Anda di halaman 1dari 62

BAB II DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

II.1. DEFINISI Selama jutaan tahun, sistem imun tubuh manusia telah berkembang menjadi organ yang sangat kompleks, elegan, dan efisien dimana fungsi utamanya adalah untuk melindungi host manusia (diri) dari ancaman berbahaya (bukan dirinya). Antigen adalah molekul asing yang akan menghasilkan respon imun. Respon imun terhadap antigen pada manusia diatur oleh dua sistem imun tubuh: sistem imun alamiah (innate), yang diwarisi dari invertebrata, dan sistem imun adaptif, yang terdapat manusia dan vertebrata. Sistem imun alamiah dianggap sebagai garis pertahanan pertama yang terdiri sel mast, makrofag, sel dendritik, natural killer cells, granulosit, peptida antimikroba, komplemen, dan sitokin. Dikode dalam reseptor germline, reseptor sistem imun alamiah dapat mengenali pola molekul asing yang terdapat pada mikroba dan segera memulai proses pembersihan antigen. Sistem imun adaptif, di sisi lain, harus memberikan waktu kepada sel-sel spesifik antigen (sel B dan sel T) melalui proses ekspansi klonal untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Komponen efektor sistem imun adaptif ini meliputi limfosit B, limfosit T, dan sitokin. Sistem imun tubuh adaptif ditandai dengan adanya memori kekebalan dan keragaman yang sangat besar, mampu mengenali antigen yang banyak melalui gudang antibodi dan memiliki reseptor hingga 1015. Kedua sistem imun ini bekerja bersama-sama untuk memberikan kekebalan pada tubuh manusia. Namun, jika respon yang diberikan berlebihan maka dapat menyebabkan penyakit alergi.1,2 Kasus alergi secara historis telah didokumentasikan dari zaman kuno. Menes Firaun meninggal karena anafilaksis pada 2641 SM. Pada tahun 1893, Von Behring menemukan reaksi yang berlebihan pada anak-anak yang diimunisasi dan menyebutnya sebagai hipersensitivitas. Pada tahun 1902, putra mahkota Monaco mengalami reaksi hipersensitivitas hebat setelah menyantap tentakel bintang laut. Hal ini mendorong Portier dan Richet melakukan percobaan dengan menyuntikkan ekstrak tentakel bintang laut pada anjing dan menemukan bahwa

meskipun anjing dapat mentoleransi suntikan ekstrak tentakel tersebut pada suntikan pertama kali, anjing tersebut kemudian meninggal dalam beberapa menit ketika disuntikkan lagi beberapa minggu kemudian. Mereka kemudian menyebutnya sebagai anafilaksis, yang dalam bahasa Yunani, ana berarti melawan atau bertentangan dan phylax berarti menjaga atau melindungi, sehingga berarti "melawan perlindungan. Untuk ini, Richet dianugerahi Penghargaan Nobel dalam bidang Kedokteran dan Fisiologi pada tahun 1913. Tiga tahun berikutnya, Scholssman melaporkan kasus anafilaksis makanan untuk pertama kalinya di Amerika Serikat dan di tahun 1969, kasus serial anafilaksis makanan pada manusia dipublikasikan.1,3,5-8 Belum ada kesepakatan universal mengenai definisi anafilaksis.1,6,8,9 Pada tahun 1998, a Joint Task Force on Practice Parameters mendefinisikan anafilaksis sebagai reaksi sistemik yang cepat yang disebabkan pelepasan mediator imun oleh sel mast dan basofil yang dimediasi oleh IgE.1,5-8 Di tahun yang sama, The American Academy of Allergy, Ashtma, and Immunology merujuk istilah anafilaksis sebagai suatu kumpulan gejala yang mempengaruhi banyak sistem tubuh.5 Pasien yang mengalami anafilaksis akan menunjukkan distress dengan urtikaria pruritus yang nyata, edema orolaring, bronkospasme, hipotensi, dan gejala-gejala sistem saraf pusat dan gastrointestinal.8,9 Selanjutnya, The World Allergy Organisation (WAO) pada tahun 2003 menyatakan istilah anafilaksis sebagai suatu reaksi imunologis yang melibatkan IgE, IgG, atau kompleks imun.10 Pada tahun 2006, Simposium kedua The Definition and Management of Anaphylaxis merekomendasikan definisi anafilaksis sebagai suatu reaksi alergi yang serius, dengan onset yang cepat, dan dapat menyebabkan kematian.2,3,7,9,10 Istilah lain yang dikenal adalah reaksi anafilaktoid yang merujuk pada suatu sindrom klinis mirip anafilaksis, namun gambaran klinis dan penatalaksanaannya identik dengan anafilaksis. Reaksi ini terjadi sebagai hasil degranulasi sel mast dan basofil secara langsung dan dapat terjadi pada paparan pertama kali.1,3,5-7 Namun, istilah anafilaktoid ini tidak lagi digunakan.1,2,9-11 Untuk memberikan definisi kerja yang dapat diterapkan secara klinis, The National Institute of Allergy and Infectious Disease, bekerja sama dengan The Food Allergy and Anaphylaxis Network, menetapkan panduan kriteria klinis untuk

mengidentifikasi dan mendiagnosa anafilaksis.1-3,9,10 Skenario terbanyak yang dianggap "sangat mungkin" anafilaksis adalah jika pasien datang dengan ruam atau pembengkakan mukosa onset akut (beberapa menit setelah paparan) dengan insufisiensi pernapasan atau hipotensi.1,

II.2. EPIDEMIOLOGI Epidemiologi anafilaksis tidak diketahui dengan pasti, dan estimasi dalam literatur medis sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor termasuk terbatasnya penelitian pada populasi anak-anak, kurangnya pengkodean terstandarisasi berdasarkan International Classification of Disease, serta kegagalan melaporkan kejadian yang fatal.1-3,7,11 Di tahun 2004, Bohlke et al memperkirakan insiden anafilaksis yang terdiagnosis dokter pada anak dan remaja adalah 10,5 episode per 100.000 orang per tahunnya. Angka ini lebih rendah daripada yang dilaporkan Yocum et al pada tahun 1999 dimana insiden mencapai 21 kejadian per 100.000 orang per tahunnya.1-3,5,7,11 Laporan pada tahun 2001 memperkirakan anafilaksis terjadi pada 1,2%-16,8% dari total seluruh populasi Amerika Serikat dan 0,002% meninggal karena anafilaksis.1,7 Sorensen et al melaporkan 3,2 kasus anafilaksis per 100.000 anak per tahunnya di Denmark dengan angka kematian 5%.8 Sedangkan di Inggris, sebuah penelitian berdasarkan data perawatan di rumah sakit menunjukkan peningkatan kejadian anafilaksis tujuh kali lipat dari tahun 1990/1991 sampai tahun 2003/2004 dengan jumlah terbanyak terjadi pada anak usia sekolah dan di Perancis, suatu survey di tahun 2002 yang dilakukan pada seluruh anak usia sekolah menunjukkan 1 dari 1000 anak pernah mengalami anafilaksis.10 Beberapa penelitian mengindikasikan Amerika Serikat memiliki insiden anafilaksis yang lebih tinggi dibandingkan negara lainnya, dan ekspansi diet amerika, penggunaan kacang dalam makanan, serta pemakaian sarung tangan berbahan lateks yang luas dianggap sebagai penyebab.7,8 Penyebab anafilaksis tetap tidak diketahui pada lebih dari sepertiga kasus. Jika penyebabnya dapat ditentukan maka makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks merupakan agen etiologi yang paling umum. Makanan merupakan penyebab anafilaksis terbanyak pada anak, remaja, dan dewasa muda.

1-3,5,8,10

Penyebab tersering lainnya meliputi obat-obatan, gigitan serangga, dan Anafilaksis juga dapat idiopatik apabila penyebab atau paparan tidak

lateks.

1,4,6,

diketahui dengan pasti.10 Anak dan remaja dengan atopi, seperti asma, eksema, rhinitis alergi, dan riwayat alergi memiliki risiko anafilaksis yang lebih tinggi1,7,8 dan kebanyakan kasus kematian akibat anafilaksis terjadi pada pasien dengan asma.10 Individu dengan riwayat anafilaksis sebelumnya juga memiliki kecenderungan untuk rekuren, walaupun tingkat keparahan reaksi sebelumnya tidak menentukan tingkat keparahan reaksi berikutnya.1,7,10 Beberapa penelitian menunjukkan anak laki-laki lebih dominan mengalami anafilaksis.1,11 Kematian pada anafilaksis jarang.7 Anafilaksis yang fatal berkisar 0,65-2% kasus dan menyebabkan 1-3 kematian per satu juta orang per tahunnya dengan rentang usia 2 sampai 33 tahun, dan bronkospasme akut yang berat terjadi pada 96% kasus.10 Pada populasi anak-anak, berbagai penelitian dan survey menunjukkan bahwa anafilaksis terjadi paling sering pada komunitas, terutama di rumah, daripada di pusat kesehatan.5 Selain itu, data yang terbatas menyebutkan status ekonomi, umur, jenis kelamin, dan musim mempengaruhi kecenderungan anafilaksis. Reaksi anafilaksis tampak lebih sering terjadi pada musim panas dan awal musim gugur1, status sosial ekonomi lebih tinggi, dua dekade pertama kehidupan,1,11 dengan kecenderungan laki-laki bila di bawah 15 tahun dan perempuan bila di atas 15 tahun.11 Ras, lokasi geografis, dan kependudukan tampaknya tidak mempengaruhi individu terhadap risiko anafilaksis. Dosis, frekuensi, durasi, dan rute pemberian obat mempengaruhi kecenderungan terjadinya anafilaksis, dimana rute parenteral dan topikal lebih mungkin menyebabkan reaksi anafilaksis. Salah satu aspek menarik anafilaksis yang diinduksi oleh obat adalah konsistensi rute pemberian. Anafilaksis tidak dapat terjadi pada individu yang rentan selama obat diberikan dalam interval yang reguler dan cenderung terjadi ketika pemberian obat dimulai lagi setelah terapi dihentikan. Selain itu, semakin lama jarak dengan paparan terakhir, semakin rendah risiko anafilaksis pada paparan ulang, yang diperkirakan sebagai kealpaan memori imun.1

BAB III PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ANAFILAKSIS

III.1. PATOGENESIS III.1.1. Perkembangan Dimediasi Imun Sistem imun adaptif dan bawaan berasal dari sel induk hematopoietik pluripoten, yang berasal dari kantung kuning telur dan kemudian menetap di sumsum tulang. Sel-sel induk berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel-sel prekursor limfoid dan sel-sel induk unit pembentuk koloni untuk granulosit, erythroid, myeloid, dan megakariosit (CFU-GEMM). Sel-sel prekursor limfoid pada gilirannya berdiferensiasi menjadi limfosit bursa (sel B), limfosit dari kelenjar thymus (sel T), dan natural killer cells (NK). Sementara itu, sel induk CFU-GEMM berkembang menjadi sel mast, basofil , dan lain-lain.1 Sistem Imun dan Mekanisme Penyakit yang

Gambar 1. Jalur Perkembangan Sistem Imun dan Hematopoetik


5

Ketika tubuh bertemu alergen, komponen seluler dari sistem imun adaptif berinteraksi dengan komponen seluler dan protein sistem imun alamiah untuk membentuk pertahanan terpadu untuk menetralkan dan menghancurkan alergen yang berbahaya.1,3

III.1.2. Perkembangan Sel T Sel prekursor limfoid bermigrasi dari sumsum tulang ke timus. Diregulasi oleh sitokin dan interaksi sel-sel, prekursor ini mengalami penataan ulang gen serta seleksi positif dan negatif. Dalam proses ini, sel T membutuhkan reseptor antigen sel T dan berbagai penanda permukaan dan terbagi menjadi dua garis keturunan utama sel T. Menggunakan klasifikasi diferensiasi kluster (CD), terdapat dua tipe sel T yang berasal dari timus: CD4+, disebut juga sel T pembantu (helper T cells), dan CD8+, yang disebut sel T penekan (suppressor T cells). Berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkan, sel T pembantu dibagi lagi menjadi sel T pambantu tipe 1 (Th1) dan sel T pembantu tipe 2 (Th2). Sel Th1 menghambat produksi IgE dan isotipe switching IgE sedangkan Th2 merangsang produksi IgE dan isotipe switching IgE. Keseimbangan inilah yang dianggap menentukan kecenderungan individu untuk mengalami penyakit alergi atau atopi dan dapat menjelaskan meningkatnya prevalensi alergi pada masyarakat urban dan Barat di tiga dekade terakhir. Berawal di dalam rahim dan segera setelah lahir, T limfosit nave dalam sistem imun bayi didominasi oleh sel-sel Th2 rawan alergi dan sitokin yang terkait (interleukin [ILs] 4, 5, dan 13). Sitokin ini adalah induser penting dalam produksi antibodi IgE. Kemudian, selama bayi sampai anak usia dini dan masa remaja, sistem imun nonatopik tubuh bayi secara bertahap bergeser dari lingkungan sel Th2 yang rawan alergi ke lingkungan sel Th1 yang protektif alergi. Sitokin yang berhubungan dengan lingkungan Th1 adalah IL-2 dan interferon-. Pergeseran ini dianggap disebabkan oleh paparan terus-menerus sistem imun tubuh terhadap rangsangan alergi lingkungan di sekitarnya, terutama mikroba. Gambaran gaya hidup Barat (Hipotesis kebersihan) seperti perubahan pada diet bayi, penggunaan antibiotik yang luas, ukuran keluarga yang lebih kecil, dan perawatan anak yang

lebih bersih diyakini mengurangi paparan antigen stimulasi di tahun-tahun pertama kehidupan, yang dapat didominasi oleh sistem Th2 menyebabkan lingkungan pada sistem imun allergyprone yang persistent. Kurangnya

keseimbangan antara kedua sistem imun ini dianggap menyebabkan atopi dan juga populasi yang rawan alergi.1,3

II.1.3. Perkembangan Sel B dan Imunoglobulin Ontogeni sel B dibagi menjadi tingkat antigen independen dan tingkat antigen dependen. Selama fase antigen independen, sel B berasal dari organ limfoid primer (sumsum tulang dan hati janin), dimana mereka menjalani penataan ulang gen dan memperoleh berbagai penanda permukaan. Lalu pada tingkat antigen dependen, sel B berdiferensiasi menjadi sel B memori dan sel plasma, dan siap untuk mensekresikan imunoglobulin. Dalam prosesnya, pematangan sel B, switching isotipe, dan produksi imunoglobulin dikendalikan oleh sel T aktif, sitokin, dan interaksi dengan antigen dan sel stromal sumsum tulang. Imunoglobulin adalah molekul protein yang terdiri atas dua rantai berat polipeptida yang identik dan dua rantai polipeptida ringan yang identik, dihubungkan secara kovalen oleh ikatan disulfida.3 Rantai berat (H) memiliki satu domain variabel VH dan tiga atau empat domain konstan, CH. Rantai ringan (L) memiliki satu domain variabel, VL, dan satu domain konstan, CL. Domain variabel rantai berat dan ringan bersama-sama membentuk sepasang situs ikatan antigen identik, dan bersama pasangan domain berat konstan yang berdekatan, membentuk daerah Fab (fragmen ikatan antibodi) pada molekul immunoglobulin. Domain konstan rantai berat yang tersisa bersama-sama membentuk daerah Fc (fragmen yang dapat dikristalisasi). Fc berikatan dengan reseptor permukaan sel efektor seperti sel mast, sel B, atau makrofag.1,3

Gambar 2. Molekul Imunoglobulin

Ada lima isotipe atau kelas imunoglobulin yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE, dengan isotipe IgG memiliki empat subkelas (IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4) dan IgA, dua subkelas (IgA1 dan IgA2). Tubuh biasanya memproduksi IgM saat pertama kali bertemu antigen. Paparan antigen berikutnya, menyebabkan daerah konstan dari IgM untuk beralih ke kelas lain (IgA, IgG, atau IgE), suatu proses yang juga dikenal sebagai peralihan isotipe. Isotipe IgE (dan IgG4) merupakan antibodi paling penting dalam patogenesis penyakit alergi dan anafilaksis.1,3

III.1.4. Klasifikasi Reaksi Ada empat tipe reaksi hipersensitivitas pada Sistem Klasifikasi Coombs dan Gell. Tipe I (hipersensitivitas langsung) adalah dimediasi oleh IgE (dan IgG4) dan menyumbang sebagian besar reaksi alergi dan anafilaksis pada manusia. Tipe II (sitotoksik) menunjukkan reaksi sitotoksik yang dimediasi antibodi. Pada tipe ini, IgG (atau IgM) berikatan dengan antigen, mengaktifkan komplemen jalur klasik, menyebabkan fiksasi kompleks membran dan lisisny sel. Dalam prosesnya, anafilatoksins C3a dan C5a juga menyebabkan keluarnya mediator sel mast, menghasilkan aksi yang sama seperti mediator klasik anafilaksis. Tipe III (kompleks imun) adalah dimediasi oleh kompleks IgG atau IgM. Kompleks imun antigen-antibodi yang larut dalam sirkuasi bermigrasi ke ruang interstisial perivaskular sehingga mengaktifkan sistem komplemen. Reaksi anafilaksis pada transfusi darah atau terapi komponen darah komponen, termasuk seroterapi (penggunaan imunoglobulin), merupakan contoh klinis reaktivitas tipe II dan tipe
8

III yang tumpang tindih; dengan demikian, mereka telah diklasifikasikan sebagai anafilaksis yang dimediasi komplemen atau dimediasi kompleks imun. Tipe IV (hipersensitivitas lambat) adalah dimediasi oleh sel T dimediasi sel dan tidak memiliki hubungan pada patogenesis anafilaksis.1,2,3 III.1.5. Alergen3 Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respons imun spesifik berupa pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat yang mampu bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen selalu bersifat antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten, kecuali kalau bergabung dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan sel molekul rendah (hapten). Alergen protein lengkap mampu merangsang pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B.Yang termasuk kelompok ini misalnya serbuk sari, bulu binatang, ATS (serum antitetanus) dan ADS (serum antidifteri). Sedangkan alergen dengan berat molekul rendah tidak dapat menimbulkan respons antibodi berupa IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten harus berikatan dengan protein jaringan atau protein serum in vivo membentuk kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons antibodi IgE. Yang termasuk kelompok ini misalnya obat-obatan. III.2. PATOFISIOLOGI1-4,6,7,11 Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif antara makrofag, sel T, dan sel B. Alergen yang masuk melalui traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis atau kulit akan difagosit oleh makrofag untuk diproses dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang tersensitisasi akan merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang kemudian mensintesis dan mensekresi IgE spesifik ke dalam sirkulasi. Sel plasma yang memproduksi IgE terutama terdapat

dalam lamina propria traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta jaringan limfoid bersangkutan. Fiksasi IgE spesifik alergen pada reseptor permukaan sel mast (FcRI) menyelesaikan suatu proses yang dikenal sebagai sensitisasi. Karena IgE serum terikat pada sel mast di seluruh tubuh maka sel mast di bawah kulit juga sensitif terhadap alergen yang masuk melalui traktus gastrointestinalis ataupun traktus respiratorius. Sel Mast yang diliputi IgE biasanya terdapat pada permukaan mukosa, jaringan submukosa (sekitar vena), dan permukaan kutan, dan dapat diaktivasi pada paparan ulang alergen tertentu. Cross link FcRI pada sel mast oleh IgE alergen spesifik akan membentuk kaskade konformasi biokimia, untuk mengaktivasi sistem nukleotida siklik yang meningkatkan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel, yang akhirnya menyebabkan degranulasi mediator preformed, pembangkitan, dan pelepasan metabolit asam arakidonat dan sitokin dari sel mast dan basofil. Degranulasi ini diatur oleh sejumlah zat. Zat yang menurunkan cAMP atau menaikkan cGMP adalah adrenergik , zat kolinergik, atau prostaglandin F2. Sebaliknya, yang meningkatkan cAMP sehingga menghalangi degranulasi sel adalah epinefrin, teofilin, dan prostaglandin E1 dan E2. Aktivasi penting lainnya adalah bila IgE berikatan dengan alergen. Hal ini dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif sehingga dihasilkan anafilaktoksin (C3 dan C5a) dan zat kemotaktik lain yang penting pada respons inflamasi. III.2.2. Mediator Anafilaksis1,3,5 Mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dikategorikan menjadi tiga kelompok utama: mediator preformed, metabolit lipid (metabolisme AA), dan sitokin. Dari mediator preformed, histamin adalah yang paling utama dan bertanggung jawab terhadap gejala-gejala yang cepat. Histamin merupakan

mediator penting dalam hipersensitivitas cepat dan peradangan. Histamin diproduksi dan disimpan di granul preformed (pg) sel mast dan basofil, pada sekitar 1 atau 2 pg/sel. Ada tiga kelas reseptor histamin yaitu H1, H2, dan H3 yang memperantarai aktivitas histamin dalam tubuh. Stimulasi reseptor H1

10

menghasilkan kontraksi bronkus bronkial, usus, dan otot polos uterus; meningkatkan permeabilitas vaskuler, produksi mukus hidung; spasme arteri koroner, dan peningkatan kemokinesis dan kemotaksis eosinofil dan neutrofil. Rangsangan reseptor H2 meningkatkan laju dan kekuatan kontraksi atrium dan ventrikel, sekresi asam lambung, produksi mukus saluran nafas, dan permeabilitas vaskuler, juga bronkodilasi dan inhibisi pelepasan histamin basofil. Reseptor H3, ditemukan dalam sistem saraf pusat dan jaringan perifer, mengatur pembentukan dan pelepasan histamin.1,3 Mediator preformed sel mast yang lain adalah protease netral (meliputi triptase, kimase, dan karboksipeptidase), asam hidroksilase, heparin, dan faktor kemotaktik eosinofil dan netrofil. Triptase memiliki aktivitas kalikrein dan dapat mengaktifkan kaskade komplemen dan memecah fibrinogen. Sedangkan heparin merupakan antikoagulan yang menghambat komplemen dan memodulasi aktivitas triptase.5 Eosinophyl Chemotacting Factor-Anaphylaxis (ECF-A) merupakan mediator yang telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera saat degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah reaksi anafilaksis sehingga eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi mediator lainnya. Peran mediator preformed lainnya pada sindrom degranulasi sel mast dan basofil tidak diketahui secara pasti.1,3,5 Berbeda dengan mediator preformed, metabolit lipid dan sitokin diuraikan setelah aktivasi sel mast dan basofil. Asam arakidonat akan disintesis menjadi leukotrien oleh enzim lipooksigenase, dan prostaglandin dan tromboksan oleh enzim siklooksigenase. Prostaglandin D2 (PGD2) merupakan metabolit utama AA. PGD2 bertanggung jawab menyebabkan hipotensi, menghambat agregasi platelet, dan bronkospasme; PGD2 tiga puluh kali lebih kuat dari histamin dalam menyebabkan bronkokonstriksi. Leukotrien, LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4, juga disebut sebagai leukotrien sisteinil atau zat anafilaksis reaksi lambat. LTB4 dan LTC4 disintesis intraseluler dalam sel mast dan basofil lalu disekresikan. LTC4 selanjutnya dikonversi menjadi LTD4 dan LTE4 di ruang ekstraseluler (oleh gamma-glutamil transpeptidase dan dipeptidase). Mediator ini terlibat dalam bronkospasme, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan meningkatkan produksi mukus. Leukotrien sisteinil ini memiliki onset yang lambat tetapi sepuluh sampai

11

seribu kali lebih kuat dari histamin dalam menyebabkan bronkokonstriksi. Selain itu, leukotrien ini juga memiliki durasi kerja yang lebih lama dan mempotensiasi efek bronkokonstriktor lain seperti histamin.1,2 Platelet-activating factor (PAF) adalah fosfolipid bebas dan senyawa yang paling kuat menyebabkan agregasi trombosit pada manusia. Aksi lainnya meliputi bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga telah terbukti menghasilkan banyak manifestasi klinis penting dari anafilaksis, meliputi penurunan kekuatan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi koroner, edema paru, dan peningkatan resistensi total paru. Menghambat PAF dengan antagonisnya yang memicu perbaikan fungsi jantung menunjukkan PAF mungkin terlibat dalam disfungsi jantung terkait anafilaksis yang mematikan.1,3,5 Tabel 1. Mediator Sel Mast dan Basofil1,3,5 Mediator Sel Mast dan Basofil Mediator Preformed (Granul) Mediator Histamine Tryptase Carboxypeptides Chymase Eosinophyl Chemotacting Anaphylaxis (ECF-A) Heparin Proteoglycans LTB4 LTC4 PGD2 Platelet-activating factor TNF CCL2, CCL3, CCL5 GM-CSF IL-3, -4, -5, -6, -8, -10, -13

Factor-

Metabolit Asam Arakidonat

Sitokin

III.2.3. Efek Fisiologis1,2,4-8 Mediator kimia yang dilepaskan sel mast memberikan efeknya pada berbagai organ target untuk menghasilkan sindrom klinis anafilaksis. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan urtikaria, angioedema, edema laring, hidung tersumbat, atau keluhan gastrointestinal seperti kram perut dan muntah. Vasodilatasi dapat menyebabkan kemerahan, sakit kepala, mengurangi

12

resistensi pembuluh darah perifer, hipotensi, dan sinkop. Kontraksi otot polos dapat menyebabkan bronkospasme, kram perut, atau diare. Vasokonstriksi pembuluh darah paru dapat menyebabkan hipertensi paru, edema paru, dan penurunan tekanan pengisian jantung. Vasokonstriksi koroner dapat menyebabkan iskemia miokardium dan penurunan kekuatan kontraktil miokardium. Perubahan kronotropi atrium dan isotropi atrium dan ventrikel dapat menyebabkan disritmia jantung. Selain aksi langsung pada jaringan target, mediator preformed, metabolit lipid, dan sitokin mengaktifkan sejumlah jalur inflamasi, termasuk sistem komplemen, sistem pembekuan dan lisis pembekuan, dan sistem kallikrein-kinin, untuk berkontribusi pada manifestasi klinis alergi dan anafilaksis. Kolaps kardiovaskuler pada anafilaksis digambarkan sebagai akibat vasodilatasi perifer, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kebocoran plasma, dan deplesi volume intravaskular. Gambaran patologis yang paling sering diidentifikasi dari autopsi pada kasus anafilaksis yang fatal adalah kegagalan pada sistem pernapasan dan jantung, meliputi edema orolaringeal, hiperinflasi paru, kongesti vaskuler peribronkial, perdarahan intraalveolar, edema paru, peningkatan sekresi trakeobronkial, dan infiltrasi eosinofil pada dinding bronkus. Kematian akibat asfiksia biasanya disebabkan oleh angioedema epiglotis, laring, hipofaring, dan, sampai batas tertentu trakea. Pasien yang meninggal karena kolaps vaskuler menunjukkan berbagai tingkat kerusakan miokard, kongesti viseral, dan temuan lainnya yang mendukung hilangnya volume darah intravaskuler. Temuan otopsi lainnya termasuk erupsi urtikaria, angioedema, kongesti viseral, edema submukosa, dan perdarahan lambung.

13

Gatal Merah Bengkak Angio edema

Batuk Dispnoe Serak Stridor Mengi

Mual Muntah Diare Nyeri perut

Pusing Hipotensi Syok Infark miokard Disritmia

Sakit kepala

Gambar 4. Patogenesis Anafilaksis1,8

14

BAB IV ETIOLOGI

Sejumlah agen diketahui menyebabkan anafilaksis pada manusia. Proses ini diatur oleh mekanisme imunopatogenetik: dimediasi IgE, diperantarai kompleks imun, aktivator nonimunologik, atau modulator AA. Reaksi tanpa agen penyebab yang dapat diidentifikasi diklasifikasikan sebagai anafilaksis iatrogenik (IA) atau idiopatik.1,6 Tabel 2. Agen Penyebab dan Mekanisme Patogenesis Anafilaksis1-7 Mekanisme Patogenesis Dimediasi IgeE Agen Penyebab Makanan (telur, kacang, susu sapi, kerang, udang) Antibiotik (penisilin, sefalosporin, sulfonamid, nitrofurantoin, tetrasiklin, streptomisin) Terapi lain (metilparaben, vaksin rabies, vaksin berbahan dasar telur, vasopresin) Sengatan Serangga (Himenoptera venoms, gigitan semut api) Lateks Hormon (insulin, metil prednisolon, parahormon, estradiol, progesteron) Enzim (tripsin, streptokinase, kemotripsin, asparaginase) Polisakarida (glukosa, besi) Anestesi lokal (golongan ester, prokain, tertrakain) Radiokontras media Opiat Kurare, protamin Polisakarida (beberapa dimediasi IgE) ACE inhibitor Whole blood (reaksi transfusi) Immunoglobulin Aspirin dan NSAIDs Benzoat Pewarna makanan (tartrazin) Latihan Suhu (panas atau dingin)

Direct Mast Cell Degranulation

Dimediasi Kompleks Imun Metabolisme Asam Arakidonat

Faktor Fisik Idiopatik

15

IV.1. AGEN YANG DIMEDIASI IMUNOGLOBULIN E Berbagai kelompok agen yang aktivitas anafilaksisnya dimediasi imunoglobulin E meliputi makanan, antibiotik, lateks, narkoba, dan sengatan serangga.1,6,7

IV.1.1. Makanan Makanan adalah agen utama penyebab anafilaksis yang dapat

diidentifikasi, terhitung sekitar sepertiga dari kasus anafilaksis. Berbagai makanan mulai dari kacang, kerang, dan telur, hingga teh kamomil telah diidentifikasi sebagai penyebab dengan susu sapi, telur, kacang tanah, kedelai, gandum, ikan, dan kerang-kerangan adalah makanan yang paling sering menyebabkan anafilaksis.1,5,7 Seseorang yang memiliki riwayat alergi makanan, mungkin sulit untuk menghindari makanan yang dapat menyebabkan reaksi alergi karena identitas makanan tersebut sering dikaburkan oleh pengolahan. Karena makanan yang menyebabkan alergi pertama kali diserap oleh mukosa, gejala anafilaksis pertama yang muncul dapat bersifat lokal pada saluran pernapasan bagian atas. Reaksi alergi terhadap bahan makanan yang sering terjadi pada anak-anak berkisar antara 0,3-7,5%.1 Jenis makanan yang dapat menyebabkan anafilaksis pada anak-anak umumnya kacang, susu, dan telur5 dan dapat bervariasi berdasarkan daerah geografis.1,7 Di Amerika Serikat, kacang-kacangan merupakan penyebab utama anafilaksis yang disebabkan oleh makanan pada anak-anak, sedangkan di Australia, telur, kacang, dan produk susu menjadi penyebab utama. Di Italia, anafilaksis oleh makanan terutama disebabkan oleh kerang-kerangan dan produk susu, serta di kawasan Asia Tenggara, kerang umumnya menjadi penyebab.7 Waktu yang diperlukan mulai dari makanan dicerna hingga timbul gejala biasanya cepat, dalam hitungan menit pada kelompok yang sangat sensitif, namun bisa hingga dua jam. Jumlah makanan yang dibutuhkan untuk mencetuskan gejala juga bervariasi, tetapi pada beberapa keadaan, jumlah yang sedikit saja sudah bisa menyebabkan anafilaksis pada individu yang rentan.5 Selain itu, pengawet yang terdapat pada makanan juga dapat menjadi agen anafilaksis, seperti natrium dan kalium bisulfit dan metabisulfit. Sulfit telah

16

digunakan sebagai antioksidan dalam industri makanan dan restoran untuk mencegah perubahan warna sayuran, buah-buahan, dan kentang, serta mengawetkan jus buah dan sayuran. Zat ini juga digunakan untuk mencegah kontaminasi bakteri dan oksidasi anggur, bir, dan minuman suling. Sensitivitas terhadap sulfit yang tertelan telah didokumentasikan dengan baik, terutama di kalangan populasi asma. Namun, menegakkan bahan makanan atau pengawet tertentu sebagai agen penyebab anafilaksis bisa sulit.1,5

IV.1.2. Antibiotik Antibiotik merupakan obat-obat yang paling sering menyebabkan anafilaksis. Benzilpenisilin, penisilin, dan sefalosporin sebagai agen antibiotik yang paling umum digunakan, paling sering dilaporkan menyebabkan alergi. Anafilaksis yang disebabkan penisilin pertama kali dilaporkan pada 1949. Karena berat molekulnya yang rendah, antimikroba ini tidak memiliki sifat antigenik sendiri. Secara imunologi, mereka haptens, bahan kimia sederhana yang tidak antigenik awalnya dapat menjadi antigenik setelah bahan kimia atau metabolitnya membentuk ikatan yang stabil dengan protein host dari jaringan normal atau protein serum. Sifat ikatan dari obat tertentu dapat menginduksi sensitisasi. Walaupun pasien sering melaporkan riwayat alergi penisilin, namun penelitian telah menunjukkan bahwa hingga 9 dari 10 individu dengan riwayat alergi penisilin yang dilaporkan, dapat dengan aman menggunakan penisilin; individuindividu ini biasanya salah dianggap alergi penisilin atau kehilangan alerginya setelah bertahun-tahun menghindari penisilin. Pada berbagai penelitian, frekuensi reaksi alergi terhadap penisilin bervariasi antara 0,01-0,05% dari pemakaian penisilin (1 sampai 5 reaksi per 10.000), dengan tingkat reaksi anafilaksis kurang dari 0,01% dan tingkat kematian kurang dari 0,002% (kurang dari 1 kematian per 50.000 pemakaian penisilin). Penisilin yang diberikan parenteral bertanggung jawab untuk sebagian besar reaksi anafilaksis.1,2,5,12 Sefalosporin berbagi cincin -laktam dengan penisilin dan telah dicurigai menyebabkan alergi pada satu hingga delapan persen pasien pemakai sefaloporin. Pasien yang memiliki reaksi urtikaria atau anafilaksis setelah mengkonsumsi penisilin adalah empat kali lebih mungkin untuk memiliki reaksi simpang

17

terhadap sefalosporin. Walaupun begitu, risiko reaksi anafilaksis terhadap sefalosporin masih kurang dari 0,1%. Suatu pilihan yang bijaksana untuk memakai antibiotika selain sefalosporin pada pasien dengan riwayat alergi penisilin. Namun, jika tidak ada pilihan antibiotik lain yang tersedia, dosis pertama sefalosporin dapat diberikan secara oral di bawah pengawasan medis. Aztreonam, -laktam dengan struktur monobaktam tidak bereaksi silang dengan penisilin atau beta laktam lainnya, kecuali ceftazidim, sehingga pasien yang alergi penisilin dan beta laktam lain dapat menggunakan aztreonam dengan aman. Begitu juga dengan pasien yang alergi dengan aztreonam, dapat dengan aman menggunakan beta laktam lainnya, kecuali ceftazidim.1,5,12 Reaktivitas silang lainnya yaitu antara karbapenem dan beta laktam lain juga rendah. Diantara pasien dengan skin tes beta laktam positif, 111/112 skin tes imipenem menunjukkan hasil negatif. Toleransi yang sama juga ditemukan pada meropenem.1,12

IV.1.3. Lateks Alergi terhadap lateks pada sarung tangan dan produk medis lainnya telah menjadi isu kesehatan bagi penyedia layanan kesehatan, pasien, dan pekerja industri lateks. Lateks berasal dari pohon karet komersial Hevea brasiliensis, yang berasal dari selatan Amazon dan ditanam secara komersil dari perkebunan di Asia Tenggara dan Afrika. Unit fungsionalnya adalah partikel karet yang dilapisi oleh lapisan protein, lipid, dan fosfolipid untuk menyusun integritas struktural. Setidaknya, 240 polipeptida dapat dipisahkan melalui elektroforesis dua dimensi dan dikelompokkan menjadi 11 kelompok protein. Alergi lateks mengacu pada sensitivitas pada protein atau produk kimia yang terkandung dalam produk lateks.1,5,12 Suatu review insiden anafilaksis pada lima puluh anak, ditemukan bahwa 27 persen diantaranya disebabkan lateks. Meskipun alergi lateks adalah umum, mengenai 0,7-1,1 persen dari populasi, di Amerika Serikat, hanya 220 orang per tahun diperkirakan memiliki risiko reaksi anafilaksis dari latex. Sensitisasi meningkat hingga dua belas persen pada tenaga medis dan 75 persen pada pasien dengan spina bifida, dan pasien yang menjalani prosedur bedah multipel.

18

Anafilaksis lateks telah dilaporkan sekitar tujuh belas persen dari seluruh anafilaksis intraoperatif.1,5,12 Reaktivitas silang dapat terjadi antara makanan dan lateks. Laporan terbanyak reaktivitas silang makanan yang dapat mencetus anafilaksis pada pasien dengan alergi lateks diantaranya disebabkan oleh pisang, alpukat, kiwi, dan kacang.5 Tidak ada profilaksis yang efektif untuk alergi lateks. Menghindari produks lateks ataupun menggunakan produk non lateks atau bebas lateks adalah pendekatan yang direkomendasikan.1,2,5,12

IV.1.4. Sengatan Serangga Racun Hymenoptera dan sengatan semut api juga bertanggung jawab terhadap morbiditas dan mortalitas anafilaksis secara signifikan. Kematian anafilaksis pertama yang terdokumentasi dalam hieroglif adalah kematian Raja Menes Mesir pada 2641 SM, ketika ia meninggal akibat sengatan tawon atau lebah. Sengatan Serangga Hymenoptera menyerang sampai 13,6 juta penduduk Amerika per tahunnya (tahun 1999) dan menyebabkan sekitar 50 sampai 100 kematian per tahun. Pada populasi umum, 0,4 4 persen memiliki riwayat reaksi sistemik akibat hymenoptera.1,5 Semut api yang diimpor telah menjadi hama penyebab anafilaksis yang utama tersebar di pesisir pantai Atlantik. Sedangkan lebah pembunuh (lebah Afrika) di Brazil yang bermigrasi ke utara merupakan penyebab anafilaksis oleh sengatan terutama di daerah Texas, Arizona, dan Amerika barat daya.1 Hymenoptera memiliki tiga famili yang dapat menyebabkan anafilaksis, yaitu: lebah (honeybee, bumblebee), vespid (yellow jackets, hornets, wasps), dan stinging ants.12 Venom Hymenoptera adalah campuran kompleks dari zat aktif farmakologi dan biokimia. Racun lebah madu telah diteliti mengandungi dua enzim utama yaitu hyaluronidase dan fosfolipase A (PLA) dan peptida lainnya, termasuk peptida degranulasi sel mast. Venom yellow jacket tidak hanya berisi fosfolipase A dan B dan hyaluronidase, tetapi juga kinin. Sedangkan tawon, selain racun, juga mengandung asetilkolin. Venom semut api sebagian besar merupakan suspensi alkaloid nonprotein yang mengandung PLA dan hyaluronidase.1

19

Sengatan serangga dari ordo hymenoptera dapat menyebabkan reaksi sistemik, tetapi gigitannya jarang menyebabkan anafilaksis. Gejala anafilaksis tersering yang terjadi pada anak-anak berupa manifestasi kutaneus dan pernafasan. Reaksi sengatan lokal yang luas dapat menyebabkan peradangan lokal 24-48 jam yang menyembuh dalam tiga hingga sepuluh hari. Uji diagnostik diperlukan yang memiliki riwayat reaksi sistemik akibat sengatan serangga. Metode yang dianjurkan adalah uji kulit venom karena derajat sensitivitasnya yang tinggi dan terjamin keamanannya.12

IV.1.5. Agen Terapi lain Serum heterolog yang digunakan dalam antitoksin difteri dan tetanus kuda di masa lalu dapat bertindak sebagai penanda antigen utuh. Bahkan, sampai munculnya penisilin, kedua agen terapi ini merupakan penyebab iatrogenik terbanyak anafilaksis pada manusia. Penggunaan antiserum manusia dikaitkan dengan pengurangan nyata insiden anafilaksis yang disebabkan serum. Bahkan, tidak terdapat reaksi simpang yang tercatat pada imunisasi ulang menggunakan antiserum tetanus manusia pada sekitar 250 pasien yang memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya terhadap antiserum tetanus kuda. Walaupun reaksi anafilaksis jarang terjadi (1: 500.000), penggunaan anti tetanus serum kuda masih harus diencerkan dan diujicobakan. Sejak perkembangan hormon insulin heterolog dalam pengelolaan diabetes melitus, komplikasi alergi lokal dan sistemik mulai dilaporkan. Dengan diperkenalkannya Humulin, sediaan insulin dari DNA rekombinan, kejadian anafilaksis dan resistensi insulin telah menurun secara dramatis. Ekstrak alergen digunakan untuk diagostik pada uji kulit dan terapi imunoterapi (juga dikenal sebagai hiposensitisasi atau desensitisasi). Paparan serbuk sari terapi, melalui injeksi atau inhalasi, dapat mengakibatkan alergi lokal atau reaksi anafilaksis sistemik. Terapi dosis tinggi, pemakaian terlalu sering, atau sengaja diinjeksi intravaskular meningkatkan risiko anafilaksis pada imunoterapi. Meskipun kortikosteroid digunakan dalam pengelolaan anafilaksis, reaksi simpang terhadap obat ini telah diamati setelah pemberian parenteral. Pengujian

20

kulit dapat menunjukkan kelas khusus bertanggung jawab untuk hipersensitivitas steroid, dan substitusi dari kelas yang berbeda harus dipertimbangkan. Anestesi lokal kadang-kadang menghasilkan reaksi merugikan. Sebagian besar reaksi tidak murni alergi tetapi terkait untuk efek langsung dari obat. Reaksi alergi yang sebenarnya langka dan sering disebabkan oleh anestesi lokal dari golongan ester (misalnya prokain, tetrakain, dan benzokain). Reaksi alergi dari golongan amid (misalnya lidokain, bupivakain, mepivacaine, dan dibucaine) juga sangat jarang. Lidokain mengandung pengawet Methylparaben, yang memiliki struktur ester. Pengawet ini yang dianggap menyebabkan reaksi alergi pada riwayat hipersensitivitas pada lidokain. Reaksi anafilaksis juga dilaporkan terjadi setelah penyuntikan vaksin, termasuk vaksin measles, mumps, and rubella (MMR), yellow fever, dan vaksin influenza. Seseorang yang dapat mengkonsumsi telur, walaupun pernah memiliki riwayat anafilaksis akibat telur sebelumnya, atau tes kulit terhadap telur positif, biasanya dapat mentoleransi vaksin. Reaksi anafilaksis juga terjadi terhadap etilen oksida (ETO), yang digunakan untuk mensterilkan hemodialyzers. ETO dapat mengikat dengan protein manusia seperti serum albumin manusia (HSA), sehingga membentuk kompleks ETO-ASM yang alergenik.1,5,12

IV.2. AGEN YANG DIMEDIASI KOMPLEKS IMUN Reaksi anafilaksis merupakan komplikasi yang jarang setelah pemberian darah dan imunoglobulin. Fiksasi antibodi terhadap unsur-unsur seperti merah sel darah, trombosit, dan leukosit dan komponen terlarut mengaktifkan sistem komplemen. Hal ini terutama relevan pada pasien dengan defisiensi IgA yang terekspos transfusi yang banyak sehingga membentuk antibodi terhadap IgA yang dihasilkan oleh transfusi sebelumnya. Dengan transfusi berikutnya, terbentuk kompleks imun antara antigen (IgA) antibodi anti-IgA (IgG) yang selanjutnya mengaktivasi kaskade komplemen. Banyak analgetik opioid dapat menyebabkan reaksi anafilaksis melalui mekanisme pelepasan histamin langsung, meskipun ada bukti namun jarang, beberapa diantaranya diperantarai oleh IgE. Media radio kontras (RCM) merupakan salah satu kelas obat yang dapat menyebabkan anafilaksis. RCM

21

tersedia sebagai RCM osmolaritas tinggi (HRCM > 1400 mOsm/kg), RCM isoosmolar (sama seperti serum, 290 mOsm/kg), dan RCM osmolaritas rendah (LRCM, 500-900 mOsm/kg). Selain itu, berdasarkan molekul iodium yang digunakan, RCM dikelompokkan menjadi ionik atau nonionik. Mayoritas RCM adalah ionik HRCM ionik atau LRCM nonionik. Sekitar 10 juta penelitian radiologis di Amerika Serikat setiap tahunnya, sebagian besar menggunakan LRCM nonionik. Sekitar 35 per 100.000 pasien mengalami reaksi yang serius, dengan perkiraan angka kematian 1 sampai 3,9 per 1 juta penyuntikan. Faktor risiko terjadinya anafilaksis oleh media radio kontras adalah reaksi simpang sebelumnya terhadap media radio kontras dan riwayat atopi. Patofisiologi reaksi anafilaksis RCM ini masih belum diketahui, diduga nonimunologi. Mekanisme yang diketahui, tetapi diyakini nonimmunologik, meliputi pelepasan histamin secara langsung, aktivasi jalur komplemen alternatif, dan aktivasi kontak sistem. Untuk meminimalkan risiko anafilaksis pada pasien yang sebelumnya memiliki reaksi simpang terhadap RCM tetapi masih harus menjalani pemeriksaan radiologis kontras, maka dibuatlah protokol khusus.1,5,12

IV.3. MODULATOR METABOLISME ASAM ARAKIDONAT Gangguan metabolisme asam arakidonat (AA) oleh aspirin (ASA) dan non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) telah diyakini sebagai mekanisme yang bertanggung jawab untuk reaksi anafilaksis yang disebabkan agen ini, meskipun pelepasan histamin langsung juga dapat mempengaruhi secara parsial. Sebuah penelitian memperkirakan sekitar 2,1 kejadian anafilaksis per 100.000 pasien yang terekspos. Alergi aspirin bervariasi mulai dari intoleransi gastrointestinal hingga eksaserbasi asma akibat ASA. Protokol desensitisasi telah diusulkan untuk pasien jantung dengan riwayat alergi aspirin. Untuk kelainan kulit yang disebabkan oleh ASA, protokol desensitisasi ASA dapat digunakan untuk pasien jantung di UGD dengan memberikan ASA setiap 15 menit, dimulai dengan 0,1 mg sampai dengan 325 mg pada menit ke 135. ASA harus dihindari pada pasien dengan reaksi anafilaksis ASA. Untuk aplikasi non kardiovaskuler,

22

sebagian pasien yang sensitif aspirin dapat mentolerir natrium salisilat atau acetaminophen sebagai pengganti aspirin. Selain itu, tartrazine, zat pewarna yang sering digunakan dalam makanan, obat, dan konsmetik juga dapat menyebabkan anfilaksis. Walaupun

mekanismenya masih belum diketahui dengan pasti, teori modulasi metabolisme asam arakidonat telah diajukan sebagai patofisiologinya.

IV.4. ANAFILAKSIS YANG DIINDUKSI AGEN FISIK Aktivitas fisik, terutama latihan/olahraga dan faktor termomekanis (panas dan dingin) semakin diakui sebagai agen etiologi anafilaksis. Walaupun mekanismenya masih belum jelas, tetapi diduga melibatkan pelepasan sel mast dan mediator basofil.1,
Anafilaksis yang diinduksi oleh latihan secara klasik ditandai dengan spektrum gejala yang terjadi selama aktivitas fisik mulai dari tanda-tanda kulit ringan, seperti flushing, pruritus, urtikaria, hingga manifestasi sistemik yang berat seperti hipotensi, sinkop, bahkan kematian. Anafilaksis yang diinduksi oleh latihan dapat terjadi pada semua tingkat aktivitas fisik dan berbagai aktivitas atletik. Pada seseorang yang rentan, mengkonsumsi makanan tertentu atau obat sebelum aktivitas fisik dapat menjadi faktor predisposisi. Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid juga menjadi faktor medikasi yang paling sering terlibat. Makanan yang telah terlibat termasuk makanan laut, seledri, gandum, dan keju. Pasien anafilaksis yang diinduksi latihan umumnya juga

memiliki riwayat atopi atau riwayat atopi dalam keluarga.1,5,12,13 Berdasarkan literatur, terdapat dua tipe alergi yang disebabkan oleh aktivitas fisik, yaitu urtikaria yang diinduksi latihan dan anafilaksis yang diinduksi latihan tipe klasik. Urtikaria yang diinduksi latihan dikenal juga sebagai urtikaria kolinergik yang ditandai dengan papul-papul kecil (1-3 mm) yang dikelilingi oleh halo eritematus. Urtikaria timbul setelah 6-25 menit setelah onset latihan. Lesi biasanya timbul pada dada bagian atas dan leher, tetapi data

menyebar ke seluruh tubuh. Sedangkan Urtikaria dan angioedema yang disertai obstruksi saluran nafas atas dan hipotensi dikelompokkan sebagai anafilaksis yang diinduksi latihan tipe klasik.5,13 Pasien harus menghentikan latihan ketika mereka mengalami pruritus. Apabila latihan dilanjutkan, perburukan klinis dapat terjadi pada individu yang

23

rentan. Menghindari faktor pencetus, modifikasi olahraga, dan penggunaan kit epinefrin telah direkomendasikan untuk pasien dengan anafilaksis yang diinduksi latihan.1, 2,5,13

IV.5. ANAFILAKSIS IDIOPATIK Anafilaksis idiopatik merupakan diagnosis eksklusi dan dibuat hanya, setelah evaluasi yang cukup, tidak satupun penyebab ditemukan. Di Amerika Serikat, diperkirakan 20.000 sampai 47.000 pasien setiap tahunnya datang ke pakar alergi untuk memastikan tanda dan gejala anafilaksis idiopatik, dimana tidak ditemukan riwayat kontak dengan agen penyebab spesifik. Penelitian laboratorium termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, laju endapan darah, kimia darah, kadar komplemen, kadar esterase inhibitor C1, kadar histamin serum dan urin, urin, tes kulit, dan pemeriksaan khusus lainnya jika ada indikasi klinis, semuanya tidak mendukung diagnosis. Catatan makanan harian dan upaya untuk menemukan penyakit sistemik sering tidak membuahkan hasil.1,2, 5,12 Patogenesis anafilaksis idiopatik masih belum jelas, namun dianggap sebagai respon dari aktivitas sel mast, termasuk peningkatan histamin urin, serum triptase, dan triptase .12 Meskipun anafilaksis idiopatik ini dapat mengancam nyawa, biasanya responsif terhadap terapi konvensional, termasuk antihistamin, simpatomimetik, dan terutama prednison. Anafilaksis idiopatik ini responsif terhadap

kortikosteroid. Pasien yang mengalami enam kali atau lebih episode anafilaksis dalam satu tahun, atau minimal dua kali dalam dua bulan memerlukan steroid profilaksis yaitu prednison 40-60 mg per hari dan antihistamin untuk mengontrol episode. Apabila gejala terkontrol, dosis prednison dapat diturunkan secara bertahap. Antihistamin juga dapat diturunkan setelah prednison dihentikan. Antihistamin yang biasa digunakan meliputi kromolin oeal dan antagonis leukotrien. Efektivitas agen-agen ini bervariasi, namun semuanya harus dihentikan dalam 1-2 bulan percobaan apabila kegawatannya berkurang. Prognosis keseluruhan adalah baik, tetapi pasien tertentu dapat mengalami anafilaksis idiopatik berulang meskipun dengan antihistamin, simpatomimetik, atau steroid profilaksis.1,5,

24

BAB V GAMBARAN KLINIS

Anafilaksis mempengaruhi sistem organ yang kaya sel mast seperti sistem kulit, pernapasan, kardiovaskuler, saraf, dan gastrointestinal. Reaksi yang terjadi bervariasi dari ringan sampai berat dengan jangka waktu yang juga bervariasi. Ekspresi klinis tergantung pada derajat hipersensitivitas; jumlah, rute, dan tingkat paparan antigen; pola pelepasan mediator, dan sensitivitas organ target. Salah satu ciri reaksi anafilaksis berat adalah onset yang cepat. Kebanyakan gejala klinis timbul dalam beberapa menit (rata-rata 5 sampai 30 menit) setelah paparan parenteral; dan dapat lebih lambat (rata-rata 2 jam) melalui oral. Sebagian besar kematian terjadi dalam 30 menit pertama setelah terpapar antigen. Kasus fatal anafilaksis biasanya disebabkan oleh kolaps jantung atau kegagalan pernafasan. Meskipun urtikaria dan angioedema adalah gejala paling umum anafilaksis (88%), anafilaksis yang fatal dengan edema laring dan kolaps kardivaskuler dapat terjadi bahkan tanpa adanya gejala atau tanda-tanda peringatan atau manifestasi kulit.

Tabel 4. Gambaran Klinis Anafilaksis Sistem Umum (prodromal) Kulit Mukosa Gejala dan tanda Malaise, lemah, rasa sakit Urtikaria, eritema, Edema periorbita, hidung tersumbat dan gatal, angioedema, pucat, sianosis Bersin, pilek, dispnu, edema laring, serak, edema lidah dan faring, stridor Dispnu, emfisema akut, asma, bronkospasme, bronkorea Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diare Gelisah, kejang Mediator Histamin Histamin

Pernapasan Jalan napas atas

Histamin

Jalan napas bawah

SRS-A, histamin

Gastrointestinal

Tidak diketahui

Susunan saraf pusat

Tidak diketahui

25

Kebanyakan anak (80-90%) akan mengalami gejala-gejala kutaneus, seperti flushing, pruritus, urtikaria, dan angioedema. Gejala di saluran nafas terjadi pada 94 persen anak yang mengalami anafilaksis, meliputi stridor, mengi, dan dispnoe. Gejala gastrointestinal berupa mual, muntah, diare, dan kram perut, terjadi pada 10-46% anak dengan anafilaksis, dengan penyebab terbanyak adalah alergi makanan. Sedangkan gejala kardiovaskuler berupa aritmia, gangguan perfusi, dan hipotensi dilaporkan kurang dari 30%, dimana dalam 10 menit, penurunan volume darah di sirkulasi akaibat anafilaksis dapat menurun hingga 35 persen. Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terdiri atas reaksi sistemik ringan, sedang dan berat. Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik. Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan. Pada reaksi sistemik berat, masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat,

26

diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma. Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.

Tabel 5. Derajat Keparahan Anafilaksis Derajat Ringan Sistem Kulit Gatal pada mata dan hidung, pruritus umum, flushing, urtikaria, angioedema Pruritus oral, bengkak di bibir, nausea, nyeri perut ringan Sedang Gatal pada mata dan hidung, pruritus umum, flushing, urtikaria, angioedema Pruritus oral, bengkak di bibir, nausea, nyeri perut ringan, keram perut, diare, muntah berulang Berat Gatal pada mata dan hidung, pruritus umum, flushing, urtikaria, angioedema Pruritus oral, bengkak di bibir, nausea, nyeri perut ringan, keram perut, diare, muntah berulang, kehilangan kontrol BAB Kongesti nasal, bersin, rhinorhae, gatal di tenggorokan, mengi ringan, serak, sulit menelan, stridor dispnoe, saturasi <92%, gagal nafas Hipotensi dan atau kolaps, disritmia, bradikardi berat atau serangan jantung Penurunan kesadaran

Gastrointestinal

Pernafasan

Kongesti nasal, bersin, rhinorhae, gatal di tenggorokan, mengi ringan

Kongesti nasal, bersin, rhinorhae, gatal di tenggorokan, mengi ringan, serak, sulit menelan, stridor dispnoe, Takikardia (>15x/m)

Kardiovaskuler

Takikardia (>15x/m)

Neurologik

Perubahan aktivitas anxietas

Light headedness, dan pending doom

27

Gejala anafilaksis dapat menghilang dan timbul kembali beberapa jam kemudian, dan keadaan ini disebut sebagai anafilaksis bifasik. Reaksi lambat ini terjadi paling lambat 72 jam setelah reaksi pertama.5,7,14,15 Insiden anafilaksis bifasik bervariasi, mulai dari 1 persen hingga 20 persen dari seluruh kejadian anafilaksis pada anak.14,15 Pada penelitian terbaru, sekitar 6-23 persen anak-anak yang dirawat karena anafilaksis, mengalami anafilaksis bifasik, dengan interval waktu asimptomatik 1,3 sampai 28,4 jam.7,14 Belum ada rekomendasi definitif mengenai berapa lama seseorang harus diobservasi setelah suatu episode anafilaksis5,15, namun beberapa literatur menggunakan waktu 24 jam sebagai waktu observasi minimal setelah episode anafilaksis berat.5,14,15 Kegagalan pemberian epinefrin atau pemberian epinefrin yang tidak adekuat meningkatkan risiko anafilaksis bifasik.4,7,14,15

28

BAB VI DIAGNOSIS

VI.1. DIAGNOSIS Diagnosis anafilaksis bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis yang detail harus dilakukan untuk menemukan agen penyebab, meliputi waktu dan tempat kejadian, makanan yang dimakan sebelum kejadian, termasuk obat-obatan, gigitan serangga, aktivitas sebelum kejadian, paparan panas atau dingin, onset kejadian yang umumnya mendadak, serta progresivitas gejala. Keterlibatan organ target dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Apabila tidak terdapat agen penyebab yang teridentifikasi, evaluasi harus difokuskan pada keadaan-keadaan yang memiliki tanda dan gejala yang mirip dengan anafilaksis. Sebagai panduan praktis, The National Institute of Allergy and Infectious Disease, bekerja sama dengan The Food Allergy and Anaphylaxis Network, menetapkan kriteria klinis untuk mengidentifikasi dan mendiagnosa anafilaksis. Diagnosis anafilaksis dianggap menjadi "sangat mungkin" ketika pasien datang dengan kulit gejala (urtikaria, kemerahan, dan bengkak di bibir, lidah, dan tenggorokan) dan keadaan kesulitan pernafasan (dispnoe, mengi, dan stridor) atau tekanan darah berkurang atau gejala disfungsi end-organ. Kriteria Klinis untuk Mendiagnosis Anafilaksis2-5,8 Anafilaksis sangat mungkin ketika salah satu dari tiga kriteria berikut terpenuhi: 1. Onset penyakit yang Akut (menit sampai beberapa jam) dengan keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misalnya, gatal-gatal umum, pruritus atau kemerahan, bengkak pada bibir-lidah-uvula) DAN SETIDAKNYA SATU DARI GEJALA BERIKUT: a. Gangguan pernafasan (seperti dispnoe, bersin hingga bronkospasme, stridor, menurunnya PEF, hipoksemia) b. Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan gejala disfungsi end-organ (misalnya, hipotoni, sinkop, inkontinensia)

29

2. Dua atau lebih hal berikut terjadi dengan cepat (menit sampai beberapa jam) setelah paparan dengan alergen yang mungkin. a. Keterlibatan jaringan kulit-mukosa (misalnya, gatal-gatal umum, pruritus atau kemerahan, bengkak pada bibir-lidah-uvula) b. Gangguan pernafasan (seperti dispnoe, bersin hingga bronkospasme, stridor, menurunnya PEF, hipoksemia) c. Penurunan tensi darah atau berhubungan dengan gejala disfungsi endorgan (misalnya, hipotoni, sinkop, inkontinensia) d. Gejala gastrointestinal menetap (misalnya: nyeri perut, muntah) 3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang dikenali (menit sampai beberapa jam) a. Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (sesuai usia) atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari tiga puluh persen b. Dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari tiga puluh persen. _________________________________________________________________

Pada penanganan anafilaksis akut, pemeriksaan laboratorium tidak diindikasikan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk

mengkonfirmasi suatu anafilaksis adalah pengukuran kadar histamin serum dan metabolit histamin, dan triptase serum. Histamin dan -triptase merupakan komponen utama yang disekresikan sel mast. Histamin hanya meningkat 5-10 menit setelah onset dan kembali normal dalam 15-60 menit. Histamin berkorelasi dengan derajat keparahan dan adanya manifestasi kardiopulmoner, tetapi tidak dengan urtikaria pada anafilaksis. Namun, karena peningkatan histamin di dalam darah yang sementara, maka pemeriksaan ini tidak bermanfaat. Metabolit histamin, methylhistamin, bertahan lebih lama di urin, dan dapat diperiksa pada urin 2 jam. Triptase merupakan protease spesifik sel mast. Walaupun tidak seaktif histamin, triptase merupakan penanda aktivasi sel mast. Triptase memiliki dua bentuk, yaitu dan . Triptase dikeluarkan secara terus menerus dan triptase dikeluarkan hanya pada saat degranulasi, dan terutama pada anafilaksis yang

30

disebabkan oleh obat dan sengatan serangga. Triptase jarang meningkat pada anafilaksis yang disebabkan makanan, padahal makanan merupakan etiologi terbanyak anfilaksis pada anak-anak. Kadar triptase ini akan mencapai puncak satu jam setelah onset dan bertahan hingga 12 jam. Waktu terbaik pemeriksaan serum triptase adalah 1-2 jam setelah onset. Karena sensitivitasnya yang tidak 100%, maka nilai triptase serum yang normal tidak menyingkirkan suatu anafilaksis. Uji kulit spesifik antigen atau uji in vitro dapat membantu

mengidentifikasi penyebab anafilaksis. Penyebab yang dapat diidentifikasi yaitu makanan, obat-obatan, lateks, dan sengatan serangga. Untuk kebanyakan obat, uji tes yang terstandarisasi masih belum tersedia. Secara umum, uji kulit lebih sensitif daripada uji in vitro dan merupakan prosedur diagnostik pilihan untuk mengevaluasi agen potensial penyebab anafilaksis. Uji ini harus dilakukan oleh dokter terlatih sesuai prosedur, dimana waktu memegang peranan penting. Apabila uji kulit atau uji in vitro tidak memberikan hasil, uji kontak dengan agen yang dicurigai dapat dipertimbangkan, mengingat dapat mencetus anafilaksis walaupun dalam jumlah yang kecil.

VI.2. DIAGNOSIS BANDING Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema Bila ditemukan reaksi sistemik berat harus dipertimbangkan semua penyebab distres pernapasan, kolaps kardiovaskular dan hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi vasovagal dan serangan sinkop, infark miokard, reaksi insulin, atau reaksi histeris. Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah penyuntikan. Pada keadaan ini nadi teraba lambat dan biasanya tidak terjadi sianosis. Walau tekanan darah menurun biasanya masih dapat diukur. Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering ditemukan. Infark miokard sering disertai gejala yang menonjol seperti sakit dada dengan atau tanpa penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih lambat dan tanpa emfisema atau sumbatan bronkial. Tidak terdapat edema atau sumbatan jalan napas atas. Reaksi insulin

31

yang khas adalah lemah, pucat, diaforesis dan tidak sadar, tidak terjadi sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan, tekanan darah biasanya sedikit menurun. Reaksi histeris tidak disertai bukti distres pernapasan, hipotensi atau sianosis, parestesia lebih sering dari pada pruritus, dan sinkop dapat terjadi tetapi kesadaran cepat kembali. Pemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan kasus yang luar biasa atau menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan. Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan hematokrit yang meningkat akibat

hemokonsentrasi. Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan peningkatan enzim hati SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH (dehidrogenase laktat). Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan atau tanpa atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard maka perubahan EKG biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T, bundle branch block, fibrilasi atrium dan berbagai aritmia ventrikular. Diagnosis reaksi anafilaksis sangat tergantung pada mengenali gejala dan tanda-tanda khas yang tiba-tiba terjadi bila terpapar agen yang dicurigai. Gangguan Flushing umumnya dari jinak, seperti flushing akibat alkohol, dan lebih patologis, seperti mastositosis atau sindrom karsinoid. Scombroidosis mengacu pada keracunan histamin dari konsumsi ikan yang tidak disimpan pada suhu tinggi. Histamin dan asam cis-urocanic diproduksi oleh berbagai bakteri yang berkembang biak di ikan busuk. Pasien biasanya datang dengan flush menakutkan tapi terdapat urtikaria, palpitasi, sinkop, mual, muntah, atau diare. Dengan tidak adanya angioedema orofaringeal atau Manifestasi klinis anafilaksis, diagnosis edema laring harus dikonfirmasikan dengan laringoskopi langsung atau tidak langsung untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglottitis, abses retrofaring atau peritonsillar, spasme laring, aspirasi benda asing, atau tumor.

32

Tabel 6. Diagnosis Banding Anafilaksis

Penyakit paru obstruktif seperti asma akut dan status asmatikus biasanya tidak dihubungkan dengan gejala dan tanda-tanda anafilaksis. Pasien dengan emboli paru akut dapat tampak syok, gangguan pernapasan, dan bronkospasme. Anafilaksis yang diinduksi latihan harus dibedakan dengan asma yang diinduksi latihan, karena biasanya disertai pruritus dan manifestasi sistemik. Sinkop vasovagal adalah diagnosis banding yang paling umum pada pasien yang datang dengan kolaps setelah pemberian antigen secara parenteral. Secara klasik, pasien mengalami bradikardi, hipotensi, dan pucat, dibandingkan dengan takikardia, hipotensi, dan diaforesis biasanya berhubungan dengan anafilaksis. Tidak adanya manifestasi klinis lain, bersama dengan riwayat stres, nyeri, dan episode pingsan sebelumnya, membantu diagnosis sinkop vasovagal.

33

Penyebab lain dari sinkop, seperti kejang, stroke, hipoglikemia, sindrom koroner akut, atau disritmia jantung perlu dipertimbangkan. Secara klinis, anafilaksis, septik, dan syok spinal mungkin muncul sama dengan tanda dan gejala syok termasuk endorgan hipoperfusi dan vasodilatasi. Kulit biasanya lembab dan hangat, menunjukkan keadaan menurun pembuluh darah perifer perlawanan. Kardiogenik, membatasi, hipovolemik, atau hemoragik kejutan akan lebih mungkin dilihat dengan dingin, basah kulit, menunjukkan keadaan resistensi pembuluh darah perifer meningkat. Karena shock anafilaksis dapat berkembang menjadi kardiogenik shock, pengukuran tekanan vena sentral (CVPs) dapat diperlukan. Anafilaksis dapat dikonfirmasi oleh pengujian untuk alergen-IgE spesifik dan serum tryptase-tes yang biasanya tidak tersedia di unit gawat darurat. Modalitas diagnostik lainnya dapat digunakan secara bersamaan untuk menyingkirkan keadaan darurat lainnya. Ini untuk penelitian skrining awal dapat termasuk jumlah darah lengkap, metabolik lengkap panel (hipoglikemia), koagulasi panel (Prothrombin waktu, waktu tromboplastin parsial, dan internasional normalisasi rasio), enzim jantung, elektrokardiogram untuk menyingkirkan sindrom koroner akut, analisis urin, tingkat sedimentasi eritrosit, dan rontgen dada portabel. Serum tingkat serotonin dan kencing 5-hydroksindole asam asetat, katekolamin, dan asam vanillyl mandelic adalah berguna untuk menyingkirkan sindrom karsinoid. Serum dan urin histamin dan tingkat tryptase serum sangat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis anafilaksis setelah fakta. Waktu yang optimal untuk memperoleh tingkat histamin serum dalam waktu 1 jam dan serum tryptase dalam 1 atau 2 jam (tapi tidak lebih dari 6 jam) dari timbulnya gejala. Sampel muntahan dapat dikumpulkan untuk para ahli alergi untuk membuat panel pengujian kustom radioallergosorbent untuk terapi desensitisasi kemudian. Serial gas darah arteri dapat membantu memantau respon klinis. Darah budaya, kultur urin, computed tomography kepala dan jaringan lunak lateral laringoskopi leher, dan langsung dan tidak langsung dapat dianggap tergantung pada kecurigaan klinis.

34

BAB VII PENATALAKSAAN

Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serta pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana anafilaksis secara umum.

Evaluasi segera Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Apabila pasien mengalami henti jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.

Adrenalin Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.

35

Intubasi dan trakeostomi Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.
36

Turniket Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.

Oksigen Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang mengalami sianosis, dispneu yang nyata, atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui sungkup.

Difenhidramin Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema.

Cairan intravena Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak.

Aminofilin Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena

37

selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.

Vasopresor Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

Kortikosteroid Kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.

Pengobatan suportif Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.

38

BAB VIII PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis.

Anamnesis teliti Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum kita memberikan setiap obat, terutama obat suntikan. Edukasi juga dapat diberikan pada pasien, antara lain membaca label obat dengan teliti dan mempunyai catatan mengenai jenis obat yang dicurigai menimbulkan gejala alergi.

Penggunaan antibiotik Penggunaan antibiotik atau obat lainnya harus dengan indikasi khusus, dan pemberian per oral lebih baik, bila hal ini memungkinkan.

Uji Kulit dan Konjungtiva Uji kulit dan konjungtiva terhadap beberapa antitoksin yang berasal dari serum hewan, dianjurkan untuk dikerjakan sebelum diberikan. Jika diperlukan anti serum, sebisa mungkin diberikan preparat serum manusia. Di negara maju, setiap saat dapat diperoleh informasi dari badan tertentu yang mempunyai catatan lengkap mengenai penderita yang telah pemah mengalami reaksi anafilaksis.

39

BAB IX. KESIMPULAN

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Tran T. Paul, Muellerman Robert L. Allergy, Hypersensitivity, and Anaphylaxis. In: Rosen's Emergency Medicine. 7th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2010; 1511-28. 2. Simons, F Estelle R. Anaphylaxis: an Overview of Assessment and Management. In: Leung DY, Sampson HA, Geha Raif, Szefler SJ, editor. Pediatric Allergy. Principles and Practice, 2nd Ed. Philadelphia: Elsevier, 2010; 650-59. 3. Leung DY, Sampson HA. Anaphylaxis. In: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme JW, Schor NF, Behrman R, editor. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2010; 816-18. 4. Sampson HA, Furlong AM, Bock SA, Schmitt C, Bass R, Chowdhury BA, et al. Food Allergy, Dermatologic Disease, and Anaphylaxis. Symposium on the Definition and Management of Anaphylaxis: Summary Report. J Allergy Clin Immunol, 2005; 115. 5. Bolte RG and Lane RD. Pediatric Anaphylaxis. Pediatric Emergency Care, 2007; 49-56. 6. Sampson HA. Anaphylaxis and Emergency Treatment. New York: Pediatrics, 2003; 1601-08. 7. Muraro A, Roberts G, Clark A, Eigenmann PA, Lack SH, Voutrin. The Management of Anaphylaxis in Childhood: Position Paper the Europen Academy of Allergology and Clinical Immunology. Allergy: Blackwell, 2007; 857-71. 8. Lieberman P. Anahylaxis and Anaphylactoid Raection. In: Middleton E. Allergy: principles and Practice. 5th Ed. St. Louis: Mosby, 1998: 1079-89 9. 10.

41

Anafilaksis pada manusia terutama mempengaruhi organ yang kaya akan sel mast-sistem kulit, pernapasan atas dan bawah, kardiovaskuler, neurologis, dan gastrointestinal. Reaksi anafilaksis berkisar dari ringan sampai fatal dengan jangka waktu yang variabel serangan. Ekspresi klinis tergantung pada derajat hipersensitivitas; jumlah, rute, dan tingkat paparan antigen; pola pelepasan mediator, dan sensitivitas organ target dan responsif. Salah satu fitur utama dari reaksi anafilaksis serius adalah onset yang cepat. Kebanyakan reaksi anafilaksis menjadi klinis terbukti dalam beberapa menit (rata-rata 5 sampai 30 menit) setelah

42

paparan parenteral; onset dapat lebih lambat (rata-rata 2 jam) setelah konsumsi. Sebagian besar kematian terjadi dalam 30 menit pertama setelah terpapar antigen. Gejala kadang-kadang dapat menyelesaikan dan kambuh jam kemudian dalam apa yang disebut biphasic anaphylaxis.53 Secara umum, semakin cepat sindrom klinis yang nyata setelah paparan antigen, reaksi semakin parah. Reaksi anafilaksis setelah terpapar antigen parenteral biasanya lebih langsung dalam onset, kemajuan lebih cepat, dan lebih parah dalam kualitas dari yang terjadi setelah eksposur topikal atau oral. Kasus fatal anafilaksis biasanya disebabkan oleh runtuhnya jantung atau kegagalan pernafasan. Meskipun urtikaria dan angioedema adalah gejala paling umum dalam menyajikan anafilaksis (88%), sindrom anafilaksis fatal dengan edema laring dan peredaran darah dapat terjadi bahkan tanpa adanya gejala atau tanda-tanda peringatan pertanda atau manifestasi kulit. Manifestasi klinis anafilaksis pertama biasanya melibatkan kulit, pasien mengalami kehangatan umum dan kesemutan pada wajah, mulut, dada bagian atas, telapak tangan, telapak, atau situs paparan antigen. Pruritus adalah fitur hampir universal dan bisa disertai dengan kemerahan umum dan urtikaria. Pasien dengan angioedema mungkin mengeluh pembengkakan dan sensasi terbakar di bawah kulit namun tidak ada ruam gatal. Ini bisa diikuti oleh gangguan pernapasan ringan sampai parah. Pasien mungkin menggambarkan batuk, rasa sesak dada, dyspnea, dan mengi dari bronkospasme, atau sesak tenggorokan, dyspnea, odynophagia, atau suara serak yang berhubungan dengan edema laring atau angioedema orofaringeal. Hipotensi atau disritmia terwujud mungkin sebagai pusing atau sinkop. Aktivitas kejang yang disebabkan oleh penurunan perfusi serebral jarang dapat diamati. Setiap pola-pola klinis dapat terjadi secara independen atau dalam hubungan dengan hidung tersumbat dan bersin, mata gatal dan merobek; kram nyeri abdomen dengan mual, muntah, diare, dan tenesmus, inkontinensia, nyeri panggul dan kram rahim, sakit kepala, atau rasa yang akan datang kiamat. Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan adanya takipnea, takikardia, dan hipotensi. Stridor laring, hipersalivasi, suara serak, dan angioedema mengindikasikan obstruksi jalan napas bagian atas, sedangkan batuk, mengi, ronki, dan aliran udara berkurang menyarankan bronkokonstriksi saluran pernapasan bawah. Takikardia dan hipotensi menunjukkan insufisiensi jantung.

43

Disritmia umum diamati mencakup sinus takikardi, kontraksi prematur atrium dan ventrikel, irama nodal, dan atrial fibrilasi. Perubahan elektrokardiografi lainnya termasuk perubahan gelombang spesifik dan iskemik ST-T, strain ventrikel kanan, dan cacat konduksi intraventricular. Pasien mungkin memiliki tingkat depresi kesadaran karena untuk hipotensi; jarang, ini mungkin disebabkan oleh keadaan postictal karena aktivitas kejang. Urtikaria, angioedema, rinitis, dan konjungtivitis mungkin jelas. Ringkasan yang diamati klinis manifestasi dari anafilaksis bersama dengan terkait patofisiologi disajikan pada Tabel 117-1.

Sistem Organ Respiratory tract Upper

Reaksi

Gejala

Tanda

Patofisiologi

Rhinitis

Nasal congestion Nasal itching Sneezing

Nasal mucosa l edema Rhinorr hea

Increased permeability Vasodilation

vascular

Stimulation of nerve endings

Laryngeal edema

Dyspnea Hoarseness

Laryngeal stridor

As above, plus increased exocrine gland secretions

Throat tightness Supraglottic Hypersalivation and edema glottic

Lower

Bronchospas Cough

Cough

As

44

Wheezing Retrosternal tightness Dyspnea

Wheeze, rhonchi Tachypnea Respiratory distress Cyanosis

above, plus bronchio le smooth muscle contracti on

Cardiovascular system

Circulatory collapse

Lightheadedness Generalized weakness Syncope Ischemic pain chest

Tachycardia Hypotension Shock

Increase d vascular permeabi lity Vasodila tion Loss of

vasomot or tone Increase d venous capacitan ce Dysrhythmi as As above, plus palpitations ECG changes: Tachycardia Decrease d cardiac

Nonspecific and output ischemic ST-T Decrease d

wave changes

Right ventricular mediatorstrain induced

Premature atrial myocardi and ventricular al suppressi

contractions

45

Nodal rhythm

on

Atrial fibrillation Decrease d effective plasma volume Decrease d preload Decrease d afterload Hypoxia and ischemia Dysrhyth mias Iatrogeni c effects of drugs used in

treatment Preexisti ng heart disease Cardiac arrest Pulseless Increased vascular ECG permeability Ventricular Vasodilation Asystole Skin Urticaria Pruritus Urticaria fibrillation changes:

46

Tingling warmth Flushing Hives Angioedem a Nonpruritic extremity, periorbital perioral swelling

and Diffuse erythema

Nonpitting edema, and frequently asymmetric

Increas ed vascula r permea bility

Eye

Conjunctivit is

Ocular itching Increased larcrimation Red eye

Conjunctival inflammation

Stimulation of nerve

endings

Gastrointestinal tract

Dysphagia Cramping, abdominal pain Nausea vomiting Diarrhea (rarely bloody) Tenesmus and

Nonspecific

Increased mucus secretions Gastrointes tinal smooth muscle contraction

Miscellaneous central nervous Apprehension system Sense impending doom Headache Confusion Hematologic Fibrinolysis and disseminated intravascular Abnormal bleeding bruising

Anxiety

Secondary

to

cerebral

of Seizures (rarely) hypoxia and hypoperfusion Coma (late) Vasodilation

Mucous membrane and bleeding, intravascular coagulation Increased uterine tone

47

coagulation

Vaginal bleeding

Genitourinary

Pelvic pain Vaginal bleeding Urinary incontinence

Urinary incontinen

DIAGNOSIS

Temuan Flush

Gangguan Carcinoid syndrome

Keterangan Urticaria and hypotension not

syndromes/rash Medullary carcinoma of the typical in carcinoid syndrome. thyroid Vasointestinal Serum serotonin and urinary 5peptide hydroxyindole acetic acid are elevated. There is episodic hypertension in pheochromocytoma. levels of Check and

secreting tumor (VIPoma) Systemic mastocytosis Urticaria pigmentosa Pheochromocytoma Scombroidosis Occult infections Alcohol flush syndrome Sulfite and

metanephrine

urinary vanillylmandelic acid. Mastocytosis is a risk factor for anaphylaxis, and anaphylaxis be the of presenting systemic

monosodium may

glutamate toxicity

manifestation

Leukemia (basophilic/acute mastocytosis. promyelocytic) Hydatid cyst Scombroidosis is caused by

histamine poisoning, which in

48

turn is caused by ingestion of spoiled fish. The flushing is prominent and prolonged but no urticaria; tryptase level is low. Flush syndrome induced by

alcohol is more common in Asian populations. Syncope/altered Vasovagal reaction mental status Seizure/epilepsy Stroke Neuroleptic Bradycardia, hypotension, nausea, diaphoresis, and pallor favor the diagnosis of a vasovagal

malignant reaction, whereas tachycardia, hypotension, favor the and diaphoresis of

syndrome (NMS) Serotonin syndrome Hypoglycemia Acute coronary syndrome Cardiac dysrhythmia

diagnosis

anaphylaxis. Anaphylaxis can occur

concurrently with or precipitate an acute coronary syndrome. Fever, encephalopathy, rigidity, and muscle

hemodynamic

instability characterize NMS. Fever, hypertension, encephalopathy, clonus, hyper-

reflexia, and other autonomic instability characterize serotonin syndrome. Stridor Epiglottitis Supraglottitis Retropharyngeal Peritonsillar abscess Laryngeal spasm Foreign body aspiration Tumor After stabilization and

arrangement for good backup for airway support, investigations can be started to locate source of stridor.

49

Acute respiratory insufficiency

Asthma/status asthmaticus Obstructive airway diseases Pulmonary embolism Spontaneous pneumothorax

Exercise-induced asthma does not have the stigmata of exerciseinduced anaphylaxis.

Shock

Cardiogenic Hemorrhagic/hypovolemic Septic Pulmonary embolism

Moist and warm skin suggests decreased peripheral vascular resistance; cold, clammy skin suggests increased peripheral

vascular resistance. Miscellaneous Urticarial vasculitis Hereditary angioedema Progesterone Redmans syndrome Progesterone anaphylaxis Capillary leak syndrome Postmenopausal state Pruritic urticaria is usually absent in hereditary and acquired

angioedema. Rapid infusion of vancomycin occurs in Redmans syndrome.

MANAJEMEN Out-of-Rumah Sakit Ketika seorang pasien rentan ini reexposed untuk antigen yang telah terjadi reaksi sebelumnya, 50 mg diphenhydramine lisan harus diambil jika tersedia. Pada tanda-tanda pertama dari setiap Manifestasi klinis anafilaksis, pasien harus diri mengelola epinefrin jika tersedia (dosis orang dewasa, 0,3 mL 1: 1000 intramuskular; dosis anak, 0,01 mL / kg 1: 1000 intramuskular). Pasien rentan bahkan dapat menggunakan aerosol epinefrin dari inhaler dosis meteran untuk melawan efek edema laring, bronkokonstriksi, dan lainnya manifestasi anaphylaxis.55 penarikan rangkap (misalnya, 10-20 dosis, sehingga menghirup 1,5-3 mg epinefrin) menghasilkan tingkat plasma terapeutik, dengan keunggulan kemudahan administrasi, penyerapan cepat, dan lokal tinggi tingkat epinefrin dalam saluran napas atas dan bawah. Epinefrin harus digunakan dengan hati-hati pada orang tua dan pada mereka yang memiliki sejarah masalah jantung atau hipertensi. Out-of-rumah sakit personil mungkin diperlukan untuk resusitasi

50

sebuah pasien yang hampir mati menggunakan bantuan hidup dasar. Pertama mereka prioritas harus untuk membangun dan mempertahankan ventilasi, intravena akses, pemantauan jantung, dan administrasi tambahan oksigen untuk menjaga tingkat saturasi oksigen lebih besar dari 90%. Tindakan lokal untuk mengurangi penyerapan antigen dari ekstremitas termasuk posisi tergantung dari es, ekstremitas untuk vasoconstrict secara lokal, dan penerapan tourniquet longgar untuk menghalangi vena dan sirkulasi limfatik. Tourniquet harus dirilis untuk 1 dari setiap 10 menit. Jika sengat serangga tetap, luka tidak boleh diperas karena dapat menyuntikkan racun lebih ke pasien. Stinger harus dihapus lembut dengan instrumen, menghindari gangguan dari aparat racun.

Bagian Gawat Darurat Karena sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan anafilaksis berasal dari kegagalan pernafasan akut atau kolaps kardiovaskuler, tujuan langsung di UGD adalah untuk menstabilkan setiap insufficiencies kardiorespirasi sementara mengkonfirmasikan diagnosis anafilaksis dan shock anafilaksis yang memiliki alternatif diagnostik lainnya. Kotak 117-5 merangkum pilihan pengobatan untuk anafilaksis akut. Epinefrin dan antihistamin (H1 dan H2) harus diberikan pada awal kasus. Pasien harus diberikan oksigen tambahan, besarmenanggung (misalnya, 16-gauge) intravena baris dimasukkan untuk

menanamkan kristaloid atau koloid solusi, dan monitoring jantung terus menerus. Sebuah volume besar cairan kristaloid mungkin diperlukan untuk membalikkan hipotensi terkait dengan anafilaksis. Obstruksi jalan napas bagian atas dari edema laring atau angioedema dapat berkembang pesat. Sambil mempersiapkan manajemen saluran udara yang lebih pasti, angkat dagu atau dorong rahang dapat membantu mendapatkan jalan napas paten. Penyedotan orofaring kelebihan sekresi mungkin diperlukan. Sebuah nasofaring atau orofaring jalan napas dapat membantu dalam mempertahankan jalan napas paten ini panggung. Rasemat epinefrin, disampaikan sebagai solusi 2,25% (0,5 mL ditempatkan di nebulizer dalam 2,5 mL normal saline), mungkin digunakan sebagai ukuran raguan. Sebuah masker laring saluran napas, jet ventilasi, atau saluran napas bedah mungkin diperlukan untuk sulit saluran udara. Tingkat keberhasilan intubasi ditingkatkan

51

bila dilakukan kemajuan jaringan awal dan sebelum lembut pembengkakan. Intubasi endotrakeal mulut merupakan rute pilihan karena distorsianatomi signifikan dapat hadir sebagai akibat dari edema. Sedasi dan kelumpuhan harus digunakan dengan hati-hati karena jalan napas yang terdistorsi dapat menghalangi intubasi setelah kelumpuhan. Pasien dalam gangguan pernapasan akut harus diberikan pengobatan saluran napas yang pasti tanpa menunggu hasil gas darah arteri. Setelah jalan napas paten telah diperoleh dan oksigen tambahan disampaikan, terapi harus fokus pada menghilangkan bronkospasme pasien.

Epinefrin Obat yang digunakan dalam pengobatan anafilaksis baik menghambat pelepasan mediator kimia atau membalikkan efek mediator pada jaringan target. Epinefrin, dengan alpha dan gabungan beta-adrenergik agonis tindakan, adalah obat pilihan pertama dalam pengobatan anaphylaxis.56 The alfa-agonis efek dari epinefrin peningkatan tahanan perifer pembuluh darah dan vasodilatasi perifer sebaliknya, permeabilitas vaskuler, dan hipotensi sistemik. Beta-agonis efek bronkodilatasi epinefrin memproduksi, menyebabkan inotropik positif dan aktivitas chronotropic jantung, dan mengakibatkan peningkatan produksi monofosfat siklik adenosin intraseluler (cAMP). Epinefrin karena itu membalikkan bronkospasme,

merangsang peningkatan cardiac output, dan menghambat pelepasan mediator lebih lanjut. Alpha dan beta-agonist tindakan epinefrin juga dapat berpotensi berbahaya. Berlebihan alfa-agonis aktivitas dapat mengakibatkan krisis hipertensi. Berlebihan beta-agonis aktivitas dapat meningkatkan konsumsi oksigen miokard melalui dinding ketegangan meningkat, kontraktilitas, dan chronotropism dan dapat mengakibatkan iskemia miokard atau infark. Otomatisitas meningkat dan chronotropism dapat menghasilkan tachydysrhythmia supraventricular dan ventrikel hemodinamik signifikan. Epinefrin harus digunakan dengan hati-hati pada tua-tua dan mereka dengan penyakit arteri koroner diketahui dan harus dihindari pada pasien dengan mengancam nyawa tachydysrhythmias.

Rute administrasi epinefrin tergantung pada keparahan dari presentasi klinis. Epinefrin subkutan biasanya efektif dalam situasi di mana manifestasi klinis yang ringan dan pasien adalah darah normal. Pada pasien dengan difus, urtikaria umum,

52

penyerapan subkutan epinefrin mungkin lambat dan tak terduga dan rute intramuskular mungkin lebih berkhasiat. Untuk subkutan dan intramuskuler suntikan, dosis awal epinefrin adalah 0,01 mL / kg dari 1: 1000 solusi untuk maksimal 0,5 mL 1: 1000 solusi (0,5 mg). Sebuah sebagian kecil dari dosis total (0,1 atau 0,2 mL) harus diberikan pada tempat paparan antigen jika diakses (misalnya, sengatan lebah atau injeksi antigen dalam ekstremitas). Jika pasien menunjukkan obstruksi jalan napas yang parah atas, kegagalan pernafasan akut, atau syok (tekanan darah sistolik <80 mmHg, tidak terkait dengan

tachydysrhythmia ventrikel), epinefrin intravena harus diberikan. Penggunaan rute intravena dengan epinefrin meningkatkan risiko supraventricular, idioventricular dipercepat, dan tachydysrhythmia ventrikel; hipertensi dipercepat, dan iskemia miokard, termasuk sindrom jantung tertegun. Karena risiko ini, pengenceran dan administrasi lambat direkomendasikan. Dosis intravena awal harus 10 mL 1: 100.000 dilusi epinefrin air lebih dari 10 menit. Ini sama dengan bolus 100-mg diberikan pada 10 mg / menit selama 10 menit. Jika tidak ada perbaikan terlihat, infus kontinu harus dibentuk. Mencampur 1 mL 1: 1000 dilusi epinefrin dalam 250 mL dekstrosa 5% dalam air (D5W) menghasilkan konsentrasi 4 mg / mL. Hal ini dapat dimulai pada 1 mg / menit dan meningkat menjadi 4 mg / menit jika diperlukan. Pada anak-anak dan bayi, tingkat infus 0,1 mg / kg / menit disarankan, meningkatkan dengan penambahan sebesar 0,1 ug / kg / menit sampai maksimum 1,5 mg / kg / menit. Monitoring jantung terus menerus harus dilakukan setiap saat. Jika garis perkutan intravena tidak dapat dibangun, rute alternatif yang tersedia. Selain rute subkutan dan intramuskuler administrasi, injeksi intraosseous atau sublingual atau nebulization endotrakeal harus dipertimbangkan. Pedoman dosis dan konsentrasi untuk rute ini pemberian epinefrin adalah sama dengan yang untuk pemberian intravena. Antihistamin Selain epinefrin, antihistamin harus digunakan dalam semua kasus anafilaksis, meskipun peran mereka dalam kasus yang parah atau berkelanjutan terbatas. Para antihistamin kompetitif memblokir aksi beredar histamines pada reseptor sel target jaringan tetapi tidak memiliki peran dalam mengurangi pelepasan mediator dan tidak memiliki pengaruh pada leukotrien. Ada tujuh kelas antihistamin H1,

53

dan anggota keluarga etanolamin, seperti diphenhydramine hydrochloride, dan keluarga alkylamine, seperti klorfeniramin maleat, adalah antagonis H1 kuat. Hidroklorida diphenhydramine adalah antihistamin H1 paling umum digunakan. Dosis yang khas adalah 50 mg setiap 4 sampai 6 jam pada orang dewasa atau 5 mg / kg / hari dalam dosis terbagi untuk populasi anak. Diphenhydramine hydrochloride secara oral atau dengan injeksi intramuskular mungkin satu-satunya obat yang diperlukan untuk reaksi ringan sampai sedang. Dosis loading 1 sampai 2 mg / kg secara intravena (IV) untuk maksimal 100 mg dianjurkan untuk reaksi parah, meskipun terlalu besar dosis atau administrasi terlalu cepat dapat menyebabkan sedasi ditandai dan hipotensi. Klorfeniramin dapat diberikan kepada anak-anak dengan rute yang sama dengan dosis standar dari 10 sampai 20 mg atau 0,35 mg / kg / hari dalam dosis terbagi.Blokade reseptor H2 mungkin bermanfaat dengan terapi antihistamin H1 simultan. Antagonis H2 dapat menghambat efek histamin pada jaringan pembuluh darah miokard dan perifer. Ranitidin (50 mg IV) atau H2 blocker harus dipertimbangkan, diikuti oleh lapangan oral sebagai pasien rawat jalan. Aerosol Agonis BetaBronkospasme refrakter terhadap epinefrin dapat menanggapi nebulasi betaagonis seperti albuterol sulfat (Ventolin dan Proventil), levalbuterol (Xopenex), terbutaline (Brethaire dan Brethine), bitolterol (Tornalate), pirbuterol (MAXair), dan / atau metaproterenol (Alupent 5%). Nebulization terus menerus dari betaagonis mungkin diperlukan untuk bronkospasme persisten. Penggunaan terapi antikolinergik dengan ipratropium bromide (Atrovent) adalah pilihan tambahan dalam pengelolaan bronkospasme akut. Obat antikolinergik menurunkan kadar guanosin siklik monofosfat, sehingga mengurangi pelepasan mediator dan membalikkan aksi mediator pada sel jaringan target. Ipratropium bromida nebulized digunakan dalam dosis 0,5 mg (2,5 mL larutan 0,02%). Sebagai terapi lini kedua untuk bronkospasme tahan api, bolus aminofilin (5,6 mg / kg pemuatan dosis IV lebih dari 20 menit), diikuti dengan infus pemeliharaan (0,1-1,1 mg / kg / jam), juga dapat ditambahkan. Aminofilin adalah obat lama dengan jendela terapi yang sempit. Its tindakan utama yang diakui

adalah bronkodilatasi, meskipun juga dapat bertindak untuk mempotensiasi aksi

54

katekolamin. Efek samping termasuk fibrilasi atrium, mual, muntah, dan sakit perut. kortikosteroid Kortikosteroid sistemik memiliki onset kerja sekitar 4 sampai 6 jam setelah pemberian dan oleh karena itu manfaat terbatas dalam pengobatan akut pada anafilaksis patient.11, 57 Mereka yang paling berguna dalam bronkospasme persisten atau hipotensi dan memiliki beberapa manfaat teoritis dalam pencegahan reaksi biphasic. Langka kasus kerusakan setelah pemberian kortikosteroid mungkin merupakan hasil dari anafilaksis kepekaan terhadap obat ini. Sebuah awal intravena memuat dosis hidrokortison (Solu-Cortef), 250 mg sampai 1 g, atau methylprednisolone (Solu-Medrol), 125 sampai 250 mg, diikuti dengan prednison oral selama 7 sampai 10 hari adalah rejimen diterima setelah episode anafilaksis. Vasopressors Pada pasien dengan hipotensi persisten meskipun administrasi volume epinefrin dan besar kristaloid intravena, penggunaan koloid solusi (misalnya, 5% albumin) harus dipertimbangkan selain kristaloid karena pembuluh darah meningkat permeabilitas dalam anafilaksis. Jika CVP kurang dari 12 mm Hg, kristaloid dan koloid cairan harus diberikan pertama. Jika CVP lebih besar dari 12 mm Hg, dopamin (5 mg / kg / menit) harus dimulai dan dititrasi dampaknya. Dobutamin dapat ditambahkan jika depresi miokard dinilai menjadi penting menyebabkan hipotensi tersebut. Penyebab lain mengisi tinggi selain volume vaskular atau disfungsi miokard tekanan harus dipertimbangkan (misalnya, vasopresor administrasi, meningkat intraperitoneal dan intrathoracic tekanan, vasokonstriksi, atau hipertensi arteri paru-paru). Jika penyebab ketidakstabilan hemodinamik tidak pasti, kateter arteri paru untuk memonitor tekanan baji dan curah jantung mungkin diperlukan untuk memandu pemberian cairan dan vasopresor. Jika paru hipertensi ada, hiperventilasi, hyperoxygenation, dan dosis besar steroid harus

dipertimbangkan. Penggunaan pressors benar dengan terutama alfa-adrenergik aktivitas, seperti norepinefrin, dapat dipertimbangkan jika semua tindakan gagal untuk mengembalikan hemodinamik memadai. Dalam kasus langka di mana

55

pasien anafilaksis mengembangkan krisis hipertensi sekunder untuk terlindung atau alfa-betaadrenergic kegiatan dari pengobatan, nitroprusside menetes atau phentolamine bersirkulasi harus dipertimbangkan. dapat Disritmia diobati dari katekolamin yang

tinggi

dengan

lidokain.

Pasien Menerima Beta-Blokade Glukagon, dengan inotropik positif dan chronotropic jantung efek dimediasi secara independen dari alfa dan beta reseptor, mungkin bermanfaat pada pasien yang menerima beta-blocker dan yang tidak merespon epinefrin dan antihistamines.58 Glukagon diduga mempengaruhi inotropisme positif dengan menambah cAMP sintesis melalui jalur nonadrenergic. Awal dosis adalah 1 mg untuk orang dewasa dan 0,5 mg untuk anak-anak secara subkutan, intramuskular, atau intravena, dan pasien mungkin memerlukan infus glukagon dari 1 sampai 5 mg / jam untuk mempertahankan terapeutik efek. Efek samping termasuk mual, muntah, hipokalemia, dan hiperglikemia. Atropin (0,3-0,5 mg IV) dan isoproterenol (0,05-0,2 mg / kg / menit; 1-2 mg dalam 500 mL D5W, diresapi

pada tingkat 0,5-2 mL / menit) dapat dicoba sebagai terapi lini kedua. Atropin mungkin lebih berguna untuk bradikardia. Isoproterenol harus digunakan sebagai upaya terakhir untuk pasien langka yang adalah shock refraktori setelah semua terapi sebelumnya. DISPOSISI Kebanyakan manajemen pasien dan dapat dengan dengan anafilaksis aman merespon rumah. agresif Pasien awal dengan

dibuang

ringan sampai moderat anafilaksis yang merespons sepenuhnya untuk pengobatan awal sesuai untuk debit setelah observasi jangka waktu 2 sampai 6 jam. Antihistamin oral, seperti

hidroklorida diphenhydramine 25 sampai 50 mg setiap 6 jam untuk 48 jam, dapat mencegah kekambuhan mungkin. Pasien-pasien ini harus diinstruksikan untuk kembali ke ED jika gejala kambuh. Mereka harus diperingatkan tentang efek samping penenang dari

antihistamin. Oral H2 blocker selama 48 jam mungkin berguna, dan pasien dengan bronkospasme awalnya persisten atau hipotensi terapi steroid yang

56

dibutuhkan awal harus terus prednison oral selama 7 sampai 10 hari. Pasien dengan awalnya gigih

bronkospasme harus melanjutkan betaadrenergic meteran dosis bronkodilator inhalansia (misalnya albuterol [Ventolin] dan metaproterenol [Alupent]). Masuk rumah sakit harus

dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami hipotensi, saluran udara bagian atas keterlibatan, bronkospasme berkepanjangan, atau lainnya indikasi reaksi parah. Meskipun risiko klinis kerusakan setelah resolusi tampaknya lengkap dari sebuah parah

reaksi anafilaksis minimal, gejala mengembangkan kembali dalam kecil proporsi pasien 24 hingga 48 jam setelah awal reaction.59 sistemik ini dapat terkait dengan molekul tinggi

bobot faktor-dimediasi akhir fase neutrofil chemotactic reaksi dari respon alergi biphasic, yang puncak pada 4 sampai 12 jam dan berlangsung hingga 48 jam. Pasien yang memakai betablocker kronis obat dapat mengalami rebound yang mirip setelah intervensi terapi awal menyelesaikan. Ini pasien mungkin menjadi kandidat untuk pengamatan diperpanjang.

Pencegahan Menghabiskan beberapa menit beberapa tambahan dengan pasien sebelum debit, memperoleh riwayat alergi, menawarkan lingkungan modifikasi, dan mendidik pasien tentang memulai pengobatan untuk kekambuhan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas

terkait dengan episode berikutnya dari anafilaksis (Kotak 117-6). Hindari resep obat dengan manfaat marjinal untuk pasien berisiko tinggi alergi signifikan dan reaksi alergi. Sebuah pribadi dan keluarga menyeluruh obat alergi dan riwayat atopik dapat berguna sebelum memulai terapi obat baru. Semua obat harus diidentifikasi dengan benar sebelum diberikan. Bila mungkin, rute oral administrasi lebih disukai untuk rute orangtua untuk mengurangi tingkat keparahan reaksi anafilaksis sistemik. Dokter yang mengelola senyawa antigen dalam praktek medis mereka harus siap untuk mengelola reaksi anafilaksis, dan peralatan resusitasi harus siap tersedia. Karena kebanyakan reaksi anafilaksis yang

57

mengikuti pemberian parenteral mulai dalam waktu 30 menit, pasien harus diamati selama periode ini, habis hanya jika benar-benar tanpa gejala, dan diberi peringatan untuk kembali jika ada gejala berikutnya.

Antiserum Manusia sekarang tersedia untuk rabies, tetanus difteri, dan, namun, antisera heterolog kuda masih digunakan (misalnya, untuk gigitan ular). Pretesting intradermal harus dilakukan sebelum pengobatan jika waktu memungkinkan, yang dituangkan dalam monograf produk. Namun, bahkan solusi pretesting dapat memicu reaksi anafilaksis. Selanjutnya, pretesting yang tidak perlu peka pasien yang cenderung mendapat reaksi hipersensitivitas masa depan untuk antiserum. Kecenderungan pasien yang mengalami reaksi anafilaksis sedang atau berat harus diajarkan diri pemberian antihistamin oral (misalnya diphenhydramine) pada paparan dikenal dan diri suntikan epinefrin (misalnya, EpiPen dan Ana-Kit) pada indikasi pertama dari alergi gejala atau tanda. Epinefrin kit injeksi memiliki umur simpan yang terbatas, yang diperpanjang oleh pendinginan. Meskipun efektivitas sejati kit ini tidak diketahui, mereka harus siap tersedia setiap saat, dengan satu kit tersedia di rumah, satu di tempat kerja atau sekolah, satu di tas pasien atau tas kerja, dan satu di mobil pasien. Kecenderungan pasien harus didorong untuk melakukan identifikasi peringatan yang menyatakan hipersensitivitas mereka (Medic-Pemberitahuan gelang atau dompet kartu). Pretreatment dengan antihistamin dan steroid secara signifikan mengurangi frekuensi dan keparahan dari reaksi anaphylactoid pada pasien yang telah mengalami reaksi sebelum merugikan RCM. Tes kulit dan imunoterapi hyposensitization oleh alergi merupakan cara yang tepat untuk meminimalkan frekuensi

dan keparahan dari reaksi anafilaksis berikutnya dari sengatan lebah pada populasi tepat sensitif. Pasien dengan sejarah yang tidak pasti alergi penisilin harus dirujuk untuk tes tambahan untuk mengkonfirmasi alergi.

Makanan adalah penyebab di satu pertiga dari kasus yang diketahui, paling sering kacang tanah dan crustaceans.7 sengatan serangga, terutama lebah dan tawon menyengat, merupakan penyebab penting anafilaksis, terjadi pada 0,5 sampai 5% dari populasi dan akuntansi untuk 50 sampai 100 kematian per tahun di Amerika States.5 alergi Penisilin terjadi pada frekuensi satu sampai lima per 10.000 reaksi

58

perawatan, dengan 1 per 50.000 sampai 100.000 perawatan sehingga media radiocontrast fatality.9 (RCM) reaksi terjadi pada 0,22% dari pasien yang diberi agen kontras hiperosmolar tetapi hanya 0,04% dari pasien yang diberi nonionik lebih baru agents.10 lateks, karet alam banyak digunakan dalam pembuatan produk medis (sarung tangan karet dan medis lateks perangkat), merupakan sumber umum dari alergi tetapi jarang menyebabkan anafilaksis reactions.5

Gambar 3. Efek Aktivasi Sel Mast dan Pelepasan Mediator

Dalam berbagai situasi klinis, hipotensi pada anafilaksis dikaitkan dengan peningkatan awal indeks jantung, yang mungkin menjadi tertekan, dan mengubah resistensi vaskuler perifer dan paru. Pada situasi indeks jantung menurun dan resistensi perifer, perfusi organ dapat terganggu. Penggunaan vasopressor saja dalam situasi ini tidak dapat memperbaiki hemodinamik dimana pembuluh darah

59

peri fer tela h vas oko nstr iksi mak sim al. Pe mbe rian cair an seca ra agre sif dengan kristaloid (atau koloid) diperlukan dalam skenario ini.

III.2.1. Sistem Sinyal Transduksi dimediasi oleh IgE Setelah reaksi silang FcRI, transduksi sinyal diinisiasi oleh tirosinkinase, disebut Lyn, yang berikatan dengan reseptor FcRI. Selanjutnya, Lyn memfosforilasi Motif Aktivasi berdasarkan tirosin imunoreseptor (ITAM) dari subunit dari FcRI, menyebabkan aktivasi dan pengikatan protein tirosinkinase (PTK) dengan domain homolog SRC 2 (SH2). Satu PTK tersebut adalah tirosin kinase limpa (SYK). SYK yang sudah diaktifkan selanjutnya menyebabkan fosforilasi tirosin lanjut dan beberapa protein "adaptor". Intinya adalah: (1) fosfo-

60

Gambar 3. Sekuens Transduksi Sinyal yang Mengikuti Perlekatan IgE pada Permukaan Sel Mast lasi linker for activation of T cell (LAT), yang berfungsi sebagai tempat perlekatan beberapa protein termasuk leukocyte-spesific phosphoprotein of 76 kd (SLP-76), dan (2) fosforilasi fosfolipase C (PLC-). PLC- yang terfosforilasi menghasilkan diasilgliserol (DAG) dan inositol-1,4,5-trifosfat (IP3) dari fosfolipid membran. DAG pada gilirannya, akan mengaktifkan protein kinase C, yang menyebabkan eksositosis granul preformed dan faktor transkripsi sitokin. IP3 berikatan pada reseptor di retikulum endoplasma, menyebabkan peningkatan Ca2+ intraseluler dan mengakibatkan deplesi simpanan Ca2+, sehingga terjadi influks kalsium dari ruang ekstraselular melalui aktivasi dari intracellular Ca2+ releasedactivated Ca2+ channel (ICRAC). Lonjakan kalsium intraseluler mengaktifkan sejumlah kinase yang dikelilingi kalsium, termasuk fosfolipase, yang membelah fosfolipid membran untuk menghasilkan lisofosfolipid, yang pada gilirannya memfasilitasi fusi butiran sekretori dengan membran sel dan menyebabkan eksositosis butiran sekresi. Melalui kompleks multimolekuler LAT/SLP-76,

61

fosforilasi tirosin dan aktivasi sejumlah enzim dan adaptor mengaktivasi JNK dan ERK dan akhirnya mensintesis dan melepaskan sitokin dan asam arakidonat (AA). Hasil akhirnya adalah sekresi mediator preformed, metabolit AA, dan sitokin ke dalam sirkulasi, yang bekerja pada organ target menyebabkan sindrom klinis anafilaksis.1,8 (Gambar 3)

Ikatan sel mast dan IgE merupakan suatu fraksi dengan waktu paruh yang lebih panjang. Diperkirakan waktu paruh IgE adalah 2-3 hari. Walaupun mempunyai waktu paruh yang lama,

IgE tidak dapat melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat ditransfer secara pasif kepada fetus.

62

Anda mungkin juga menyukai