi baru telah diberi kewenangan untuk menilai dan membatalkan jika produk legislatif tersebut materi muatannya melanggar normanorma UUD.

Dari pemaparan diatas dalam pembahasan selanjutnya, kami akan mencoba menjelaskan lebih spesifik mengenai Hak Uji Materiil terhadap

peraturan Perundang-Undangan yang diantaranya mengenai macam-macam Hak Uji, Pengaturan Hak Uji dalam Konstitusi dan UU, Hak uji Materiil di MA, dan Hak Uji Materiil oleh MK.

BAB II PEMBAHASAN

A. Macam-Macam Hak Uji Hak menguji (toetsingsrecht) adalah Hak atau Kewenangan untuk menguji atau menilai apakah suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya atau tindakan-tindakan pemerintah yang ada atau akan di undangkan (akan dilaksanakan) bertentangan atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar atau Ketentuan-ketentuan lain yang lebih tinggi dari pada peraturan Perundang-Undangan atau tindakan pemerintah yang sedang dinilai.1 Pada umumnya, mekanisme pengujian Hukum ini diterima sebagai cara Negara Hukum modern mengendalikan dan mengimbangi (check and balance) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para pejabat pemerintah untuk menjadi sewenangwenangan. Berikut macam-macam Hak uji adalah: 1. Hak menguji (teotstingrecht atau Review) menurut kontennya adalah: a. Hak menguji Formal (formele teotsingrecht) adalah wewenang

untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hak menguji formal adalah : wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undangundang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945).
1

Nimatul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UI Press, 2011), hlm.25.

Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota. Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya. b. Hak menguji material (materiele toestingrecht) adalah suatu

wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, (lex superior derogate lex infriore), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan

kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Menurut Prof Harun Alrasid, hak menguji material ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang, dan hak menguji ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut Bagir Manan, untuk menjaga agar kaidah-kaidah Konstitusi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan konstitusional lainnya tidak dilanggar dan disimpangi (baik dalam bentuk maupun dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk tindakan-tindakan pemerintah)perlu adanya badan serta cara mengawasinya. Dalam literatur yang ada terdapat tiga kategori besar

pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi Negara ) yaitu: 1) Pengujian oleh badan peradilan (judicial review) 2) Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review) 3) Pengujian oleh pejabat atau badan adminstrasi Negara (administrative review)2 Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 2. Hak Menguji menurut Yurisdiksi (kewenangannya) yaitu : a. Mahkamah Agung Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kasasi dan menguji peraturan perundangundangan dibawah Undang-Undang, ketentuan mengenai hak uji materiil dapat kita lihat UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.3 b. Mahkamah Konstitusi Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24C ayat 1, Mahkamah Konstitusi memiliki empat (4) kewenangan yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, (3) memutus pembubaran partai politik, (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 3. Hak Menguji menurut sistem cara pengujiannya atau konsep pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman yaitu:
2

Nimatul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UI Press, 2011), hlm.24.
3

Siti Fatimah, Praktik Judicial Review di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 11.

a. Judicial Review Adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara hirarkis, judicial review tidak dapat

dioperasionalkan tanpa ada peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hirarkis.4 b. Judicial Preview Adalah statusnya masih sebagai rancangan UU (RUU) dan belum diundangkan secara resmi sebagai UU maka pengujian atasnya disebut judicial preview. Dalam sistemPerancis, yang berlaku adalah judicial preview, karena yang diuji adalah RUU yang sudah disahkan oleh parlemen, tetapi belum disahkan dan diundangkan sebagaimana mestinya oleh Presiden. Jika parlemen sudah memutuskan dan mengesahkan suatu RUU untuk menjadu UU, tetapi kelompok minoritas menganggap rancangan yang telah disahkan itu sebenarnya bertentangan dengan konstitusi, maka mereka dapat mengajukan RUU itu untuk diuji

konstitusionalitasnya di la Counseil Constitusionnel atau Dewan Konstitusi. dewan inilah yang akan memutuskan apakah RUU bertentangan atau tidak dengan UUD. Jika bertentangan maka tidak bisa disahkan sebaliknya jika RUU tidak bertentangan maka dapat disahkan menjadi UU yang bersifat mengikat5

Moh.MahfudMD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), Hlm. 127.
5

http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/

B. Pengaturan Hak Uji dalam Konstitusi dan UU

1.

Mengapa Undang-undang harus diuji Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat

dengan kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan undangundang adalah produk politik. Prosesnya terjadi dalam ruang-ruang politik elit yang bisa jadi hanya diisi oleh para politisi. Walaupun seharusnya juga melibatkan masyarakat yang mengisi ruang-ruang politik publik. Dengan dinamika proses yang terjadi dalam ruang politik tersebut maka muncul potensi terhadap undang-undang yang dibentuk sarat muatan politik. Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan adalah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa. Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional warga Negara. Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sumantri, 1986). Validitas suatu undang-undang dari sisi materi dan proses pembentukannya akan diuji dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak

kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK. Perlu diingat bahwa dalam sistem hukum di Indonesia juga dikenal pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil peraturan perundangundangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung. Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD. Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji

pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses pembentukan yang telah diatur dalam UUD. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian secara materiil objek yang diuji adalah materi muatan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses pembentukan undang-undang. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD. Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundangundangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua aspek yaitu materi dan proses. Salah satu aspek tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja. 2. Sejarah Singkat Uji Materil Peraturan di Indonesia Di Indonesia, pengujian terhadap peraturan perundang-undangan

merupakan diskursus hukum yang sudah lama berlangsung. Mulai dari saat pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1945 sampai

dengan amandemen UUD yang dimulai pada tahun 1999, soal uji materil ini selalu menjadi salah satu topik yang menarik. Persoalan utamanya berkisar pada siapa yang diberi kewenangan menguji suatu peraturan? Melalui perdebatan panjang, pada tahun 1970 secara resmi akhirnya wewenang menguji peraturan diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (saat ini sudah digantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004). Namun, wewenang yang diberikan kepada Mahkamah Agung hanyalah untuk menguji peraturan di bawah undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara itu, undang-undang tidaklah dapat diuji. Padahal hakekat dari judicial review yang dikenal dalam praktek hukum tata negara secara universal adalah untuk memberikan wewenang pengawasan oleh lembaga yudikatif kepada pembuat undang-undang. Di sinilah salah satu inti dari apa yang disebut checks and balances. Selagi amandemen terhadap UUD pada tahun 1999 dilakukan, topik ini menghangat kembali. Akhirnya pada tahun 2001 (amandemen ketiga), muncul ketentuan baru dalam UUD yang diamandemen. Ketentuan inilah yang berlaku pada saat ini. Di dalam UUD hasil amandemen diatur bahwa wewenang menguji undang-undang berdasarkan UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan wewenang untuk menguji peraturan di bawah undang-undang berdasarkan undang-undang, diberikan kepada Mahkamah Agung. Melalui mekanisme ini, masyarakat luas mempunyai saluran untuk menguji suatu undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang apabila dirasakan bertentangan dengan hak asasi manusia serta prinsip-prinsip konstitusional lainnya. Memang, perlu dicatat bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidaklah bersifat pro-aktif. Mereka hanya dapat menguji peraturan sesuai dengan wewenangnya, apabila ada permohonan dari masyarakat yang berkepentingan.

3. Bagaimana Pengujian Undang-undang dilakukan Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan uji materil meliputi: a. Pengajuan permohonan; Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan. Siapa saja yang berhak mengajukan permohonan? Ada empat kategori yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang, yaitu: a. Perorangan warga Negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; d. Lembaga Negara.

b. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;

10

Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.

c. Pencatatan

permohonan

dalam

Buku

Registrasi

Perkara

Konstitusi (BRPK); Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden. Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.

d. Pembentukan Panel Hakim Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut.

e. Penjadwalan Sidang; Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan

pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah

11

konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik. Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.

f. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan; Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan. Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.

g. Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti; Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dalam tahap ini meliputi: a. Pemeriksaan pokok permohonan; b. Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis; c. Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah; d. Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;

12

e. Mendengarkan keterangan saksi; f. Mendengarkan keterangan ahli; g. Mendengarkan keterangan keterangan pihak terkait; h. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; i. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu. Setelah pemeriksaan tersebut selesai, maka para pihak diberi kesempatan menyampaikan secara lisan dan/atau tertulis paling lambat tujuh hari sejak persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan. Siapa yang mewakili DPR dan Presiden dalam persidangan? DPR bersama dengan presiden sebagai pembentuk undang-undang menjadi salah satu pihak dalam persidangan. Posisinya seperti termohon dalam persidangan umum. Dalam persidangan tersebut, DPR harus memberikan keterangan, yaitu keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara. DPR dalam hal ini diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk. Selanjutnya, kuasa pimpinan yang ditunjuk tersebut dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia dan/atau anggota DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan. Sementara itu, Presiden sebagai mitra DPR dalam membentuk undang-undang dalam persidangan data memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan.

13

h. Putusan. Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka

musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan. Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat berupa: a. Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undangundang melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD; b. Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undangundang yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan dengan UUD; c. Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak dipenuhi. Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK. Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali untuk permusyawaratan hakim. Setiap perkara selalu dilakukan oleh seluruh hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang, sehingga tidak ada pembagian perkara kepada majelis-majelis hakim. Sistem ini disebut full bench. Walau putusan diambil bersama-sama oleh kesembilan hakim,

14

setiap hakim diberi hak untuk menyatakan pernyataan keberatan (dissenting opinion) atas suatu putusan yang sudah diputuskan bersamasama. Pernyataan ini dijadikan bagian tak terpisahkan dari putusan. Perlu untuk diketahui juga, bahwa pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang berada dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Undangundang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku selama belum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut

bertentangan dengan UUD. Terhadap materi muatan ayat, pasal, atau bagian undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali. C. Hak Uji Materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam konteks, demikian MA memiliki posisi strategis terutama bidang hukum ketatanegaraan yang diformat: (1) Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2) Mengadili pada tingkat kasasi; (3) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; dan (4) Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. dan

Adapun pengertian hak uji materiil adalah : suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundangundangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih

15

tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenement) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 6 Selanjutnya Muhammad Kusnadi dan Bintan R. Saragih mengatakan bahwa hak menguji materiil ialah hak menguji dari Mahkamah Agung untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu lembaga Negara itu melampaui wewenang yang diberikan kepada lembaga tersebut. Di samping itu hak menguji materil, meliputi pula hak menguji tentang nilai rohaniah sesuatu peraturan perundangan yaitu apakah suatu peraturan perundangan yang dibuat oleh suatu lembaga Negara itu sudah logis dan bermanfaat, sehingga secara moral dapat dipertanggungjawabkan. 7 Di samping itu, Muhammad Ridwan Indra memberikan suatu pengertian tentang hak menguji (judicial review) adalah hak untuk menguji apakah suatu peraturan perundangan itu bertentangan yang tingkatan lebih tinggi. 8 Dari tiga pengertian tersebut, maka apabila pengertian itu dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan tentunya hak menguji materil, dapat diberi pengertian sebagai berikut, hak menguji materil adalah suatu hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menilai suatu peraturan perundangan itu dari segi isinya, bertentangan dengan atau tidak dengan peraturan di atasnya. Kemudian berdasarkan pada PERMA No. 1 Tahun 2004 jo. PERMA No. 1 tahun 2011 dijelaskan khususnya dalam pasal 1 ayat (1) bahwa hak uji materil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi Mengenai hak uji materil ini diatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 terutama tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman jo.
6 7

Sri Soemantri, Hak Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 5-9 Muhammad Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut UUD 1945, Gramedia, Jakarta, 1986, Hal. 79 8 Muhammad Ridwan Indra, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, 1987, Hal. 135.

16

Undang-undang No. 14 Tahun 1985 pasal 31 tentang Mahkamah Agung yang intinya menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk mengadakan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Dari kedua ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa wewenang hak uji materil ini berada di tangan Mahkamah Agung, terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Selanjutnya untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang, maka dilihat dari ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, mengenai sumber-sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia, sebagai berikut: Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Penataran Pelaksanaan lainnya seperti: Peraturan Menteri Instruksi Menteri Dan lain-lain.

Dengan mengetahui tata urutan peraturan perundang-ndangan seperti tersebut di atas, maka dapat diketahui mengenai peraturan perundangundangan di bawah undang-undang itu adalah: Peraturan pemerintah Keputusan presiden Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:

Yang dimaksud dengan kata lain-lain itu, meliputi juga seperti peraturan perundang-undangan seperti:

17

Surat keputusan sekretaris Jendral Surat keputusan Direktur Jendral Surat Keputusan Gubernur Surat Keputusan Walikotamadya Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang bersifat umum. 9

Sebagai suatu naskah yang singkat, Undang-undang dasar 1945 tidak mengatur keseluruhan masalah-masalah ketatanegaraan. Oleh karena itu, pengaturan selanjutnya diserahkan kepada penyelenggara yang lebih rendah. Demikian pula tentang Mahkamah Agung; selain ketentuanketentuan dalam pasal 24 dan 25. Undang-undang dasar 1945 tidak mengaturnya termasuk ketentuan-ketentuan mengenai hak menguji materil. 10 Undang undang No. 14 Tahun 1979 merupakan hasil dari upaya untuk melembagakan hak uji materil. Di dalam pasal 26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut disebutkan bahwa hak menguji secara materil dimiliki oleh Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah undang-undang atau terhadap peraturan pemerintah (PP) dan seterusnya ke bawah. Ketentuan pasal 26 Undangundang No. 14 Tahun 1970 ini kemudian dikuatkan atau dituangkan lagi dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain seperti Tap MPR No. VI/MPR/1973 ( Pasal 11 ), Tap MPR No. III/MPR/1978 ( pasal 11 ) jo Undang-undang No. 14 Tahun 1985 (pasal 31).11 Adapun pasal 26 undnag-undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi sebagai berikut:

Masalah-maslaah yang Dapat Terjadi Sehubungan Dengan Penyelenggaraan Peradilan Hak Uji Materil Indonesia, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia Pendalaman Materi Hukum IV Mahkamah Agung RI, 1993, Kelompok Garuda, Hal. 47. 10 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan, Liberty, Yogyakarta, Cet. II, 1989, Hal. 64. 11 Muhammad Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Disertasi, UGM, 1991, Hal. 617.

18

(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dan tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundangundangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. Mengingat kebutuhan yang semakin penting maka pada tahun 1973 MPR lewat Tap No. VI/MPR/1973, tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau/antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara pasal 11 ayat 4 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang secara materil menguji adalah sampai peraturan perundang-undangan yang nilainya mulai di bawah undang-undang : tidak termasuk undang-undang. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan dengan ketetapan No. III/MPR/1976 pasal 11 ayat 4 dalam masalah yang sama.12 Di samping undang-undang tersebut, mengenai hak uji materil ini diatur lagi dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yang tercantum dalam pasal 31 yang berbunyi: (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undangundang. (2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undangundang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. (3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundangundangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan
12

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan, op. cit., Hlm. 69.

19

dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan peraturan perundangundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan. Selanjutnya, mengenai wewenang Mahkamah Agung untuk mengadakan hak uji materil yang diatur dalam undang-undang No. 14 Tahun 1970, pasal 26 dan undang-undang No. 14 tahun 1985 pasal 31 serta Perma No. 1 Tahun 1993 ini, Muhammad Mahfud MD berpendapat bahwa, dalam ketentuai pasal 26 Undang-undang No. 14 TAHUN 1970 itu sendiri tidak mungkin diadakan hak uji materil. Menurut ketentuan tersebut hak menguji secara materil hanya dapat dilakukan pada pemeriksaan tingkat kasasi, artinya harus ada perkara atau gugatan lebih dahulu ke pengadilan. Dari sudut teknis peradilan pemeriksaan pada tingkat kasasi, baru dapat dilakukan jika sudah ditempuh peradilan pada tingkat pertama dan/atau kedua. Jadi, dari sudut ini perkata untuk permohonan hak uji materil harus disampaikan kepada pengadilan di bawah MA terlebih dahulu, sebab MA baru dapat memeriksa pada tingkat kasasi jika sudah selesai diperiksa dan diputus oleh pengadilan tingkat pertama dan/atau tingkat banding. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pasal tersebut, maka akan terdapat permasalahan dalam operasionalnya yang didasarkan pada adanya dua alasan: pertama, MA baru diperbolehkan memeriksa perkara uji materil jika sudah menempuh secara tuntas peradilan tingkat pertama dan/atau banding berdasarkan adanya gugatan terhadap sebuah perundangundangan. Kedua, peradilan tingkat pertama dan/atau banding tidak akan memeriksa dan memutus perkara karena menurut UU pemeriksaan dan pemutusan tentang hal tersebut hanya menjadi wewenanga (kompetensi absolute) MA. Sehingga hak uji materil terhadap peraturan perundangundangan di bawah UU menurut UU yang berlaku sekarang tidak dapat dilaksanakan. Tata cara pengajuan pemohon keberatan yang diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2011 yaitu:

20

1. Permohonan Keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara : a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon; 2. Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu Peraturan Perundangundangan yang diduga bertentangan dengan suatu Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi; 3. Permohonan keberatan dibuat rangkap sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah; 4. Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.

D. HAK UJI MATERIIL DI MK Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain MA yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik.13Pengaturan tentang MK sudah diatur tersendiri dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang MK (Mahkamah Konstitusi). Pada pasal 10 UU No. 12 Tahun 2003 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk: 1. Mahkamah konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945. b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945. c. Memutus pembubaran partai politik. d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.14

13

Moh. Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Press. 2010. hlm. 273 14 Lihat UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 10

21

2. Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Pembahasan yang akan ditekankan adalah point pertama yaitu pengujian UU terhadap UUD oleh Mk atau yang disebut (Yudicial Review) atau hak uji materiil. Hak uji materiil adalah suatu wewenang untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian UU apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Dengan adanya uji materiil yang dilakukan oleh MK, semua Undang-Undang yang dinilai bertentangan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu perlunya pelembagaan judicial review yakni bahwa UU adalah produk politik. Sebagai produk politik sangat mungkin isi UU bertentangan dengan UUD 1945, misalnya akibat adanya kepentingan kepentingan politik pemegang suara mayoritas di parlemen atau adanya kolusi politik antar anggota parlemen, atau adanya intervensi dari tangan pemerintah yang sangat kuat tanpa menghiraukan keharusan untuk taat asas pada UUD atau konstitusi. Dalam Uji Materiil UU maka harus sesuai dengan prosedur. Prosedur MK dalam menguji UU terhadap UUD 1945 yaitu 1. Kelengkapan Permohonan dan Pendaftaran Permohonan Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat 1 UU MK, pihak-pihak yang memenuhi kapasitas sebagai pemohon adalah: a. Perorangan warga Negara Indonesia. b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang di atur dalam UU. c. Badan hukum publik atau badan hikum privat. d. Lembaga Negara.15

15

Bambang Sutiyoso. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press. 2009. hlm. 33

22

Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan adalah.permohonan memuat uraian yang jelas dalam bahasa Indonesia dibuat sebanyak 12 rangkap, yaitu masing-masing 9 buah untuk hakim MK, 1 buah untuk sekretariat Jendral MKRI, 1 buah untuk MA dan 1 buah untuk Presiden. Permohonan memuat bagian (i) Identitas dan legal standing pemohon, (ii) uraian tentang duduk perkara atau dasar permohonan (posita), (iii) pengujian yang diminta (materiil), (iv) pokok tuntutan yang diminta. Permohonan tersebut harus sudah dilengkapi dengan alat bukti yang dapat berupa salinan yang disahkan setelah dibubuhi materai. Salinan atau fotocopy UU yang diajukan sebagai alat bukti yang menjadi lampiran permohonan harus merupakan copy UU yang telah diumumkan dalam Lembaran Negara. Kelengkapan lain di samping alat bukti yaitu pemohon harus melampirkan kualifikasi pemohon serta bukti kerugian konstitusionalnya. Melampirkan daftar saksi dan ahli yang akan diajukan disertai keterangan dari yang bersangkutan.

2. Registrasi Perkara Apabila berkas permohonan belum lengkap maka panitera hanya akan memberikan akta penerimaan berkas perkara dan akan diberitahukan kepada pemohon untuk dilengkapi dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan berkas belum dilengkapi maka panitera akan menerbitkan akta bahwa permohonan tidak diregistrasi. Tetapi jika berkas telah dilengkapi maka panitera akan mencatat dalam register dengan memberi nomor sesuai urutan perkara. Satu eksemplar salinan permohonan dikirimkan kepada presiden dan DPR untuk diketahui, salinan permohonan juga dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan maksud agar menghentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dimohon untuk diuji di Mahkamah konstitusi.

3. Penjadwalan Sidang dan Pembentukan Panel Hakim Selanjutnya panitera menyampaikan berkas yang sudah diregistrasi kepada ketua Mahkamah Pasal 28 ayat (4) UU MK memberi kewenangan

23

kepada MK untuk membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi yang tugasnya ditentukan oleh pleno itu sendiri. Untuk hal-hal yang luar biasa boleh kurang dari 9 orang dengan batas minimum 7 orang. Tugas panel adalah 1. Melaksanakan pemeriksaan pendahuluan. 2. Memeriksa alat-alat bukti. 3. Memeriksa saksi dan ahli yang secara khusus ditugaskan pleno untuk dilaksanakan oleh panel. 4. Memberi laporan hasil pemeriksaan pendahuluan, yang menyatakan kesiapan untuk pemeriksaan pleno. 5. Memberi rekomendasi langkah yang akan dilakukan pleno atas perkara permohonan yang bersangkutan. 6. Memberi laporan posisi perkara yang telah selesai diperiksa dalam persidangan pleno. 7. Menyusun (drafting) putusan yang telah selesai dimusyawarahkan dan telah mencapai keputusan. Apabila semua anggota panel berada dalam posisi minoritas seluruhnya, maka drafter putusan akan ditunjuk kembali di antara hakim konstitusi yang turut menyetujui.16 14 hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, hakim/ketua panel harus telah menetapkan sidang petama. Jadwal sidang diberitahukan kepada pemohon paling lambat 3 hari sebelum sidang dimulai.

4. Pemeriksaan Pendahuluan 14 hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, hakim/ketua panel harus telah menetapkan sidang petama. Jadwal sidang diberitahukan kepada pemohon paling lambat 3 hari sebelum sidang dimulai.dalam pemeriksaan pendahuluan panel hakim akan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, yang meliputi kewenangan legal standing dan pokok permohonan. 2. Memberi nasihat kepada pemohon dan/atau kuasanya untuk

melengkapi atau memperbaiki permohonan dalam tempo 14 hari.


16

Abdul Latif dan Muhammad Syarif Nuh. Buku Ajar Hukum acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media. 2009. hlm. 166

24

3. Mencocokkan alat-alat bukti yang diajukan dan menanyakan perolehan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan. 4. Menunda dan/atau melanjutkan pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa permohonan dan kelengkapan.17

5. Putusan Putusan diambil berdasarkan Rapat Musyawarah Hakim yang dilakukan secara tertutup dan rahasia yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah. Kuorum RPH untuk mengambil keputusan sekurang-kurangnya 7 hakim konstitusi dibantu panitera dan petugas lain yang disumpah. Putusan ini akan dibaca/ diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 orang hakim konstitusi

Dengan menelusuri latar belakang pembentukan MK dan risalah-risalah persidangan PAH 1 MPR. Maka sebagai pengawal konstitusi dalam melaksanakan hak uji perlu dibatasi oleh hal-hal berikut: 1) Dalam membuat putusan MK tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur. Mk hanya boleh menyatakan sebuah UU atau sebagian isinya batal karena bertentangan dengan bagian tertentu di dalam UUD. Betapapun Mk mempunyai pemikiran yang baik untuk mengatur sebuah alternatif atas UU atau sebagian isi UU yang dibatalkannya, maka hal itu tidak boleh dilakukan, sebab urusan mengatur adalah hak lembaga legislatif.18 2) Dalam membuat putusan Mk tidak boleh memutus batal atau tidak batal sebuah UU atau sebagian isi Uu yang bersifat terbuka yakni yang oleh UUD diatribusikan (diserahkan pengaturannya kepada UU. Jika UUD, misalnya menyatakan bahwa pengaturan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus dilakukan secara demokratis yang ketentuannya diatur oleh/di dalam UU, maka MK tidak boleh membatalkan seandainya isi UU
17 18

Ibid. hlm. 167 Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amademen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. 2010. hlm. 100-101.

25

tentang pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung atau melalui lembaga perwakilan, maka jika Mk melakukan itu, dia sudah memasuki ranah legislatif yang tidak boleh dilakukan. 3) Dalam membuat putusan MK tidak boleh memutus hal-hal yang tidak diminta (ultra petita). Jika Mk melakukan maka Mk melanggar prinsip bahwa MK hanya boleh memutus hal yang secara tegas diminta, MK juga melanggar asas umum di dalam hukum bahwa setiap permintaan pemeriksaan harus diuraikan dalam posita yang jelas yang juga dimuat di dalam Peraturan MK sendiri. 4) MK tidak membuat putusan-putusan yang menyangkut kepentingannya sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ini sesuai dengan asas nemo judex in causa sua atau nemo judex indoneus in propria causa yang menyatakan bahwa hakim tidak memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal yang terkait dengan dirinya.

Putusan Mk bersifat final dan mengikat. Banyak putusan Mk yang dirasa baik dan adil, ada juga putusan Mk yang kontroversial dan mendapat sorotan karena dianggap kurang berpihak pada upaya demokratisasi dan penegakan hukum karena dianggap kurang berpihak, terutama pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Karena putusan Mk yang bersifat final dan mengikat maka untuk putusan MK berkekuatan hukum yang tetap itu terjadi manakala sudah dibacakan putusan, artinya tidak ada upaya hukum yang dapat dipergunakan untuk melawan putusan MK. Dengan demikian, maksud pembentukan mahkamah konstitusi adalah menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan UUD dan kalau itu ada, maka MK dapat membatalkannya. Maka sering dikatatakan bahwa MK merupakan pengawal konstitusi dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas konstitusi.19

19

Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amademen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. 2010. hlm. 99.

26

Dapat dikemukakan bahwa MK tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.

27

BAB III PENUTUP

Simpulan

Hak menguji peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan untuk menilai atau menguji suatu peraturan perundang-undangan atau tindakan-tindakan pemerintah bertentangan tidak dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar atau ketentuan yang lebih tinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan di bawahnya. Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht ataureview),yaitu: a. hak menguji formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan b. yang berlaku atau tidak.

hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk

menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Adapun Pengaturan mengenai uji material diatur dalam hokum positif yaitu: 1. UU No.14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman 2. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 Jo. Ketetapan MPR

No.III/MPR/1978 3. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 4. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993 5. UU Republik Indonesia No.24 Tagun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 6. UU No.5 Tahun 1986

28

Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam konteks, demikian MA memiliki posisi strategis terutama bidang hukum dan ketatanegaraan yang diformat: Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Mengadili pada tingkat kasasi; Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; dan Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Sebagai penyelenggara kekuasaan kesatuan dalam rangka mengatur hokum dan keadilan yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya. Berdasarkan pasal 24 (1) dan (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: a. Menguji UU terhadap UU RI 1945 b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 c. Memutus pembaharuan partai politik d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum e. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran Hukum pengkhiatan terhadap Negara : korupsi, Penggelapan.

29

DAFTAR PUSTAKA
Sutiyoso, Bambang. 2009. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi. UII Press: Yogyakarta Mahfud MD. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amademen Konstitusi. Rajawali Press: Jakarta Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Rajawali Press: Jakarta. Latif, Abdul dan Muhammad Syarif Nuh . 2009. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Kreasi Total Media: Yogyakarta. UU No. 12 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Huda, Nimatul, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2011. Fatimah, Siti, Praktek Judicial Review di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005 Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007),

http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/

30

31

Anda mungkin juga menyukai