Anda di halaman 1dari 15

BAB 3 PEMBAHASAN

Definisi Keratitis zoster adalah Inflamasi kornea yang disebabkan oleh virus varisela zoster (Crick et al, 2003)

Epidemiologi Herpes zoster memiliki insiden paling tinggi dari seluruh penyakit neurologi. Biasanya menyerang kurang lebih 500.000 orang di United States setiap tahunnya. Dalam kurun waktu kehidupan, manusia mempunyai resiko terkena sekitar 20 30 % sedangkan pada orang yang berusia diatas 85 tahun maka resiko tersebut akan meningkat menjadi 50%. Insiden yang dilaporkan, bervariasi dari 2,2 3,4 dalam setiap 1000 individu setiap tahunnya. Herpes zoster biasanya lebih sering menyerang pada orang tua ( >80 tahun ), insiden pada orang tua adalah 10 dalam 1000 individu tiap tahunnya. Insiden pada herpes zoster juga meningkat pada penderita dengan imunosupresi. (Wolf k et al, 2009).

Etiologi Virus Varisela-Zoster termasuk famili herpesvirus dan merupakan salah satu dari delapan virus yang diketahui virus herpes yang menginfeksi manusia. Diameter virus ini kurang lebih adalah 150-200 nm dan memiliki berat molekul sekitar 80 juta. Ciri khas pada strukturnya adalah memiliki nukleokapsid isosahedral dengan dikelilingi lipid envelop. DNA double stranded terletak ditengah-tengah struktur virus tersebut. (MArio). Genome VZV mengkode kurang lebih 70 gen yang unik, kebanyakan memiliki susunan DNA dan fungsi yang homolog dengan virus herpes lainnya. Early gene products meregulasi replikasi DNA, misalnya polymerase DNA virus dan virusspecific tymidine kinase. Late genes mengkode protein structural yang menjadi target oleh antibody dan respon imun selular (James et al, 2006)

18

Tabel Virus Herpes pada Manusia

Patogenesis

VZV terdapat dimana-mana dan sangat menular, dengan paparan pertama secara khas terjadi pada masa anak-anak. Pada paparan pertama (infeksi varisella),virus masuk ke host melalui system respiratory bagian atas, kemudian bereplikasi diperkirakan pada nasofaring. Paparan pertama ini dapat juga menyebabkan keratitis zoste, walaupun sangat jarang terjadi apalagi dengan adanya infiltrat pseudodendrit (Vaughan, 2008). Virus menginfiltrasi system retikuloendotelial, dan akhirnya menuju ke sistemik (viremia). Selama serangkaian terjadinya varisela, VZV melewati lesi pada permukaan kulit dan mukosa menuju saraf ending sensoris yang berdekatan dan pindah secara sentripetal ke atas serabut sensoris pada ganglion sensoris (ganglion dorsalis). Pada ganglia, virus menjadi infeksi laten yang tetap ada selama kehidupan. Herpes Zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana rash varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian dari saraf trigeminal pertama (opthalmicus) dan ganglia sensoris spinal dari T1-T2 (Wolf K et al, 2009). Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi virus secara langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis (Kanski et al, 2007). Komplikasi yang paling umum dari herpes zoster ke okula adalah inflamasi korneal, beberapa vesikel kecil yang tumbuh di korneal epitelium dan hal tersebut diikuti dengan bengkaknya stroma kornea. Selain itu, suplai saraf yang terganggu di kornea sebagaimana yang sering muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan kornea berkembang menjadi keratitis dengan erosi epitelial yang berbentuk pungtat (Neuroparalitik keratitis) (Crick ed al, 2003)
19

The common factor in all cases of neurotrophic keratopathy is corneal hypesthesia. Sensory nerves exert a trophic influence on the corneal epithelium. The sensory neuromediators, acetylcholine, substance P, and calcitonin gene-related peptide, have been shown to increase epithelial cell proliferation in vitro.[4] Denervation results in decreased cell metabolism, increased permeability, decreased levels of acetylcholine, and decreased cell mitosis. Because a continuous turnover of corneal epithelial cells occurs, this can lead to an epithelial defect even in the absence of injury. Sympathetic neuromediators and prostaglandins decrease epithelial cell mitosis. In fact, ipsilateral sympathetic denervation appears to mitigate the effects of corneal sensory denervation.

Faktor-faktor yang meningkatkan komplikasi ke okular (Kanski et al, 2007) : 1. Infeksi virus varisela zoster mengenai nervus trigeminus maka kondisi ini disebut Herpes Zoster Oftalmika. 2. Infeksi virus varisela zoster mengenai n. Nasosiliaris ( tanda Hutchinson ) berupa vesikel. Terdapat tiga fase klinis dalam herpes zoster oftalmika yaitu akut, kronis dan relaps sedangkan herpes zoster keratitis sendiri termasuk di dalamnya (Kanski ed al, 2007). Fase akut sendiri dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Keratitis Epitelial Akut : Muncul kurang lebih 2 hari dari gejala awal. Karakteristiknya ditemukan dendrit yang kecil dan halus atau lesi stelate. 2. Numular Keratitis : Biasanya muncul 10 hari sejak munjulnya gejala. Karakteristiknya ditandai dengan multipel granula halus dan dikelilingi oleh halo. 3. Disiform Keratitis : Muncul kurang lebih 3 minggu sejak gejala awal 4. Neutropic Keratitis 5. Mucous Plak Keratitis Gambar Patogenesis Keratitis Zoster
Virus Varicella Zoster Paparan pertama Varicella Inakti (dorman) Reaktivasi N. Opthalmicus N. Nasociliary Vesikel di kornea 20 Keratitis Zoster

DIAGNOSA Keratitis Herpes zoster menimbulkan gejala yang umum terjadi pada keratitis seperti nyeri, mata merah dan dapat meyebabkan penurunan visus. Herpes Zoster keratitis bermanifest dalam bentuk klinis yaitu : Keratitis epithelial akut Gejala awal mulai muncul dua hari setelah onset kemerahan di kulit dan sembuh secara spontan beberapa hari kemudian. Ditandai dengan adanya lesi yang dendritik, kecil dan halus(pseudodendrit) yang positif jika di tes dengan fluoresen atau rose Bengal (Kanski ed al, 2007).

Keratitis nummular Keratitis nummular mungkin mengikuti keratitis epitelial akut, biasanya sepuluh hari setelah onset kemerahan di kulit. Ditandai dengan adanya multiple granular infiltrat pada stroma anterior dikelilingi oleh halo of stromal haze pada daerah yang sebelumnya terkena punctat epitel dan pseudodendrit. Biasanya lesi ini hanya bersifat sementara, tetapi dapat pula
21

meninggalkan jaringan parut yang samar-samar.Lesi memberi respon pada pemberian steroid tapi dapat recurrence jika pemberian dihentikan terlalu cepat(Kanski ed al, 2007).

Disciform keratitis Keratitis Disciform adalah infiltrasi stroma yang mendalam biasanya berkembang 3-4 bulan setelah fase akut awal, dan biasanya didahului oleh keratitis stroma akut epitel atau anterior keratitis stroma. Pada pemeriksaan akan tampak disk shaped, well defined, disertai edema stromal difus tanpa disertai vaskularisasi. Pada tahap ini akan tampak jelas edema pada kornea dan inflamasi pada bilik mata depan. Edema disciformik ini dapat mengakibatkan jaringan parut, neovaskularisai atau kadang ditemukan adanya deposisi lemak(Yanof, 2009).

22

Types of zoster keratitis :A, Punctate epithelial keratitis. B, Microdendritic epithelial ulcer. C, Nummular keratitis. D, Disciform keratitis

Keratitis Neurotropik Neurotropik keratitis ditandai dengan kehilangan sensasi kornea bisa disertai dengan adanya perforasi pada kornea, dimana jika sudah terjadi perforasi, maka proses epitelisasi akan sulit. Hal ini akan menyebabkan mudahnya terjadi infeksi sekunder pada mata(Kanski ed al, 2007).

Ulkus kornea dengan pemberian fluorescein.

Pemeriksaan Fisik Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik mengikut urutan daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan sklera. Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang pandang. Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi fotofobia untuk menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis. Pengurangan sensitivitas kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba dengan serat cotton. Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek epitel dan ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam segmen anterior dan kewujudan infiltrat stroma

23

Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal ialah dibawah 10,5 20,5 mmHg).

Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu: a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel raksasa berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi intranukleus asidofil c. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.

DIAGNOSA BANDING KERATITIS HERPES SIMPLEX Keratitis herpes simplex merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Penyakit ini dapat merupakan infeksi primer dan bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epitelial dan ringan. Dari ketidakseimbangan imunitas penderita dapat menyebabkan terjadinya aktivasi virus herpes dan selanjutnya dapat menimbulkan keratitis. Kondisi imunosupresi dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang

menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks. Mula-mula kadar IgM meningkat, kemudian kadar IgG juga meningkat dan akhirnya tampak antibodi IgA dalam sekresi mukosa. Selanjutnya dikatakan bahwa antibodi menghancurkan virus ekstraseluler. Virus yang bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA akan dicegah perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan oleh IgG antibodi memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Virus herpes simpleks yang stromal disertai reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita yang mengalami depresi imun akibat penggunaan kortikosteroid, karena usia lanjut, atau karena penyakit sistemik. Keratitis desciformis dapat merupakan hasil reaksi tipe terhadap antigen virus herpes. lnfeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau
24

ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi : lakrimasi, fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur (tergantung lokasi dan luasnya lesi). Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel karena adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Perlu dibedakan dengan keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fototobia.1 Keratitis herpes simpleks kambuhan dibedakan atas bentuk superfisiaI, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau keratouveitis. Keratitis superfisial dapat berupa punctata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis punctata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel serta membentuk defek dengan garnbaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis geografika, akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus(Elias, 1997).

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral dan terjadi pada anakanak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas thiornerosal(Elias, 1997).

Keratitit Herpes simpleks

Herpes

zoster

oftalmikus
25

Usia

Primary 5 tahun Kekambuhan usia pertengahan

Usia tua Immunosupresi

Manifestasi pada mata Nyeri Denditric keratitis Ringan Sentral Besar Well-defined dendrite Ulkus sentral Spektrum 1. blepharoconjungtivitis - folikular - siktrik 2. kelainan epitel - ulkus dendrit 3. keratitis stroma - keratitis nekrosis keratitis non Lebih berat Disekitar lokasi Kecil Berbentuk bintang Plak yang meninggi Herpes zoster akut 1. Skleritis 2. conjungtivitis 3. Keratitis Pungtat keratitis Mikrodendrit Keratitis numular Keratitis disciform 4. Uveitis anterior 5. Akut retinal epitelial

nekrosis Keratitis disiform Keratitis intersisial 4. komplikasi pada kornea Stromal vascularisasi,

nekrosis

Herpes kronik

zoster

conjungtivitis, skar Keratitis trophic Keratopaty lipid 5. uveitis akut 6. scleritis 7.acute retinal -

1. Conjungtivitis 2. keratitis Keratitis numular Keratitis disciform Neurotropik keratitis Mukosa plak keratitis

26

necrosis Terapi 1.Debridement 2.Terapi obat dengan antiviral 3.Terapi bedah 4.Pengendalian mekanisme yang pemicu 1. Obat antivirus oral 2. Analgesik 3. Steroid sistemik dan topikal 4. topikal 5. Terapi bedah Antibiotik

mereaktivasi

infeksi HSV

PENATALAKSANAAN

Terapi sistemik 1. Obat antivirus oral Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi timbulnya vesikel, menghentikan perkembangna virus, dan mengurangi kejadian serta komplikasi lebih lanjut. Agar efektif, pengobatan harus dimulai segera setelah timbulnya ruam, namun hal ini tidak berpengaruh pada post herpetik neuralgia. Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis 800 mg, 5 kali sehari selama 10 hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama 10 hari, famciclovir, 500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam sejak timbulnya kemerahan(Vaughan et al, 2008). 2. Analgesik. Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan. Sehingga harus diberikan pengobatan dengan analgesik seperti kombinasi dari mefenamic acid dengan paracetamol atau pentazocin atau petidin ( ketika sangat berat )(Khurana, 2007).

3. Steroid sistemik Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan penyakit pada post herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada lansia harus dipertimbangkan. Steroid pada umumnya digunakan untuk menangani komplikasi

27

dari kasus neurologis seperti kelumpuhan nervus okulomotorius dan neuritis optik (Khurana, 2007) .Pemakaian steroid sistemik masih kontroversial(Vaughan, 2008)

Terapi lokal untuk mata 1. Untuk keratitis zoster :. a. Tetes mata steroid 4 kali sehari. b. Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate atau salep mata atropin c. Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu. 2. Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal. 3. Untuk glaukoma sekunder a. Obat tetes mata Timolol 0,5 % atau Betaxolol 0,5% b. Acetazolamide oral 250mg diberikan 4 kali sehari. 4. Untuk ulkus kornea neuroparalisis yang disebabkan oleh herpez zoster, dilakukan Tarsorrhaphy lateral. 5. Kerusakan epitel yang menetap, digunakan : a. Tetes air mata buatan b. Soft contact lens bandage 6. Keratoplasty. Tindakan ini diperlukan untuk rehabilitasi pengelihatan pasien herpes zoster dengan jaringan parut yang tebal. Namun hal ini beresiko tinggi.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi adalah uveitis, parese otot penggerak mata, skleritis, galukoma dan neuritis optik.

PROGNOSIS

Prognosis penyakit pada umumnya baik bergantung pada tindakan perawatan. Tingkat kesembuhan penyakit ini umunya tinggi pada dewasa dan anak-anak dengan perawatan secara dini. Prognosa penyakit menjadi baik karena pemberian asiklovir yg
28

dapat mencegah komplikasi ke mata sampai ke arah penurunan visus dan pencegahan terjadinya paralisis motorik. Selain itu, bengkak dan merah pada mata dapat hilang, namun pada kulit dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Pengobatan antiviral IV seharusnya diadministrasi seperti yang telah disebutkan dalam pengobatan di atas. Prognosa juga ditentukan dari waktu pemberian antiviral yang sebaiknya diberikan 72 jam pertama setelah onset. Pasien yang dirawat jalan seharusnya mempunyai tindak lanjut yang adekuat untuk penanganan pada keratitis HZO. Pemeriksaan ulang setelah maksimum 1 minggu haruslah dijadualkan pada stadium awal. Pengobatan dengan menggunakan antiviral haruslah dipraktikkan dan diteruskan seperti di atas.

29

BAB 4 KESIMPULAN
1. Keratitis Zoster adalah inflamsai pada kornea yang disebabkan olen virus varicella zoster. 2. Etiologinya adalah virus Golongan herpes virus disebut juga herpesviridae merupakan virus DNA intranukleus besar yang mempunyai kecenderungan kuat untuk menimbulkan infeksi laten dan rekuren, dimana jika terdapat faktor risiko seperti immukompromise maka akan menyebabkan teraktivasinya atau reaktivasi herpes zoster dari ganglion gasseri. 3. Pada anamnesa dapat ditemukan adanya penurunan visus, mata merah dan nyeri, pemeriksaan fisik ditemukan infiltrat pseudodendrit yang khas untuk penyakit ini. Pada keratitis epitelial positif pada test Flurosen dan Rose bengal. 4. Perwatan medik pada herpes zoster ophtalmika terdiri dari agen antiviral sistemik, kortikosteroid, dan pengontrol rasa sakit yang adekuat. 5. Rekurensi merupakan fitur karakteristik herpes zoster. Relaps dapat terjadi selambatlambatnya 10 tahun setelah onset. 6. Prognosa penyakit pada umumnya baik dengan penanganan dini yang tepat.

30

BAB 5 DAFTAR PUSTAKA


Crick R.P, Khaw P.T., A Texbook of Clinical Ophthalmology Third ed. Singapore: World Scientic Publising, 2003. Page : 171, 330 Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI, 1998. Halaman :1-13, 150151. James W.D, Berger T.G., Elston D.M., Andrews Disease of The Skin, Clinical Dermatology, 10th ed, British, Saunders Elsevier, 2006, p: 379-384 Kanski, Jack J. Clinical Ophtalmology A Systemathic Approach Sixth ed. London : Elsevier, 2007. Page : 266-270 Khurana, A K. Comprehensive Ophtalmology Fourth ed. India: 2007. Page :103-106 Vaughan D, Ashbury. Ophtalmology Umum 17th ed. Jakarta : EGC, 2010. Halaman : 131-135 Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PAller AS, Leffell DJ. Varicella and Herpes Zoster, In: Fitzpatricks : Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed. United State of America : The McGrow Hill Company, 2009, p: 837-844 Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PAller AS, Leffell DJ. Varicella and Herpes Zoster, In: Fitzpatricks : Dermatology in General Medicine. 7th Edition. United State of America : The McGrow Hill Company, 2008, p: 1885-1898

31

Yanoff , M, Jay, Duker S. Ophtalmology third ed. London : Elsevier, 2009.

32

Anda mungkin juga menyukai