Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN Salah satu komplikasi kehamilan yang sering membahayakan ibu dan anak adalah perdarahan antepartum.

Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber dari kelainan plasenta antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya.1,2 Di dunia, insidensi perdarahan antepartum yang terutama disebabkan oleh plasenta previa dan solusio plasenta yaitu kurang lebih 3% dari seluruh komplikasi kehamilan. Solusio plasenta merupakan penyebab perdarahan antepartum terbanyak dengan persentase 32% diikuti plasenta previa yang menduduki peringkat peringkat kedua dengan persentase 30%.2 Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah (IRNA RSUD) Propinsi Riau pada tahun 2004, perdarahan antepartum menduduki peringkat keempat dari sepuluh besar kasus Obstetri dan ginekologi. Solusio plasenta disebut juga abruptio placentae mengacu kepada separasi prematur dari plasenta yang berimplantasi normal pada korpus uteri setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir.1,2,3,4 Biasanya terjadi dalam triwulan ketiga, walaupun dapat pula terjadi setiap saat dalam kehamilan. Apabila terjadi sebelum kehamilan 20 minggu, mungkin akan dibuat diagnosis abortus imminens.2 Keluhan dan gejala pada solusio plasenta bervariasi, berupa perdarahan eksternal bisa banyak sekali, meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini.1,3 Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Hurd dkk (1983) didapatkan gejala solusio plasenta berupa perdarahan pervaginam sebanyak 78 %, nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang sebanyak 66 % dan fetal distress sebanyak 60 %.1,4 Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan lamanya solusio plasenta berlangsung.2 Tatalaksana bervariasi tergantung usia gestasi dan keadaan ibu dan janin. Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus seorang pasien masuk VK IGD RSUD AA Pekanbaru pada tanggal 17 juni 2012 pukul 11.23 WIB dengan G1P0A0 gravid aterm + belum inpartu + IUFD + Hemorrhagic ante partum ec susp Solusio plasenta. Kemudian akan dibahas apakah diagnosa, tindakan dan penatalaksaaan ini sudah tepat dan sesuai dengan literatur.
1

BAB II ILUSTRASI KASUS

Pasien masuk via VK IGD RSUD Arifin Achmad rujukan dari dokter umum di RS Selat Panjang pada tanggal 14 Juni 2012 pukul 11.23 WIB, dengan diagnosa G1P0A0 35 minggu tidak aterm + janin tunggal mati intra uterin + presentasi bokong belum masuk PAP + belum inpartu + plasenta previa totalis.

Identitas Penderita Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Agama Suku No MR : Ny. K : 35 tahun : SLTA : IRT : Islam : Melayu : 76 98 46 Nama suami : Tn. S Umur Pendidikan Pekerjaan Agama Suku : 44 tahun : SLTP : Swasta : Islam : Melayu

Di VK IGD Anamnesis PBM masuk via VK IGD pada tanggal 14 Juni 2012 pukul 11.23 WIB dengan keluhan utama perdarahan dari kemaluan sejak 11 jam SMRS. Sejak 11 jam SMRS pasien mengalami perdarahan dari kemaluan warna merah segar, jumlah banyak terus menerus tanpa rasa sakit, kontraksi (-). Pasien tidak pernah mengalami perdarahan sebelumnya. Pasien kemudian dibawa ke RS Selat Panjang 1 jam kemudian, gerakan janin tidak dirasakan lagi. Tidak ada riwayat trauma dan diurut sebelumnya. RHM RHT PNC : mual (+), muntah (+) nyeri kepala (+) perdarahan (-) : mual (-), Muntah (-), perdarahan (-), pusing (-) : rutin kontrol 1x setiap bulan di Puskesmas Selat Panjang, imunisasi (+), vitamin (+) Riwayat haid: menarche usia 13 tahun, awalnya tidak teratur, 1 tahun kemudian mulai teratur, lamanya 7 hari RKB RPD RPK : (-) : HT (-), Asma (-), DM (-) : HT (+) DM (+)
2

Riwayat pengobatan (-) HPHT : ?/ 9/2011 TP ?/6?2012

Pemeriksaan fisik : Ku : Baik TD : 130/90 mmHg HR : 60x/i menit RR : 20x/i menit T : 36,5 0 C TB : 150 cm BB : 59 kg TFU : 38 cm TBJ : 4030 gr DJJ : (-) HIS : (-)

Status Obstetrikus Muka Mammae Abdomen : Inspeksi : perut membesar sesuai dengan usia kehamilan, linea nigra (+), striae (+) Palpasi : L1 : teraba bagian lunak, besar dan tidak melenting, 1 jari di bawah proc. : kloasma gravidarum (-) : Membesar, hiperpigmentasi areola (+), inverted papil (-)

xyphoideus, TFU 38 cm L2 L3 L4 : teraba tahanan terbesar disebelah kanan dan bagian kecil di kiri : bagian terbawah teraba keras, bulat dan terfiksir : bagian terbawah sudah masuk PAP

Auskultasi : BJA (-) TBA 4030 g His (-)

Genitalia Inspeksi : Vulva dan uretra dalam batas normal, tampak darah merah segar dan bekuan

darah di introitus vagina, tidak mengalir. Inspekulo : tidak dilakukan

Laboratorium (14 Juni 2012) Hb Ht : 8 gr/dL : 22,5 %


3

Leukosit Trombosit

: 18.800 mm3 : 370.000 mm3

Diagnosis Kerja: G1P0A0 gravid aterm + IUFD + susp solusio plasenta Rencana 1. Konsul konsulen dr.SpOG oleh konsulen didiagnosis solusio plasenta dan IUFD dan langsung direncanakan untuk SC cito 2. Konsul anestesi 3. RL 20 tpm 4. Transfusi PRC 2 Labu Prognosis : Dubia

LAPORAN OPERASI Pada tanggal 14 juni 2012 jam 12.00 Bayi laki-laki apgar score 0 Observasi : TTV, perdarahan per vaginam, synto 1 mg/kolf Perdarahan sekitar 1 liter Plasenta lepas sebagian kecil di anterior lebih kurang 1/3 bagian Terapi : infus+synto, transfusi 1 liter` WB, ceftriaxon/12 jam

Anamnesis ulang pada tanggal 17 juni 2012 Pasien mengeluhkan keluar darah dari kemaluan pukul 22.00 wib pada tanggal 13 juni 2012, pasien mengaku darah yang keluar bewarna merah segar, pasien belum pernah mengalami perdarahan pada masa kehamilan sebelumnya dan perdarahan tidak terasa nyeri. Pada pukul 22.30 pasien mengeluhkan darah bewarna merah dan bergumpal kemudian pasien merasakan nyeri dan perut terasa tegang. Pasien masih dapat merasakan gerakan janin. kemudian pasien dibawa ke RS Selat Panjang selama perjalanan pasien tidak merasakan lagi gerakan janin, dan perdarahan masih berlangsung dan pasien masih merasakan nyeri. Di RS Selat Panjang pasien diperiksa dan dilakukan USG dari hasil USG didapat kan plasenta previa totalis dan IUFD (hasil tidak dilampirkan), kemudian pasien di rujuk ke RSUD AA karena tidak ada ketersedian darah. Selama diperjalanan pasien mengaku masih keluar darah dan perut terasa nyeri. Pasien mengaku keluar darah sebanyak 1 kain. Pukul 08.56 pasien masuk VK IGD dilakukan anamnesis dan pemeriksaan ulang. Dan didiagnosis dengan G1P0A0H0 gravid aterm belum inpartu + IUFD + susp placenta previa. Kemudian
4

dikonsulkan dengan konsulen jaga dr.SpOG didiagnosis dengan solusio plasenta dan disarankan untuk dilakukan SC cito.

RHM: mual (+), muntah (+), nyeri kepala (+) tidak menggangu aktivitas, pendarahan (-) RHT: Mual (-), muntah (-), pusing (-), pendarahan (-), trauma (-) RPD: ginjal (+)5 tahun yg lalu, HT (-), DM (-), Asma (-), penyakit jantung (-) RPK: HT (-), DM (-), Asma (+), penyakit jantung (-) Riwayat Haid : Menarche umur 13 tahun, satu tahun pertama tidak teratur kemudia teratur. Lama 7 hari. HPHT : ?-9-2011. TP: ?-6-2012 Riwayat KB: (-) Riwayat perkawinan : Menikah 1 x, usia 28 tahun Riwayat kehamilan/abortus/persalinan: 1/0/0 Riwayat antenatal care: pemeriksaan kehamilan teratur 1x/ bulan di puskesmas Selat Panjang, imunisasi (+) diberikan vitamin.

Diagnosis Kerja: G1P0A0 gravid aterm + belum inpartu + IUFD + Hemorrhagic antepartum ec susp Solusio plasenta + anemia.

FOLLOW UP Tanggal 15/6/2012 Pukul 06.30 Perjalanan penyakit S: perdarahan (+), DC terpasang (+) O: KU: sedang Kesadaran: Composmentis TD: 100/50mmHg HR: 76x/menit RR: 20x/ menit Suhu: afebris Terapi -IVFD RL 20 tpm -Transfusi WB 1000cc -Cefotaxim/12 jam

Luka operasi : Perdarahan (-), nanah (), TFU setinggi pusat, kontraksi lemah, bising usus (+)

A : P1A0H0 post SCTPP atas indikasi solusio plasenta dengan IUFD+ nifas hari 1

16/6/2012

S: perdarahan (+), BAK lancar (+), pasien masih pucat O: KU: sedang Kesadaran: Composmentis TD: 100/50mmHg HR: 80x/menit RR: 20x/ menit Suhu: 38,2

DC off IVFD off Cefadroxil tab 500 mg 2x1 PCT tab 500 mg 3x1 SF tab 2x1

Konjungtiva anemis (+) Luka operasi : Perdarahan (-), nanah (), TFU setinggi pusat, kontraksi lemah, bising usus (+)

A : P1A0H0 post SCTPP atas indikasi solusio plasenta dengan IUFD+anemia+ nifas hari 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Solusio plasenta 3.1.1 Definisi Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan. Definisi ini berlaku pada kehamilan dengan masa gestasi di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram. Proses solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan dalam desidua basalis yang menyebabkan hematoma retroplasenter.3 Hematoma dapat semakin membesar ke arah pinggir plasenta sehingga jika amniokhorion sampai terlepas, perdarahan akan keluar melalui ostium uteri (perdarahan keluar), sebaliknya apabila amniokhorion tidak terlepas, perdarahan tertampung dalam uterus (perdarahan tersembunyi) yang tampak pada tabel 1: 3 Tabel 1. Perbedaan perdarahan keluar dan tersembunyi. Perdarahan Keluar Keadaan umum penderita relatif lebih baik Plasenta terlepas sebagian atau inkomplit Jarang berhubungan dengan hipertensi Perdarahan Tersembunyi Keadaan penderita lebih jelek Plasenta terlepas luas, uterus keras/ tegang Sering berkaitan dengan hipertensi

3.1.2 Etiologi Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui, tetapi beberapa kondisi yang berhubungan dijabarkan dalam tabel 2: 2 Tabel 2. Faktor resiko solusio plasenta Faktor risiko Peningkatan usia dan paritas Preeklamsia Hipertensi kronis Pecah prematur membran Multifetal kehamilan Bayi berat lahir rendah Hidramnion Merokok Risiko relatif 1.3-1.5 2.1-4.0 1,8-3,0 2,4-4,9 2,1 14,0 2.0 1,4-1,9
7

Thrombophili Penggunaan kokain Prior abruption Mioma uteri

3-7 NA 10-25 NA

3.1.3 Patologi Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus 3,4 Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi Uterus Couvelaire, dimana seluruh permukaan uterus akan tampak bercak kebiruan atau berwarna ungu. Uterus seperti ini akan terasa sangat tegang dan nyeri dan akan mengganggu kontraktilitas uterus setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat.4 Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.

3.1.4 Gambaran Klinik 1. Solusio Plasenta Ringan Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terus menerus agak tegang. Bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman.3 2. Solusio Plasenta Sedang Plasenta terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum duapertiga luas permukaan. Tanda dan gejala timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi bisa juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu jatuh kedalam syok, demikian pula janinnya jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat. 3 3. Solusio Plasenta Berat Plasenta telah terlepas lebih dari sepertiga permukaannnya. Terjadi sangat tibatiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok, dan janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan, dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, malahan perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan- keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal. 3

3.1.5 Diagnosis Keluhan dan gejala solusio plasenta bervariasi berupa; perdarahan eksternal, yang berefek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada,
9

tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi akibat kemungkinan koagulopati, intensitas perdarahan yang tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat. 3,4 Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta: 3,4

Tabel 3. Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tanda atau Gejala Perdarahan per vaginam Nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang Gawat janin Persalinan prematur idiopatik Kontraksi berfrekuensi tinggi Uterus Hipertonik Kematian janin Frekuensi (%) 78 66 60 22 17 17 15

Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara lain : 1. Anamnesis 2. 3. Nyeri perut. Perdarahan pervaginam berupa darah segar dan bekuan darah yang kehitaman. Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti. Kepala pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang, Ibu anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam. Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.

Inspeksi Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan. Pucat, sianosis dan berkeringat dingin. Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).

Palpasi Fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan. Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois(wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his. Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas. Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.

10

4.

Auskultasi (5,19) Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari sepertiga.

5.

Pemeriksaan dalam Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup. Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his. Apabila ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.

6.

Pemeriksaan umum Tekanan darah turun dan dapat jatuh dalam keadaan syok dan takikatdi.

7.

Pemeriksaan laboratorium Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan leukosit. Darah : Hb turun, kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, fibrinogen.

8.

Pemeriksaan plasenta Plasenta tipis, cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum (darah beku) di belakang plasenta., disebut hematomaretroplacenter.

9.

Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)

3.1.6 Diagnosa Banding Diagnosis banding plasenta previa antara lain solusio plasenta, vasa previa, laserasi serviks atau vagina, yang tersering adalah solutio plasenta. Perbedaannya dapat dilihat pada tabel 1. Kelainan lokal di serviks dapat dengan mudah didiferensiasi dengan pemeriksaan spekulum (inspekulo). Perdarahan dari vasa previa biasanya diikuti dengan fetal distress dan dapat mengakibatkan kematian janin. Untuk membedakan darah janin dengan darah ibu dilakukan test Singer (Alakali denaturasi) atau dengan test Apt. Kedua test ini berdasarkan ketahanan darah janin terhadap alkali, dimana dengan NAOH darah ibu akan berubah mejadi kecoklatan sedangkan darah janin tetap berwarna merah.7,8 Sedangkan pada plasenta sirkumfalata perdarahan bersifat ringan dan diagnosis hanya dapat dibuat setelah ekspulsi plasenta.

11

Tabel 1. Gambaran pembeda plasenta previa dan solutio plasenta Gambaran Klinis Perdarahan PLASENTA PREVIA Tanpa nyeri, rekuren Biasanya terlihat SOLUTIO PLASENTA Nyeri, terus menerus Bisa terlihat, tersembunyi atau gabungan keduanya Kehitaman Tidak sesuai (tipe tersembunyi)

Karakter darah KU dan anemia

Merah terang Sesuai dengan darah yang terlihat Sesuai dengan usia kehamilan Lunak dan relaksasi Sering ditemukan Biasanya ada Palsenta di SBR Plasenta teraba

Pemeriksaan Abdomen Tinggi FUT Perabaan uterus Malpresentasi BJA Plasentografi Pemeriksaan Vagina (perabaan forniks) 3.1.7 Komplikasi

Lebih besar (tipe tersembunyi) Tegang, nyeri, kaku Tidak berhubungan Biasanya tidak ada Plasenta di SAR Tidak teraba

Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu : 1. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Pada kasus obstetri DIC selalu merupakan akibat adanya proses yang lain. Aktifasi sistem koagulasi terjadi dengan cara: 1. Pelepasan sistem tromboplastin kedalam sirkulasi maternal dari plasenta dan jaringan desidua. Mekanisme ini terjadi secara cepat pada kasus solusio plasenta,emboli air ketuban, ruptur uteri, dan terjadi secara perlahan dan membahayakan pada kasus IUFD dan missed abortion.Alarm, 2001 2. Kerusakan pada sel endotelial membuka kolagen utama kedalam plasma dan mengaktifkan faktor koagulasi.2 Eklamsia dan preeclampsia termasuk dalam kategori ini.Miller A, 2002 3. Kerusakan pada sel darah merah dan trombosit melepaskan pospolipid. Hal ini pada reaksi transfusi. Alarm, 2001 Kesalahan memperkirakan jumlah perdarahan pada persalinan dengan cairan pengganti yang tidak adekuat dengan kristaloid atau koloid menyebabkan terjadinya vasospasme, menyebabkan kerusakan endotel, dan memicu terjadinya DIC. Hipotensi menurunkan perfusi sehingga terjadi hipoksia lokal dan asidosis pada tingkat jaringan memicu terjadinya DIC.
12

terjadi

DIC bisa dihindari dengan mengganti cairan yang cukup, meskipun pada anemia yang berat.
Foley, 2000

Gambaran klinis DIC pada kehamilan seringkali gejala dan tanda komplikasi obstetri yang mendasari terjadinya DIC. Manifestasi perdarahan yang muncul bisa berupa hematom, purpura, epistaksis, bekas injeksi yang berdarah, atau yang lebih dramatis terjadinya perdarahan aktif dari luka operasi dan perdarahan post partum.
Alarm, 2001

Perdarahan bisa
Miller A, 2002

berupa hematuria, perdarahan gastrointestinal, intracarnial dan internal bleeding.

Gejala sisa adanya trombosis jarang ada pada DIC yang terjadi secara akut, gejala lebih banyak ditutupi oleh kecenderungan terjadinya perdarahan. Manifestasi adanya trombosis adalah disfungsi ginjal, hepar, dan paru. Alarm, 2001 Patogenesis terjadinya DIC meliputi peningkatan pembentukan trombin, penurunan mekanisme fisiologis antikoagulan, dan terhambatnya proses fibrinolisis. Antikoagulan fisiologis meliputi antitrombin III, protein C dan TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Pada DIC kadar antitrombin III, yang merupakan inhibitor trombin utama menurun sebagai respon terhadap proses koagulasi yang sedang berlangsung, degradasi oleh elastase yang dikeluarkan oleh neutrofil aktif, dan gangguan sintesis antitrombin III. Foley, 2000 Penurunan fungsi sistem protein C disebabkan oleh penurunan aktifitas trombomodulin, penurunan kadar fraksi bebas protein S (kofaktor esensial protein C),disamping penurunan sintesis. Penurunan aktivitas fibrinolitik diperantrai oleh peningkatan inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, penghambat utama sistem fibrinolitik, dan penelitian klinik menunjukkan meskipun terdapat aktivitas fibrinolitik, pada DIC aktivitasnya terlalu lemah dibandingkan aktivitas pembentukan fibrin. Levi, 2003

2. Syok perdarahan Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah selesai sekalipun, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan proporsi perdarahan yang terlihat. 3,4 Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kematian dan
13

kesakitan ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopati. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan. 3. Gagal ginjal Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering pada solusio plasenta, akibat hipovolemia. Nekrosis tubuli ginjal akibat perfusi ginjal terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau korteks ginjal mendadak..3.6 Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah (2). 4. Kelainan pembekuan darah Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya.+ Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.3,6,8 5. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire) Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot rahim dan di bawah perimetrium atau dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak kesanggupannya menghentikan perdarahan. 6. Komplikasi janin: Fetal distress dan gangguan pertumbuhan/perkembangan, hipoksia dan anemia dan kematian. tergantung pada

14

3.1.8 Terapi Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu: a. Solusio plasenta ringan Ekspektatif, bila kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada

perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan (2). Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan. 5 b. Solusio plasenta sedang dan berat Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. 6 Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan.6 Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik. Persalinan juga dapat dipercepat dengan infus oksitosin yang memperbaiki kontraksi uterus. 4, 5. Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita biasanya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah. Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh
15

karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah. Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Uterus Couvelaire tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria, tindakan histerektomi perlu dilakukan.6

3.1.9 Prognosis Prognosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi menahun atau pre-eklampsia, tersembunyi tdaknya perdarahnnya, dan jarak waktu antara terjadinya solusio plasenta sampai pengosongan uterus.2 Prognosis janin pada solusio plasenta berat hampir 100% mengalami kematian. Pada solusio plasenta ringan dan sedang kematian janin tergantung dari luanya plasenta yang terlepas dari dinding uterus dan tuanya kehamilan. Perdarahan yang lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian janin. Pada kasus solusio plasenta tertentu seksio sesarea dapat mengurangi kematian janin. Sebagaimana pada setiap kasus perdarahan, persediaan darah seckupnya akan sangat membantu memperbaiki prognosis ibu dan janin.2

3.2.

IUFD (Intra Uterine Fetal Death)

3.2.1. Definisi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (Uncomplicated Pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut abortus. Sedangkan WHO menyebutkan bahwa yang dinamakan kematian janin adalah kematian yang terjadi bila usia janin 20 minggu dan berat janin waktu lahir diatas 1000 gram. Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO

dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana
16

berat janin 500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian IUFD (Kliman, 2000) IUFD dievaluasi melalui USG dengan color doppler.

3.2.2 IUFD pada Solusio Plasenta Pada solusio plasenta, terjadi pemisahan vili korialis plasenta dari tempat implantasinya di desidua basalis sehingga terjadi perdarahan, hingga akhirnya membentuk hematom retroplasenta. Hematom retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/lasenta ke sirkulasi janin. Perdarahan yang berlanjut akan menyebabkan hematom semakin membesar dan semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas, sehingga menyebabkan keadaan asfiksia pada janin. Profuse bleeding juga menurunkan jumlah volume darah ke dalam sirkulasi plasenta. 2 keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya kematian pada janin. Anemia 9

3.3.

3.3.1. Definisi Anemia merupakan penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia dapat ditunjukkan dengan kadar hemoglobin. Menurut kriteria WHO, seorang laki-laki dan perempuan dewasa dikatakan anemia jika Hb < 13 g/dL dan < 12 g/dL. Sedangkan perempuan dewasa yang hamil dengan nilai Hb < 11 g/dL dapat dikatakan anemia. 3.3.2. Klasifikasi Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin, yaitu terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normokrom, dan anemia makrositer. Sedangkan menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu berdasarkan gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

3.3.3. Gambaran Klinis


17

Pada anemia akibat perdarahan akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.

3.3.4. Diagnosis Anemia bukan merupakan suatu kesatuan penyakit, tetapi hanya suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar. Pendekatan diagnosis anemia dilakukan dengan anamnesis. Pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan penyaring, yaitu dengan pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Kemudian juga dapat dilakukan pemeriksaan darah seri anemia yang meliputi hitung leukosit, trombosit, retikulosit dan laju endap darah. Untuk mengetahui keadaan sistem hematopoesis dapat dilakukan pemeriksaan su msum tulang dan beberapa pemeriksaan khusus untuk indikasi tertentu.

3.3.5. Diagnosis Banding Anemia yang ditimbulkan akibat perdarahan akut belum menunjukkkan peningkatan retikulosit yang bermakna, sedangkan pada perdarahan kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.

3.3.6. Terapi Terapi pada anemia yang disebabkan oleh perdarahan adalah dengan melakukan transfusi. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia perdarahn kronik transfusi diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya anacaman payah jantung. Transfusi yang diberikan dapat berupa packed red cell atau whole blood. Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus segera dihentikan.

18

BAB IV PEMBAHASAN

Yang menjadi permasalahan pada pasien ini adalah: 1. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat? 2. Apakah penanganan pasien ini sudah tepat?

1. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat Diagnosis awal pasien masuk ke IGD dengan rujukan RS Selat Panjang adalah G1P0A0 35 minggu tidak aterm + janin tunggal mati intrauterin + presentasi bokong belum masuk PAP + belum inpartu + plasenta previa totalis. Diagnosis ini tidak tepat, dimana tidak mencantumkan penulisan kata gravid sebelum diagnosis usia kehamilan, dan keterangan mengenai janin tidak perlu dimasukkan ke dalam diagnosis. Penegakan diagnosis plasenta previa totalis tidak tepat, ini dibuktikan dari anamnesis ulang. Dimana dari anamnesis tidak didapatkan kriteria gejala klinis yang mendukung diagnosa tersebut, seperti perdarahan berulang, tanpa nyeri saat perdarahan, dan warna darah yang merah segar. Sementara saat di IGD, ditegak kan diagnosis oleh dokter jaga diagnosis G1P0A0 + gravid aterm + IUFD + suspec solusio plasenta anemia Penulisan status paritas yaitu G1P0A0 sudah tepat karena telah sesuai dengan kaidah penulisan status obstetri. Diagnosis usia kehamilan pasien ini pada IGD sudah tepat karena berdasarkan penghitungan dengan rumus Naegele [(tanggal sekarang tanggal HPHT) + (bulan sekarang bulan HPHT) x 4] dimana HPHT pasien ini September 2011 dan tanggal pemeriksaan pada 14 Juni 2012, perkiraan usia kehamilan 39-40 minggu, janin aterm. Jika digunakan cara Spiegelberg dengan jalan mengukur tinggi fundus uteri dari simfisis maka didapatkan usia kehamilan lebih dari 40 minggu, karena tinggi fundus uteri pasien ini 38 cm. Penulisan janin tunggal mati intra uterin atau IUFD pada kasus ini sudah tepat. Karena tidak didapatkan lagi gerakan janin, baik dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
19

IGD dengan kemudian

dan

dikonsulkan dengan konsulen jaga dr. SpOG dengan advise solusio plasenta + IUFD +

hasil anamnesis didapatkan ibu tidak lagi merasakan gerakan janin 10 jam SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan perut pasien terasa tegang. Pada solusio plasenta akan ditemukan perut ibu membuncit tidak sesuai dengan masa kehamilan, tetapi pada pasien ini tidak diketahui karena tidak dilakukannya pemeriksaan fisik secara cermat. Seharusnya pada pemeriksaan fisik ditambahkan dari inspeksi buncit kehamilan Dan juga ditunjang dengan setelah dilakukan operasi didapatkan janin lahir mati dan tidak ada gerakan dada dan denyut jantung janin. Kemungkinan kematian janin pada pasien ini tidak hanya semata disebabkan oleh solusio plasenta, karena dari hasil operasi didapatkan plasenta terlepas hanya sepertiga bagian. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa kematian janin pada solusio plasenta, disebabkan oleh terlepasnya plasenta lebih dari sepertiga plasenta. Dari hal tersebut seharusnya difikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan kematian pada janin ini, seperti adanya insufisiensi plasenta yang dapat dibuktikan pada durante operationum. Penegakkan diagnosis solusio plasenta pada pasein ini oleh dr jaga igd dan konsulen jaga dr SpOG sudah tepat. Penegakkan diagnosis ini didasarkan oleh anamesis dan pemeriksaan fisik. Dimana pada anamnesis didapatkan perdarahan yang muncul pertama kali, perdarahan disertai nyeri, warna darah merah kehitaman, pasien sudah tidak merasakan gerakan janin., pada pemeriksaan fisik didapatkan perut terasa tegang, denyut jantung janin (-), HIS (-) ini menunjang penegakan diagnosis ke arah solusio plasenta dimana, adanya suatu perdarahan disertai rasa nyeri, warna darah merah kehitaman dan bergumpal, perut terasa tegang dan merupakan perdarahan pertama kali hingga adanya kematian janin. Namun pada pasien ini tidak ditemukan adanya faktor predisposisi solusio plasenta, dimana ini merupakan kehamilan pertama, pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi, trauma maupun kebiasaan diurut. tidak ada riwayat merokok.

Diagnosis post operasi pada pasien ini : P2A0H0 Pasca SCTPP a/i solusio plasenta dan IUFD. Dari laporan operasi selama durante operationum seperti ditemukannya adanya pelepasan plasenta di bagian anterior lebih kurang sepertiga bagian yang mengindikasikan solusio plasenta dan bayi yang meninggal di dalam rahim. Insersi plasenta tidak diketahui. Dengan temuan-temuan di atas, diagnosis post operasi pada pasien ini sudah benar.

20

2. Apakah penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini sudah tepat? Pada pasien ini, di RS Selat Panjang tidak diberikan penatalaksanaan apapun. Hal ini tidak tepat, karena pada kasus perdarahan, prinsip awal penatalaksanaan adalah terapi cairan. Seharusnya, sebelum dirujuk pasien ini dipasang IV line RL atau NaCl untuk menjaga stabilitas hemodinamik dan mencegah syok hipovolemik. Pada kasus ini setelah ditegakkan diagnosis G1P0A0H0 gravid aterm dengan HAP ec solusio plasenta
+

anemia serta IUFD, diputuskan untuk dilakukan SC emergency.

Berdasarkan kepustakaan seharusnya tindak lanjut pada pasien ini adalah pemberian transfusi darah, dimana pada pasien didapatkan nilai Hb 8 g/dL sehingga dibutuhkan 6 kantong whole blood untuk memenuhi kadar Hb normal (12 g/dL). Pada pasien ini seharusnya dilakukan amniotomi dan akselerasi dengan oksitosin. Amniotomi dilakukan untuk merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Persalinan ini diharapkan terjadi dalam 6 jam setelah penegakan diagnosis solusio plasenta, tetapi jika tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan drip oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Pada kasus ini tidak dilakukan amniotomi dan akselerasi, namun langsung dilakukan SC.

21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Diagnosis yang tepat pada pasien ini adalah G1P0A0 + gravid aterm + IUFD + solusio plasenta + anemia 2. Tatalaksana pada pasien ini kurang tepat 5.2 Saran 1. Seharusnya dilakukan anamnesis yang cermat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosa. 2. Diharapkan pasien dapat berkonsultasi pada dokter spesialis untuk kehamilan selanjutnya. 3.

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Khoman, John S. Perdarahan hamil Tua dan Perdarahan Post Partum. Cermin Dunia Kedokteran: no 80:60-63,1992. 2. Prawirohardjo, S. Perdarahan Ante partum. Dalam: Ilmu kbidanan, Edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustakan Sarwono Prawirihardjo.362-367, 2002. 3. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Obstetrical Haemorrrhage. Williams Obstetric 23th Edition. Prentice Hall International Inc Appleton. Lange USA. 2010; 767 4. Akhyar Y. Karakteristik kasus Solusio plasenta di bagian obstetric dan ginekologi rsud arifin achmad pekanbaru periode 1 januari 2002 31 desember 2006. 5. Shad H deering. Abruptio placentae. Dikutip
th

dari

http://emedicine.medscape.com/article/252810-overview. Diunduh tanggal 22 juni 2012 6. Dutta, DC : Heart Disease in Pregnancy ; Textbook of Obstetrics ; 5 Book Agency, Calcutta , 1998, 19: 293-96 7. Sumapraja S: Perdarahan Antepartum; Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga Cetakan Keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999, 23:305-18. 8. 9. Mochtar,R. 1998. Sinopsis Obstetri Patologi, edisi II.Jakarta:EGC Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 622-5. 2006. ed. New Centrak

23

Anda mungkin juga menyukai