Anda di halaman 1dari 9

Hubungan Industrial di Era Kebebasan Berorganisasi

Hubungan Industrial di Era Kebebasan Berorganisasi Pendahuluan Untuk mengetahui kondisi hubungan industrial di masa transisi saat ini SMERU dengan dukungan PEG-USAID dan Bappenas tertarik melakukan studi kualitatif terhadap 47 perusahaan sampel pada industri manufaktur, perhotelan, dan pertambangan. Studi ini telah dilakukan pada bulan Oktober 2001 di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), Bandung, dan Surabaya. Informasi diperoleh dari pihak perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh, instansi pemerintah terkait dan asosiasi pengusaha seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). Selain itu, juga dilakukan penelusuran informasi dari peraturan perundangan pemerintah yang berkaitan dengan hubungan industrial, serta dari berbagai media cetak. Karakteristik perusahaan yang dipilih sebagai responden antara lain:i) termasuk dalam kategori perusahaan skala besar (>100 pekerja/buruh), dan sedang (20-100 pekerja/buruh) berdasarkan kriteria BPS;ii) memiliki serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan (83% dari responden perusahaan);iii) perusahaan sudah mengalami kasus perselisihan dengan pekerja/buruh1 (83% dari responden perusahaan); daniv) perusahaan modal asing atau perusahaan modal dalam negeri. Tujuan studi ini adalah membantu pemerintah atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam memahami secara utuh kondisi hubungan industrial dan ketenagakerjaan di tingkat perusahaan. Dalam melaksanakan studi ini Tim Peneliti SMERU mempelajari hubungan industrial dengan memberikan perhatian khusus pada hubungan antara pekerja, pengusaha/perusahaan, dan serikat pekerja/serikat buruh dalam konteks kebijakan dan peraturan perundangan pemerintah yang berlaku pada saat ini. SMERU berharap agar temuan-temuan dari penelitian ini dapat menyumbang munculnya kebijakan hubungan industrial di masa depan yang mendukung kepentingan semua pihak terkait.2 Hubungan Industrial di Masa Transisi Saat ini sistem hubungan industrial di Indonesia sedang dalam proses transisi: dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang lebih terdesentralisasi dimana perusahaan dan pekerja/buruh berunding bersama mengenai persyaratan dan kondisi kerja di tingkat perusahaan. Transisi ini sejalan dengan perubahan dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas yang bertujuan untuk mendukung proses demokratisasi dan pengambilan keputusan yang transparan. Sumbangan pemerintah terhadap sistem hubungan industrial yang baru ini tampaknya masih belum memadai, dan hal ini sering menghambat munculnya suatu sistem hubungan industrial yang lebih produktif. Komponen sistem hubungan industrial masih banyak yang dipengaruhi oleh praktek pemerintah pusat di masa lalu yang paternalistik. Peraturan Perundangan Hubungan Industrial Dua Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI) dan Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK) yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menjadi sumber perdebatan di antara serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB), pengusaha, pekerja dan para pengamat perkembangan hubungan industrial di Indonesia. Sebagian besar pekerja/buruh, SP/SB, SP-TP, dan pengusaha menolak proses penyelesaian perselisihan baru yang ditetapkan dalam RUU yang telah mengubah prosedur-prosedur dalam melakukan mediasi, konsiliasi dan arbitrasi. Lebih lanjut, keberadaan Pengadilan Perselisihan Industrial masih terus diperdebatkan karena hanya sedikit yang yakin bahwa adanya peradilan khusus untuk penyelesaian perselisihan industrial

akan memperbaiki situasi saat ini. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa peradilan khusus ini hanya akan menambah beban keuangan semua pihak yang terlibat jika mereka tetap memaksakan kasusnya dibawa ke tingkat pengadilan. Umumnya SP/SB cenderung memilih pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No 12 Tahun 1964. Peraturan lainnya, khususnya Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 yang mengganti Permenaker No.03/Men/1996, telah mengundang reaksi negatif yang kuat dari para pengusaha. Mereka berpendapat kedua peraturan tersebut terlalu membebani pihak perusahaan. Perubahan beberapa pasal dan keputusan melalui Kepmenakertrans No. Kep-78 dan Kep-111/Men/2000 telah memicu terjadinya konflik dan gejolak para pekerja/buruh secara massal karena perubahan tersebut dianggap menguntungkan pihak pengusaha, sementara pekerja/buruh berpendapat Kepmenaker No. 150 memberikan perlindungan yang memadai bagi mereka. Keputusan pemerintah untuk mengubah Kepmenakertrans No. Kep-78 dan Kep-111/Men/2001 serta memberlakukan kembali Kepmenaker No. Kep-150/Men/2001 pada 15 Juni 2001 menambah kebingungan mengenai peraturan perundangan hubungan industrial saat ini tanpa memberi jaminan atau penyelesaian bagi perdebatan yang berkepanjangan mengenai prosedur penyelesaian perselisihan. Dinamika Serikat Pekerja/Buruh Sebagai akibat dari tindakan pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan UU No. 21 Tahun 2000, jumlah organisasi pekerja/buruh di Indonesia tumbuh menjamur. Namun, kenaikan jumlah organisasi serikat pekerja/serikat buruh tersebut terutama hanya terjadi di tingkat nasional dan di tingkat federasi. Jumlah SP-TP yang terbentuk jauh lebih sedikit daripada jumlah perusahaan-perusahaan skala menengah dan perusahaan skala besar yang beroperasi di wilayah penelitian. Hal ini tidak saja karena sejumlah besar perusahaan masih merasa keberatan atas terbentuknya serikat pekerja/buruh sebab mereka tidak memahami potensi manfaat dari adanya SP-TP, tetapi juga karena para pekerja/buruh belum sepenuhnya memahami manfaat yang akan mereka peroleh jika membentuk serikat pekerja/serikat buruh. Umumnya para pekerja/buruh menunjukkan minat lebih besar terhadap pembentukan SP-TP setelah mereka mengalami keresahan hubungan industrial dalam perusahaannya yang sulit diselesaikan. Saat ini SP/SB yang ada dapat dibedakan berdasarkan cara pembentukannya. Pertama, SP/SB yang dibentuk sebagai basis bagi para anggotanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan mereka kepada perusahaan. SP/SB jenis ini mempunyai misi yang jelas, keanggotaan yang jelas, dan pengelolaan organisasinya baik. Kedua, SP/SB yang dibentuk sebagai basis politik, anggotanya termasuk non-pekerja yang mengklaim bahwa mereka bertindak demi kepentingan pekerja perusahaan. Umumnya, jenis kedua ini tidak mempunyai keanggotaan yang jelas, dan tidak termasuk pekerja dari perusahaan. Ada dugaan bahwa ada hubungan antara beberapa SP/SB jenis ini dengan kelompok-kelompok atau dengan partai politik tertentu. Temuan SMERU menunjukkan bahwa efektivitas dan profesionalisme SP/SB secara keseluruhan tergantung pada seberapa jauh mereka mampu berorganisasi dan menarik anggota, tingkat pemahaman mereka mengenai peranannya, fungsi, pemahaman terhadap perundang-undangan yang ada, serta kemampuan dalam menyampaikan tuntutan, bernegosiasi, dan apakah mereka mampu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Menurut temuan di lapangan, efektivitas dan profesionalisme SP/SB Gabungan di tingkat kabupaten dan kota dalam memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh selama periode transisi ini sudah memadai. Mereka umumnya siap membela dan mendukung SP-TP dan pekerja pada saat diperlukan penyelesaian perselisihan. SP/SB juga menjadi wahana yang efektif untuk mengurangi keresahan buruh dalam skala besar, karena temuan SMERU menunjukkan bahwa SP/SB cenderung mengutamakan negosiasi di tingkat nasional dan hanya melakukan pemogokan sebagai upaya terakhir. Namun, umumnya peranan SP-TP

dianggap lebih penting daripada SP/SB Gabungan karena mereka mempunyai hubungan langsung dengan pekerja/buruh maupun pengusaha yang akan mempengaruhi stabilitas hubungan industrial di Indonesia. Wakil SP-TP yang diwawancarai beranggapan bahwa Federasi SP/SB yang telah lebih lama terbentuk lebih efektif dan lebih profesional daripada yang baru terbentuk. Karena alasan ini SP-TP cenderung memilih Federasi SP/SB yang lebih berpengalaman dalam berorganisasi dan melaksanakan kegiatannya. Tetapi, Federasi SP/SB yang sama meskipun telah lama terbentuk mungkin saja mendapat penilaian yang berbeda dari wilayah yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pengurus di tingkat kabupaten dan kota sangat mempengaruhi efektivitas gabungan SP/SB. Perselisihan antara pekerja dan pengusaha di sejumlah perusahaan yang penyelesaiannya belum jelas cenderung menjadi pemicu dibentuknya SP-TP. Umumnya, kebanyakan perusahaan mendukung dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh karena mereka memahami manfaat potensial keberadaan SP-TP bagi perusahaan. Tim Peneliti SMERU menemukan bahwa SP-TP jarang dibentuk di perusahaan yang telah memiliki prosedur penyelesaian perselisihan industrial yang efektif. Tim peneliti juga mencatat bahwa umumnya para pengusaha mengakui manfaat SP-TP setelah organisasi ini dibentuk, khususnya ketika harus melakukan perundingan dengan pekerja. Namun, ada sejumlah perusahaan yang mencoba menghalangi dibentuknya SP/SB karena mereka merasa bahwa adanya organisasi pekerja/buruh akan menjadi beban perusahaan. Pada saat yang sama, sejumlah kecil perusahaan justru melontarkan gagasan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaannya. Ratifikasi Konvensi ILO No 87 dan diundangkannya UU No 21, 2000 juga telah memungkinkan pembentukan beberapa SP-TP dalam satu perusahaan. Adanya beberapa SPTP di dalam satu perusahaan ditemukan di beberapa perusahaan responden. Umumnya hal ini tidak menyebabkan masalah atau menimbulkan konflik di antara serikat-serikat itu. Namun, perusahaan, SP-TP dan pekerja cenderung memilih tidak lebih dari satu SP/SB di dalam satu perusahaan. Mereka mengajukan usul bahwa SP/SB dibentuk berdasarkan persentase jumlah total pekerja dalam tiap perusahaan. Yang lain mengusulkan agar persyaratan minimum jumlah anggota untuk membentuk SP/SB diubah, yaitu dari minimum 10 anggota menjadi 100 orang anggota. Kesepakatan Bersama dan Penyelesaian Perselisihan Kebanyakan pengusaha telah memastikan bahwa upah minimum dan hak-hak normatif pekerja telah dilaksanakan meskipun perusahaan sedang menanggung beban berat akibat adanya krisis ekonomi di Indonesia. Di luar isu yang menyangkut upah minimum yang berkaitan dengan kebijakan hubungan industrial, temuan Tim Peneliti SMERU menunjukkan bahwa aspek-aspek hubungan industrial di tingkat perusahaan pada umumnya berfungsi dengan baik. Para pengusaha telah mematuhi peraturan dan kesepakatan baru sebagaimana telah ditentukan melalui perjanjian tripartit. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan perselisihan yang sering muncul di antara pekerja, pengusaha dan perwakilannya dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, mengingat dengan sistem yang ada saat ini hanya sedikit yang menggunakan mekanisme penyelesaian perselisihan tripartit. Baik pekerja maupun pengusaha berpendapat bahwa hanya sedikit indikasi serius mengenai adanya ketegangan dalam hubungan pekerja dan pengusaha. Sekalipun demikian, kedua belah pihak mengakui bahwa saat ini mereka sedang dalam taraf belajar: para pekerja belajar mengenai kebebasan berorganisasi, menyampaikan tuntutannya, dan mencari metode yang lebih baik dalam berunding, sementara pengusaha sedang belajar untuk menganggap pekerjanya sebagai mitra kerja. Dalam kasus-kasus dimana perselisihan terjadi, temuan penelitian SMERU menunjukkan bahwa penyebab utama pemogokan dan perselisihan hubungan industrial adalah tuntutan

pekerja atas hak-hak non-normatif. Hal ini mencerminkan ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja; perusahaan tidak memenuhi hak-hak normatif pekerja sebagaimana dicantumkan dalam berbagai aturan yang telah disepakati bersama dalam Kesepakatan Kerja Bersama dan Perjanjian Kerja Bersama; campur tangan dan keterlibatan pihak ke tiga, dan tekanan dari sejumlah pekerja di perusahaan terhadap sesama pekerja lainnya agar turut mendukung semua protes yang dilancarkan. Untuk mengatasi isu-isu tersebut, adanya berbagai bentuk peraturan kerja (misalnya peraturan perusahaan, perjanjian atau kontrak kerja) adalah cara yang efektif untuk meningkatkan hubungan industrial yang harmonis. Perusahaan yang secara kontinu melaksanakan peraturan perusahaan biasanya benar-benar menjaga hubungan industrial yang baik antara pekerja dan perusahaan. Di samping itu, pengusaha mengakui bahwa perjanjian atau kontrak kerja adalah bahan acuan yang efektif untuk mencari penyelesaian dalam perselisihan hubungan industrial. Namun, semua pihak menyadari bahwa dokumen tersebut tidak menjamin bahwa tidak akan terjadi perselisihan industri atau mencegah terjadinya pemogokan, terutama ketika hal tersebut disebabkan oleh isu-isu di luar tempat kerja, misalnya karena adanya tuntutan kenaikan upah minimum yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM. Workplace regulations are often used to promote harmonious industrial relationsPeraturan kerja sering digunakan untuk meningkatkan hubungan industrial yang harmonis Sementara itu, penyusunan perjanjian/kontrak kerja masih tetap menjadi topik kontroversial. Meskipun biasanya baik pengusaha maupun pekerja terlibat dalam penyusunan perjanjian/kontrak kerja, SMERU menemukan bahwa masih ada sejumlah kecil kasus dimana perjanjian/kontrak kerja ditetapkan oleh pihak pengusaha, sedangkan pengurus SP-TP hanya membaca dan menyetujui isinya. Untuk meningkatkan hubungan industrial di masa yang akan datang, baik pengusaha maupun pekerja harus diberi kesempatan untuk ikut menyusun perjanjian kontrak kerja. Dalam menjalankan peranannya sebagai fasilitator, sangat penting bahwa pemerintah memberikan program pendidikan yang mengetengahkan manfaat yang diperoleh bila pengusaha dan pekerja bersama-sama menciptakan dan melaksanakan peraturan tempat kerja, juga bila perselisihan yang ada diselesaikan melalui perundingan. Work relationships should be based on mutual trust, appreciation and assistanceHubungan kerja seharusnya berdasarkan saling percaya, saling menghargai dan saling membantu Dalam sistem hubungan industrial yang lebih terbuka dan terdesentralisasi yang menekankan pada perundingan di tingkat perusahaan, dibutuhkan mekanisme penyelesaian perselisihan yang fungsional, jelas, dimana kedua belah pihak mempunyai kedudukan setara sehingga sistem ini dapat diandalkan oleh semua pihak yang terlibat. Sekali lagi, hal ini menggarisbawahi perlunya pemerintah menyusun peraturan perundangan yang tidak hanya memberikan persamaan hak dan tanggung jawab bagi semua pihak, tetapi juga peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap hubungan industri. Lebih lanjut, untuk mengatasi kesalahpahaman atau menerima informasi yang tidak tepat mengenai peraturanperundangan itu pemerintah sebaiknya memberikan pendidikan dan bimbingan mengenai pemahaman dan pelaksanaan peraturan dan perundangan terkait di masa yang akan datang.n

1 Batasan perselisihan industrial dalam studi ini adalah: perselisihan antara perusahaan dengan
pekerja/buruh yang melibatkan lebih dari satu orang; tidak bereaksi secara individu; tidak selalu harus mengganggu proses produksi; dan ada proses perundingan.2 Laporan lengkap dari studi ini dapat dilihat pada laporan Lembaga Penelitian SMERU,Hubungan Industrial in Jabotabek, Bandung, dan Surabaya di Era Kebebasan Berorganisasi, Mei 2002.

http://pukmusashi.blogspot.com/2005/10/hubungan-industrial-di-era-kebebasan.html

erikat Buruh/ Serikat Pekerja di Indonesia Februari, 2011 Sebuah Potret Pasca Reformasi
SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (19981999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (20002001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undangundang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undangundang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh. Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.

Kategorisasi Serikat
Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata reformasi atau baru di belakangnya, antara lain

membuktikan kerentanan tersebut. Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI.

Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikatserikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsiplebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi. Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh.

Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan.

Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep

ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh.

Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrikpabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru.

Makna Kebebasan Berserikat


Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu kategorinya. Sebagaimana disinggung oleh Herawati, banyaknya jumlah serikat buruh tidak berarti bertambahnya jumlah buruh yang diorganisasi dan menjadi anggota serikat buruh. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada paruh pertama sewindu kebebasan berserikat, serikat-serikat buruh yang muncul masih terfokus pada sektor industri manufaktur dan memiliki kecenderungan memancing di kolam yang sama, dengan merekrut anggota yang sudah menjadi anggota serikat buruh lain (lihat juga Tjandraningsih 2002). Mereka tidak mengorganisasikan buruh yang belum mengenal serikat buruh atau yang belum menjadi anggota serikat buruh. Dalam paruh kedua perkembangan, pengorganisasian buruh meluas ke sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, transportasi, pos, perkebunan, dan lain-lain yang membawa implikasi, penyebaran kesadaran berorganisasi kepada kaum pekerja dan buruh yang sebelumnya tidak terorganisasi. Penyebab kedua, tidak bertambahnya jumlah anggota serikat buruh adalah makin berkurangnya minat buruh untuk berserikat karena bekerjanya rezim fleksibilitas. Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan SB/SP (Tornquist 2007).

Konteks menuju negara demokratis menjadi salah satu elemen tata pergaulan internasional. Di dalam tata pergaulan tersebut, Indonesia, sebagai negara berkembang, sangat membutuhkan pengakuan internasional dan modal internasional. Ratifikasi konvensi dan diundangkannya kebebasan berserikat,

pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan pencitraan internasional bahwa Indonesia sedang berubah. Untuk itu, harus ada simbol perubahan yang diterima masyarakat internasional, dalam hal ini, UU kebebasan berserikat merupakan salah satu simbol tersebut. Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi: manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan kesempatan yang ada.

Tantangan Serikat

Bagaimanapun, sejarah mencatat, dalam dunia keserikatburuhan di Indonesia, pernah muncul berbagai serikat buruh dengan keragaman cirinya. Ini bisa dilihat dalam catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga tahun 2004. Pada kenyataannya, ada lebih banyak SB/SP di Indonesia, dengan berbagai alasan tidak mendaftarkan diri di Depnakertrans. Serikat-serikat yang tercatat ini terkonsentrasi pada beberapa sektor padat karya seperti, tekstil, garmen dan kulit, kimiaenergi-pertambangan, jasa keuangan dan pariwisata, kayu dan kehutanan, perkebunan, logam dan mesin, serta makanan-minuman-tembakau. Meskipun demikian, kebanyakan serikat mengklaim mempunyai basis di hampir semua sektor. Dalam kaitannya dengan organisasi internasional, sebagian serikat buruh di Indonesia, berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, afiliasi tersebut secara umum belum menjadi strategi serikat buruh di Indonesia. KSPSI, misalnya, sebagai konfederasi terbesar karena sejarahnya sebagai serikat buruh kuning, hingga kini tidak berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, telah mendeklarasikan diri sebagai serikat independen pascareformasi. Ini berbeda dengan KSPI yang berafiliasi dengan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) dan SBSI berafiliasi dengan World Congress of Labour. Kedua serikat internasional tersebut kini bersatu menggalang kekuatan dan mengubah namanya menjadi International Confederation of Trade Union.

Di samping kedua serikat internasional tersebut, serikat buruh di Indonesia juga berafiliasi dengan serikat internasional lainnya seperti, Global Union Federation (GUF). Dari seluruh populasi federasi serikat buruh, terdapat 19 serikat yang berafiliasi dengan anggota GUF: Union Network International: 1 serikat (ASPEK); Public Service International: 2 serikat ; International Union for Food: 2 serikat (SBNI dan FSPM); International Transport Federation: 6 serikat (SP KA, KPI, STA SBSI, SP TPK, IAK Garuda Indonesia, Trade union of JICT); International Textile Garment Leather Wear Federation: 1 serikat (SPN); International Metal Federation: 1 serikat (SPMI); International Federation for Journalist: 1 serikat (AJI); International Federation of Building and Wood Workers: 3 serikat (FSP Kahutindo, FKUI, SP BPU); Education International: 2 serikat (PGRI, FESDIKARI SBSI).

Di lingkungan ketiga konfederasi, informasi mengenai afiliasi internasional dan kebijakan serta program yang muncul dari afiliasi tersebut, cenderung terpusat di konfederasi dan federasi. Sementara, di federasi-federasi yang baru informasi mengenai afiliasi tersebut diketahui para anggotanya hingga tingkat unit kerja. Hal itu merupakan konsekuensi dari struktur organisasi federasi non-SPSI, yang lebih sederhana dan langsung menjangkau serikat di unit kerja, dibandingkan dengan struktur organisasi SPSI yang bertingkat banyak (lihat tulisan Herawati). Faktor lain, adalah kebijakan federasi internasional, yang ingin langsung menurunkan programnya di tingkat basis sebagai kekuatan pokok serikat. Kesenjangan hubungan di dalam struktur organisasi serikat telah menjadi perhatian beberapa serikat dan donor internasional, setelah mengetahui lemahnya kualitas dan kapasitas basis meskipun, berbagai program pendidikan keserikatburuhan sudah dilaksanakan. Kesenjangan tesebut menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi kerjasama dengan serikat yaitu,

orientasi kerjasama yang lebih kepada serikat di tingkat unit kerja daripada dengan serikat pusat. Program langsung dengan basis diyakini akan lebih efektif dalam upaya penguatan serikat pekerja/buruh.

Situasi krisis hingga kini menyajikan berbagai tantangan baru yang lebih rumit bagi serikat buruh. Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguran yang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasar tenaga kerja dan fleksibilitas produksi (Tjandraningsih & Nugroho 2007, akan terbit). Rezim ini dengan sangat efektif menggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseran status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidak mengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitas hubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangka pendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematis bagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitas telah menciptakan kondisi dimana bekerja dan berserikat tak bisa lagi dipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikat buruh.

Tantangan eksternal lain datang dari strategi kapitalisme global, yang memunculkan persaingan ketat antarnegara dalam memperebutkan investasi dan dari kebijakan nasional menyangkut desentralisasi atau otonomi daerah. Tantangan-tantangan tersebut membawa implikasi, rendahnya posisi tawar serikat terhadap negara dan modal serta, masih kecilnya pengaruh serta keterlibatan serikat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah ketenagakerjaan dan pasar kerja. Pada saat yang sama serikat buruh juga menghadapi tantangan internal klasik, yang mencakup masalah-masalah organisasi dan sumber daya manusia. Karakteristik tenaga kerja yang telah berubah, juga memerlukan pemikiran dan rumusan baru untuk bisa diorganisasi. Kelemahan organisasional dan s umber daya manusia, merupakan kondisi objektif yang masih terus harus dihadapi SB/SP. Hal ini sangat terkait dengan sejarah SB/SP semasa Orde Baru dan karakteristik objektif angkatan kerja di Indonesia. Angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendahlebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja. Selain menyangkut tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah makin terpisahnya mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh karena bekerjanya secara simultan berbagai faktor, yang terutama didominasi oleh persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi. Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.**** Indrasari Tjandraningsih, adalah Peneliti Perburuhan AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung.

http://www.fsppb.or.id/index.php/seputar-ketenagakerjaan/48-serikat-buruhserikat-pekerjadi-indonesia

Anda mungkin juga menyukai