Anda di halaman 1dari 19

CAMELS VS ANGELS : ANALISIS KINERJA KEUANGAN YANG SESUAI BAGI PERBANKAN SYARIAH DALAM PERSPEKTIF SYARIAH ENTERPRISE THEORY

(Studi Empiris Pada Perbankan syariah yang Terdaftar di Bank Indonesia)

Oleh Rahmat Hidayat1

Abstrak Pengukuran tingkat kesehatan bank telah diatur berdasarkan ketentuan Bank Indonesia dengan mengeluarkan SK No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang metode penilaian tingkat kesehatan bank yang meliputi aspek-aspek Capital Adequacy Ratio (Permodalan), Assets Quality (Kualitas Aktiva Produktif), Management Risk (Resiko Manajemen), Earnings (Rentabilitas) dan Liquidity (Likuiditas) yang mana aspek-aspek tersebut biasa dikenal dengan metode CAMEL. Analisis tersebut berlaku pada perbankan konvensional dan juga dapat digunakan pada perbankan syariah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah penggunaan rasio CAMEL yang selama ini dipakai untuk mengukur kinerja keuangan perbankan syariah sesuai dalam perspektif syariah enterprise theory, ataukah perlu menggunakan alternatif pengukuran kinerja keuangan yang lain yang sesuai bagi bank syariah seperti ANGELS, mengingat adanya perbedaan prinsip pertanggungjawaban antara bank konvensional dan bank syariah. Key words : CAMEL, ANGELS, syariah enterprise theory, prinsip pertanggungjawaban.

Mahasiswa Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pengukuran tingkat kesehatan bank telah diatur berdasarkan ketentuan Bank Indonesia dengan mengeluarkan SK No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang metode penilaian tingkat kesehatan bank yang meliputi aspek-aspek Capital Adequacy Ratio (Permodalan), Assets Quality (Kualitas Aktiva Produktif), Management Risk (Resiko Manajemen), Earnings (Rentabilitas) dan Liquidity (Likuiditas) yang mana aspek-aspek tersebut biasa dikenal dengan metode CAMEL. Analisis tersebut berlaku pada perbankan konvensional dan juga dapat digunakan pada perbankan syariah. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang cara penilaian tingkat kesehatan Bank Umum, pasal 2 dijelaskan bahwa : Tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. Pendekatan kualitatif sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dengan penilaian terhadap faktor-faktor seperti; permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas. Sedangkan Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tanggal 24 Januari 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4699), yang menyebutkan bahwa Penilaian Tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor faktor yang terdiri dari: 1) Permodalan (Capital) 2) Kualitas aset (Asset quality) 3) Manajemen (Management) 4) Rentabilitas (Earnings) 5) Likuiditas (Liquidity)
2

6) Sensitivitas atas resiko pasar (Sensitivity to market risk) Dari berbagai regulasi yang ada, tidak ada perbedaan dalam pengukuran tingkat kesehatan antara bank syariah dan bank konvensional. Hal ini bertolak belakang dengan konsep teoritis akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan yang dijadikan sebagai acuan penilaian tingkat kesehatan bank tersebut. Konsep akuntansi yang dipakai bank konvensional sama halnya dengan konsep akuntansi konvensional, yaitu entity theory. Berdasarkan teori tersebut prinsip pertanggung jawabannya hanya pada stockholders, Sifat yang melekat pada entity theory akan sulit mendukung akuntansi syariah yang bertujuan membangkitkan kesadaran keTuhanan para penggunanya (Triyuwono : 2007). Sedangkan konsep akuntansi syariah yang mendasari penyusunan laporan keuangan bank syariah menggunakan konsep syariah enterprise theory, syariah enterprise theory memiliki cakupan akuntabilitas yang lebih luas dibandingkan dengan entity theory. Akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas kepada Tuhan, manusia, dan alam (Triyuwono 2006a). Penelitian terdahulu berfokus pada perbandingan kinerja keuangan perbankan konvensional dengan perbankan syariah (Abustan, 2009), atau perbandingan kinerja keuangan antara perbankan syariah dengan perbankan syariah lainnya (Nur Aeni Wahyuni, 2009) dengan menggunakan rasio CAMELS. Tetapi belum ada yang menguji ketepatan penggunaan rasio CAMELS berdasarkan perbedaan prinsip

pertanggungjawaban yang melekat pada bank syariah dan bank konvensional. Kajian mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan Perbankan syariah dilakukan oleh Iwan Triyuwono dengan gagasannya yang disebut dengan ANGELS2 yang merupakan singkatan dari Amanah management, Non-economic wealth, Give out, Earnings, capital and assets, Liquidity and sensitivity to market, dan socio economic wealth. Konsep ANGELS walaupun masih dalam taraf pemikiran awal dan belum bisa dipraktikkan dalam dunia nyata, menawarkan kelebihan-kelebihan dalam tingkat kesehatan bank syariah berdasarkan meliputi tuhan, manusia, dan alam. mengukur

prinsip pertanggungjawabannya yang

Triyuwono, Angels: sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah (2011: vol 2)

1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah pengukuran tingkat kesehatan bank syariah yang selama ini dilakukan dengan menggunakan rasio CAMELS mampu menyajikan nilai yang sesuai berdasarkan prinsip pertanggungjawaban yang melekat pada bank syariah ? 2. Apakah ANGELS mampu menggantikan fungsi CAMELS yang sudah biasa digunakan dalam menilai tingkat kesehatan bank syariah ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui apakah berdasarkan prinsip pertanggungjawaban yang melekat pada bank syariah, rasio CAMELS sesuai jika digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank syariah. 2. Untuk mengetahui apakah ANGELS yang muncul sebagai sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah mampu menggantikan fungsi CAMELS yang sudah biasa digunakan sebagai pengukur tingkat kesehatan bank syariah. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan terutama dalam ilmu akuntansi (khususnya akuntansi syariah). 2. Memberikan masukan mengenai penggunaan rasio yang sesuai bagi bank syariah 3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penelitipeneliti selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Bank Bank secara sederhana dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa Bank lainnya. Pengertian bank menurut Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan adalah Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan utama, yaitu: 1) Menghimpun dana 2) Menyalurkan dana 3) Memberikan jasa bank lainnya Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok perbankan, sedangkan kegiatan memberikan jasa-jasa bank lainnya hanyalah merupakan pendukung dari kedua kegiatan diatas. 2.1.1. Kesehatan Bank Budisantoso dan Triandaru (2005:51) mengartikan kesehatan bank sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengukuran tingkat kesehatan bank telah diatur berdasarkan ketentuan Bank Indonesia dengan mengeluarkan SK No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997
5

tentang metode penilaian tingkat kesehatan bank yang meliputi aspek-aspek yang biasa disebut dengan CAMELS, yaitu : a) Capital (Permodalan) b) Asset Quality (Kualitas Aset) c) Management (Manajemen) d) Earnings (Rentabilitas) e) Liquidity (Likuiditas) f) Sensitivity to Market Risk (Sensitivitas terhadap Risiko Pasar) 2.2. Rasio Keuangan (CAMELS) Untuk mengetahui kondisi keuangan suatu bank maka dapat dilihat laporan keuangan yang disajikan oleh suatu bank secara periodik. Laporan ini juga sekaligus menggambarkan kinerja bank selama periode tersebut (Kasmir, 2004). Di dalam laporan keuangan terdapat hasil analisis dari rasio keuangan. Analisis rasio keuangan menunjukkan hubungan di antara pos-pos yang terpilih dari data laporan keuangan. Rasio memperlihatkan hubungan matematis di antara satu kuantitas dengan kuantitas lainnya. Hubungan ini dinyatakan dalam presentase, tingkat, maupun proporsi tunggal (Gamayuni, 2006). Rasio keuangan yang biasa digunakan dalam menilai tingkat kesehatan bank untuk menentukan suatu bank bermasalah atau tidak adalah rasio keuangan CAMELS (Capital, Asset Quality, Management, Earning, Liquidity dan Sensitivibility). Beberapa rasio CAMEL yang paling sering digunakan adalah rasio CAR, NPL, ROA, ROE, NIM, BOP, dan LDR. 2.2.1. Capital Adequacy Ratio (CAR) CAR merupakan salah satu indikator kesehatan permodalan bank. Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko dimasa mendatang. CAR memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank (Almilia dan Herdiningtyas, 2005).

Modal Bank CAR = Total ATMR x 100%

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, semakin tinggi nilai CAR menunjukkan semakin sehat bank tersebut. 2.2.2. Non Performing Loans (NPL) NPL merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. NPL yang digunakan adalah NPL neto yaitu NPL yang telah disesuaikan. Kuncoro (dalam Mulyaningrum, 2008) mengatakan penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset Bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. Kredit dalam hal ini adalah kredit bermasalah.Kredit bermasalah digolongkan menjadi kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Almilia dan Herdiningtyas (2005) menyatakan bahwa semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) : Kredit Bermasalah NPL = Total Kredit x 100%

2.2.3. Return On Asset (ROA) Rasio ini merupakan salah satu dari rasio yang digunakan untuk menilai aspek earning. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba sebelum pajak) yang dihasilkan dari rata-rata total aset bank yang bersangkutan (Almilia dan Herdiningtyas, 2005) Riyadi (dalam Mulyaningrum, 2008) menyatakan semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan

suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) : Laba Sebelum Pajak ROA = Rata-Rata Total Aset x 100%

2.2.4. Return On Equity (ROE) Menurut Riyadi (dalam Mulyaningrum, 2008), Return on Equity adalah rasio profitabilitas yang menunjukkan perbandingan antara laba (setelah pajak) dengan modal (modal inti) bank, rasio ini menunjukkan tingkat % (persentase) yang dapat dihasilkan. Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) : Laba Setelah Pajak ROE = Rata-Rata Total Ekuitas x 100%

2.2.5. Net Interest Margin (NIM) NIM merupakan perbandingan antara pendapatan bunga bersih terhadap ratarata aktiva produktif. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Aktiva produktif yang diperhitungkan adalah aktiva produktif yang menghasilkan bunga (interest bearing assets) (Prasnanugraha, 2007). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) : Pendapatan Bunga Bersih NIM = Aktiva Produktif x 100%

2.2.6. Biaya Operasi dibanding dengan Pendapatan Operasi (BOPO) Rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Biaya operasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha utamanya seperti biaya bunga, biaya pemasaran, biaya tenaga kerja dan biaya operasi lainnya Sedangkan pendapatan operasi merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan pendapatan operasi lainnya (Prasnanugraha, 2007). Riyadi (dalam Mulyaningrum, 2008) mengatakan semakin rendah rasio BOPO berarti semakin baik kinerja manajemen bank tersebut, karena lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada di perusahaan. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) : Biaya Operasional BOPO = Pendapatan Operasional x 100%

2.2.7. Loans to Deposit Ratio (LDR) Rasio ini digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposito (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Santoso (1996) mengatakan bahwa semakin tinggi rasio LDR maka semakin tinggi probabilitas dari sebuah bank mengalami kebangkrutan. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (SE BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) :

Total Kredit LDR = Total DPK x 100%

2.3. Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah (ANGELS) ANGELS adalah suatu bentuk sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah yang diajukan oleh Iwan Triyuwono (2011 : 1-118). Sistem penilaian ini mencakup nilai, proses, hasil, dan stakeholders. Nilai yang dimaksud disini adalah nilai etika syariah. Nilai ini mendasari konstruksi sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah. Sedangkan proses, hasil, dan stakeholders merupakan struktur komponen dari tujuan filosofis bank syariah. Ketiga struktur ini tetap melekat pada sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah agar bank syariah tidak kehilangan jati dirinya dalam melakukan bisnisnya. Sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah yang dimaksud disini adalah ANGELS (Triyuwono : 2011). Sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah tidak semerta-merta begitu saja dibuat. Tetapi sistem ini dibuat dengan tujuan yang sangat jelas, yaitu (Triyuwono : 2011) : 1) Memastikan tercapainya tujuan bank syariah 2) Mendorong implementasi strategic management system berbasis etika syariah 3) Memicu implementasi praktik etika syariah dalam operasi sehari-hari bank syariah 4) Mengendalikan dinamika pertumbuhan dan pengembangan bank syariah 5) Menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah ANGELS merupakan singkatan dari Amanah management, Non-economic wealth, Give out, Earnings, capital and assets, Liquidity and sensitivity to market, dan socio economic wealth. 2.3.1. Amanah Management Amanah management adalah faktor utama dari ANGELS, merupakan faktor penilaian yang sangat penting. Dikatakan penting, karena amanah management merupakan bentuk konkrit dari penerapan etika syariah dalam bisnis perbankan. Penerapan etika syariah tidak dapat diartikan secara sempit dalam pengertian bahwa
10

bank syariah mengeluarkan produk-produk yang sesuai dengan syariah, seperi mudharabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lainnya. Tetapi lebih fundamental adalah penerapan syariah dalam bentuk syariah strategic management system. Syariah strategic management system merupakan sistem manajemen yang secara sistematis dan fleksibel megnarahkan tercapainya tujuan bank syariah, yang sekaligus menjamin dipraktikkannya etika syariah. Dengan penerapan syariah strategic management system, etika syariah tidak saja tampak pada simbol, tetapi juga yang lebih penting adalah substansi yang membumi dalam praktik. Jika demikian, maka corporate culture bank yang berdasarkan pada etika syariah menjadi berbentuk dan hidup dinamis dalam operasi bank sehari-hari. Disamping itu, dalam amanah management dituntut adanya inovasi. Inovasi dalam pengertian ini tidak terbataas pada inovasi produk, tetapi juga meliputi inovasi pada sistem manajemen secara keseluruhan, misalnya inovasi pada manajemen pelayanan, manajemen pemasaran, manajemen keuangan, dan lain-lainnya. Inovasi ini diperlukan karena dua alasan penting, yaitu persaingan dan perubahan lingkungan. Inovasi merupakan sebuah tuntutan dari syariah, karena dengan inovasi tersebut sebuah perubahan dapat dilakukan. Oleh karena itu inovasi menjadi sebuah keniscayaan bagi bank syariah untuk merespon lingkungannya dan untuk melakukan perubahan. Bagian lain yang tidak kalah pentingnya dengan inovasi adalah akuntabilitas (accountability). Dengan sistem profit loss sharing, sebenarnya bank syariah dituntut lebih transparan dibandingkan dengan bank konvensional. Akuntabilitas dalam konteks ini meliputi tiga macam, yaitu : akuntabilitas kepada tuhan, akuntabilitas kepada stakeholders, dan akuntabilitas terhadap alam. Amanah management adalah bagian yang sangat penting dan fundamental dari model sistem penilaian ini. Karena pada dasarnya keberhasilan sebuah bank sangat bergantung pada best management practice nya. Amanah management adalah proses. 2.3.2. Non-Economic Wealth Non-economic wealth adalah faktor kedua dari ANGELS. Faktor ini adalah faktor yang perlu diperhitungkan sebagai salah satu bagian yang tidak bisa
11

ditinggalkan un tu menilai tingkaat kesehatan bank syariah. Ketiadaan faktor ini mengindikasikan kurang sempurnanya sistem penilaian. Kesehatan bank tidak akan terdeteksi secara baik dan utuh jika faktor ini tidak ada. Faktor ini muncul dan harus ada dalam model sebagai konsekuensi menjadikan etika syariah sebagai basis nilai dari perbankan syariah. Tanpa dasar nilai etika ini, faktor non-economic wealth tidak akan pernah ada, sebagaimana misalnya terlihat pada CAMELS atau model laiinya. Non-economic wealth dalam hal ini terdiri dari kesejahteraan mental dan kesejahteraan spiritual. Untuk menciptakan jenis kesejahteraan ini diperlukan daya akal mental dan spiritual yang kuat dari manajemen bank syariah Dengan faktor ini manajemen bank syariah dituntut untuk menciptakan kesejateraan mental dan spiritual. Kesejahteraan ini merupakan salah satu hasil dari proses praktik amanah management. 2.3.3. Give Out Faktor ketiga adalah give out. Faktor ini erat kaitannya dengan distribusi kesejahteraan yang telah berhasil diciptakan oleh bank syariah. Faktor give out, dalam model sistem penilaian bank konvensional (CAMELS), tidak muncul (sebagaimana juga non-economic wealth), karena dasar nilai model pada bank konvensional tidak menaruh perhatian pada distribusi kesejahteraan selain kepada shareholders. Sebaliknya, etika syariah memberikan perhatian yang cukup besar pada aspek distribusi kesejahteraan (Mannan 1986, 113-42). Etika syariah tidak menghendaki bahwa kekayaan (kesejahteraan) hanya beredar dari golongan tertentu saja. Kemampuan bank syariah mendistribusikan kesejahteraan (yang berhasil diciptakannya) merupakan indikator bahwa bank syariah telah memiliki organ yang baik untuk menunjang tingkat kesehatannya. Kesejahteraan menurut perspektif syariah harus didistribusikan kepada pihak yang berhak menerimanya. Pihak yang menerima adalah pihak yang lebih luas dibandingkan dengan yang konvensional yaitu direct participants, indirect participant, dan alam. Dengan distribusi yang lebih luas ini diharapkan akan mampu memberikan

12

multiplier effects yang jauh lebih besar bila dibanding dengan distribusi kepada shareholders saja. 2.3.4. Earnings, Capital, and Assets Quality Faktor keempat adalah earnings, capital, and assets quality. Faktor ini adalah faktor hasil, yaitu hasil dalam pengertian kesejahteraan materi. Meskipun istilahnya sama dengan istilah yang ada di CAMELS, tetapi esensinya berbeda. Earnings dalam versi ANGELS lebih cenderung pada pengertian nilai tambah (value-added), sedangkan earnings dalam versi CAMELS lebih cenderung pada pengertian profit. Kecenderungan ANGELS pada nilai tambah disebabkam karena perbankan syariah berorientasi pada distribusi kesejahteraan kepada stakeholders yang lebih luas. Sementara itu, profit selalu berkonotasi pada hak yang hanya dimiliki oleh shareholders atas kesejahteraan yang diciptakan perusahaan. Tentang assets quality, ditinjau dari akuntansi syariah secara ideal assets dinilai dengan menggunakan current cost accounting. Salah satu alasan mengapa akuntansi syariah cenderung menggunakan current cost accounting adalah agar informasi tentang zakat yang menjadi kewajiban bank menunjukkan informasi yang lebih aktual. Implikasinya adalah bahwa akuntansi syariah menyajikan informasi yang lebih aktual dibanding dengan akuntansi konvensional yang menggunakan historical cost accounting. Jadi dengan menggunakan informasi yang berdasarkan pada current cost accounting, informasi tentang assets quality menjadi lebih baik. Demikian juga informasi lainnya. Pada akhirnya, informasi tingkat kesehatan bank syariah juga lebih nyata. 2.3.5. Liquidity and Sensitivity to Market faktor kelima adalah liquidity and sensitivity to market. Faktor ini juga termasuk faktor hasil dalam pengetian kesejahteraan materi. Liquidity merupakan aspek penting bagi perbankan, baik bank konvensional maupun bank syariah. Likuiditas yang rendah akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank. Sensitivity to market juga merupakan bagian yang sangat penting. Bagian ini menunjukkan kedinamisan bank dalam merespon perubahan pasar yang ada di
13

sekelilingnya. Dalam kaitannya dengan bank syariah, mungkin akan terlihat berbeda aspek liquidity to market nya dengan bank konvensional terutama karena bank syariah menggunakan profit loss sharing. 2.3.6. Socio-Economic Wealth Faktor yang keenam adalah socio-economic wealth. Faktor ini termasuk hasil khusunya pada tingkat kesejahteraan materi. Perbedaan dengan faktor keempat dan kelima adalah bahwa kesejahteraan materi ini tidak semata-mata bersifat ekonomi, tetapi juga bersifat sosial. Contoh konkrit dari faktor keenam ini adalah dana infaq, zakat, dan shadaqah serta pendistribusiannya dalam bentuk al-qardhul hasan kepada indirect participants. Kesejahteraan ini bersifat sosial dan ekonomi pada dasarnya kesejahteraan ini diberikan kepada indirect participants, diman indirect participants disini sebenarnya tidak memberikan kontribusi ekonomi pada bank syariah, tetapi sebaliknya bank memiliki kewajiban untuk memberikan hak ekonomi mereka, karena bank syariah beroperasi berdasarkan pada etika syariah. Tindakan mendistribusikan kesejahteraan ini merupakan fitrahnya sebagai penyebar rahmat. Karena sebuah fitrah, maka proses menciptakan dan menyebarkan socioeconomic wealth ini secara alami melekat pada diri bank syariah. Meniadakan socioeconomic ini berarti menghilangkan jati diri bank syariah. 2.4. Entity Theory Entity merupakan turunan dari teori kepemilikan, teori ini sudah mengasumsikan terjadinya pemisahan antara kepentingan pribadi pemilik ekuitas (owners) dengan entitas bisnisnya (perusahaan). Pendekatan ini kemudian yang paling banyak dirujuk oleh praktik-praktik bisnis secara umum. Dalam entity theory, kesejahteraan hanya sematamata dikonsentrasikan pada stockholders (Kam 1990, 315). Teori ini didasarkan pada persamaan : Aktiva Kewajiban = Modal

14

2.5. Syariah Enterprise Theory Shariah Enterprise Theory (SET) (Triyuwono 2006a, 350-56 ) yang dikembangkan berdasarkan pada metafora zakat pada dasarnya memiliki karakter keseimbangan. Konsekuensi dari nilai keseimbangan ini menyebabkan SET tidak hanya peduli pada kepentingan individu (dalam hal ini pemegang saham), tetapi juga pihakpihak lainnya. Oleh karena itu, SET memiliki kepedulian yang besar pada stakeholders yang luas. Menurut SET, stakeholders meliputi Tuhan, manusia, dan alam. 2.5.1. Tuhan Tuhan merupakan pihak paling tinggi dan menjadi satu-satunya tujuan hidup manusia. Dengan menempatkan Tuhan sebagai stakeholder tertinggi, maka tali penghubung agar akuntansi syariah tetap bertujuan pada membangkitkan kesadaran keTuhanan para penggunanya tetap terjamin. Konsekuensi menetapkan Tuhan sebagai stakeholder tertinggi adalah digunakannya sunnatuLlah sebagai basis bagi konstruksi akuntansi syariah. Intinya adalah bahwa dengan sunnatuLlah ini, akuntansi syariah hanya dibangun berdasarkan pada tata-aturan atau hukum-hukum Tuhan. 2.5.2. Manusia Stakeholder kedua dari SET adalah manusia. Di sini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu direct-stakeholders dan indirectstakeholders. Direct-stakeholders adalah pihak-pihak yang secara langsung memberikan kontribusi pada perusahaan, baik dalam bentuk kontribusi keuangan (financial contribution) maupun nonkeuangan (non-financial contribution). Karena mereka telah memberikan kontribusi kepada perusahaan, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. Sementara, yang dimaksud dengan indirect-stakeholders adalah pihak-pihak yang sama sekali tidak memberikan kontribusi kepada perusahaan (baik secara keuangan maupun non-keuangan), tetapi secara syariah mereka adalah pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. 2.5.3. Alam Golongan stakeholder terakhir dari SET adalah alam. Alam adalah pihak yang memberikan kontribusi bagi mati-hidupnya perusahaan sebagaimana pihak Tuhan dan
15

manusia. Perusahaan eksis secara fisik karena didirikan di atas bumi, menggunakan energi yang tersebar di alam, memproduksi dengan menggunakan bahan baku dari alam, memberikan jasa kepada pihak lain dengan menggunakan energi yang tersedia di alam, dan lain-lainnya. Namun demikian, alam tidak menghendaki distribusi kesejahteraan dari perusahaan dalam bentuk uang sebagaimana yang diinginkan manusia. Wujud distribusi kesejahteraan berupa kepedulian perusahaan terhadap kelestarian alam, pencegahan pencemaran, dan lain-lainnya.

16

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian 3.1.1. Jenis Data Data yang dipergunakan untuk penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung atau merupakan data keuangan yang telah dipublikasikan. Data yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas : 1) Laporan tahunan 2010 PT. Bank Muamalat Indonesia 2) Laporan tahunan 2010 PT. Bank Syariah Mandiri

3.1.2. Sumber Data Data yang diperlukan untuk diolah dalam penelitian ini diambil dari website resmi PT. Bank Muamalat Indonesia dan PT. Bank Syariah Mandiri, yaitu: 1) www.bankmuamalat.com 2) www.bsm.co.id

3.2. Metode Pengumpulan Data 3.2.1. Metode Dokumentasi Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data laporan tahunan (annual report) dari masing masing perbankan syariah yang dipublikasikan, untuk mengetahui rasio keuangan dari masing-masing perbankan tersebut. 3.2.2. Metode Kepustakaan Metode penelitian yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku, referensi, laporan-laporan, peraturan-peraturan, catatan-catatan kuliah, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data yang diperlukan terutama dalam
17

pembahasan dan untuk membandingkan dengan permasalahan yang sebenarnya sehingga penulis memiliki landasan teori yang cukup kuat dalam menarik kesimpulan. 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi Pada dasarnya obyek penelitian ini adalah laporan tahunan yang

dipublikasikan oleh perbankan syariah, dengan demikian populasi dalam penelitian ini adalah laporan tahunan (annual report) perbankan syariah yang sudah terdaftar di Bank Indonesia (selaku otoritas perbankan syariah). 3.3.2. Sampel Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode pemilihan sampel dengan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Laporan tahunan (annual report) perbankan syariah yang dipublikasikan tahun 2011. 2) Perbankan syariah (sebagaimana poin pertama) yang sudah terdaftar di Bank Indonesia 3) Perbankan syariah yang memiliki track record tingkat kesehatan bank yang baik. Berdasarkan kriteria di atas, maka diperoleh dua perbankan syariah sebagai sampel dari lima perbankan syariah populasinya. 3.4. Metode Analisis Data 3.3.1. Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif yaitu suatu cara untuk menghitung yang digambarkan dengan angka dan jumlah tertentu atau dengan perhitungan angka yang diproses. Dalam penelitian ini analisis dilakukan pada : 1) Rasio CAMELS 2) ANGELS (sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah)

18

3.3.2. Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif adalah suatu cara analisis langsung melalui penyajian tabel, grafik, dan diagram dengan memanfaatkan data-data yang tersedia seperti persentase, rata-rata, dan ukuran statistik lainnya. Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran umum tentang kinerja keuangan perbanakan syariah dengan menggunakan pendekatan CAMELS dan ANGELS.

19

Anda mungkin juga menyukai