Anda di halaman 1dari 40

PAJAK PPH

PASAL 25

A. PENGERTIAN PPH
PASAL
25
Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan
yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap
bulan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran pajak penghasilan
25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap
pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada
akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahun Pajak Penghasilan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan
dengan:
Wajib pajak membayar sendiri (PPh pasal 25)
Melalui pemotogan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh

B.CARA MENGHITUNG PPH


PASAL 25

Selanjutnya masih terdapat beberapa hal yang dapat


mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan

pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran


pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak
tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak (Pasal 25 ayat 4 UndangUndang PPh).
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan

penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak


berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;

Lanjutan ...

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun

yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang


ditentukan;
Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan;
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan; dan
terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
(Pasal 25 ayat 6 Undang-Undang PPh). Wajib Pajakbaru
Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha

Lanjutan ...

Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan


dalam
tahun
berjalan
didasarkan
pada
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu.
Namun ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya
angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di
atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati
kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena
didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan

1.

Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru

a. Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan

Menteri Keuangan
Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25 ayat (7)
huruf a Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak yang mulai menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan
Wajib Pajak baru juga diatur pada pasal 1 angka 1 PMK
208/PMK.03/2009. Wajib Pajak baru menurut Peraturan Menteri
Keuangan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru
pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas
dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal
25 untuk Wajib Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK
208/PMK.03/2009

Lanjutan ...
Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak

Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan


neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. dalam hal Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan dari
pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan
neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya; b. dalam hal Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyelenggarakan pencatatan dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan
pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan
neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang
disetahunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak
badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran
Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung

b. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013

dan Peraturan Menteri Keuangan


Batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013, yaitu:
1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib

Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak


Penghasilan yang bersifat final.
2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi


kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk

bentuk usaha tetap; dan


b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan

dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran

Lanjutan ...

3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf b meliputi:


)tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,

akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;


)pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari;
)olahragawan;
)penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
)pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
)agen iklan;
)pengawas atau pengelola proyek;
)perantara;
)petugas penjaja barang dagangan;
)agen asuransi; dan
)distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau

Lanjutan ...

4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi


yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
yang dalam usahanya:
a. menggunakan

sarana atau prasarana yang dapat


dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak
menetap; dan

b. menggunakan

sebagian atau seluruh tempat untuk


kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat
usaha atau berjualan.

5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) adalah: Wajib Pajak badan yang belum


beroperasi
secara
komersial;
atau

Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak


penghasilan yang bersifat final dinyatakan pada pasal 3 PMK No.
107/PMK.11/2013, yaitu:
1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,- (empat miliar

delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat


(2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha
seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran
bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (3);


b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;

Lanjutan ...

1) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir

sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
2) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013

sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada
jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai
dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang
disetahunkan.
3) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan

Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada
bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang

Contoh:

PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan


pada bulan Agustus 2013 dan pada tahun yang sama mendaftarkan diri
sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan tahun buku
Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2014 PT Andalan masih
terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan
instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan kegiatan operasi secara
komersial. Pada tanggal 1 November 2014 PT Andalan mulai melakukan
kegiatan operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan. Jika
laporan laba rugi PT Andalan pada bulan November 2014 menyatakan
peredaran bruto Rp500.000.000,- dan biaya-biaya fiskal Rp 400.000.000,-.
a. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus 2013 sampai dengan

Oktober 2014 ?
b. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014?
)Jawaban:
a. Masa Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2014, PT Andalan belum

mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh pasal 25 karena belum


beroperasi secara komersial sehingga belum mempunyai penghasilan dan
Pajak Penghasilan terutang nihil (Undang Undang PPh pasal 25).

b. Angsuran

PPh
pasal
25
bulan
November
2014
diatur
sbb:
Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2), pasal 2 ayat (5), serta pasal 7 PMK
107/PMK.011/2013 maka terhadap PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh sampai dengan jangka waktu 1
(satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Peraturan yang terkait dengan
tarif umum Undang-Undang PPh yaitu Undang-Undang PPh pasal 17, pasal 25,
dan pasal 31 E ; PMK 208/PMK.03/2009 pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2).
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 (saat mulai
beroperasi secara komersial) berdasarkan penghasilan neto sebulan kemudian
disetahunkan.

Lanjutan contoh....

2. Perhitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak yang


bergerak dalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak
masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala
a. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak bank

dan sewa guna usaha dengan hak opsi. Penghitungan besarnya


angsuran PPh pasal 25 diatur dalam pasal 3 PMK 208/ PMK.03/
2009 yaitu besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan
keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak
Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri
untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.

Lanjutan ....

b. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak

Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.


Penghitungannya diatur pada Pasal 4 PMK 208/ PMK.03/ 2009
yaitu:
)Besarnya

Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan


penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana
Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang
bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang
Saham
(RUPS)
dikurangi
dengan
pemotongan
dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta
Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar
negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

)Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan

(RKAP) belum disahkan, maka besarnya angsuran Pajak

Lanjutan ....

c. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak

masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan


ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan
berkala. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya
yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
keuangan berkala, penghitungannya diatur pada Pasal 5
PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu sebesar Pajak Penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala
terakhir
yang
disetahunkan
dikurangi
dengan
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di
luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12

3. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib


Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
Penghitungannya diatur pada Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009.
Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh
puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
masing-masing tempat usaha tersebut.
Ketentuan pelaksanaan angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak
orang pribadi pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Nomor Per-32/PJ/2010
Tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Pasal 1 Per 32/PJ/2010 menjelaskan bahwa Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang

C. PERHITUNGAN PPH PASAL


25 DALAM HAL-HAL
TERTENTU

Yang dimaksud dengan perhitungan PPh Pasal 25 dalam hal-hal


tertentu adalah perhitungan PPh Pasal 25 dalam hal :

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.

Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal


berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, Suat Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Keberatan atau putusan banding sesuai
ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-undang Pajak
Penghasilan. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam hal
Wajib Pajak berhak atas kompensasi keruian adalah sebesar pajak
penghasilan yang dihitung dengan dasar perhitungan dikurangi
dengan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut serta
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21, 22,
23 dan 24, kemudian dibagi dua belas (banyaknya bulan dalam
pembagian tahunpajak). Dasar perhitungan Pajak Penghasian ini
adalah menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu ataudasar
perhitungan lainnya (Wajib Pajak Bank, Wajib Pajak sewa dengan
hak opsi, dan Wajib Pajak BUMN/BUMD). Apabila SPT Tahunan PPh

2.

Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.

Penghasilan tidak teratur adalah penghasilan yang diterima atau


diperoleh selain dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan,
dan/atau modal, misalnya keuntungan dari pengalihan harta. Sedangkan
penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau
diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam Tahun Pajak
yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta
dan atau modal kecuali penghasilan yang telah dikanakan Pajak
Penghasilan bersifat final.
Bila wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka dasar
perhitungan Pajak Penghasilan Pajak 25 adalah hanya penghasilan neto
yang diterima atau diperoleh secara teratur menurut SPT PPh Tahun Pajak
yang lalu. Besarnya PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung
dengan dasar perhitungan sebagaimana dimaksud di atas, dikurangi
dengan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut serta Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh

3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat

batas waktu yang ditentukan.


)Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu

disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan (selambatlambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak), maka besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 dihitung sebagai berikut:
a. Bulan-bulan

mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh


tersebut sampai dengan bulan disampaikannya Surat Pemberitahuan
Tahunan yang bersangkutan,besarnya PPh Pasal 25 adalah sama
dengan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir dari Tahun
Pajak yang lalu dan bersifat sementara.

b. Setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan

besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali sebagai berikut:


)Sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang

lalu dikurangi dengan PPh yang dipotong atau dipungut serta PPh yang
dibayar atau tetutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana

Dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian atau dalam

hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka besarnya


PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku
bagi Wajib Pajak yang berhak atas kompensasi kerugian atau bagi
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak tertatur sebagaimana telah
diuraikan di atas. Perhitungan kembali tersebut berlaku mulai bulan
batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, yaitu tiga bulan setelah
akhir Tahun Pajak.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung kembali sebagaimana
dimaksud pada 2 butir di atas, lebih besar daripada PPh Pasal 25 yang
dihitung mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai
dengan bulan disampaikan SPT tahunan yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada butirdi atas, maka atas kekurangan
setoran PPh Pasal 25 terutang bunga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo

4.

Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.

)Dalam hal wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak

Penghasilan, maka besarnya Pajak Penghasilan Tahun 2005 dihitung sebagai berikut:
1)

Bulan-bulan mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan
sebelum disampaikan SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama dengan besarnya PPh
Pasal 25 yang dihitung berdasakan perhitungan sementara yang disampaikan oleh Wajib Pajak
pada saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.

2)

Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali:

a) Menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang

dipotong atau dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak dan berkaku surut mulai
bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.
b) Apabila wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian atau dalam hal wajib pajak memperoleh

penghasilan tidak beratur, maka besarnya PPh Pasal 25, dihitung kembali berdasarkan
ketentuan yang berlaku bagi wajib pajak yang berhak atas kompensasi kerugian atau bagi
wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
)Penghitungan kembali tersebut berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian SPT PPh, yaitu 3

bulan setelah akhir tahun pajak.

5. Wajib

Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang


mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran
bulanan sebelum pembetulan.

)Apabila dalam Tahun Pajak berjalan Wajib Pajak membetulkan sendiri

SPT Tahunan Pajak Penghasilan Taahun Pajak yang lalu maka besarnya
PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan tersebut
dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.
Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan
pembetulan tersebut lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum dilakukan
pembetulan, maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 Terutang bunga.
)Kekurangan

Setoran PPh Pasal 25 Terutang bunga sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP untuk jangka
waku yang dihitung sejak jatuhtempo penyetoran PPh Pasal25 dari
masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak

Perubahan keadaan badan usaha ataukegiatan WP dapat terjadi karena


penurunan atau peningkatan usaha. Apabila sudah 3 bulan atau lebih
berjalannya satu Tahun Pajak (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.
537/Pj./2000 tanggal 29 Desember 2000) WP dapat menunjukkan bahwa PPh
yang terutang untuk Tahun Pajak tersebut kurang dari 75 % dari PPh yang
terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25, WP dapat
mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25.
Pengajuan permohonan pengurangan tersebut dilaksanakan dengan syarat:
)Diajukan secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP

terdaftar;
)Wajib Pajak harus menyampaikan perhitungan besarnya PPH yang akan

terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau


diperoleh dan besarnya PPH Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari
Tahun Pajak yang bersangkutan.

7. PPh

PASAL 25 BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG


BERTOLAK KE LUAR NEGERI

)Orang

pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri


diwajibkan membayar PPh berupa Fiskal Luar Negeri. Pembayaran
Fiskal Luar Negeri dilakukan dengan menggunakan Tanda Bukti
Pembayaran Fiskal Luar Negeri dan pelunasannya dilakukan di Unit
Pelaksanaan Fiskal Luar Negeri di pelabuhan atau tempat lain yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

)Pembayaran

Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri ini


merupakan pembayaran angsuran pajak dalam Tahun Pajak
berjalan(merupakan pembayaran PPh Pasal 25), sehingga dapat
dikreditkan dengan PPh yang terutang pada akhir tahun dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh untuk Tahun Pajak bersangkutan. Agar
pembayaran fiskal luar negeri dapat dikreditkan dengan pajak yang
terutang bagi karyawan, maka karyawan tersebut hendaknya
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di Kantor Pelayanan Pajak
tempat domisili karyawan yang bersangkutan dan menyampaikan SPT

Bila pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi karyawan yang bertolek ke luar
negeri ditanggung oleh pemberi kerja, maka pembayaran Fiskal Luar
Negeri tersebut merupakan angsuran PPh Pasal 25 bagi pemberi kerj
yang dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang dalam SPT PPh
pemberi
kerja
dengan
syarat
kepergian
karyawan
yang
bersangkutandalam rangka tugas perusahaan dan hanya berlaku untuk
karyawan dari pemberi kerja itu sendiri, tidak termasuk anggota
keluarga karyawan.
Besarnya Fiskal Luar Negeri yang wajib dibayar oleh orang
pribadi yang akan bertolak ke luar negeri adalah:
a. Rp 2.500.000,- bagi setiap orang untuk tiap kali bertolak ke luar

negeri dengan menggunakan pesawat udara.


b. Rp 500.000,-bagi setiap orang untuk tiap kali bertolak ke luar negeri

dengan menggunakan kapal laut.

Orang pribadi yang bertolak ke luar negeri dengan maksud

dan tujuan dikecualikan dari kewajiban untuk melakukan


pembayaran PPh, yaitu:

1. Anggota Korps Diplomatik, pegawai Perwakilan Negara Asing, staf

dari badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tenaga ahli dalam


rangka kerja sama teknik, dan staf dari Badan/Organisasi
Internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia, sepanjang mereka bukan WNI dan di samping jabatan
resmi tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di
Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah
tangganya yang bukan WNI, dengan menggunakan paspor
diplomatik.
2. Pejabat Negara, Anggota TNI atau Polisi Republik Indonesia atau PNS

yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan


paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas/surat perjalanan
dinas ke luar negeri untuk tiap kali keberangkatan, tidak termasuk

3. Anggota TNI dan Polisi Republik Indonesia yang mendapat tugas

sebagai pasukan PBB atau dalam rangka latihan bersama dengan


pasukan negara lain, dengan menyerahkan surat tugas dari kesatuan
yang bersangkutan dengan menunjukkan daftar anggota pasukan oleh
pemimpin rombongan.
4. Petugas imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian

dalam pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal


laut perusahaan pelayanan nasional dengan memperlihatkan surat
tugas atau identitas lainnya.
5. Jemaah haji yang penyelenggarannya dilakukan oleh Departemen

Agama dengan menunjukkan daftar nama para jemaah haji.


6. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah

Republik Indonesia dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai


dengan perjanjian lintas batas dengan negara terkait, dan lain-lain

Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN)
yang diterbitkan oleh oleh UPFLN:
a. Di Bandar udara, keberangkatan ke luar negeri.
b. Di pelabuhan laut, keberangkatan ke luar negeri.
c. Di tempat lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pihak-pihak yang diberikan SKBFLN:


1. Anggota TNI atau Polisi RI dan PNS yang melakukan tugas dibidang keamanan dan

pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke


luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan, dengan
menyerahkan surat tugas dariatasan langsung.
2. Penduduk Indonesia yang bertempattinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai

Kartu TandaPenduduk yang diterbitkan oleh yang berwenang di pulau tersebut,


sepanjang mereka telah dipotong PPh oleh pemberi atau telah terdaftar sebagai WP
dan telah memenuhi keajiban pajak penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak
Batam.

3. Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di Pulau

Batam, Bintan dan, Karimun, sepanjang mereka telah dipotong PPh Pasal
21 atau Pasal 26 oleh pemberi kerja dan Tanda Bukti Pemotongan PPh
Pasal 21 atau Pasal 26 yang telah dilegalisir.
4. Orang

asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari


Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau bermaksud menetap di
Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh
Pasal 26 oleh pemberi penghasilan.

5. Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangha

belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi


yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia dengan menyerahkan surat rekomendasi sebagai
mahasiswa atau pelajar dari Pimpinan Sekolah atau Perguruan Tinggi
yang bersangkutan(pembebasan berlaku juga bagi istri dan anakanaknya).
6. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka penelitian di Bidang

Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran PPh Orang Pribadi yang


akan Bertolek ke Luar Negeri terhadap Pihak lainnya:
WNI yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman

tenaga kerja Indonesia.


Misi kesenian, misi olahraga, dan misi keagamaan.
Pilot Indonesia yang berkerja di maskapai penerbangan asing dan pelaut

Indonesia yang berkerja di kapal yang berbendera asing.


Tata Cara Pengkreditan Fiskal Luar Negeri:
Karyawan yang tidak mendaftarkan diri atau tidak memiliki NPWP, Fiskal

Luar Negeri tidak dapat dikreditkan dengan pembayaran PPh Pasal 21


karena merupakan pembayaran PPh Pasal 25.
Karyawan yang telah mempunyai NPWP, fiskal luar negerinya tidakdapat

dikreditkan dengan pembayaran PPh Pasal 21 maupun angsuran masa


PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan.
Pembayaran

fiskal

luar

negeri

oleh

orang

pribadi

yang

telah

KESIMPULAN
Pasal 25 UU PPh mengatur besarnya beban angsuran pajak dalam tahun
berjalan yang harus dibayar sendiri WP untuk tiap bulan. PPh Pasal 25
sebagai beban rutin yang harus dipenuhi, tetapi dengan dasar
Peraturan Direktur Jenderal Pajak bahwa terhadap WP dapat diberikan
pengurangan PPh Pasal 25 yaitu WP yang mengalami perubahan
keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009.
Besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang dapat diberikan kepada WP
sampai dengan 25 5 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2009.
Pengurangan PPh Pasal 25 dimaksud dihitung dari besarnya PPh Pasal
25 bulan Desember 2008. Bagi WP yang telah menyampaikan SPT
Tahunan PPh Tahun pajak 2008, maka pengurangan PPh Pasal 25
dihitung dari besarnya PPh Pasal 25 didasarkan pada SPT Tahunan Pajak

Ketentuan pengurangan PPh Pasal 25 dimaksud tidak berlaku bagi Wajib Pajak
bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib pajak lainnya yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan
keuangan berkala.
Tarif PPh Pasal 25
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT), yaitu yang

melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP OPSPT), yaitu

pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).

Tarif PPh . 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:


Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.000 Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan yaitu =
Penghasilan Kena Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU
PPh).
Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar
paling lambat 15 Maret 2014. Jika batas waktu penyetoran jatuh pada
hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur nasional, dan Pemilihan
Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya
sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian
diubah
lagi
sesuai
Peraturan
Menteri
Keuangan

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada


21 Mei 2008, pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat
Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya.
Sanksi-sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25
Apabila Wajib Pajak (WP) terlambat membayar, maka WP akan dikenai
bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo
hingga tanggal pembayaran. Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP
terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat
(2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai