Anda di halaman 1dari 23

EPISTEMOLOGI

Zainul Maarif

Definisi Epistemologi
Epistemologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani: episteme (pengetahuan) dan logos (kajian, teori, atau logika). Epistemologi secara peristilahan adalah cabang filsafat yang mengkaji hal-hal terkait dengan pengetahuan manusia.

Tahu dan Tidak Tahu


Mengetahui adalah mempunyai kepastian bahwa apa yang dinyatakan dalam pernyataan, sungguh-sungguh benar dan sunguh-sunguh merupakan halnya. Tidak tahu adalah (1) tidak mempunyai pengetahuan, dan (2) memiliki kesesatan.

Bagaimana cara memperoleh Pengetahuan?


Sedikitnya ada lima jawaban yang menjawabnya: 1. Empirisme 2. Rasionalisme 3. Fenomenalisme 4. Intuisionisme 5. Metode Ilmiah

Empirisme
Empirisme mengatakan: pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman inderawi. John Locke, bapak empirime Britania mengatakan, pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku itu dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ideide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang pertama dan sederhana tersebut.

Rasionalisme
Rasionalisme mengatakan: pengetahuan diperolah dari akal. Pengalaman inderawi hanyalah perangsang bagi pikiran. Kebenaran hanya terdapat di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. Pengetahuan dengan demikiran diraih secara deduktif. Filsuf-filsuf rasionalis, seperti Descartes dan Spinoza, mencari kebenaran yang tak terbantahkan dari rasio lantas mendeduksikan yang lainnya dari kebenaran itu. Descartes mengatakan, aku meragukan segala sesuatu, kecuali bahwa aku meragu. Aku meragu karena aku berpikir. Dengan berpikir aku tahu bahwa aku ada. Cogito ergo sum.

Fenomenalisme
Menurut Immanuel Kant (filsuf Jerman), cara memperoleh pengetahuan tergantung pada macam pengetahuan. Pengetahuan, menurut Kant, ada empat macam: 1. Pengetahuan analitis a priori: diraih dengan menguraikan sesuatu rasional. Contoh: semua yang nyata itu ada. 2. Pengetahuan sintetis a priori: diraih dengan mempersatukan halhal yang rasional. Misalnya: 7 + 3 = 10 3. Pengetahuan analitis a posteriori: diraih dengan menguraikan pengalaman inderawi. 4. Sintetis a posteriori: diraih dengan menyatukan pengalamanpengalaman inderawi. Menurut Kant, kita tidak pernah mengetahui sesuatu sebagai dirinya (noumena/Das ding ansich). Yang kita ketahui hanya penampakan sesuatu itu pada kita (fenomena)

Intuisionisme
Henry Bergson, filsuf Perancis modern, membedakan dua jenis pengetahuan: 1. Pengetahuan diskursif/pengetahuan mengenai/knowledge about: diperoleh melalui simbol-simbol yang mengatakan mengenai sesuatu yang bergantung pada sudut pandang. (tidak menyeluruh/nisbi/dapat dibicarakan/objektif) 2. Pengetahuan intuitif/pengetahuan tantang /knowledge of: diperoleh dengan mengenal sesuatu secara langsung dengan mengalaminya. (menyeluruh/mutlak/tidak dapat dibicarakan/subjektif).

Metode Ilmiah
Metode Ilmiah menggabungkan pengalaman inderawi dengan akal. Metode ilmiah dimulai dengan adanya masalah yang coba diatasi dengan hipotesa yang didapat dari proses induksi, kemudian dikuatkan dengan bukti-bukti, antara lain dengan ekperimentasi, lalu ditetapkan suatu prediksi deduktif yang bersifat mungkin (probable) terhadap hal-hal lain yang sejenis dengan yang dipermasalahkan.

Apakah yang diungkapkan metode-metode tersebut?

Metode-metode tersebut mengungkapkan: 1. Skeptisisme 2. Realisme Naif 3. Monisme 4. Dualisme 5. Idealisme 6. Pragmatisme

1. Skeptisisme
Skeptisisme mengingkari adanya pengetahuan dengan dasar: (1) kenisbian penginderaan, (2) adanya kesepakatan mengenai sesuatu yang bukan merupakan sesuatu itu. Kritik: skeptisisme radikal pada akhirnya jatuh pada pengakuan adanya pengetahuan. Yang memungkinkan adalah skeptisisme ontologis, sebagai berikut: Descartes = dari skeptisisme metodologis menuju keyakinan rasional Kant = dari nomena menuju fenomena.

2. Realisme Naif
Realisme menyatakan, pengetahuan dinyatakan diperoleh jika yang diketahui adalah objek yang nyata dicerap. Kritik: tentang tongkat yang terlihat bengkok di dalam gelas kaca, mana yang nyata? Tangkapan mana yang dapat dipercaya? Tak seharusnya hasil tangkapan indera dicampuradukkan dengan sesuatu yang ditangkap indera (objek tangkapan).

3. Monisme Epistemologis
Monisme epistemologis memandang objek ontologis bereksistensi terlepas/tidak tergantung pada akal tertentu. Menurutnya objek epistemologis (data) menyatu dengan objek ontologis (benda yang dicerap). Kritik: pohon yang dilihat dari jarak yang berbeda, manakah yang dipandang sebagai pohon yang sebenarnya?

4. Dualisme Epistemologis
Dualisme membedakan objek pengetahuan dan ide tentang objek itu. Ide mewakili objek tersebut. Paham dualisme dengan begitu disebut juga dengan representasionalisme. Kritik: jika alat inderawi mengalami gangguan, lantas gambaran yang didapat rusak, dan akal melakukan penafsiran yang salah.

5.Idealisme
Berkeley, filsuf idealis, mengatakan tidak ada yang kita ketahui kecuali ide-ide kita. Ide-ide itulah yang nyata. Kritik: idealisme jatuh pada subjektivisme dan solipsisme.

6. Realisme Kritis
Realisme kritik menolak gagasan representasionalisme (dualisme). Santayana, menyatakan, apa yang diketahui adalah segi dari sesatu yang dapat dipahami oleh akal, yaitu esensinya. Esensi adalah hakekat dari objek yang tidak tergantung pada subjek yang mengetahuinya. Esensi suatu objek bersifat objektif, bukan subjektif.

7. Pragmatisme
Pragmatisme menyatakan, bahwa pengetahuan disebut sebagai pengetahuan sejauh ia dapat dijadikan sebagai sarana menyelesaikan masalah-masalah kita. Kritik: pragmatisme meninggalkan begitu saja bagaimana cara kita mengetahui sesuatu, karena ia hanya fokus pada hasil. Tanpa mengetahui proses tersebut, kebenaran dan kesesatan tak terbedakan.

Bagaimana kebenaran pengetahuan diukur?


Mengetahui sesuatu tidak sama dengan membenarkannya. Membenarkan suatu pengetahuan memerlukan ukuran. Ukuran kebenaran tergantung pada metode pencapaian pengetahuan yang digunakan. Sedikitnya ada empat ukuran kebenaran pengetahuan: (1) paham koherensi, (2) paham korespondensi, (3) paham empiris, dan (4) paham pragmatis.

1. Paham Koherensi
Paham koherensi dianut oleh pendukung idealisme, seperti filsuf Britania, F. H. Bradley. Paham koherensi menyatakan suatu proposisi (makna dari pernyataan) dianggap benar jika proposisi tersebut saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makan yang dikandungnya berhubungan dengan pengalaman kita. Hukum koherensi: (1) semua fakta diupayakan terangkum dalam suatu sistem, dan (2) fakta-fakta/ide-ide tersebut teratur secara selaras dan tidak saling bertentangan. Kebenaran/kenyataan adalah sistem yang teratur, logis, dan tidak ada kontradiksi di dalamnya. Contoh penggunaan koherensi: saksi-saksi di pengadilan.

2. Paham Korespondensi
Paham korespondensi mengatakan kebenaran tercapai jika terjadi kesesuaian antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau faktanya . Menurut K. Roger, penganut realisme Kritis, korespondensi adalah kesesuan antara esensi (di dalam objek) dengan esensi (di dalam makna pernyataan).

3. Paham empiris
Paham empiris antara lain dianut oleh pengikut Operasionalisme dan pengikut Positivisme Logis. Positivisme logis mengatakan menekankan pengalaman inderawi sebagai ukuran kebenaran proposisi (makna pernyataan). Mereka disebut juga dengan reduksionisme. Operasionalisme memandang proposisi (makna pernyataan) bersifat prediktif/hipotetis, di mana kebenarannya diukur dengan terpenuhinya prediksi tersebut.

4. Paham Pragmatisme
Menurut William James, kebenaran adalah gagasan yang yang berguna dan/atau dapat dilaksanakan dalam suatu situasi. Menurut John Dewey, kebenaran ialah pembenaran (verifikasi). Suatu proposisi dianggap benar jika membuat perubahan dan menyelesaikan masalah hidup. Kebenaran tampak jika prediksi hipotesis terbuktikan dalam tataran riil.

Referensi
Kattsoff, L. O. (1953) Elements of Philosophy, New York: The Ronald Press Company, terj. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, cet. Ke-9, Bab 7-8

Anda mungkin juga menyukai