Anda di halaman 1dari 27

TOXOPLASMOSI

S
dan
PENYAKIT
CACING
KELOMPOK 7

Nama kelompok
1.Vinta Melani
2.Siti Nekmatus saidah
3.Cristina Natalia Nainggolan

Pendahuluan

Toxoplasma gondii merupakan parasit Obligat


intraseluler
yang
menyebabkan
Penyakit
toksoplasmosis
pada
kebanyakan
Hewan
vertebrata termasuk manusia (roberts Dan
janovy, 2001) dan secara umum tidak
Menimbulkan gejala klinis pada hewan yang
Sehat (grob et al., 1992). Parasit ini termasuk
Dalam golongan koksidia yang terdiri atas 3
Bentuk yaitu oosista, endozoit (takizoit), dan
Sistozoit (bradizoit).

Banda Aceh adalah pusat ibukota Provinsi Aceh


yang merupakan bagian dari pulau-pulau di
Indonesia yang padat penduduknya. Berbagai
survei telah membuktikan bahwa di kota-kota
besar di Indonesia masih relatif tinggi kasus
terjadinya
toksoplasmosis.
Manusia
dapat
menderita toksoplasmosis dengan cara memakan
daging yang terinfeksi atau menelan oosista yang
infektif.

Mengingat infeksi yang sering terjadi adalah


per oral atau melalui mulut, maka hal tersebut
dijadikan sebagai dasar utama pencegahan
masuknya bentuk infektif ke dalam tubuh
hospes definitif atau hospes perantara.
Kebiasaan masyarakat Aceh yang suka makan
daging sate terutama daging domba dan
kambing, yang apabila kurang matang dapat
menjadi sumber infeksi yang potensial.

Pendeteksian dini terhadap toksoplasmosis sangat sulit


dilakukan, karena ibu yang diduga keras menderita tidak
menampakkan gejala klinis ataupun subklinis. Oleh karena
itu perlu adanya suatu kajian hubungan antara
ternak/hewan
yang
positif
dengan
kejadian
toksoplasmosis yang terjadi pada manusia. Metode yang
digunakan adalah uji serologis Card Aglutination Test
(CATT) untuk memeriksa seropositif toksoplasmosis pada
hewan dan ternak di Banda Aceh, sedangkan untuk
mengetahui pola infeksi toksoplasmosis pada manusia
dalam hubungannya dengan hewan dan ternak di Banda
Aceh dibuat dengan suatu pemodelan.

Materi dan
Metode

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah


sebanyak 200 sampel serum darah dari hewan dan ternak
di Banda Aceh. Pada hewan dilakukan pemeriksaan
serologis dengan menggunakan Card Aglutination Test di
laboratorium Parasitologi FKH Unsyiah. Sampel darah
dikumpulkan dengan menggunakan venoject melalui vena
jugularis atau vena coccygea. Sampel darah disimpan
dalam termos es dan dibawa ke laboratorium untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Setiap hewan hanya diambil
darahnya satu kali. Sampel serum dalam venoject,
dibiarkan menggumpal selama 1-2 jam dan kemudian
disimpan dalam lemari es sampai serum dapat dipisahkan
dengan sentrifus. Serum yang dipisahkan disimpan pada
suhu -20 C untuk dilakukan pemeriksaan serologisnya.

Pemeriksaan Serologis
Card Agglutination Test (CATT) digunakan untuk
memeriksa setiap sampel serum terhadap adanya antibodi
T. Evansi (Magnus et al., 1978). Pengujian dilakukan
dengan membuat kontrol positif dan kontrol negatif
terlebih dahulu, dengan cara meneteskan satu tetes
masing-masing kontrol dan kemudian diratakan.
Selanjutnya dilakukan pengujian pada masing-masing
sampel. Diteteskan 1 tetes (kira-kira 45 l) suspensi
antigen per lingkaran kartu plastik. Ditambahkan 25 l
serum atau plasma yang diuji untuk setiap lingkaran dan
masing-masing satu lingkaran menggunakan batang
pengaduk serta disebarkan dalam lingkaran kira-kira 1
mmdari pinggir lingkaran.

Batang pengaduk sebelum digunakan untuk


lingkaran berikut terlebih dahulu dilap dengan
kertas tisu atau dengan bagian ujung yang lain.
Kartu dipegang di antara kedua tangan,
dimiringkan secara perlahan-lahan dalam
gerakan memutar sehinga terjadi rotasi dari
reaksi campuran selama 5 menit. Reaksi
dianggap positif, bila warna dari masing-masing
sampel sama dengan kontol positif sedangkan
data pada wanita subur yang akan diteliti

Hasil dan
Pembahasan

Dari hasil pemeriksaan secara seropositif


toksoplasmosis menggunakan CATT (Pastorex
Toxo) terhadap kambing, sapi, kerbau, ayam, itik,
kucing dan domba diperoleh hasil seperti terlihat
pada Tabel 1 di bawah ini.
NO

JENIS TERNAK

JUMLAH
SAMPLE

POSITIF

PERSENTASE
(%)

KAMBING

40

16

40

SAPI

30

23

KERBAU

40

15

AYAM

40

10

25

ITIK

20

20

KUCING

50

16

DOMBA

10

10

Dari hasil penelitian diatas, Prevalensi seropositif


toksoplasmosis yang tertinggi pada kambing yaitu
sebesar 40% sedangkan yang terendah pada domba
sebesar 10% (Tabel 1). Tingginya seropositif
toksoplasmosis pada kambing yang dipotong di Banda
Aceh kemungkinan juga. Disebabkan oleh karena kambing
memakan rumput di padang gembalaan dan anatomi
mulutnya bisa makan sampai menyentuh tanah sehingga
lebih mudah tercemar oleh oosista toksoplamosis,
sedangkan yang paling sedikit
yaitu pada domba kemungkinan karena domba lebih
memilih rumput yang menggantung sehingga kemungkinan
tercemar oleh oosista T. gondii relatif lebih kecil.

Kemunculan kasus toksoplasmosis pada manusia sangat


dipengaruhi oleh prilaku hidup diantaranya kebiasaan dan
pola makan pada masyarakat Indonesia secara umum
yang menyukai makanan yang kurang matang seperti sate
kambing dan domba, yang kemungkinan semuanya dapat
menjadi sumber infeksi toksoplasmosis. Apabila infeksi
toksoplasmosis terjadi secara kongenital dapat
menyebabkan pada bayi berupa perkapuran, koriretinitis,
hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikologis,
gangguan perkembangan mental pada anak setelah lahir,
dan kejang-kejang. Toksoplasmosis juga dapat
mempengaruhi kesuburan (infertilitas) bagi wanita usia
subur (WUS) dalam masa reproduksi sehingga sering
tidak memperoleh keturunan.

Penyakit Cacing

UPAYA PEMBERANTASAN
KECACINGAN DI SEKOLAH
DASAR

Infeksi cacingan yang disebabkan oleh Soil


Transmitted Helminths (STH) merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia. Infeksi cacingan
tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi yang
kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis
tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak
yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang
seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan
gangguan kognitif pada anak.

Penyebabnya adalah Ascaris lumbricoides


(cacing perut), Ancylostoma duodenale (cacing
tambang),
Necator
americanus
(cacing
tambang), Trichuris trichiura (cacing cambuk)
dan Strongyloides stercoralis (cacing gelang).
Selain itu infeksi cacing dapat meningkatkan
kerentanan terhadap penyakit penting lainnya
seperti malaria, TBC, diare dan anemia.

Faktor-faktor cacingan
Faktor faktor yang menyebabkan masih tingginya
infeksi cacing adalah rendahnya tingkat sanitasi pribadi
(perilaku hidup bersih sehat) seperti :
Kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah
buang air besar (BAB).
Kebersihan kuku perilaku jajan di sembarang tempat
yang kebersihannya tidak dapat dikontrol.
Perilaku BAB tidak di WC yang menyebabkan
pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang
mengandung telur cacing.
Kurangnya ketersediaan sumber air bersih.

Metode Penelitian
Subjek Penelitian
Pengisian kuesioner
Pengambilan feses
Identifikasi telur cacing
Edukasi kecacingan Analisis data

Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Cacing di


Indonesia melakukan edukasi kecacingan pada siswa
SDN Pagi Paseban Jakarta Pusat. Pada siswa yang
positif terinfeksi telur cacing diberikan pengobatan
agar siswa tidak terinfeksi lagi dan tidak menjadi
sumber penular untuk yang lain.
Ternyata upaya ini pernah dilakukan dan berhasil
meningkatkan cakupan dan menurunkan prevalensi
cacingan dari 78,6% (tahun 1987) menjadi 8,9% (tahun
2003).

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, jumlah siswa yang
berpartisipasi adalah 113 orang siswa. Upaya
untuk menurunkan angka infeksi di sekolah
tersebut ditujukan untuk memutus rantai
penularan penyakit kecacingan pada manusia
melalui informasi atau edukasi tentang
pentingnya menjaga kebersihan pribadi (WHO).

Pemberian edukasi tersebut antara lain mengenai


perilaku kebiasaan BAB harus di WC bukan di
sembarang tempat, kebiasaan harus mencuci tangan
dengan sabun baik sebelum makan maupun sesudah BAB,
selalu memakan makanan yang bersih dan menjaga
kebersihan kuku.
Edukasi
sebelum

Angka Infeksi
Positif (%)

Negatif (%)

13 (11,5)

100 (88,5)

sesudah
1 (0,9)
1 (99,1)
Tabel.
Tabel. Angka
Angka infeksi
infeksi cacingan
cacingan siswa
siswa SDN
SDN 09
09 Paseban
Paseban Jakarta
Jakarta sebelum
sebelum dan
dan
sesudah
sesudah edukasi
edukasi cacingan.
cacingan.

Pada penelitian yang dilakukan pada bulan


Desember 2010- Juni 2011 menunjukkan angka
cacingan siswa SDN Pagi Paseban Jakarta
sebesar 11,1% dengan jenis cacing Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan infeksi
campur Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura. Angka ini lebih rendah dibanding
penelitian lain sebelumnya.

Edukasi cacingan yang diberikan kepada siswa


SDN Pagi Paseban dengan cara ceramah yang
disertai peragaan jenis-jenis cacing yang sering
menginfeksi
manusia
ternyata
dapat
menurunkan angka infeksi pada siswa sekolah
tersebut dengan angka infeksinya turun dari
11,1% menjadi 0,9%. Hal ini menunjukkan bahwa
edukasi pada siswa SDN Pagi Paseban dapat
memotivasi siswa untuk merubah perilaku
kebersihan pribadinya terhadap penularan
infeksi cacingan.

Tengs.

Anda mungkin juga menyukai