Identitas Pasien
Nama pasien Umur Jenis kelamin Alamat Agama Suku bangsa Status marital Pendidikan Pekerjaan Tanggal Pemeriksaan : An. R : 6 tahun : Perempuan : Pasundan : Islam : Sunda : Belum Menikah : Kelas 1 SD : Pelajar : 21 September 2011
Riwayat pekerjaan Pasien belum pernah bekerja. Kehidupan psikoseksual Kepribadian sebelum sakit Pasien merupakan anak yang pemalu terutama jika berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya. Sangat bergantung dengan ibu. Kehidupan Emosional Setelah pasien ditinggal oleh paman dan bibi, pasien menjadi sering sedih, lebih pendiam, sering ngambek dan mudah marah jika keinginannya tidak dipenuhi.
Konsep dan konsekuensi terhadap: Moral : baik Agama : baik Sosial : baik
Hubungan Sosial Pasien bisa berteman baik dengan anak seusianya. Pemalu jika bertemu dengan orang yag baru dikenalnya.
Status Fisik
Tanda Vital Kesadaran Nadi Respirasi Suhu
Status Psikiatrikus
Roman muka Kesadaran Kontak/Rapport Orientasi Perhatian Persepsi Ingatan Pikiran
Bentuk pikiran Jalan pikiran Isi pikiran
: Malu-malu : Compos mentis : Ada/kurang adekuat : baik : Cukup : Ilusi (-) halusinasi (-) : Baik
: realistik : koheren : waham (-)
Status Psikiatrikus
Emosi Mood: cemas Afek: sesuai Tingkah laku : normoaktf, negativisme Bicara : kurang spontan, relevan Insight of illness : belum dapat dinilai Dekorum : Kebersihan: cukup Kerapian: cukup Sopan santun: cukup
Diagnosa Banding
Axis I
Axis II Axis III Axis IV Axis V
: DD/ Gangguan Cemas Perpisahan (F 93.0) Gangguan Stres Paska-Trauma (F 43.1) : Gambaran Kepribadian Dependen : Tidak ada : Ancaman tertinggal pelajaran di sekolah : GAF 80-71
Penatalaksanaan
Psikoterapi: Faktor keluarga: dukungan keluarga dan perubahan pola asuh untuk melatih anak agar tidak terlalu dependen Faktor lingkungan:
Pindah kelas Pemberian kado berupa buku baru oleh teman yang mencubit dan merobek buku
Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam Quo ad functionam : Dubia ad bonam
PERMASALAHAN
Normative separation anxiety peaks between 9 months and 18 months and diminishes by about 2.5 years of age, enabling young children to develop a sense of comfort away from their parents in preschool. The expression of transient separation anxiety is also normal in young children entering school for the first time.
The worries may take the form of refusal to go to school, fears and distress on separation, repeated complaints of such physical symptoms as headaches and stomachaches when separation is anticipated, and nightmares related to separation issues.
Diagnosis DSM-IV-TR
1. Ciri diagnostik yang terpenting adalah anxietas yang berlebihan yang terfokus dan berkaitan dengan perpisahan dari tokoh yang akrab hubungannya dengan si anak (lazimnya dengan orangtua atau kerabat akrab lainnya) yang bukan hanya bagian dari anxietas umum bekenaan dengan aneka situasi.terdapat minimal tiga atau lebih gajala sebagai berikut : a) Tidak realistik, kekhawatiran yang mendalam kalau-kalau ada bencana yang akan menimpa tokoh yang lekat atau kekhawatiran orang itu akan pergi dan tidak akan kembali b) Tidak realistik, kekhawatiran mendalam akan terjadi peristiwa buruk, seperti misalnya anak akan kesasar, diculik atau dimasukkan dalam rumah sakit atau terbunuh, yang memisahkannya dari tokoh yang lekat dengan dirinya;
c) Terus menerus enggan atau menolak masuk sekolah, sematamata karena takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti kekhawatiran tentang peristiwa di sekolah); d) Terus menerus enggan atau menolak untuk tidur tanpa ditemani atau didampingi oleh tokoh kesayangannya; e) Terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan seorang diri, atau tanpa ditemani orang yang akrab di rumah pada siang hari f) Berulang mimpi buruk tentang perpisahan g) Sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit kepala, mual-mual dsb) pada peristiwa perpisahan dengan tokoh yang akrab dengan dirinnya, seperti keluar rumah untuk pergi ke sekolah
h) Mengalami rasa susah berlebihan (yang tampak dari anxietas, menangis, mengadat, merana, apati atau pengunduran sosial), pada saat sebelum, selama atau sehabis berlangsungnya perpisahan dengan tokoh yang akrab dengan dirinya. 2. Durasi ganguan sekurang-kuarang selama 4 minggu 3. Onset sebelum usia 18 tahun 4. Ganguan secara klisnis disebabkan karena stress atau gangguan yang signifikan dari sosial, akademis, atau area fungsi lainnya 5. Gangguan tidak terjadi selama adanya ganguan perkembangan pervasif, skizofrenia, atau gangguan psikotik dan pada remaja dan dewasa tidak terhitung sebagai gangguan panik dengan agorafobia
Spesifik jika : Onset awal : sebelum usia 6 tahun
perubahan perilaku dimulai ketika pasien berpisah dengan paman dan bibi yang sangat akrab dengannya,
perubahan suasana di sekolahnya yang menyebabkan pasien ini terpisah dari ibunya
ETIOLOGY
BIOPSYCHOSOCIAL FACTORS
BEHAVIORAL INHIBITION MATERNAL ATTACHMENT EXTERNAL LIFE STRESSES TEMPERAMENTAL TENDENCY
Etiologi
Tempramen yang cenderung pemalu atau menarik diri dari situasi yang tidak familiar beresiko tinggi untuk berkembanganya gangguan anxietas perpisahan, anxietas umum dan anxietas sosial atau ketiga-tiganya selama beberapa tahun usia selanjutnya.
Etiologi
Neurofisiologis pada behavioral inhibition: resting HR peningkatan HR ketika melakukan tugas yang memerlukan kemampuan kognitif. level kortisol di saliva, level katekolamin di urin dilatasi dari pupil.
Gangguan anxietas juga dapat memperlihatkan adanya ketakutan yang bersifat ganjil seperti rasa takut akan gelap, bersifat imajiner seperti merasakan bahwa orang-orang menatapnya atau ada monster/ hantu yang akan menangkapnya. Sering menimbulkan gejala somatik Anak menjadi lebih sensitif daripada temantemannya dan mudah menangis.
Gangguan anxietas perpisahan yang parah dapat menyebabkan anak menjadi sulit tidur. Mimpi buruk dan ketakutan yang tidak wajar bisa jadi merupakan ekspresi dari axietas tersebut. Seringnya bermimpi tentang ayah pada pasien ini memperlihatkan pasien sangat merasa kehilangan ayahnya.
MENGAPA PASIEN INI DIDIAGNOSA BANDING DENGAN GANGGUAN STRES PASKA TRAUMA?
Klasifikasi
Berdasarkan durasi gejalanya, gangguan stres paska trauma dapat diklasifikasikan atas: Akut: gejala telah muncul dalam waktu kurang dari tiga bulan Kronis: gejala telah muncul lebih lama dari tiga bulan Dengan onset yang tertunda: gejala muncul pertama kali enam bulan setelah stressor
Faktor Resiko
PPDGJ III
Diagnostik baru ditegakkan bilamana gangguan ini muncul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
PPDGJ III
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks) Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis namun tidak khas Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa)
DSM IV
Pasien ini
Stressor trauma: kejadian pencubitan dan perobekan buku oleh teman sekelasnya. Gambaran klinis: Perubahan perilaku (menolak menulis di sekolah), perubahan persepsi (melihat hantu di kelas) Menghindari secara aktif akan aktivitas atau pikiran yang dapat mengingatkan akan trauma (menolak menulis di buku, mengingatkan akan buku yang dirobek oleh teman)
Pasien ini
PPDGJ III Durasi yang muncul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik. Kurang lebih dua setengah bulan yang lalu pasien mengalami suatu kejadian traumatik di sekolahnya dan setelah itu gejala mulai muncul sehingga pasien ini dapat diklasifikasikan sebagai periode akut. Didapatkan perubahan tingkah laku
Pasien ini
Pasien telah mengalami suatu kejadian yang menyebabkan pasien mengalami ketakutan yang intens dan ketidakberdayaan (dicubit dan dirobek buku oleh anak laki-laki yang lebih kuat secara fisik hingga menangis). Didapatkan penghindaran yang persisten atas stimuli yang berhubungan dengan trauma (menolak menulis di buku, buku mengingatkan akan stresor trauma) Durasinya melebihi 1 bulan (kurang lebih dua setengah bulan) Terdapat gangguan fungsional (menolak untuk menulis di sekolah, dengan demikian menghambat kemajuan pembelajaran anak di sekolah) Diperlukan anamnesis yang lebih lanjut lagi untuk mengetahui adakah bayang-bayang atau mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang (Salah satu kriteria PPDGJ III dan DSM IV)
Pasien ini
Faktor resiko: Faktor pre-traumatik Gangguan psikiatri yang telah ada sebelumnya Faktor pre-traumatik lainnya meliputi: gender perempuan Faktor peri-traumatik Usia trauma (sekolah usia muda)
Terapi Farmakologi
Serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) yang sering digunakan untuk anak-anak dengan PTSD. Citalopram (Celexa) dari 20-40 mg. Pada orang dewasa Clonidine (Catapres) dan propanolol telah digunakan untuk untuk mengobati PTSD, terutama mimpi buruk dan ketakutan berlebihan. Clonidine oral, 0,05-0,1 mg, 2x1 hari . Imipramine (Tofranil) manfaat untuk tidur.
Terapi tingkah laku dan kognitif dapat diterapkan pertama kali. Dengan ini diharapkan seorang anak dapat terlibat dalam kegiatan sehari-hari dengan baik.
Fluvoxamine (Luvox) dapat mengobati gejala gangguan anxietas perpisahan. Respon terlihat minimal setelah 2 minggu pengobatan, dosis 50-250 mg per hari pada anak-anak dan sampai 300 mg per hari pada remaja. Dilanjutkan pada sampai 6 bulan yang respon terapi
Sebuah penelitian menunjukkan fluoxetine dengan dosis 20 mg per hari, aman dan efektif untuk anak-anak dengan gangguan ini, dengan efek samping ringan, seperti gangguan pencernaan, sakit kepala, dan mengantuk.
Terapi kognitif dan latihan relaksasi dapat digunakan sebagai strategi untuk mengendalikan kecemasan anak-anak. Intervensi keluarga juga penting dalam pengelolaan gangguan anxietas perpisahan terutama pada anak-anak yang menolak masuk sekolah dengan mendorong anak untuk tetap kehadiran ke sekolah.
PTSD yang ringan, gejala dapat bertahan selama 1 sampai 2 tahun setelah itu akan berkurang. PTSD yang berat gejala dapat bertahan selama bertahun-tahun, atau sebagian dari anak-anak tersebut dapat mengalami remisi spontan.