Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH HUKUM

PERBURUHAN

Lahirnya Hukum Perburuhan terkait juga dengan


munculnya Revolusi Industri di Eropa khususnya di
Inggris pada abad 19, dengan ditemukannya mesin
uap yang merubah pola hubungan antara buruh
dengan majikan.

Revolusi industri menandai jaman


mekanisasi dengan ciri-ciri sebagai berikut:

Hilangnya industri-industri kecil


Meningkatnya jumlah buruh pabrik
Minimnya kesehatan dan keselamatan kerja
Anak dan wanita jadi buruh massal
Jam kerja yang panjang, upah yang rendah dan
perumahan yang buruk.

UU Perburuhan pertama muncul di


Inggris (1802) kemudian di Jerman dan
Perancis (1840) kemudian Belanda
(1870). UU ini bersifat memberikan
perlindungan terhadap kesehatan kerja
(healty) dan keselamatan kerja (safety).
Inilah awal munculnya hukum
perburuhan.
Pada hakekatnya peraturan atau hukum
yang dibuat untuk mengurangi akses dari
pemujaan dan pemanfaatan mesin-mesin
dari pada pekerjanya.

Teori sosial yang berkembang pada saat revolusi


industri ialah faham liberalisme dengan doktrin laisse
faire sebuah pandangan filosofi tentang tidak adanya
campur tangan pemerintah/negara dalam kegiatankegiatan ekonomi induvidu seperti dalam proses
produksi, pemasaran, perdagangan, keuangan,
investasi. Pandangan filsafat juga tentang usaha
bebas yang didasarkan atas pemilikan pribadi terhadap
barang, harta, dan pelayanan, yang menegaskan
bahwa seseorang induvidu lebih efisien dan produktif
bila dibiarkan mencari kepentingan sendiri tanpa
pengaturan atau pembatasan pemerintah.
Negara dalam hal ini tidak melakukan intervensi dalam
bidang ekonomi dan tugasnya hanya menjaga
keamanan dan ketertiban yang sering dikenal dengan
Negara Penjaga Malam.

Menurut Adam Smith, intervensi


pemerintah menganggu ebebasan mereka
dalam perdagangan dan asas kebebasan
berkontrak.

Pada jaman liberalisme ekonomi ini, sejalan


dengan filsafat laissez-faire, cukup kuat desakan
agar hubungan kerja dibebaskan dari segala
pembatasan. Yang dianut di sini adalah asas
bahwa majikan dan buruh haruslah mutlak bebas
untuk mengadakan hubungan kerja berdasarkan
perjanjian, dan hubungan kerja seperti ini dapat
diakhiri kapan saja oleh salah satu pihak.
Pada saat itu erikat-serikat buruh belum cukup
berkembang sehingga tidak dapat berbuat
banyak. Sikap anti serikat buruh masih sangat
kuat baik dari kalangan pengusaha maupun dari
sistem hukum yang ada.

Pada saat yang sama hukum perburuhan


yang bertujuan melindungi buruh
terutama adalah hasil desakan para
pembaharu di dalam maupun di luar
parlemen. Secara perlahan, lahirnya
hukum perlindungan buruh merupakan
bukti bahwa secara sosial mulai muncul
kesadaran bahwa doktrin laissez-faire
mulai ditinggalkan atau setidaknya tidak
lagi dapat diterapkan secara mutlak.
Mulai muncul kesadaran bahwa negara
harus intervensi dalam hubungan buruh

Kesadaran baru ini ditandai dengan munculnya teori sosial


yang ingin mengimbangi gagasan di balik doktrin laissezfaire. Misalnya, M. G. Rood berpendapat bahwa undangundang perlindungan buruh merupakan contoh yang
memperlihatkan ciri utama hukum sosial yang didasarkan
pada teori ketidakseimbangan kompensasi. Teori ini
bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja
dan penerima kerja ada ketidaksamaan kedudukan secara
sosial-ekonomis. Penerima kerja sangat tergantung pada
pemberi kerja. Oleh karena itu, hukum perburuhan
memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah
daripada pihak yang kuat. Hukum bertindak tidak sama
kepada masing-masing pihak dengan maksud agar terjadi
suatu keseimbangan yang sesuai. Hal ini dipandang
sebagai jawaban yang tepat terhadap rasa keadilan umum.

Levenbach yang disebut juga bapak hukum


perburuhan mengatakan:
Peraturan-peraturan perburuhan dapat disebut
sebagai pengeculian darurat karena peraturanperaturan itu memuat campur tangan negara yang
ditujukan kepada hubungan yang seharusnya
merupakan kebebasan para pihak. Aturan-aturan
mutlak dalam hal perorangan yang tak terbatas
sudah tidak diakui lagi. Mengenai peraturan
perburuhan, orang terlalu banyak melihat dari segi
persamaan hak yang tidak normal, yang akan
mengingkari persamaan hak di depan hukum.
Pendapat seperti ini keliru dalam menafsirkan
pengertian persamaan kedudukan di depan hukum.

S. Mok mengemukakan,
Pada umumnya orang tidak melihat lagi
bahwa pemberi kerja dan penerima kerja
di dalam hukum perburuhan, bukan lagi
mitra yang sederajat. Kepentingan buruh
jauh lebih besar. Merekalah, kaum lemah,
yang harus dilindungi. Sedangkan
pengusaha (pemberi kerja), walaupun
mereka menyetujui pemberian
perlindungan bagi buruh, mereka sendiri
tidak membutuhkannya.[

Commons dan Andrews berikut ini:


Dimana para pihaknya tidak setara (dan
jelas adanya kepentingan umum), maka
negara yang menolak memperbaiki
ketidaksetaraan itu sebenarnya tidak
memberikan kepada pihak yang lemah
perlindungan hukum yang sama.

Dari pendapat di atas, terdapat dua hal


yang sangat penting. Pertama, bahwa
para pihak dalam hukum perburuhan,
yaitu buruh dan majikan, adalah pihak
yang tidak seimbang kedudukannya.
Kedua, bahwa perlindungan yang sama
di hadapan hukum bagi mereka harus
berarti mengatasi ketidakseimbangan itu.
Di sini Commons dan Andrews memakai
istilah yang suka dipakai oleh penganut
paham liberalisme untuk membela
keberadaan hukum perburuhan, yaitu

Anda mungkin juga menyukai