Anda di halaman 1dari 30

Clinical Pathways

Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA


Ketua Komite Medik
RSUP Fatmawati Jakarta.
Pendahuluan

Mutu/Kualitas dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu dari


perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari
pemberi jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan
layanan kesehatan di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is
different things to different people based on their belief and norms).1

Perkembangan evolusi mengenai bidang mutu (Quality), kaidah tehnik


mekanisme pengambilan keputusan untuk profesi seperti Evidence-
based (Medicine, Nursing, Healthcare, Health Technology Asssessment),
dan Sistem Layanan Kesehatan di rumah sakit sangat perlu dan penting
untuk diketahui terlebih dahulu sebelum menetapkan arah
pengembangan suatu sarana layanan kesehatan (rumah sakit) sehingga
akan lebih mudah dalam menilai progresivitas dan kinerja (performance)
dalam bentuk indikator indikator yang mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya.

Secara ringkasnya bagan dalam Gambar 1 berikut menunjukkan evolusi


mutu dari inspection, quality control, quality assurance hingga total
quality serta komponen komponennya; dan evolusi epidemiologi klinik,
evidence-based, health technology assessment sampai information
mastery. 2,3,4,5,6


Disampaikan pada Pertemuan dengan MMRS Universitas Brawijaya Malang di Restoran Danau Sunter,
Jakarta 13 Agustus 2008.
1
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.
2
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan
pada seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-
ased Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung
Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
3
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures,
clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen &
Administrasi Rumah Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
4
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
5
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi
rapat kerja RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
6
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance.
Presented at the plenary session in World IPA, Beijing 23rd July 2001.

1
Gambar 1. Evolusi bidang mutu dan epidemiologi klinik. 2-6

Sedangkan evolusi sistem layanan kesehatan di rumah sakit secara


prinsipnya mulai dari yang bercirikan ’doing things cheaper’ dalam hal
ini efficiency pada tahun 1970an pada waktu krisis keuangan dan
gejolak OPEC, kemudian ekonomi mulai pulih dan masyarakat
menuntut layanan kesehatan bercirikan ’doing things better’ dalam hal
ini quality improvement.

Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’


yang merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things
better’. Ternyata prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti
perkembangan kemajuan teknologi maupun tuntutan masyarakat yang
semakin kritis; dan prinsip manajemen ‘doing things right’ tersebut telah
ketinggalan zaman dan dianggap sebagai prinsip dan cara manajemen
kuno.

Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya


’doing things right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen
‘doing the right things’ (dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga

2
kombinasi keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan
modern ‘doing the right things right’. (Gambar 2). 7,8,9,

Gambar 2. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.7-9

Performamnce Assessment Tools for Hospital (PATH)

WHO Regional Eropa 10 sedang melakukan uji coba implementasi dalam


menilai kinerja rumah sakit melalui instrumen yang dinamakan PATH
(Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals).
Instrumen PATH tersebut terdiri 6 dimensi yang saling berkaitan yakni
clinical effectiveness, safety, patient centeredness, responsive governance,
staff orientation dan efficiency (Gambar 3).11,12,13,14,15

7
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
8
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
9
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
10
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals. Copenhagen, 2007.
11
World Health Organization. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the main dimension. (2003) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on a WHO Workshop Barcelona, Spain, 10-11 January
2003.
12
Veillard J, Champagne F, Klazinga N, et al. A performance assessment framework for hospitals: the

3
Definisi kinerja rumah sakit (hospital performance) sangat dipengaruhi
oleh nilai dan norma serta standar yang berlaku dari profesi, pasien dan
masyarakat - akan dikatakan memuaskan bila kinerja rumah sakit
tersebut dapat memberikan pelayanan sesuai dengan norma dan
standar dari ke tiga perspektif di atas.4,6

Gambar 3. Pendekatan multi dimensi dalam menilai kinerja rumah sakit


berdasarkan instrumen PATH (Performance Assessment Tools for Quality
Improvement in Hospitals) dari WHO Regional Eropa. 10-15

Groene dan kawan kawan 15 melaporkan hasil penelitian uji coba di 37


rumah sakit di Eropa bahwa implementasi PATH sebaiknya ditanamkan
(embedded) atau patch in dengan sistem yang telah ada dan sedang
berjalan di rumah sakit tersebut.

WHO regional office for Europe PATH project. Int J Qual Health Care. 2005;17:487-96
13
Groene O. Pilot Test of the Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals
(PATH). Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. The Performance Assessment Tool for
Quality Improvement (PATH): preparing for the second wave of data collection. (2007) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on Indicator Descriptions (March 2007)
14
World Health Organization. Assessing health systems performance: first preparatory meeting for
the WHO European Ministerial Conference on Health Systems, 2008, Brussels. Copenhagen: WHO
Regional Office for Europe. 29-30.
15
Groene O, Klazinga N, Kazandjian V, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. Int J Qual Health Care. 2008;20(3):155-161.

4
Penilaian kinerja rumah sakit tersebut berdasarkan kompetensi
kemampuan profesi mengamalkan praktek keprofesiannya berlandaskan
pengetahuan mutakhir dan tanggap akan kebutuhan pasien/
masyarakat dengan memberikan layanan secara terpadu terhadap
seluruh pasien tanpa membedakan latar belakangnya, memanfaatkan
sarana dan teknologi yang tersedia dengan seefisien dan risiko
seminimal mungkin untuk mencapai derajat kesehatan yang optima.10-15

(A satisfactory level of hospital performance is the


maintenance of a state of functioning that corresponds to
societal, patient and professional norms.
.
High hospital performance should be based on professional
competences in application of present knowledge, available
technologies and resources; Efficiency in the use of resources;
Minimal risk to the patient; Responsiveness to the patient;
Optimal contribution to health outcomes.

Within the health care environment, high hospital performance


should further address the responsiveness to community
needs and demands, the integration of services in the overall
delivery system, and commitment to health promotion.

High hospital performance should be assessed in relation to


the availability of hospitals’ services to all patients
irrespective of physical, cultural, social, demographic and
economic barriers). 10-15

Terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang sebelumnya lebih


kepada hal administrasi dan manajerial ke arah profesionalisme dan
kompetensi profesi dalam mekanisme pengambilan keputusan untuk
memberikan layanan yang terpadu, efisien dan berefek risiko minimal.
Pergesaran tersebut merupakan suatu evolusi dari komponen ke tiga
dalam quality assurance yakni quality improvement – dari prinsip prinsip
doing things cheaper (efisiensi) ke doing things better (quality
improvement) dan doing the rights things (effectiveness) menjadi doing
the right things right. 16

Indikator PATH

Secara ringkas sebagaimana telah ditulis di atas PATH terdiri 6 dimensi


yang saling berkaitan yakni clinical effectiveness, safety, patient

16
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions.
Churchill Livingstone, London 1999.

5
centeredness, responsive governance, staff orientation dan efficiency
(Gambar 4). Dari ke enam keterkaitan dimensi tersebut ada 17 indikator
utama (core indicators) sebagaimana dalam Tabel 1 dan 24 indikator
tambahan sesuai kondisi dan kemampuan rumah sakit (tailored
indicators).17

Ke tujuh belas indikator utama terdiri dari:

A. Dimensi kombinasi Clinical effectiveness dan Safety:


1.Caesarean section
2.Prophylactic antibiotic use
3.Mortality
4.Readmission
5.Day surgery
6.Admission after day surgery
7.Return to Intensive Care Unit (ICU)

B. Dimensi Efisiensi:
8.Length of stay
9.Surgical theatre use

C. Dimensi kombinasi Staff orientation dan Safety:


10. Training expenditure
11. Absenteeism
12. Excessive working hours
13. Needle injuries
14. Staff smoking prevalence

D. Dimensi Responsive governance


15. Breastfeeding at discharge
16. Health care transitions

E. Dimensi Patient Centeredness


17. Patient expectations

17
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals – Indicator descriptions (core sets), Copenhagen, 2007.

6
Gambar 4. Hubungan yang berkaitan antar 6 komponen dimensi PATH
dengan 17 indikator utama (core indicators) yang telah di modifikasi. 17

7
Tabel 1. Tujuh belas indikator utama (core indicators) dari 6 dimensi
PATH (Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals). 17

Bila diperhatikan ke tujuh belas indikator utama di atas tidak semua


dimensi saling berkaitan (hanya dimensi kombinasi Clinical
effectiveness/ Safety dan imensi kombinasi Staff orientation/Safety).
Maka indikator lain dari kombinasi lainnya disesuaikan dengan situasi,
kondisi dan kemampuan rumah sakit setempat yang terdiri dari 24
indikator tambahan penyesuaian (tailored indicators).2-6,8

Pada saat seorang dokter lulus dari institusi pendidikan akan mendapat
ijasah dan sertifikat kompetensi sebagai tanda lulus dan pengakuan
kemampuan kompetensinya sebagai individu dokter dan berhak untuk
mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk waktu 5 tahun sesuai
dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional18 dan Undang
Undang Praktik Kedokteran 19. Pertanyaan akan timbul;

1. Apakah dokter tersebut dapat melaksanakan dan


mempertahankan serta bahkan meningkatkan kompetensi
profesinya selama waktu tersebut?
2. Apakah dokter tersebut dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan Standar Profesi dan
Standar Pelayanan Medik dalam rangka memenuhi salah satu dari
falsafah tujuan dasar Undang Undang Praktik Kedokteran yakni

18
Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61.
19
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 7 dan Pasal 8.

8
melaksanakan praktik kedokteran yang memberikan perlindungan
dan keselamatan pasien?20,21
3. Apakah dokter tersebut telah dapat memberikan pelayanan
sesuai dengan Clinical Pathways dan kajian varians dari Sistem
Pembiayaan berdasarkan metode DRGs Casemix untuk
melaksanakan praktik kedokteran secara kendali mutu dan
biaya?22,23,24

Disini letak akan pentingnya dimensi tempat, waktu dan individu profesi
dalam meninjau kinerja (performance) keprofesiannya. Kinerja atau
performance tersebut tercermin dalam satu buku seperti log book
individu atau di negara luar dikenal sebagai PYA (Penultimate Year
Assessment) Form atau dalam bentuk portolio profesi dokter
tersebut. 25,26

Mutu/Kualitas dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu dari


perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari
pemberi jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan
layanan kesehatan di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is
different things to different people based on their belief and norms). 27

Sesuai dengan Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran bahwa setiap dokter dalam melaksanakan praktik
kedokterannya wajib menyelenggarakan kendali mutu28-29 dan kendali

20
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1.
21
Firmanda D. Standar Fasilitas dalam penetapan kompetensi profesi di sarana pelayanan kesehatan.
Disampaikan dalam Semiloka Standar Fasilitas Rumah Sakit berkaitan dengan Undang Undang
Praktik Kedokteran. Diselenggarakan oleh Konsorsium Pelayanan Medik (KPM) Dirjen Bin Yan Medik
Depkes RI di Hotel Mulia Jakarta 7 Februari 2006.
22
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat 1.
23
Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs
Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22
Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical
Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka
Jakarta 29 Desember 2005.
24
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways
Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.
25
Royal College of Paediatrics and Child Health. Guide to Penultimate Year Assessment. London,
2004.
26
Royal College of Medicine. Implementation of Penultimate Year Assessment. London 2004.
27
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.
28
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 1 dan
penjelasannya.
29
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem
Kesehatan Nasional. Bab IV Subsistem Upaya Kesehatan.

9
biaya 19 melalui kegiatan audit medis30 yang dilaksanakan oleh
organisasi profesi31, untuk tingkat rumah sakit oleh kelompok seprofesi
(SMF) dan Komite Medik.32

Sedangkan yang dimaksud audit medis adalah upaya evaluasi secara


profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada
pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh
profesi medis.19 Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien33, yang harus dibuat 34
dan dilengkapi35 serta dijaga kerahasiaannya.36,37,38

Peran dan fungsi Komite Medik di rumah sakit adalah menegakkan etik
dan mutu profesi medik.39 Yang dimaksud dengan etik profesi medik
disini adalah mencakup Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)40,
Kode Etik Penelitian Kedokteran Indonesia (untuk saat ini dapat
diadopsi dan digunakan Kode Etik Penelitian yang dipakai oleh institusi
pendidikan) dan Kode Etik Pendidikan Kedokteran Indonesia (untuk
sementara ini bagi profesi medik dapat mengacu kepada KODEKI). 41

Sedangkan istilah mutu profesi medik itu sendiri dapat ditinjau dari
berbagai sudut yang berbeda tergantung dari nilai pandang (perspektif)
dan norma norma yang berlaku serta disepakati secara konsensus.
Dapat ditinjau dari segi profesi medis, perawat, manajer, birokrat
maupun konsumen pengguna jasa pelayanan sarana kesehatan (Quality
is different things to different people based on their belief and norms). 42

30
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 2 dan
penjelasannya.
31
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 3 dan
penjelasannya.
32
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit
Medis di Rumah Sakit.
33
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 1 dan
penjelasannya.
34
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 79 huruf b.
35
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 2 dan
penjelasannya.
36
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 47 Ayat 2.
37
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48.
38
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 12.
39
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/SK/Menkes/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan
Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit.
40
Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 8 huruf f dan penjelasannya.
41
Komunikasi pribadi dengan Prof. DR. Dr. FA. Moeloek, Sp.OG (Ketua Konsil Kedokteran) Rabu 16 Mei
2007.
42
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.

10
WHO Executive Board pada tanggal 18 Januari 2002 telah
mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program manajemen
resiko untuk patient safety yang terdiri dari 4 aspek utama yakni: 43,44,45
1. “Determination of global norms, standards and guidelines for
definition, measurement and reporting in taking preventive action,
and implementing measures to reduce risks;
2. Framing of Evidence-based Policies in global standards that will
improve patient care with particular emphasis on such aspects as
product safety, safe clinical practice in compliance with appropriate
guidelines and safe use of medical products and medical devices
and creation of a culture of safety within healthcare and teaching
organisations;
3. Development of mechanism through accreditation and other means,
to recognise the characteristics of health care providers that over a
benchmark for excellence in patient safety internationally;
4. Encouragement of research into patient safety.”

Awal Mei 2007 WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions
dengan Joint Commission dan Joint Commission International telah
meluncurkan suatu agenda mengenai patient safety yang dinamakan
Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007 .46 Kesembilan unsur
dalam agenda tersebut terdiri dari:
1. Look-Alike, Sound-Alike Medication Names
2. Patient Identification
3. Communication During Patient Hand-Overs
4. Performance of Correct Procedure at Correct Body Site
5. Control of Concentrated Electrolyte Solutions
6. Assuring Medication Accuracy at Transitions in Care
7. Avoiding Catheter and Tubing Mis-Connections
8. Single Use of Injection Devices
9. Improved Hand Hygiene to Prevent Health Care-Associated Infection

Pada tanggal 25 Juni 2008 lalu WHO World Alliance for Patient Safety
telah meluncurkan program Safe Surgery Save Lives47 dengan berbagai
format berupa check lists (Gambar 5).

43
US Department of Health and Human Services. US and UK sign agreements to collaborate on health
care quality. 10 October 2001.
44
World Health Organization. World Health Organization Executive Board Resolution EB109.R16, 18
January 2002.
45
Donaldson L. Championing patient safety: going global – a resolution by the World Health Assembly.
Qual Saf Health Care 2002; 11:112.
46
WHO Collaborating for Patient Safety, Joint Commission and Joint Commission International.
Patient Safety Solutions – Preamble May 2007
47
WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save Lives, 25th June 2008.

11
Gambar 5. WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save
Lives

Komite Medik RS Fatmawati telah merancang strategi pendekatan untuk


mengimplementasikan Sistem Penataan Klinis (Clinical Governance)48,
49,50,51,52 – di Rumah Sakit Fatmawati dikenal sebagai Sistem Komite

Medik dan Sistem SMF 53 - telah berjalan sejak tahun 2003,


mengkombinasikannya dengan Sistem Pembiayaan Casemix54 melalui
pendekatan mutu profesi 55,56,57,58 yakni dengan memadukan sistem
48
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik.
Disampaikan pada seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti
( Evidence- based Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke
40 di Gedung Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
49
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures,
clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen &
Administrasi Rumah Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
50
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
51
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalam-an materi
rapat kerja RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
52
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance.
Presented at the plenary session in World IPA, Beijing 23rd July 2001.
53
Komite Medik RS Fatmawati. Sistem Komite dan Sistem SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
54
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix
di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober
2005.
55
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
56
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
57
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;

12
pelayanan berkesinambungan (continuing of care) – dikenal sebagai
dalam bentuk Alur Penerimaan Pasien59,60 dan Kebijakan Pelayanan
secara by names61,62 yang telah ada dengan Standar Pelayanan Medis
dari seluruh 20 SMF63 melalui Clinical Pathways.6-64 (Lihat Gambar 6
dan 7) untuk mengantisipasi berbagai kegiatan program WHO dalam
patient safety di atas (Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007
dan Safe Surgery Save Lives 2008).

Sedangkan deviasi dari isi komponen Clinical Pathways dicatat sebagai


dalam kolom varians dan ditindak lanjuti sebagai variance tracking
dengan menggunakan mekanisme audit medis tingkat pertama atau
kedua (1st and 2nd Party Medical Audit) sesuai dengan Pedoman Audit
Medis Komite Medik RS Fatmawati 65,66,67,68 dan Panduan Manajemen
Risiko Klinis dan Keamanan/ Keselamatan Pasien (Clinical Risks
Management and Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati69 dengan
cara Root Cause Analysis (RCA), Failure Mode of Effective Analysis
(FMEA) atau Probability Risks Assessment (PRA) serta Panduan Health
Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati.70

1(1):43-9.
58
Firmanda D. Editorial: Profesionalisme. Medicinal 2000; 1(1):6.
59
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor
Dokumen HK.00.07.1.256 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.201 tanggal
10 Mei 2005.
60
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor
Dokumen HK.00.07.1.257 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.202 tanggal
10 Mei 2005.
61
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49
tanggal 28 Februari 2003.
62
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49
tanggal 28 Februari 2003.
63
Komite Medik RS Fatmawati. Standar Pelayanan Medis 20 SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
64
Disampaikan pada First Indonesian-Malaysian Casemix Conference 2006. Diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Goodway Hotel Batam, 21-23 November
2006.
65
Firmanda D. Pedoman Audit Medis Komite Medik RS Fatmawati. Jakarta 1999.
66
Firmanda D. Pelaksanaan Audit Medik. Disampaikan dalam Semiloka Pelaksanaan Audit Medik di
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya pada tanggal 11 Desember 2003.
67
Firmanda D. Pengalaman Komite Medis RS Fatmawati dalam melaksanakan Audit Medis. Disampaikan
dalam Temu Karya I: Implementasi Good Clinical Governance di bidang Pelayanan Medis, Jakarta 27
September 2004.
68
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di
Rumah Sakit.
69
Firmanda D. Panduan Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien ( Clinical Risks
Management and Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2005.
70
Firmanda D. Panduan Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2006.

13
Gambar 6. Strategi Komite Medik RSUP Fatmawati dalam rangka
antipasi program WHO dalam patient safety

14
Gambar 7. Antisipasi Komite Medik RSUP Fatmawati dalam rangka
program WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save Lives
2008 untuk Instalasi Bedah Sentral.

Oleh karena itu diperlukan satu instrumen yang dapat merangkum


seluruh kegiatan yang diberikan kepada pasien selama dirawat di rumah
sakit melalui suatu sistem layanan yang jelas dan terukur serta dapat

15
memberikan kepastian jaminan mutu dan biaya serta hasil yang dapat
dipertanggung jawabkan secara profesi maupun administrasi keuangan.
Hasil dalam instrumen tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar
perencanaan rumah sakit berikutnya.

Pada makalah ini akan dibahas Clinical Pathways sebagai instrumen


tersebut, sebagai dasar titik tolak layanan berbasis bukti (Evidence-
based Healthcare) bagi pembuat kebijakan dan manajer rumah sakit dan
Evidence-based Medicine bagi praktisi profesi dalam rangka
implementasi continuous quality improvement sebagai salah satu
komponen dalam jaminan mutu (quality assurance) untuk memberikan
layanan rumah sakit berorientasi kerangka budaya patient safety dan
menciptakan kelola rumah sakit yang baik (good corporate governance).

Komite Medik RS Fatmawati telah membuat fomat umum Clinical


Pathways dan melakukan revisi sebanyak 3 kali sehingga terbentuk
format yang dapat diterima oleh seluruh 20 SMF melalui Sidang Pleno
Komite Medik.

Clinical Pathways

Defiinisi

Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan


terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu
tertentu selama di rumah sakit.71,72,73

Prinsip prinsip dalam menyusun Clinical Pathways

Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap


di rumah sakit harus bersifat:

71
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix
di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober
2005.
72
Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di
rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005,
RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam
rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29
Desember 2005.
73
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways
Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati,
Jakarta 2006.

16
a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara
terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient
Focused Care) serta berkesinambungan (continuous of care)
b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata,
laboratoris dan farmasis)
c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
keadaan perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk
periode harian (untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus
gawat darurat di unit emergensi).
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada
pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam
bentuk dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat
sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit,
penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis
(medical errors).
g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter
dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan.

Clinical Pathways tersebut dapat merupakan suatu Standar Prosedur


Operasional yang merangkum:
a. Profesi medis: Standar Pelayanan Medis dari setiap Kelompok Staf
Medis/Staf Medis Fungsional (SMF) klinis dan penunjang.
b. Profesi keperawatan: Asuhan Keperawatan
c. Profesi farmasi: Unit Dose Daily dan Stop Ordering
d. Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem
Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan
Sistem Manajemen Rumah Sakit.

Langkah langkah penyusunan Clinical Pathways

Langkah langkah dalam menyusun Format Clinical Pathways yang


harus diperhatikan:
1. Komponen yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical
Pathways
2. Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan
kondisi setempat 74 seperti data Laporan RL2 (Data Keadaan
Morbiditas Pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan

74
Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI
di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni 2006.

17
Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah
Sakit 75 dan sensus harian untuk:
a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat.
b. Penetapan lama hari rawat.
3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada
Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan
Daftar Standar Formularium yang telah ada di rumah sakit
setempat, Bila perlu standar standar tersebut dapat dilakukan
revisi sesuai kesepakatan setempat.
4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD
9 CM untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF
masing masing.26

Persiapan dalam penyusunan Clinical Pathways

Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran


serta efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar
profesi di SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan
rawat inap, ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan
sarana penunjang (instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi
keuangan, radiologi dan sebagainya). Lihat Gambar 8 sampai dengan
Gambar 13.

1. Profesi Medis – mempersiapkan Standar Pelayanan Medis


(SPM/SPO) sesuai dengan bidang keahliannya. Profesi Medis dari
setiap divisi berdasarkan data dari rekam medis diatas -
mempersiapkan SPM/SPO, bila belum ada dapat menyusun dulu
SPM/SPOnya sesuai kesepakatan.
2. Profesi Rekam Medis/Koder – mempersiapkan buku ICD 10 dan
ICD 9 CM, Laporan RL1 sampai dengan 6 (terutama RL2). Profesi
Rekam Medis membuat daftar 5 - 10 penyakit utama dan tersering
dari setiap divisi SMF/Instalasi dengan kode ICD 10 serta rerata
lama hari rawat berdasarkan data laporan morbiditas RL2.
3. Profesi Perawat – mempersiapkan Asuhan Keperawatan.
4. Profesi Farmasi – mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit
dose dan stop ordering.
5. Profesi Akuntasi/Keuangan – mempersiapkan Daftar Tarif rumah
sakit

75
Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah
Sakit. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.

18
Gmbar 8. Keterkaitan dan keterpaduan antar profesi dalam menyusun
Clinical Pathways.

19
Gambar 9. Peran profesi medis dalam menyusun Clinical Pathways.

20
Gambar 10. Peran profesi rekam medis dalam menyusun Clinical
Pathways.

21
Gambar 11. Peran profesi keperawatan dalam menyusun Clinical
Pathways.

22
Gambar 12. Peran profesi apoteker dalam menyusun Clinical Pathways.

23
Gambar 13. Peran profesi akutansi dalam menyusun Clinical Pathways.

24
Format Umum Clinical Pathways
Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mendesain Format Umum
Clinical Pathways sebagai ‘template’ untuk setiap profesi untuk
membuat clinical pathways masing masing sesuai dengan bidang
keahliannya dan melibatkan multidisiplin profesi medis, keperawatan
dan farmasis/apoteker sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 14
berikut.

Gambar 14. Format Umum Clinical Pathways RSUP Dr. Wahidin


Sudirohusodo Makassar 76
76
Firmanda D. Penyusunan Clinical Pathways. Disamapaikan pada Pelatihan dan Penyusunan Clinical
Pathways di RSUP Wahidin Sudirohusodo dan FK Universitas Hasanudin 7-8 Agustus 2008 di
Makassar.

25
Hubungan Clinical pathways dalam Sistem Casemix (INA-
DRF)

26
Tabel 2. Klasifikasi 23 Major Diagnostic Categories dalam INA-DRG

27
Gambar 15. Contoh Koding MDC dan kaitan dengan severity dan biaya.

28
Pada saat ini, sedang dilakukan uji coba suatu instrumen yang akan
digunakan untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit oleh
WHO regional Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for
Hospital (PATH).77,78,79,80 Instrumen tersebut kemungkinan akan
diterapkan oleh seluruh rumah sakit di dunia sebagaimana halnya
program WHO World Alliance for Patient Safey – Move Program30 sebagai
world class hospitals’ benchmarking.

Alangkah tepatnya bila kita bersiap untuk mengantisipasi hal tersebut


dengan situasi dan kondisi rumah sakit kita sekarang ke arah program
PATH tersebut dengan merangkum sistem yang telah ada dan berjalan
saat ini.

Komponen dari dimensi PATH tersebut terdiri dari 6 dimensi dengan 4


domain (clinical effectiveness, efficiency, staff orientation and responsive
governance) yang merangkum 2 perspektif transversal (safety, patient
centeredness)81,82,83 sebagaimana dalam Gambar 2 dan 3 di atas.

Sedangkan Clinical Pathways dapat dipergunakan sebagai alat untuk


implementasi PATH sebagaimana dapat dilihat hubungan antar
keduanya pada Gambar 16 berikut.

77
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
78
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored.
August 2003.
79
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement
in Hospitals). 2007.
80
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008
81
WHO Regional Office for Europe. First Workshop on Pilot Implementation of the Performance
Assessment Tool for quality improvement in Hospitals. February 2004.
82
Oliver Groene O, Skau JKH, Frølich A. An international review of projects on hospital performance
assessment. International Journal for Quality in Health Care 2008 20(3):162-171
83
Groene O, Klazinga N, Kazandjian VB, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. International Journal for Quality in Health Care 2008
20(3):155-161.

29
Gambar 16 Hubungan Clinical Pathways dengan Performance
Assessment Tools for Hospitals (PATH).76,84

84
Firmanda D. How to develop Safety and Patient Centredness for Clinical Effectiveness. Disampaikan
pada Hospital Management 3 yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan FKM UI di Grand Angkasa Hotel International, Medan 11 Agustus 2008.

30

Anda mungkin juga menyukai