Anda di halaman 1dari 19

Prof. Dr.

Slamet Mulyana dalam Nagarakertagama


dan Tafsir Sejarahnya menyebutkan, bahwa pada
zaman Majapahit agama menjiwai segenap lapangan
kehidupan, termasuk kebudayaan. Semua cabang
kebudayaan seperti seni bangunan, seni pahat, seni
sastra dan seni panggung bernafaskan keagamaan.
Namun zaman Majapahit tidak menghasilkan
bangunan-bangunan keagamaan semegah kelompok
candi Borobudur dan Prambanan, yang dibangun pada
zaman Mataram di Jawa Tengah.
Kelompok candi Borobudur, Pawon dan Mendut adalah
bangunan agama Buddha, dibangun pada zaman
pemerintahan dinasti Sailendra pada permulaan abad
ke-9. pada waktu itu baik raja maupun rakyatnya
memeluk agama Buddha. Pembangunan kelompok
candi itu dimaksudkan demi pembangunan agama dan
kepercayaan semata-mata. Setelah dinasti Sailendra
jatuh pada pertengahan abad ke-9, Mataram
diperintah oleh dinasti baru yang memeluk agama
Siwa, dimulai oleh Rakai Pikatan.

Munculnya Rakai Pikatan membawa


kehidupan kembali agama Siwa di Jawa
Tengah. Semangat keagamaan raja dan
rakyat menggugah semangat membangun
kelompok
candi
Prambanan
pada
permulaan abad ke-10 untuk mengimbangi
kelompok candi Borobudur. Baik candi
Borobudur maupun candi Siwa Prambanan
adalah
bangunan
keagamaan
yang
sesungguhnya
mengagumkan.
Pembangunan monumen keagamaan yang
semegah itu hanya mungkin terutama
berkat dorongan semangat keagamaan
yang bernyala-nyala di lingkungan kratn

Tidak demikian halnya dengan bangunanbangunan candi di Jawa Timur pada zaman
Singasari-Majapahit. Candi-candi dari zaman
Singasari-Majapahit adalah candi makam
keluarga raja, jumlahnya banyak tetapi
ujudnya kecil-kecil, jika dibanding dengan
kelmpok candi Prambanan dan Borobudur.
Pembangunan candi-candi itu dimaksudkan
sebagai tempat pemujaan pada leluhur yakni
arwah keluarga raja yang telah mangkat.
Digunakan untuk menyimpan abu jenazah
dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang
dipuja di situ. Pada tahun 1365 menurut
Nagarakertagama LXXII, LXXIV jumlahnya
ialah dua puluh juta buah, terletak di
Kagenengan,
Tumapel,
Kidal,
Jajago,
Wedawawedan, Pikatan, Bakul, Jawajawa,
Antang, Trowulan, Kalangbret, Jag, Blitar, Sila,
Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang,
Puger Kamal, Pandak, Segala, Simping, Sri

Meskipun ujudnya ialah candi Siwa atau Buddha, namun pada


hakekatnya adalah candi makam. Mereka itu bukan semata-mata
tempat pemujaan Siwa atau Buddha seperti candi Borobudur atau
candi Prambanan di Jawa Tengah. Pada zaman Singasari-Majapahit
telah terjadi pembaruan antara kepercayaan asli yang berupa
pemujaan arwah leluhur dan kepercayaan asing berupa Siwa dan
Buddha. Mereka itu dibangun dengan biaya kerajaan atas kemauan
raja yang telah mangkat. Pada hakekatnya bangunan-bangunan itu
adalah milik kerajaan semata-mata. Rakyat, yang memeluk agama
Siwa atau Buddha, tidak mempunyai kepentingan apa-apa.
Lagipula sejak berdirinya kerajaan Singasari pada tahun 1222
sampai mangkatnya Jayanagara pada tahun 1328, Jawa Timur
terus-menerus dilanda pemberontakan-pemberontakan. Kekeruhan
suasana yang demikian mengganggu keamanan dan menghambat
kemakmuran. Baru mulai tahun 1329 dengan timbulnya
Tribhuwanatunggadewi keadaan dalam negeri tenang kembali
terutama berkat usaha patih Gajah Mada. Pada waktu itu perhatian
mulai diarahkan kepada usaha memperluas wilayah, karena patih
Gajah Mada yang dalam prakteknya mempunyai kekuasaan penuh
dalam pemerintahan, bernafsu untuk menunudukkan daerahdaerah seberang lautan yang disebut Nusantara. Gajah Mada
bermaksud mengagungkan Majapahit dalam bidang politik dengan
jalan memperluas wilayah Majapahit. Keagungan Majapahit
terletak dalam menghimpun daerah-daerah Nusantara dibawah
lindungan Majapahit.

Gajah Mada mengutamakan negara dan kemakmuran


rakyat daripada keagungan keagamaan. Inilah salah
satu faktor disamping faktor-faktor lainnya yang telah
disebut diatas, yang menunjukkan perbedaan pokok
antara keagungan Mataram dan keagungan Majapahit.
Candi Mataram
Diantara 27 candi Makam yang disebut dalam
Nagarakertagama ada beberapa yang bertahan hingga
sekarang, dalam keadaan hampir utuh. Lainnya tinggal
batu berserakan. Nagarakertagama, Pupuh XXXVII
menyajikan uraian tentang candi Makam Kagenengan
demikian; pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi; dari
luar bersabuk. Di dalam terbentang halamandengan
rumah berderet ditepinya; ditanami aneka ragam
bunga; Tanjung, Nagasari dan sebagainya. Menaranya
lampai, menjulang tinggi seperti gunung Meru
ditengah-tengah, sangat indah; di dalam candi ada
arca dewa Siwa, sebagai lambang raja yang dipuja di
situ. Ialah Datu leluhur raja Majapahit yang disembah
di seluruh dunia.

Candi Makam Kagenengan sudah


musnah.
Hanya
berkat
uraian
Prapanca
diatas
kita
mengtahui
tentang adanya dan betapa indahnya.
Diantara candi Makam yang bertahan
dalam keadaan yang hampir utuh ialah
candi Jago, lebih terkenal sebagai
candi Tumpang, terletak dekat kota
Malang.
Candi
Tumpang
agaknya
sangat megah dan merupakan salah
satu candi yang indah ketika masih
dalam
keadaan
utuh.
Menurut
Nagarakertagama XLI/4 candi Jag
adalah candi Buddha, didalamnya
terdapat
arca
Buddha
sebagai
lambang
mendiang
Raja
Wisnuwardhana;
dihias
dengan
berbagai relief. Teras pertama memuat
relief
Kunjarakarna
I
dongengan

Yang tidak asing dalam kasustraan Buddha. Pada teras


yang kedua terpahat Partayajna II sebuah cerita dari
Mahabrata tentang Arjuna yang sedang bertapa di
gunung Indrakila, minta senjata yang akan digunakan
dalam perang Bratayudha melawan korawa. Teras yang
ketiga Arjuna dan dewi Suprabha, hadiah Batara guru
kepada Arjuna setelah mengalahkan raja raksasa
Nirwatakawaca. Badan candi itu sendiri dihias dengan
adegan Kalayawana IV cerita tentang peperangan antara
raja Kalayawana dan Kresna. Setelah Kresna diusir oleh
Kalayawana IV dari Dwarawati, ia mengungsi ke
Mucukunda, ketempat bertapa seorang pendeta, dan
tidur di tempat duduk sang Pendeta. Kalayawana
mengejarnya ke Mucukunda. Ketika akan membunuh dan
Kresna yang pendeta merintanginya dengan ucapan
bahwa perbuatan yang demikian tidak wajar, mendengar
ucapan itu Kalayawaman mencaci maki sang pendeta.
Karena marah Kalayawana dipandang, mendadak hangus
dan binasa. Sepeninggal Kalayawana Kresna kembali ke
Dwarawati dan membangun kembali negaranya.

Rupanya ada hubungan antara arca


dewa yang disimpan dalam candi dan
hiasan relief di satu pihak dan
keluarga raja yang dicandikan dilain
pihak. Hiasan relief Kunjarakarna
pada teras pertama menunjukkan
simpatik raja Wisnuwardhana kepada
agama Buddha; cerita itu memang
layak dijadikan hiasan candi Buddha,
meskipun
raja
Wisnuwardhana
sendiri
bukan
pemeluk
agama
Buddha.
Pendewaan seorang raja sebagai
Siwa dan Buddha adalah suatu
kebiasaan pada zaman SingasariMajapahit
seperti
misalnya
raja

yang diperdewa sebagai Siwa di Kagenengan dan sebagai


Buddha di usaha. Hiasan relief Partayajna pada teras yang
kedua melambangkan perjuangan Wisnuwardhana untuk
merebut kembali kerajaan Singasari dari tangan Panji Toh Jaya
seperti dikisahkan panjang lebar dalam Pararatn. Hiasan relief
Arjuna Wiwaha pada teras ketiga melambangkan perkawinan
raja Wisnuwardhana dengan puteri Jayawardhani seperti
tercatat pada piagam Sansekerta di Wuware, 1289. hiasan
relief Kalayanantaka atau matinya Kalayanawana pada badan
candi, melambangkan pembasmian musuh raja Wisnuwardhana
yang bernama Linggapati seperti disebut dalam Pararatn dan
Nagarakertagama. Kalayanantaka, juga disebut cerita
Muncukunda, merupakan awal karya sastra Kresnayana,
gubahan pujangga empu Triguna dari jaman Kediri, saduran
Kresnayana dalam Epik Mahabrata. Pada zaman Kediri dan
Singasari tokoh Kresna sangat populer, dipandang sebagai
titisan Wisnu, yang turun ke dunia untuk memberantas
kejahatan. Ada titik pertemuan antara Kresna dan
Wisnuwardhana yang dicandikan di Tumpang. Sedangkan
Kresna adalah titisan Wisnuwardhana disamakan dengan
Kresna sebagai titisan Wisnu sedangkan musuhnya Linggapati
disamakan dengan Kalayawana.
Pendewaan Tokoh-tokoh Penting

Akibat pembaruan antara pemujaan arwah


leluhur dan agama Hindu/Buddha pada
jaman Singasari-Majapahit sudah menjadi
adat bahwa keluarga yang dicandikan
diperdewa dan arcanya diletakkan dalam
candi makam.
Demikianlah raja Rajasa diperdewa di
candi makam Kagenengan, raja Anusapati
sebagai Siwa dicandi makam Kidal, raja
Wisnuwardhana sebagai Buddha dicandi
makam Tumpang, raja kertanagara sebagai
Wairocana Lcana dicandi makam Segala dan
raja
Kertajasa
Jayawardhana
sebagai
Harihara dicandi makam Simping seperti
dinyatakan
di
Pararaton
dan
Nagarakertagama. Oleh karena arca-arca
dewa tersebut pada hakekatnya menjadi

Tidak mustahil bahwa kepribadian keluarga raja yang


terdiri dai watak dan rupa ikut diarcakan juga, sehingga
arca dewa itu identik dengan keluarga raja yang sangat
berkesan dan bermutu tinggi sebagai unsur Jawa asli
lainnya dalam seni arca memberi kesegaran pada
kehidupan seni dan menyebabkan seni arca itu bukan
semata-mata tiruan arca India. Kepribadian dan unsur
asli itu memberikan ragam baru untuk membedakan
dari sifat arca sejenis di tempat lain.
Di Singasari ditemukan sebuah arca Prajnaparamita.
Dalam agama Buddha Mahayana Dewi Prajnaparamita
dipandang sebagai penjelmaan segala kesempurnaan
sifat Boddhiattva. Lambang kesempurnaan sejati arca
tiu dipandang salah satu arca yang paling bagus. Arca
ini pernah dibawa ke Belanda dan dikembalikan ke
Indnesia tahun 1978 serta disimpan di Musium pusat
dan tiruannya disimpan di Musium Jakarta. Arca itu
menggambarkan serang putri, bermahkota, duduk
bersila, jari tangannya membentuk Mudra. Wajahnya
tenag, tawakal dan bijak, dapat mempengaruhi jiwa
orang yang memandangnya. Siapakah kiranya yang
diarcakan sebagai dewi Prajnaparamita itu?

Nagarakertagama pupuh II/1 menguraikan bahwa puteri


alias Rajapadni pada usia lanjut menguraikan upacara
pesta sraddha pada tahun 1362 sebagai peringatan 12
tahun sesudah mangkatnya. Pada pupuh LXIX-1 diberitakan
bahwa jenazah puteri Rajapatni dicandikan di Kamal
Pandak, candi macamnya di Bayalangu yang dibangun
tahun 1362 disebut Prajnaparamita puri. Baik tanah candi
maupun arcanya diberkahi oleh pendata Jnyanawidi.
Piagam penaggungan 1296, dan ppppiagam Kertarajasa
1305, memuji-muja kecantikan putri Gayatri, putri bungsu
raja Kertanegara, dan karenanya dikasihi oleh raja
Kertarejasa. Atas alasan-alasan diatas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa mungkin sekali arca dewi
Prajnyaparamita diatas adalah arca putri Gayatri alias
Rajapatni, yang diletakkan di candi Prajnaparamita putri di
Bayalangu.
Raja kertarejasa Jayawardhana dicandikan di samping
sebagai Harihara, sinkretisme dari Siwa dan WIsnu.
Arcanya sangat bagus, berupa bangsawan bermahkota,
bertangan empat, tangan kanannya yang atas memegang
termpet tutup kerang, berpakaian kebesaran, berkain
dengan aneka ragam pola batik. Adanya empat tangan dan
terompet tutup karang jelas menunjukkan bahwa area itu
adalah kombinasi antara Siwa dan Wisnu, disebut Harihara.
Apa seabnya pada arca tersebut dibutuhkan ciri Wisnu.
Sedangkan raja kertarejasa jelas memeluk agama Siwa

Mungkin sekali kaarena arca itu dimaksudkan


untuk membayangkan jasa Kertajasa dalam
merebut kembali kekuasaan pada tahun 1293
dari tangan raja Jayakatwang yang dianggap
sebagai pengrusak dunia. Dalam hal demikian
Wisnu sebagai penjaga dunia konon merintis
dalam
Sanggramawijaya
untuk
membasmi
Jayakatwang.
Arca Ganesha dari Singasari adalah salah satu
arca yang agak istimewa dan perlu mendapat
perhatian sepenuhnya, karena arca itu berbeda
dengan
arca-arca
Ganesha
biasa.
Dalam
Mitologi India. Dewa Ganesha berupa orang
berkepala gajah dengan gading patah, putera
dewa Siwa dari perkawinannya dengan dewi
Parwati. Ganesha berkendaraan tikus, disebut
Vignesvara
berkat
keulungannya
dalam
menghilangkan segala penghalang.oleh karena

Arca Ganesha dari Singasari berupa gajah, duduk diatas


ditimbunan tengkorak, mengenakan mahkota bersusun, yang juga
dihiasi dengan tengkorak, kedua tangannya yang dimuka
memegang belahan tempurun, sedangkan tangan kirinya yang ada
di belakang berpegang pada pegangan pintu, tangan kanannya
memegang kampak (beliung). Mahkotanya terdiri dari tiga bagian,
bagian bawah bersusun, dihiasi dengan tengkrak. Bagian tangah
berbentuk sebagai belahan bola, dihiasi tengkorak dibagian muka.
Bagian paling atas berbentuk stupa. Di sisi kanan dan kiri sandaran
tempat duduknya ada bulatan dengan garis-garis seperti sinar
matahari. Di bagian sandaran terdapat daun-daun di sisi kanan dan
kiri, tunduk kepada mahkota.

Menurut Mitologi India dewa Ganesha yang berupa gajah sedang


menghisap isi tempurung dengan belalainya adalah lambang
keilmuan. Pokoknya Ganesha adalah gajah yang berilmu, gajah
yang pandai atau terpelajar. Gajah Mada artinya juga; gajah
yang pandai. Belalainya teris-menerus menghisap ilmu, yang
termuat dalam wadah tempurung. Timbunan tengkorak yang
didudukinya adalah lambang para musuh yang telah
dibinasakan. Tegkrak dimahkota melambangkan musuh-musuh
kerajaan, nusuh-nusuh Sang Prabu, yang dibinasakan leh Gajah
Mada. Tengkorak yang ada di daun telinganaya, melambangkan
para musuh yang didengarnya dan akhirnya dibinasakan.
Mahkota bersusun melambangkan keluarga raja yang menjadi
anggota dewan pertimbangan agung pada tahun 1351.

sesuai dengan piagam Singosari, Gajah


Mada adalah penjaga pura kerajaan raja.
Pegangan pintu adalah melambangkan
bahwa Gajah Mada adalah penjaga pura
kerajaan Majapahit. Bentuk mahkota yang
setengah bulat seperti buah maja, dikelilingi
daun-daun, jelas melambangkan buah maja,
lambang
Majapahit,
tercantum
pada
namanya.
bulatan dengan garis-garis adalah matahari
yang
bersinar,
sebagai
lambang
kegemilangan Majapahit.
Arja Manjusri Singasari, 1343, bertuliska
piagam Sansekerta Pu Adityawarman :
Sebuah arca Manjusri ditempatkan dicandi
Jinalaya
oleh
Arya
Wangsadiraja.
Pu
Adityawaaarman, seorang wreddha menteri
dan juga anggota keluarga rani Rajapatni,
pemegang kuasa di Jawa, ialah yang
mendirikan candi itu di wilyah kekuasaan

Manjusri adalah Boddhisatwa, biasanya diwujudkan sebagai


seorang pemuda yang memegang pedang terhunus ditangannya
yang satu dan buku ditangannya yang lain. Pedang itu
dimaksudkan sebagai alat untuk memberantas penasaran dan
kepalsuan, sedangkan buku itu mengandung ajaran tentang 10
laku utama, cita-cita Boddhisatwa, disebut paramita, yaitu dana,
sila, kesabaran, keperwiraan, meditasi, kebijaksanaan, usaha,
ketegasan, kekuasaan, pengetahuan. Pada umumnya uraian diatas
sesuai dengan ujud arca Manjusri dan Singosari, tetapi ada juga
perbedaannya. Arca Manjusri dari Singasari berupa seorang
bangsawan, bermahkota tinggi, duduk bersila, tangan kanannya
memegang keris, tangan kirinya ditempelkan pada dada, buku
Paramita terletak dipangkuan. Paaada keempat sandaran tempat
duduknya terdapat araca yang sama dalam bentuk kecil-kecil.
Daun teratai menghiasi sisi kanan dan kiri sandaran tempat
duduknya. Kiranya tokoh yang diarcakan sebagi Manjusri itu ialah
Pu Adityawarman sendiri. Ia adalah seorang bangsawan
berpangkat wreddha menteri dalam pemerintahan
Tribhuwanatunggadewik, saudara sepupu mendiang raja
Jayanegara. Hubungan kekeluargaan dengan Rajapatni didasarkan
atas garis keturunan ayahnya yang bernama Adwaya, seperti
dinyatakan pada piagam Kubur raja. Kiranya Adwaya itu dapat
disamakan dengan Adwayabrahma, seorang maha menteri dari
Singasari, yang tercatat pada piagam Jawa kuno Amogapasa, 1286.
piagam Sansekerta

Tersebut memperkuat dugaan bahwa maha menteri


Adwayabrahma, adalah keluarga raja Kertanegara, dengan
sendirinya mempunyai hubungan kekeluargaan yang
masih dekat dengan Rajapatni.persembahan arca Manjusri
adlah sangat cepat, karena baik Adityawarman maupun
Rajapatni adalah pemeluk agama Buddha.
Di candi makm Sagala, menurut Negarkertagama XLIII/6
diketakkan arca Ardhanareswara sebagai lambang
kesatuan raja Kertanegara Bajradewi, teman kerja dan
tapa dewi keselamatan dan kesuburan negara. Arca
Ardhareswara adalah arca dwi-tunggal, berupa kesatuan
dewa Siwa biasa dipuja sebagai lingga yakni kelamin
lelaki, sedangkan saktinya dewi Parwati dipuja sebagai
yoni atau kelamin wanita. Hanya karena kehadiran dewi
Parwati, maka dewa Siwa kuaat dan berkuasa. Dewi
Parwati, yang merupakan kekuatan Siwa, biasa disebut
sakti dewa Siwa. Kepercayaan tentang adanya sakti yang
demikian, mengakibatkan timbulnya pemujaan kesatuan
antara dewa Siwa dan saktinya, kesatuan antara pria dan
wanita, sebagai perbuatan mulia yang bermutu sangat
tinggi dalam keagamaan.

Sementara sarjana menyatakan Prapanca bukanlah


nama asli melainkan nama sasaran.
Nagarakertagama adalah salah satu diantara tiga
karya sejarah dari jaman Majapahit. Karya sejarah
yang kedua adalah Serat Pararatn gubahan
antara tahun 1478 dan 1486 tanpa menyebut nama
penggubahnya. Karya sejarah yang ketiga adalah
Tantu Panggelaran seperti serat Pararaton tidak
diketahui penggubahnya. Kitab Tantu Panggelaran
ini berisi dongengan mitolgi campuran asing asli,
dan berbagai tempat ibadah.bangunan suci dan
para pertama di Jawa Timur.
Beberapa karya sastra yang ada disekitar zaman
Majapahit digubah leh Mpu Tantular dan Mpu
Tanakung. Karya sastra Mpu Tantular adalah Arjuna
Wiwaha, Sutasma dan Purusada Santa. Sedangkan
gubahan dua karya sastra Mpu Tanakung adalah
Wrette Sancaya dan Siwaratrikalpa atau Lubdhaka.

Anda mungkin juga menyukai