laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi. a) Diagnosis klinik Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah satu gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. Gejala mayor terdiri dari : penurunan berat badan > 10% dalam 1 bulan, demam yang
panjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguan neurologi serta demensi/ensefalopati HIV. Gejala minor terdiri dari: Kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis
generalisata yang gatal, herpes zoster berulang, herpes simplek kronis progresif, limfadenopati generalisata dan infeksi jamur n=berulang pada alat kelamin wanita. Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang berhubunhan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi criteria diagnosis klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat. WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut: Stadium Klinis 1 (Asimptomatik) a) Tidak ada penurunan berat badan b) Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2 (Sakit Ringan) a) Penurunan berat badan 5-10% b) Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media,faringitis)
c) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir d) Cheilits angularis e) Ulkus mulut berulang f) Pruritic papular eruption (PPE) g) Dermatitis seboroika h) Infeksi jamur kuku
Stadium Klinis 3 (Sakit Sedang) a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%) b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan c) Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama lebih dari 1 bulan) d) Kandidiasis oral persisten e) Oral hairy leukoplakia f) Tuberkulosis (TB) paru dalam 1 tahun terakhir g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis, bakteriemi selain pneumonia) h) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis (< 50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya
Stadium Klinis 4 (Sakit Berat/AIDS) a) HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai
salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas). b) Pneumonia pneumocystis c) Pneumonia bakteri berat yang berulang d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari sebulan atau viseral dimanapun) e) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru) f) Tuberkulosis ekstra paru g) Sarkoma Kaposi h) Infeksi Cytomegalovirus (retinistis atau infeksi organ lain) i) Toksoplasmosis susunan saraf pusat j) Ensefalopati HIV k) Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis l) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata) m) Progressive multifocal leucoencephalopathy n) Kriptosporidiosis kronis o) Isosporiosis kronis p) Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis ekstra paru) q) Septikemi berulang (termasuk salmonella non-tifoid) r) Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B) s) Karsinoma serviks invasif t) Leishmaniasis diseminata atipikal
b) Diagnosis Laboratorium Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua kelompok: 1. Uji Imunologi Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan
sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test krining.
CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV
Deteksi antibodi HIV Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama,dan hasilnya dengan Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays) . lanjutan, walaupun pada
dikonfirmasikan
pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat antibodi
terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan melawan HIV-1
tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu hamil, yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita
dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu
yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
Rapid test Merupakan tes serologik HIV-1. Prinsip yang cepat untuk mendeteksi aglutinasi IgG antibodi terhadap imunodot (dipstik),
pengujian
berdasarkan
partikel,
imunofiltrasi
atau
imunokromatografi. ELISA
tidak
dapat
digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes hasil yang yang benar-benar melawan positif. protein Uji Western sebagai
antibodi
HIV-1
blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1.
Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Indirect Immunofluorescence Assays (IFA) Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
2. UJi Virologi Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)).
Kultur HIV HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji biakan setelah 7-14 hari untuk cairan supernatan
spesifik virus.
NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test) Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan PCR, menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA menjadi HIV merupakan petanda prediktif penting RNA amplifikasi HIV-1. penyakit Level dan
dari progresi
Uji antigen p24 Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24.