Anda di halaman 1dari 15

73

IV. PEMBAHASAN

4.1. Hasil dan Pembahasan

4.1.1. Uji Asumsi Ordinary Least Square (OLS)

Berikut ini adalah pembahasan mengenai uji asumsi Ordinary Least Square

(OLS):

4.1.1.1. Uji Asumsi Normalitas

Uji normalitas dalam penelitian ini bertujuan apakah data yang digunakan

mempunyai distribusi normal atau tidak. Data yang baik memiliki distribusi

normal atau mendekati normal. Dalam uji Jarque-Bera (JB), jika residual

terdistribusi secara normal maka diharapkan nilai statistik JB akan sama dengan

nol. Jika nilai probabilitas ρ dari statistik JB besar atau dengan kata lain jika nilai

statistik dari JB ini tidak signifikan maka menerima hipotesis bahwa residual

mempunyai ditribusi normal karena nilai statistik JB mendekati nol. Dengan

pengujian hipotesis:

H0: data tersebar normal

Ha: data tidak tersebar normal

Kriteria pengujiannya adalah:

(1) H0 ditolak dan Ha diterima, jika P Value < α 5%

(2) H0 diterima dan Ha ditolak, jika P Value > α 5%


74

Berdasarkan uji statistik JB pada Lampiran 2 , nilai statistiknya sebesar 0,429412

dengan probabilitasnya cukup besar 0,806 atau 80,6%. Maka dapat diambil

kesimpulan residual didistribusikan secara normal.

4.1.1.2. Uji Asumsi Heteroskedastisitas

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program

Eviews 4.0 dan menggunakan uji White Heteroskedasticity Test. Untuk uji asumsi

Heteroskedastisitas (lampiran 3) diperoleh nilai signifikansi sebagai berikut:

Tabel 8. Hasil uji asumsi heteroskedastisitas untuk data variabel PPh, inflasi,
pertumbuhan ekonomi, dan harga minyak internasional.

White Heteroskedasticity Test:


F-statistic 1.277877 Probability 0.338811
Obs*R-squared 10.76639 Probability 0.292063
Sumber : Output White Heteroskedasticity Test,Eviews 4.0

Uji white dapat menjelaskan apabila nilai probabilitas obs*R-square lebih kecil

dari α (5%) maka data bersifat heteroskedastis. Sebaliknya bila nilai probabilitas

obs*R-square lebih besar dari α (5%) maka data bersifat tidak heteroskedastis.

Hasil pengujian White Heteroskedasticity Test dapat dilihat bahwa nilai

probabilitas obs*R-square lebih besar dari α (5%) yaitu sebesar 0,292063.

artinya tidak ada gejala heteroskedastisitas, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa tidak ditemukan masalah heteroskedastisitas pada model regresi.

4.1.1.3. Uji Asumsi Autokorelasi

Uji Breusch-Godfrey

Metode untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara kesalahan pengganggu

dapat dilakukan dengan uji BG atau sering disebut LM test. Ada tidaknya
75

autokorelasi dapat dilihat bahwa probability dari Obs*R-square hasil pengujian

dengan uji Breusch-Godfrey:

Bila probability > α = 5%, berarti tidak ada autokorelasi.

Bila probability ≤ α = 5%, berarti terjadi autokorelasi.

Berikut disajikan tabel hasil pengujian dengan uji Breusch-Godfrey dengan

menggunakan software eviews 4.0:

Tabel 9. Hasil uji asumsi autokorelasi dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:


F-statistic 1.296212 Probability 0.300796
Obs*R-squared 3.067558 Probability 0.215719
Sumber: Output uji Autokorelasi dengan metode Breusch-Godfrey,Eviews.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey

diperoleh nilai probability dari Obs*R-square yaitu sebesar 0,215719.

Hal ini berarti probability > α = 5%, maka dapat disimpulkan bahwa model

regresi terbebas dari masalah autokorelasi.

4.1.1.4. Uji Asumsi Multikolinieritas

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program

EVIEWS untuk uji asumsi Multikolinieritas (lampiran 2) diperoleh nilai

signifikansi sebagai berikut:

Tabel 10. Hasil uji asumsi multikolinieritas untuk variabel bebas (inflasi,
pertumbuhan ekonomi, dan harga minyak internasional)
Collinearity Statistics
Model
Tolerance VIF
1 INFLASI 0,926 1,080
PERTUMEK 0,916 1,092
HARGAMIN 0,988 1,012
Sumber: Output uji Autokorelasi
76

Berdasarkan data diatas, terlihat untuk semua variabel bebas inflasi, pertumbuhan

ekonomi, dan harga minyak internasional memiliki nilai VIF 1 atau dibawah 5,

dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model regresi ini tidak terdapat

masalah multikolinieritas sehingga asumsi OLS sudah terpenuhi.

4.1.2. Pengujian Hipotesis

Hasil Perhitungan

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program Eviews

for windows didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut :

PPh = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + e

PPh = -31625.68 + 4824.432 X1 + -7922.922 X2 + 3432.710 X3

(2090.205) (3386.138) (319.9343)

Keterangan :

PPh = penerimaan pajak penghasilan

X1 = inflasi

X2 = pertumbuhan ekonomi

X3 = harga minyak internasional

e = error term

R² : 0,878618

F hitung : 43,43082

t hitung inf : 2,308114

t hitung pe : -2,339811

t hitung hargamin : 10,72942


77

LM test

Obs*R-squared: 3,067558 Probability: 0,215719

Setiap nilai koefisien variabel-variabel bebas menggambarkan pengaruh antara

variabel tersebut dengan variabel terikat.

4.2.1 Pengujian Secara Partial (Uji t)

Pengujian Keberartian Secara Partial dilakukan untuk mengetahui pengaruh

variabel bebas terhadap variabel terikat secara partial. Pengujian ini dilakukan

pada tingkat kepercayaan 95 % dengan df = n-k-1= 13-3-1 = 9. Apabila diketahui

t hitung > t tabel berarti hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha)

diterima, dan sebaliknya.

Tabel 11. Uji Keberartian Parsial

Variabel Bebas t hitung t tabel Kesimpulan


Inf 2,308114 1,734 Ho ditolak
Pe -2,339811 1,734 Ho ditolak
Hargamin 10,72942 1,734 Ho ditolak

Berdasarkan Tabel 11 di atas, secara statistik variabel inflasi, pertumbuhan

ekonomi dan harga minyak internasional berpengaruh secara nyata terhadap

penerimaan pajak penghasilan di Indonesia.

4.2.2 Pengujian Keberartian Keseluruhan (Uji F)

Pengujian secara serentak dengan uji Fisher dilakukan untuk mengetahui

pengaruh secara keseluruhan variabel bebas dan variabel terikat. Pengujian ini

dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % atau α 0,05 dengan df1 = k-1 = 3-1 =2
78

dan derajat kebebasan df2 = n-k = 13-3 = 10. Apabila F hitung > Ftabel, maka

hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima.Hasil perhitungan

uji F dapat dilihat pada tabel 12 berikut:

Tabel 12. Uji Keberartian Keseluruhan (Uji F)

F hitung F tabel Kesimpulan


43,43082 3,52 Ho ditolak, Ha diterima

Dari Tabel 12 di atas maka dapat diambil kesimpulan yang menyatakan bahwa Ho

ditolak Ha diterima. Hal tersebut secara statistik berarti bahwa secara keseluruhan

masing-masing variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi dan harga minyak

internasional berpengaruh nyata terhadap penerimaan pajak penghasilan di

Indonesia.

4.3 Pembahasan

Hasil pengujian menggunakan program komputer EVIEWS, diperoleh koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,878618 yang berarti bahwa variabel bebas inflasi,

pertumbuhan ekonomi dan harga minyak internasional memiliki pengaruh nyata

sebesar 87,86 persen terhadap penerimaan pajak penghasilan di Indonesia.

Sementara sisanya 12,14 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar model

penelitian ini.

Tingkat Elastisitas variabel bebas

Tingkat elastisitas digunakan untuk mengetahui besarnya perubahan variabel

terikat Y akibat perubahan yang terjadi pada variabel bebas X, dengan asumsi

variabel lain tetap.


79

Rumus yang digunakan adalah

Xi
Ex = xbxi
Yi

(J supranto, 2002:211)

Keterangan:

Ex= elastisitas variabel X

Yi= rata rata variabel Y

b = koefisien regresi variabel bebas

Xi = rata rata variabel X

Berdasarkan rumus diatas maka perhitungan tingkat elastisitas variabel bebas

adalah sebagai berikut:

1. tingkat elastisitas inflasi (X1)

X1
EX 1 = xbx1
Y

8,2173
EX 1 = X 4824,432 = 0,641852
61764,5545

2. tingkat elastisitas pertumbuhan ekonomi (X2)

X2
Ex 2 = xbx 2
Y

5,6750
Ex 2 = x − 7922,922 = -0,727967
61764,5545
80

3. tingkat elastisitas harga minyak internasional (X3)

X3
Ex3 = xbx 3
Y

28,7555
Ex3 = x3432,710 = 1,59815
61764,5545

a. Untuk variabel bebas inflasi, koefisien regresi (b1) yang bersifat positif

menunjukkan bahwa inflasi memiliki hubungan yang positif terhadap

pendapatan PPh, yaitu peningkatan inflasi akan diikuti oleh peningkatan

pendapatan PPh. Koefisien hasil perhitungan elastisitas inflasi sebesar 0,64

menunjukkan kelenturan inflasi terhadap nilai PPh. Artinya peningkatan

inflasi sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan pendapatan

PPh sebesar 0,64 persen, dengan asumsi variabel lain tetap (ceteris

paribus).

b. Untuk variabel bebas pertumbuhan ekonomi, koefisien regresi (b2) yang

bernilai negatif menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki

hubungan negatif yang terhadap pendapatan PPh, yaitu penurunan

pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan PPh. Koefisien

elastisitas sebesar -0,723 menunjukkan kelenturan pertumbuhan ekonomi

terhadap pendapatan PPh, Artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi

sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan pendapatan PPh sebesar

-0,723 persen,dengan asumsi peubah lain tetap (ceteris paribus).

c. Untuk variabel bebas harga minyak internasional, koefisien regresi (b3)

yang bernilai positif menunjukkan bahwa harga minyak internasional

memiliki hubungan positif yang terhadap pendapatan PPh, yaitu


81

peningkatan harga minyak internasional akan meningkatkan pendapatan

PPh. Koefisien elastisitas sebesar 1,598 menunjukkan kelenturan harga

minyak internasional terhadap pendapatan PPh, Artinya peningkatan harga

minyak internasional sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan

pendapatan PPh sebesar 1,598 persen, dengan asumsi variabel lain tetap

(ceteris paribus).

4.5 Implikasi Hasil Perhitungan

Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa inflasi berpengaruh nyata dan

positif terhadap pendapatan PPh Indonesia periode 1986-2007. Inflasi ditengarai

memiliki efek negatif bagi perekonomian. Secara umum rumah tangga dan

perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi dan

tidak dapat diprediksikan (hiperinflasi) dan di Indonesia kisaran inflasi masih

dalam kategori inflasi rendah hingga sedang, yaitu antara 5 hingga 17 persen.oleh

kareana itu tak ada permasalahan dalam daya beli masyarakat. Hal ini tercermin

dalam stabilnya angka konsumsi masyarakat seperti pada lampiran. Pertumbuhan

konsumsi masyarakat yang terus meningkat dapat menyokong produksi barang

dan jasa pada sektor produksi (perusahaan). Naiknya konsumsi akan

meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga perusahaan dapat membayar

pajak penghasilan lebih tinggi. Dalam teori, menurut Lipsey (1998), Ada

beberapa dampak yang dapat ditimbulkan oleh inflasi yaitu:

a. Efek Terhadap Pendapatan (Equity Effect)

Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada

juga yang diuntungkan dengan adanya inflasi seseorang yang memperoleh


82

pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang

yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian

karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapat keuntungan

dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan

dengan persentase yang lebih besar dari laju inflasi. Atau mereka yang

mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan presentase yang

lebih besar dari laju inflasi. Adanya serikat buruh yang kuat kadangkala

berhasil dalam menuntut kenaikkan upah dengan presentase yang lebih besar

dari laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya

perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat. Hal

ini mendukung hasil penelitian ini dimana dengan kenaikan inflasi

menyebabkan pendapatan perusahaan ikut meningkat dikarenakan adanya

kenaikan harga barang (dengan asumsi volume pembelian masyarakat dianggap

stabil). Dan apabila kita melihat data tahunan konsumsi masyarakat, ternyata

konsumsi masyarakat selau meningkat. Konsumsi masyarakat yang terus

meningkat mendorong kenaikan pendapatan perusahaan. Adanya kenaikan akan

pendapatan perusahaan akan membuat penerimaan pendapatan pajak

penghasilan ikut meningkat.

b. Efek Terhadap Efisiensi (Efficiency Effect)

Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini

dapat terjadi melalui kenaikkan permintaan akan berbagai macam barang yang

kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa

barang tertentu dengan adanya inflasi, permintaan akan barang tertentu


83

mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian

mendorong kenaikkan produksi barang tersebut. Sama seperti poin a kenaikan

produksi barang menyebabkan pendapatan perusahaan ikut meningkat

dikarenakan adanya kenaikan harga barang (dengan asumsi volume pembelian

dianggap tetap). Adanya kenaikan akan pendapatan perusahaan akan membuat

penerimaan pendapatan pajak penghasilan ikut meningkat.

c. Efek Terhadap Output (Output Effect)

Inflasi dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam

keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikkan upah

sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikkan keuntungan ini akan

mendorong kenaikkan produksi. Namun apabila laju inflasi itu cukup tinggi

(hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output.

Dan di indonesia, inflasi tahunan masih dapat digolongkan inflasi yang tidak

terlalu tinggi. Apabila produksi barang ikut naik, maka kenaikkan produksi ini

sedikit banyak dapat mengerem laju inflasi, di saat yang sama ketika produksi

barang pada perusahaan meningkat, dan dianggap bahwa daya beli masyarakat

tetap tentu meningkatkan pendapatan perusahaan, juga pendapatan karyawan.

Ketika pendapatan meningkat, maka pajak penghasilan yang dibayarkan juga

meningkat. Diikuti dengan penerimaan negara dari sektor PPh.

Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi

berpengaruh nyata dan negatif terhadap pendapatan PPh Indonesia periode 1986-

2007. Hasil perhitungan ini bertolak belakang dengan hipotesis bahwa

pertumbuhan ekonomi berhubungan positif dengan penerimaan PPh. Hal ini


84

dikarenakan Pertumbuhan ekonomi masih dimotori oleh konsumsi. Sementara

investasi dan ekspor, namun perannya sebagai penggerak perekonomian relatif

masih terbatas. Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, tidak dapat lepas dari

perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem perekonomian dunia.

Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang membaik dan lebih stabil

hingga 2007 sebagaimana yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang

meningkat. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi yang terjadi masih belum

memadai untuk menyerap tambahan angkatan kerja sehingga jumlah

pengangguran masih mengalami kenaikan. Namun, dengan perkembangan

perekonomian yang dicapai saat ini, Indonesia masih harus menghadapi

permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang

berkembang, yang sedang melaksanakan pembangunan. Pembangunan tersebut

tentunya memerlukan dana dalam jumlah yang besar.

Mengenai masalah pertumbuhan ekonomi, bila kita analisa dengan penelitian ini

kita lihat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya meningkat,

namun daya serap akan lapangan kerja masih beluh mencukupi. Terbukti dengan

masih tingginya angka pengangguran. Seperti teori yang dikemukakan oleh A.W.

Phillips, pada saat terjadinya depresi ekonomi Amerika Serikat tahun 1929, terjadi

inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Didasarkan

pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan

tingkat pengangguran. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang

erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi,

maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan

kurva Phillip. Bila kita kaitkan dengan yang terjadi di Indonesia, inflasi di
85

Indonesia masih dalam taraf rendah hingga sedang, berarti pengangguran masih

tinggi. Peningkatan angkatan kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan

lapangan kerja yang tersedia terus menunjukkan jurang (gap) yang terus

membesar. Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia

adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal

tersebut disebabkan karena, pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar

dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan. Angka

pengangguran di Indonesia dapat kita lihat pada grafik dibawah ini:

Gambar 4. Pengangguran di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi di indonesia meskipun tiap tahunnya bertambah, akan

tetapi masih terkendala dengan adanya angka pengangguran yang cukup tinggi,

serta masih terbatasnya lapangan kerja di indonesia belum cukup menyerap angka

pengangguran (hal ini berhubungan dengan jumlah perusahaan yang ada serta

investasi) Pada sisi lain, kegiatan investasi tidak mengalami perbaikan signifikan,
86

berarti sebagai indikasi tingkat investasi yang rendah. Dengan demikian, ekspansi

produksi dan penciptaan lapangan kerja baru di dalam negeri mengalami

perlambatan atau bahkan stagnan.

Bila kita kaitkan dengan penulisan ini, mengapa terjadi hubungan yang negatif

antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan PPh, hal ini dikarenakan masih

belum maksimalnya jumlah penduduk yang berpenghasilan dan jumlah

perusahaan (investasi) yang rendah. Dengan kata lain, jumlah pengangguran

masih tinggi, investasi yang belum mencukupi menjadi faktor yang belum

memaksimalkan pendapatan PPh padahal jumlah masyarakat yang

berpenghasilan dan jumlah perusahaan mencerminkan jumlah yang menjadi wajib

pajak.

Kenaikan harga minyak dunia akan berdampak terhadap perekonomian global.

Kenaikan harga minyak akan berdampak signifikan apabila kenaikannya bersifat

parsisten dan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Aktivitas

perdagangan dunia yang masih lesu mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor

Indonesia, khususnya komoditas nonmigas, relatif rendah. Dalam situasi

demikian, kinerja ekspor secara nominal sangat terbantu oleh meningkatnya harga

komoditas migas dan nonmigas di pasar internasional sehingga secara

keseluruhan nilai ekspor masih mengalami kenaikan yang signifikan. Adanya

peningkatan harga minyak internasional mempengaruhi keuntungan berbagai hal

yang terkait dengan minyak bumi. Apakah inustri pengolahan minyak bumi,

penjualan hasil olahan minyak bumi (BBM) yang mana dalam hal ini ketika harga

BBM meningkat, seperti yang kita ketahui bahwa BBM merupakan kebutuhan

esesensial dan masih belum banyak energi alternatif penggantinya. Maka


87

kebutuhan akan BBM kita asumsikan tetap sehingga ketika harga hasil olahan

minyak bumi meningkat, maka keuntungan perusahaan pengolahan minyak bumi

dan perusahaan penjual minyak bumi dan hasil olahannya akan mendapatkan

keuntungan yang meningkat pula. Sehingga pajak penghasilan yang diberikan

akan meningkat pula.

Anda mungkin juga menyukai