Anda di halaman 1dari 4

Penulisan Naskah Feature Nama : HUGO DALUPE NPM : 070903424

Cleaning Service : Kerja Maksimal Upah Minimal


Langit tampak cerah siang itu. Hawa panas yang menyengat tak menyurutkan semangat Triyono Yulianto untuk segera menyelesaikan tugasnya. Mas Tri, begitu ia biasa disapa. Ia sudah tidak sabar bergegas pulang ke rumah ingin melepas kerinduan menggendong anak keduanya Indah Nuraini, yang baru berusia tujuh bulan. Maklum saja, usia Indah terpaut 6 tahun dengan anaknya yang pertama, Andika Rafiq. Mas Tri sudah sepuluh tahun terakhir bekerja sebagai petugas Cleaning Service (CS) atau petugas kebersihan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rumah Mas Tri tampak begitu sederhana bila dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di RT-nya. Sebagian besar rumah disekitarnya adalah tempat kos. Kondisi lingkungan dimana pak Triyono tinggal menggambarkan tertutupnya akses sosialisasi dan komunikasi dengan warga sekitar dalam satu RT. Cat tembok biru bagian depan rumahnya kelihatan telah pudar warnanya. Tembok belakang rumahnya pun belum dilapisi semen. Bekerja sebagai CS memang bukan hal yang mudah. Ironisnya, pekerjaan ini seakan dipandang sebelah mata. Apalagi CS biasa dikonotasikan dengan pekerjaan yang tidak bisa dibanggakan di kalangan masyarakat modern saat ini. Lihat saja berapa pasang mata yang benarbenar memberikan perhatian terhadap para pekerja CS. Berapa banyak suara yang lembut menyapa sekedar mengucapkan selamat pagi atau bahkan terima kasih. Berapa banyak senyum yang diberikan tanda persahabatan dan penghargaan yang tulus. Bandingkan dengan sekian banyak keluhan yang terngiang jika pekerjaan mereka tak sampai sempurna.

Bertanggung jawab terhadap pelayanan kebersihan sebuah gedung kampus dengan banyak ruangan dan jumlah manusia yang tidak sedikit tentu menguras banyak tenaga dan pikiran. Apalagi pekerjaan ini dilakukan oleh tidak lebih dari tiga orang dengan alat-alat yang beragam dalam rentang waktu yang cukup panjang dalam sehari. Tetapi pekerjaan ini dilakoni dengan serius dan tulus oleh karyawan CS seperti mas Tri. Kampus Fisip mempunyai jumlah CS sebanyak kurang lebih 29 orang. Untuk sistem pembagian tugas/ kerjanya dibedakan menjadi 2 shift. Shift yang pertama dimulai dari pukul 06.00 sampai dengan 14.00, sedangkan shift kedua di mulai pada 14.00 sampai dengan 21.00. Dalam sistem shift ini CS dibagi kelompok sebanyak 2 sampai 3 orang untuk membersihkan halaman kampus, kelas, ruang dosen serta gedung perpustakaan. Pendapatan seorang CS ditentukan berdasarkan Upah Minimum Provinsi di DIY sekitar Rp. 800,000,-. Upah CS tersebut sebenarnya dihitung berdasarkan jumlah hari dan jam kerja, tidak berdasarkan kerja bulanan seperti karyawan tetap. Kondisi seperti ini sangat memberatkan. Mas Tri tidak mempunyai pilihan lain selain terus melanjutkan pekerjaan. Apalagi sangat sulit mendapatkan pekerjaan baru di usia yang sudah 37 tahun dan latar belakang pendidikan sebatas Sekolah Menengah Atas. Kisaran penghasilan pak Triyono seperti yang disebutkan di atas, tidak utuh diterima setiap bulannya. Hal ini dikarenakan adanya potongan di koperasi. Penghasilan di bawah rata-rata ini sudah pasti tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga yang terdiri dari lima orang. Belum lagi kalau ada anggota keluarga yang sakit. Pak Triyono tidak mempunyai sumber pengahasilan tambahan lain. Beliau hanya mengandalkan hidup pada pekerjaannya sebagai CS. Usia anak kedua yang baru 7 bulan tentu membutuhkan biaya tambahan untuk membeli susu dan keperluan lain. Beruntung anaknya yang pertama, Dika, mendapat fasilitas sekolah gratis karena bersekolah di Sekolah Dasar Negeri yang mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kondisi seperti ini menjadi konsekuensi dari sebuah ketidakadilan yang dikonstruksikan berdasarkan berbagai kepentingan tanpa memperhatikan sisi kemanusiaan. Pekerjaan yang maksimal tidak diimbangi dengan upah yang maksimal pula. Pekerjaan sebagai CS sudah selayaknya mendapat imbalan yang layak dengan jaminan kerja yang baik. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tambahan pula, status

pekerjaan sebagai karyawan kontrak yang dalam waktu yang sangat singkat yakni hanya enam bulan. Status pekerjaan sebagai cleaning service disini masih sebagai tenaga kontrak. Kontraknya berlaku selama enam bulan. Ya, kalau mau kontraknya diperpanjang kerjanya harus baik, cerita mas Tri. Kontrak kerja atau Outsourcing menjadi persoalan yang sering muncul dalam topik ketenagakaejaan. Outsourcing dapat dipahami sebagai suatu proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain di luar perusahaan induk. Perusahaan lain tersebut dapat berupa koperasi ataupun instansi yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing sering menjadi masalah tersendiri bagi tenaga kerja atau karyawan. Akibatnya, banyak pro dan kontra yang muncul karena praktek ini. Pihak yang pro melihat bahwa outsourcing merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan dimana organisasi atau instansi dapat fokus pada core business dan cost reduction. Praktek outsourcing dinilai sebagai bentuk modernisasi dunia usaha. Pihak yang kontra memiliki argumennya sendiri. Outsourcing menyebabkan ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancama PHK bagi pekerja. Praktek ini dinilai menimbulkan perlakuan yang berbeda dalam hal compensation and benefit antara karyawan internal dan karyawan outsource. Persoalan lain yang cukup serius adalah tidak adanya jenjang karir yang terarah dan terencana. Yag paling fatal adalah praktek ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap manusia. Untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam praktek outsourcing, telah ada regulasi yang dibentuk yakni UU no.13/2003 tentang ketenagakerjaan. Sayangnya UU ini dianggap telah melegitimasi perilaku menyimpang dengan melegalkan praktek outsourcing. Pelaksanaan pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourcing sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, banyak pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi. Pelanggaran yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja terhadap pekerja. Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan organisasi atau instansi kepada pekerja umumnya di bawah standar yang berlaku. Dalam praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang berhubungan yaitu organisasi pemberi kerja, organisasi penerima kerja dan pekerja outsourcing itu sendiri. Di UAJY,

perusahaan penerima kerja adalah Koperasi Caritas. Artinya pekerja bertanggung jawab tidak kepada organisasi pemberi kerja (UAJY) tetapi kepada organisasi penerima kerja (Koperasi Caritas). Adanya jenjang tanggung jawab ini menuntut karyawan seperti CS untuk menunjukkan kerja yang maksimal agar organisasi penerima kerja dapat terus mengikat kerjasama dengan organisasi pemberi kerja. Dengan hubungan yang tercipta seperti yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa UAJY tidak mempunyai tanggung jawab terhadap karyawan yang bekerja dengan sistem outsourcing. Hal ini dianggap sebagai bentuk efektifitas dan efisiensi, dimana UAJY dapat fokus mengurus core business-nya sebagai lembaga pendidikan dan layanan kebrsihan lingkungan kampus menjadi tanggung jawab koperasi Caritas yang mempekerjakan CS. Secara logika, konsep seperti ini sudah jelas tidak memberikan peluang kepada para pekerja untuk memiliki jaminan hidup seperti jaminan saat pensiun, jaminan keamanan kerja dan jaminan sosial. Pekerjaan dengan sistem seperti ini membuka kemungkinan kontrak diputus begitu saja kepada pekerja atau karyawan. Pekerja outsourcing seperti CS tidak dapat menuntut hak-haknya kepada kedua organisasi di atasnya (UAJY dan Koperasi Caritas). CS dan pekerja outcourcing lainnya dianggap sebagai barang komoditi yang dapat dijual, dipindahtangankan, ditukar, yang hanya diperhatikan apabila organisasi menganggap dapat mempekerjakan CS yang bersangkutan dan dapat disingkirkan begitu saja apabila organisasi tidak memerlukannya lagi. Pada kenyataannya hingga masa-masa sekarang ini dimana CS kesulitan mencari pekerjaan. CS dihadapkan pada pilihan tawaran peluang kerja outsourcing atau tidak bekerja sama sekali. Karyawan CS seperti pak Triyono tentu saja tidak memiliki power untuk memperjuangkan nasibnya. Kondisi ini terjadi karena CS berada pada posisi tawar yang lemah. CS berada pada situasi dilema dan tidak dapat menolak karena tidak mempunyai pilihan dalam jangka waktu dekat untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak yang sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Apalagi kondisi ini dapat terus berlangsung karena pak Triyono dan kawan-kawan memiliki latarbelakang pendidikan sebatas SMA yang sudah tidak mudah terserap lapangan kerja. Tambahan pula, faktor umur dan keahlian yang tidak mendukung.

Anda mungkin juga menyukai