Anda di halaman 1dari 223

PERBANKAN SYARIAH

Oleh :
Abdul Ghofur Anshori
Referensi
1. Abdul Ghofur Anshori, 2010, Perbankan Syariah di
Indonesia (Cet. 2), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
2. --------------------------, 2009, Hukum Perbankan
Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), Refika Aditama,
Bandung.
3. --------------------------, 2008, Penerapan Prinsip
Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga
Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
4. --------------------------, 2008, Payung Hukum
DEFINISI BANK
DEFINISI BANK
Bank adalah “Badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak”.
(Ps1. Butir 2. UU No.10/1998)
Bank (UU No. 21/2008)
Bank adalah “Badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat”.
(Ps. 1 Butir 2 UU No. 21/2008)
Bank (UU No. 21/2008)
Bank adalah “Badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat”.
(Ps. 1 Butir 2 UU No. 21/2008)
PERBANKAN SYARIAH &
BANK SYARIAH
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya (Pasal 1 angka 1 UU No. 21/2008)
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Pasal 1 angka
7 UU No. 21/2008)
FUNGSI DASAR BANK 

1. menyediakan tempat untuk menitipkan


uang dengan aman (safe keeping
function).
2. menyediakan alat pembayaran untuk
membeli barang dan jasa (transaction
function).
3. menjadi agen pembangunan nasional
(agent of national development)
Perbandingan Perbankan Syariah dengan Perbankan
Konvensional
Perbankan konvensional dan perbankan
syariah memiliki persamaan sekaligus
perbedaan. Persamaanya dalam kerangka
hukum di Indonesia adalah sama-sama
berfungsi sebagai lembaga intermediasi
keuangan (financial intermediary institution).
Yaitu lembaga keuangan yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan (giro, tabungan, dan deposito) dan
menyalurkan kembali kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau pembiayaan.
Perbedaan Bank Syariah dengan Bank
Konvensional
 Melakukan investasi  Investasi yang halal
yang halal dan haram
 Prinsip bagi hasil, jual  Memakai sistem
beli, sewa-menyewa

bunga (interest)
Profit and falah
oriented
 Profit oriented
 Hubungan Kemitraan  Kreditur-debitur
 Harus berdasar fatwa  Tidak ada dewan
DPS dan DSN sejenis
BANK SYARIAH SEBAGAI LEMBAGA INTERMADIASI
KEUANGAN
- Titipan
- Investasi
-
- Jual-beli
Investasi

Surplus unit BANK Deficit unit

Bagi hasil / bonus Bagi hasil / keuntungan jual-beli

Bank Syariah dengan konsep sharing based


tidak menghadapi negative spread
Sejarah Perkembangan Perbankan
Syariah di Dunia Internasional
Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank,
didirikan di Mesir tahun 1963.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai
Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh
sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam
pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang
Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan
Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa
studi tentang pendirian Bank Islam Internasional
untuk Perdagangan dan Pembangunan (International
Islamic Bank for Trade and Development) dan
proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of
Islamic Banks).
Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut
adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga
harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama
dengan skema bagi hasil keuntungan maupun
kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui
rencana pendirian Bank Islam Internasional dan
Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan
diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus
yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan
Negara-negara Islam (Investment and Development
Body of Islamic Countries), serta pembentukan
perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-
bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai
badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan
perbankan Islam.
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an,
Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan,
negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia,
Bangladesh dan Turki.
Perkembangan berikutnya adalah mulai
meningkatnya minat bank-bank konvensional
barat untuk membuka layanan syariah melalui
Islamic Window
Tercatat di tahun 2005: Deutsche Bank, HSBC,
Citigroup, dan BNP Paribas mendirikan unit
layanan syariah.
Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah
di Indonesia
Prakarsa pendirian Bank Syariah di
Indonesia dilakukan tahun 1990,
melalui lokakarya bunga bank dan
perbankan di Cisarua, Bogor (18-20
Agustus 1990).
Hasil lokakarya kemudian dibahas
lebih mendalam pada Munas IV MUI
di Jakarta (22-25 Agustus 1990), yang
mengamanatkan pendirian Bank Islam
di Indonesia.
 Kemudian berdiri PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI)
tertanggal 1 November 1991. Efektif beroperasi 1 Mei 1992. BMI
mendasarkan operasionalnya pada UU No. 7/1992 tentang
Perbankan.
 Kemudian dengan diundangkannya UU No. 10/1998 tentang
Perubahan Atas UU No. 7/1992, perkembangan bank syariah di
Indonesia semakin pesat. A.l: Bank IFI membuka cabang syariah
(28 Juni 1999), Bank Syariah Mandiri anak perusahaan Bank
Mandiri (Konversi dari Bank Susila Bakti), serta pendirian lima
cabang baru dari PT. BNI (Persero) Tbk.
 Bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang
membuka cabang syariah, yaitu: Bank Niaga, Bank BTN, Bank
Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, dan BPD Aceh.
Terhitung Desember 2009, Jaringan Kantor terdiri
dari 5 Bank Umum Syariah, yakni PT. Bank
Muamalat Indonesia, PT. Bank Syariah Mandiri,
PT. Bank Syariah Mega Indonesia, PT. Bank
Syariah BRI, dan PT. Bank Syariah Bukopin.
UUS Bank Konvensional berjumlah 27 dan BPRS
berjumlah 131.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah BI Desember
2009
TINJAUAN YURIDIS PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA
1. Perkembangan yang signifikan terhadap
perbankan di Indonesia dimulai pada tahun
1988 dengan dikeluarkannya paket kebijakan
oleh Menko Ekuin Radius Prawiro pada tanggal
27 Oktober 1988 atau yang lebih dikenal dengan
Pakto 88.
2. Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992
menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini
menganut single banking system, yang lebih
tegas dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.
4. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Amandemen UU No. 7/1992) secara tegas
dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia
terdiri dari dua macam yaitu bank konvensional
dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada
bank umum maupun bank perkreditan rakyat
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
menunjukkan kegiatan usaha bank semakin
bervariasi yang secara garis besar terdiri dari tiga
macam produk yaitu produk penghimpuan dana
antara lain melalui giro, tabungan, dan deposito.
6. Sedangkan untuk penyaluran dana bisa berbentuk
kredit maupun pembiayaan.
7. Tahun 2008 keluar undang-undang yang khusus
mengatur perbankan syariah, yakni UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
KEBERATAN TERHADAP SISTEM PERBANKAN
KONVENSIONAL
Kritik Islam terhadap sistem perbankan
konvensional bukan dalam hal fungsinya
sebagai lembaga intermediasi keuangan,
Melainkan karena di dalam operasionalnya
mendasarkan pada unsur-unsur yang
dilarang dalam Islam, yakni unsur perjudian
(maysir), unsur ketidakpastian (gharar),
unsur bunga (riba), unsur suap (ryswah), dan
unsur bathil.
Islam memberikan solusi terhadapnya
melalui pengaplikasian akad-akad tradisional
Islam ke dalam produk perbankan
Akad Tradisional Islam yang dapat diaplikasikan dalam
produk perbankan antara lain:
1. Akad Titipan (al-Wadiah)
2. Akad Jual Beli (al-Bai’)
3. Akad Bagi Hasil (al-Mudharabah)
4. Akad Sewa-Menyewa (al-Ijarah)
5. Akad Pinjam-Meminjam (al-Qardh)
6. Akad-Akad di Bidang Jasa
Penerapan akad-akad tesebut akan dibahas
lebih lanjut pada saat membahas produk
bank syariah
PERBANDINGAN AKAD
DENGAN PERIKATAN
1.Pengertian
Akad (Islam) Perikatan (BW)
Pertalian antara ijab dan Suatu perbuatan dengan
kabul yang dibenarkan mana satu orang atau
oleh syara’ yang lebih mengikatkan
menimbulkan akibat dirinya terhadap satu
hukum terhadap orang lain atau lebih
obyeknya ( Psl.1313 )
2. Landasan Filosofis
Akad Perikatan
Religius Transedental Sekuler ( tidak ada nilai
(ada nilai agama, agama)
berasal dari ketentuan
Allah)
3. Sifat
Akad Perikatan
1.Individual 1.Individual
2. Proporsional 2.Liberal
4. Substansi
Akad Perikatan
Hubungan bidimensional Hubungan manusia dg
vertikal (manusia dg manusia, manusia dg
Allah),horizontal benda (horizontal)
(manusia dengan
manusia, benda dan
lingkungan)
5. Proses Terbentuknya
Akad Perikatan
Adanya pengertian al- Adanya pengertian
Ahdu (perjanjian), perjanjian
persetujuan, dan al- (overeenkomst) dan
Akdu (perikatan) perikatan (verbintenis)
6. Sahnya
Akad Perikatan (Perjanjian)
1. Para Pihak 1. Sepakat
2. Pernyataan 2. Cakap
Kehendak 3. Hal tertentu
3. Obyek Akad 4. Halal ( Psl.1320)
4. Kausa Akad
7. Syarat Akad ada 4 macam:
a. Syarat terbentuknya akad.
b. Syarat keabsahan.
c. Syarat berlakunya akibat
hukum.
d. Syarat mengikatnya akad.
7a. Syarat terbentuknya akad.

(1). Tamyiz
(2). Para pihak.
(3). Pertemuan kehendak/kesepakatan.
(4). Kesatuan Majelis.
(5). Obyek ada pada waktu akad.
(6). Obyek dapat ditransaksikan.
(7). Obyek tertentu/dapat ditentukan.
(8). Tidak bertentangan dengan syariat.
7b. Syarat keabsahan.

(1). Bebas dari paksaan.


(2). Bebas dari Gharar.
(3). Bebas dari riba.
(4). Bebas dari syarat fasid.
(5). Tidak menimbulkan kerugian ketika
penyerahan.
7c. Syarat berlakunya akibat hukum.

(1). Kewenangan sempurna atas


tindakan.
(2). Kewenangan sempurna atas obyek.
- Adanya Kepemilikan
- Adanya penguasaan, atau
- Tidak tersangkut padanya hak
orang lain.
8. BENTUK-BENTUK PERNYATAAN KEHENDAK.

Pernyataan kehendak (ijab dan kabul)


dapat melalui:

- Ucapan,
- Tulisan,
- Utusan,
- Isyarat,
- Secara diam-diam,
- Dengan diam semata.
9. CACAT KEHENDAK

Paksaan.
Penipuan.
Kekhilafan.
Ketidak seimbangan prestasi.
10. SAAT TERCIPTANYA AKAD

Saat bertemunya ijab dan kabul dalam


majelis akad.
Majelis akad, bisa berhadapan
langsung atau tidak langsung.
Bagi pihak yang berjauhan, majelis
akad adalah saat pemberi penawaran
mengetahui jawaban penerima
penawaran.
11. Sumber
Akad Perikatan
1. Sikap tindak yang 1. Perjanjian
didasarkan syariat 2. Undang-undang
2. Persetujuan yang (Psl.1233)
tidak melanggar
syariat
12. Asas-asas
Akad Perikatan (Perjanjian)
1. Asas Ilahiah 1. Perjanjian yg sah adalah
undang-undang
2. Asas kebebasan 2. Asas kebebasan berkontrak
3. Asas kesetaraan 3. Asas konsensualisme
4. Asas kepercayaan
4. Asas keadilan 5. Asas kekuatan mengikat
5. Asas kerelaan 6. Asas persamaan hukum
7. Asas keseimbangan
6. Asas kejujuran dan
8. Asas kepastian hukum
kebenaran 9. Asas moral
7. Asas tertulis 10. Asas kepatutan
13. Fungsi/manfaat
Akad Perikatan
1. Mengungkap isi hati 1. Untuk memberikan
2. Asas muamalat sesuatu
3. Membedakan 2. Untuk berbuat
muamalat satu sesuatu
dengan muamalat 3. Untuk tidak berbuat
lain sesuatu ( Psl.1234)
4. Menimbulkan
dampak hukum
14. Berahirnya Akad
a.Tercapai tujuannya;
b. Fasakh (pembatalan), sebab;
- Difasakh,
- Khiyar,
- Salah satu pihak membatalkan dengan
persetujuan pihak lain
- Kewajiban tidak dipenuhi,
- Habis masanya,
- Tidak mendapat izin dari yang berwenang,
Kelembagaan Perbankan Syariah di
Indonesia
1. Bank Syariah
a. Bank Umum Syariah (PBI No. 11/3/PBI/2009)
b. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (PBI No.
11/23/PBI/2009).
2. Unit Usaha Syariah/UUS (PBI No.
11/10/PBI/2009). Office Chaneling---Outlet
Khusus di KC/KCP Konvensional yang
memberikan layanan syariah (PBI No.
8/3/PBI/2006). Hakikat UUS adalah PT. Bank
Konvensional.
Pengertian
Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka
8 UUPS).
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah
Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran (Pasal 1 angka 9 UUPS)
Dengan demikian,
Perbedaan BUS dan BPRS adalah
lingkup kegiatan usaha. BUS memiliki
lingkup kegiatan usaha yang lebih luas
daripada BPRS.
BPRS tidak dapat menerbitkan
rekening giro, melakukan kegiatan
kliring, inkaso, menerbitkan L/C, dan
kegiatan-kegiatan lain yang
berhubungan dengan lalu lintas
pembayaran.
Unit Usaha Syariah (UUS)
UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank
Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor
cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah.
UUS bukan badan hukum mandiri, ia merupakan
Divisi dari PT. Bank Konvensional.
Dengan demikian pengelolaannya secara
organisasi PT masih menjadi satu.
Keberadaan UUS sifatnya sementara, hal ini dapat
dilihat dari Pasal 68 UUPS, yakni bahwa dalam hal
Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang
nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50%
dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima
belas) tahun sejak berlakunya UU ini, maka Bank
Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan
Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum
Syariah.
Office Chaneling
Office Chaneling adalah istilah yang dipakai untuk
menyebut layanan syariah yang ada dalam kantor
bank konvensional.
Office Chaneling dapat dilakukan oleh Bank
Umum Konvensional yang sudah memiliki UUS.
Latar belakang adanya lembaga ini adalah untuk
mempermudah bank dalam memberikan layanan
syariah kepada masyarakat, tanpa terlebih dahulu
harus membuat infrastruktur baru di tingkat
Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu.
Aspek-aspek Penting Bank Syariah dan
UUS
Yang perlu diketahui dari Bank Syariah dan
UUS adalah mengenai Perizinan, Bentuk
Badan Hukum, Anggaran Dasar, dan
Kepemilikan Bank Umum Syariah.
Mengenai hal tersebut diatur melalui UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dan secara teknis diatur melalui PBI
tersebut di atas.
Perizinan
Pasal 5 ayat 1 UU Perbankan Syariah yang menyatakan
bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan
usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau
UUS dari Bank Indonesia.
Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus
memenuhi persyaratan dengan mencantumkan
sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut: (1)
susunan organisasi dan kepengurusan; (2)
permodalan; (3) kepemilikan; (4) keahlian di bidang
Perbankan Syariah; dan (5) kelayakan usaha (Pasal 5
ayat (2) UUPS)
Perizinan BUS (PBI No. 11/3/PBI/2009)
 Pasal 4
1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan
usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia.
2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pendirian Bank; dan
b. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai
dilakukan.
 Pasal 5
Modal disetor untuk mendirikan Bank
ditetapkan paling kurang sebesar Rp.
1.000.000.000.000, 00 (satu triliun
rupiah).
Perizinan BPRS
(PBI No. 11/23/PBI/2009)
 Pasal 4
1) BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan
usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia.
2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pendirian BPRS; dan
b. Izin usaha, yaitu izin untuk melakukan kegiatan
usaha BPRS setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 5
 Modal disetor BPRS paling kurang sebesar:
a. Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk
BPRS yang didirikan di wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi;
b. Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk
BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di
luar wilayah tersebut pada huruf a di atas;
c. Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) untuk
BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada
huruf a dan huruf b di atas.
Perizinan UUS
(PBI No. 11/10/PBI/2009)
Pasal 3
 Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin
Bank Indonesia.
 Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk izin usaha.
Pasal 4
 Modal kerja UUS ditetapkan dan dipelihara paling
kurang sebesar Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar
rupiah).
 Modal kerja UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disisihkan dalam bentuk tunai.
Bentuk Badan Hukum
 Konstruksi hukum dari sebuah bank baik
konvensional maupun syariah via UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dapat berupa
Perseroan Terbatas, Koperasi, maupun
Perusahaan Daerah.
 Pasca UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, berdasarkan Pasal 7 bentuk
badan hukum Bank Syariah adalah perseroan
terbatas.
 Bentuk badan hukum dimaksud berlaku bagi
Bank Umum Syariah maupun Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah, sebagaimana yang dipertegas
dengan PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank
Umum Syariah dan PBI No. 11/23/PBI/2009
tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
 Oleh karena itu berlakulah ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
Eksistensi Lembaga Pengawas
Pada bank konvensional lembaga pengawas yang ada
hanyalah komisaris dari segi internal dan Bank
Indonesia dari segi eksternal.
Kedua lembaga pengawas ini mengawasi praktik
perbankan dari segi ketaatan bank terhadap
perundang-undangan di bidang perbankan.
Dalam bank syariah pengawasan yang dilakukan oleh
Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah
adalah pada ketaatan bank dalam melakasanakan
prinsip-prinsip syariah pada setiap produk-produknya.
Pasal 109 UUPT
Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan
Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah
(DPS).
DPS sebagaimana dimaksud terdiri atas seorang ahli
syariah atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis
Ulama Indonesia.
DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar
sesuai dengan prinsip syariah.
Pelaksanaan Tugas DPS meliputi:
1. menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan
Bank;
2. mengawasi proses pengembangan produk baru Bank;
3. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk
produk baru Bank yang belum ada fatwanya;
4. melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip
syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa bank;
5. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah
dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan
tugasnya.
(Pasal 35 PBI No. 11/3/PBI/2009 ).
Anggaran Dasar
 Sebagai sebuah legal entity bank syariah tentu saja
memiliki anggaran dasar.
 Anggaran dasar harus sudah ada terlebih dahulu
sebelum mendapatkan pengesahan dari menteri
yang berwenang untuk itu, yakni Menteri Hukum
dan HAM.
 Anggaran dasar suatu perseroan menjadi dasar
kewenangan dari organ perseroan dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya sekaligus
menjadi batasan bagi organ-organ dimaksud.
Isi Anggaran Dasar
 Anggaran Dasar Bank Syariah selain memenuhi
persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur
dalam UUPT memuat pula ketentuan:
a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus
mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus
menetapkan tugas manajemen, remunerasi
komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban
tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan
publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
 Substansi anggaran dasar tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk dalam
hal ini tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah.
Pendirian dan Kepemilikan BUS
 Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing secara kemitraan; atau
c. pemerintah daerah.
Catatan: Kepemilikan oleh Warga negara asing/badan
hukum asing paling banyak 99 % dari modal disetor
Bank (Pasal 9 UU 21/2008 Jo. Pasal 6 PBI 11/3/PBI/2009)
Pendirian dan Kepemilikan BPRS
 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat
didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia;
b) pemerintah daerah; atau
c) dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam
huruf (a) dan huruf (b).
(Pasal 9 UU No. 21/2008 Jo Pasal 6 PBI No.
11/23/PBI/2009).
Dewan Syariah Nasional (DSN)
 Didirikan dalam rangka mengantisipasi
perkembangan LKS karena lembaga-lembaga
tersebut selalu terikat dengan aturan-aturan
syariah yang harus dipatuhi.
 DSN didirikan berdasarkan Surat Keputusan MUI
Nomor 754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari
1999.
 DSN didirikan secara resmi sebagai lembaga
syariah yang secara garis besar bertugas
mengayomi dan mengawasi operasional aktivitas
perekonomian LKS.
Tugas DSN
a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai
syariah dalam kegiatan perekonomian pada
umumnya dan keuangan pada khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan
keuangan.
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa
keuangan syariah.
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah
dikeluarkan.
Wewenang DSN
a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS masing-
masing LKS dan menjadi dasar tindakan hukum
pihak terkait.
b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia.
c. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut
rekomendasi nama-nama yang akan duduk
sebagai DPS pada suatu LKS.
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu
masalah yang diperlukan dalam pembahasan
ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar
negeri.
e. Memberikan peringatan kepada LKS untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah
dikeluarkan oleh DSN.
f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang
untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak
diindahkan.
PRODUK PERBANKAN SYARIAH
LIMA AKAD DASAR TRANSAKSI SYARI’AH :

TITIPAN (WADIAH)
BAGI HASIL (SYIRKAH)
JUAL-BELI (TIJAROH)
SEWA (IJARAH)
JASA/FEE( AL AJR WALUMULLAH)
PRODUK PENGHIMPUNAN DANA
(Funding)
Bentuk-bentuk Produk Funding
1. Giro: Giro Wadiah dan Giro Mudharabah
2. Tabungan: Tabungan Wadiah dan Tabungan
Mudharabah.
3. Deposito: Deposito Mudharabah.
Teknis Operasional mendasarkan pada:
4. PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah,
sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.
10/16/PBI/2008.
5. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS
tertanggal 17 Maret 2008.
Al-Wadiah
Al-Wadiah dibedakan menjadi 2 macam:
a. Wadiah yad amanah, adalah titipan dari pihak
nasabah, dimana bank selaku penerima titipan
tidak boleh menggunakan sesuatu yg dititipkan
tsb. Akad ini dipakai dalam produk Safe Deposit
Box (SDB).
b. Wadiah adh-dhamanah, adalah titipan dari
pihak nasabah, dimana bank selaku penerima
titipan diperkenankan menggunakan dana yang
dititipkan. Akad ini dipakai dalam produk giro
wadiah maupun tabungan wadiah. Sehingga
bank biasanya akan memberikan bonus kepada
nasabah penyimpan yg besarnya sesuai dengan
kebijakan bank dan tidak boleh diperjanjikan.
Wadiah yad Amanah :
Adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip
kapan saja si penitip menghendaki.

Landasan : QS. An-Nisa : 58; QS. Al. Baqarah : 283

Mekanisme Kerja Al-Wadi’ah Amanah :

Titipan Barang

Bebankan Biaya
penitipan

Aplikasinya: Dana ZIS atau Safe


Deposit Box
Skema Al-Wadi’ah Yad adh Dhamanah
Bank

1 Titipan dana

4 Beri Bonus

Penitip 2 Pemanfaatan dana


3 Bagi Hasil/
Profit marjin
Dengan konsep Al-Wadi’ah Yad Adh
Dhamanah pihak yang menerima titipan
boleh menggunakan dan memanfaatkan
uang yang dititipkan

Aplikasi di Perbankan/LKS :
1. Current Account (Giro)
2. Saving Account (Tabungan)
Peminjam
Al-Mudharabah
 Pengertian :
 Akad kerjasama antara dua pihak  Jenis Mudharabah :
dimana pihak pertama  Mudharabah Mutlaqah
menyediakan seluruh modal (tanpa syarat)
(100%), sedang pihak lain menjadi
pengelola. Keuntungan usaha  Mudharabah Muqayyadah
mudharabah dibagi menurut (dengan syarat)
kesepakatan yang dituangkan  Aplikasi pada perbankan :
dalam kontrak, kerugian  Sisi Funding
ditanggung oleh pemodal selama
kerugian tidak akibat kelalaian
 Giro
pengelola  Tabungan berjangka
 Landasan :  Deposito biasa
 Al-Qur’an :  Deposito spesial
 QS. Muzamil : 20;  Sisi Pembiayaan :
 Al-Jum’ah : 10;  Pembiayaan modal kerja
 Al-Baqarah : 198  Investasi khusus
Penjelasan Jenis Akad Mudharabah
1. Mudharabah Muthlaqah adl bentuk kerjasama
antara shahibul maal dan mudharib yg
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.(Jenis
Mudharabah Muthlaqah inilah yang biasanya
dipakai oleh bank dlm skim penghimpunan
dana melalui, giro, tabungan maupun deposito)
2. Mudharabah Muqayyadah, adl btk kerjasama
antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya terbatas baik jenis usaha maupun
waktunya.(Jenis Mudharabah Muqayyadah
inilah yang biasanya dipakai oleh bank dlm
kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan
mudharabah)
Skema Mudharabah
Dari sisi penghimpunan dan penyaluran dana
Bank

1. Menyimpan dana

4 Bagi hasil
(Sesuai dg
Nasabah Nisbah)
Penyimpan 3 Bagi Hasil 2 Penyaluran dana kpd
(Sesuai dg Nisbah) nasabah mitra

Peminjam
(Dipakai utk Keg
Produktif
Implementasi Prinsip Wadiah dan Mudharabah
dalam Produk
Perbankan Syariah
1. Giro: Wadiah dan Mudharabah (Pasal 3 PBI No.
9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal
17 Maret 2008). (Hal 89-91 PSI)
2. Tabungan: Wadiah dan Mudharabah (Pasal 3 PBI
No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS
tertanggal 17 Maret 2008). (Hal 96-98 PSI)
3. Deposito: Mudharabah (Pasal 3 PBI No.
9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal
17 Maret 2008). (Hal 89-91 PSI)
PRODUK PEMBIAYAAN
KONSUMTIF
SKIM BAI’ AL-MURABAHAH
 Al-Murabahah :
– Adalah jual beli barang pada harga asal  Aplikasi pada perbankan :
dengan tambahan keuntungan (ribhun) – Pembiayaan untuk
yang disepakati. pembelian barang, baik
– Dasar Hukum : Al-Baqarah 275 (… untuk dalam negeri maupun
Allah menghalalkan jual beli …) luar negeri

 Syarat :
– Penjual memberitahu biaya modal
kepada nasabah
– Kontrak harus sah sesuai rukunnya
– Kontrak bebas dari riba
– Penjual menjelaskan kondisi barang
kepada pembeli
– Penjual menyamapikan semua hal yang
berkaitan dengan pembelian
Syarat2 Pembiayaan Murabahah
a. Bank menyediakan dana pembiayaan
berdasarkan perjanjian berdasarkan jual
beli barang
b. Jangka waktu pembayaran harga barang
oleh nasabah kepada bank ditentukan
berdasarkan kesepakatan bank dan
nasabah
c. Bank dapat membiayai sebagian atau
seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya
d. Dlm hal bank mewakilkan kepada
nasabah (wakalah) untuk membeli
barang, maka akad Murabahah harus
dilakukan setelah barang secara
prinsip menjadi milik bank
e. Bank dapat meminta nasabah untuk
membayar uang muka atau urbun
saat menandatangani kesepakatan
awal pemesanan barang oleh nasabah
f. Bank dapat meminta nasabah untuk
menyediakan agunan tambahan selain
barang yang dibiayai bank
g. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu
kali pada awal akad dan tidak berubah
selama periode akad
h. Angsuran pembiayaan selama periode
akad harus dilakukan secara proporsional
Manfaat al-Murabahah
1. Adanya keuntungan yang muncul dari
selisih harga beli dari penjual dengan
harga jual kepada nasabah.
2. Sistem bai’ al-murabahah sederhana,
sehingga memudahkan penanganan
administrasinya di bank syariah.
Risiko bai’ al-murabahah
1. Default atau kelalaian: nasabah sengaja tidak
membayar angsuran.
2. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga
suatu barang di pasar naik setelah bank
membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa
mengubah harga jual-beli tersebut.
3. Penolakan nasabah terhadap barang karena berbagai
alasan.
4. Barang dijual oleh nasabah, karena setelah
penandatanganan kontrak barang secara hukum
telah menjadi milik nasabah.
Skema Al-
Murabahah
1. Negosiasi dan
persyaratan

2 Akad Jual Beli

6 Bayar
Bank Peminjam

5. Terima
barang &
3 Beli barang 4. Kirim Dokumen

Supplier
Implementasi Akad Murabahah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 115 – 117.
BAI’ AS-SALAM

 Bai As-Salam :  Rukun :


– Adalah pembelian barang – Penjual /Muslam alaih
yang diserahkan di kemudian – Pembeli / Muslam
hari sementara pembayaran – Modal atau uang
dilakukan di muka. – Barang / Muslam fihi
– Ucapan / Sighat
– Dasar Hukum :
• Al-Baqarah 282  Aplikasi pada perbankan :
– Pembiayaan barang bagi petani
atau industri
Syarat Bai’ as-Salam
a. Modal transaksi Bai’ as-Salam
1) Modal harus diketahui: bahwa barang yang
akan disuplai harus diketahui jenis,
kualitas, dan jumlahnya. Pembayaran
harus dalam bentuk uang tunai.
2) Penerimaan Pembayaran Salam:
kebanyakan ulama mengharuskan
pembayaran salam dilakukan di tempat
kontrak.
b. Al-Muslam Fiihi (Barang)
1) Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
2) Harus bisa diidentifikasi secara jelas.
3) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
4) Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan
barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian,
mazhab Syafi’I membolehkan penyerahan segera.
5) Boleh menentukan waktu di masa yang akan datang
untuk penyerahan barang.
6) Tempat penyerahan, bahwa pihak-pihak
yang berkontrak harus menunjuk tempat
yang disepakati di mana barang harus
diserahkan.
7) Penggantian muslam fiihi dengan barang
lain. Para ulama melarang muslam fiihi
dengan barang lainnya, kecuali dalam hal
spesifikasi dan kualitas yang sama,
meskipun sumbernya berbeda.
Salam Paralel
Melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam
antara bank dan nasabah, dan antara bank
dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga
lainnya secara simultan.
Syarat yang harus dipenuhi: Pelaksanaan
transaksi salam kedua tidak bergantung
pada pelaksanaan akad saham yang
pertama.
Perbedaan salam dg Ijon
 Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau
ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian pula
dalam penetapan harga beli, sangat bergantung
kepada keputusan sepihak si tengkulak yang
seringkali sangat dominan dan menekan petani yang
posisinya lebih lemah.
 Sedangkan dalam salam harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1) Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas.
2) Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah
pihak.
Skema Bai’ As-Salam

4 Kirim pesanan pesanan

Supplier Nasabah
3 Kirim Dokumen 5 Bayar

2. Pemesanan 1. Negosiasi dengan


barang Nasabah & Kriteria
Bayar tunai

Bank
Implementasi Akad Salam dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 117 – 119.
Bai’ Al-Istishna’

 Bai al-Istishna’ :  Rukun :


– Adalah kontrak – Penjual
penjualan antara – Pembeli
pembeli dan pembuat – Modal atau uang
barang. – Barang
– Ucapan

– Dasar Hukum :  Aplikasi pada


• Al-Baqarah 282 perbankan :
– Pembiayaan barang bagi
petani atau industri
Pendapat ulama ttg Istishna’
 Mazhab Hanafi: Istishna termasuk akad yang
dilarang karena bertentangan dengan semangat
bai’ secara qiyas. Mereka berargumentasi bahwa
pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki
penjual, dimana hal ini tidak dijumpai dalam
istishna.
 Namun demikian mazhab Hanafi menyetujui
istishna atas dasar istishan karena alasan-alasan
sbb:
a. Masyarakat telah mempraktikan bai’ al-istishna
secara luas dan terus-menerus tanpa ada
b. Dalam syariah dimungkinkan adanya
penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan
ijma ulama.
c. Keberadaan bai’ al-istishna didasarkan atas
kebutuhan masyarakat.
d. Bai’ al-istishna’ sah sesuai dengan aturan
umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan nash atau aturan
syariah.
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa
bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan
aturan umum syariah, oleh karena memang jual
beli biasa dan si penjual akan mampu
mengadakan barang tersebut pada saat
penyerahan.
Kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan
kualitas barang dapat diminimalkan dengan
pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta
bahan material pembuatan barang tersebut.
Skema Bai al-Istishna’

Pengusaha

Nasabah
1 Pesan 2. Beli

3. Jual

Bank
Implementasi Akad Istishna dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 119 – 120.
Ijarah (Sewa)

 Pengertian :
– Akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu
sendiri.
– Jenis Ijarah :
• Ijarah
• Ijarah Muntahiabittamlik (IMBT)
 Dasar Hukum :
– Al-Baqarah 233
Manfaat dan risiko dalam Ijarah
 Bank akan mendapatkan keuntungan sewa dan
kembalinya uang pokok. Nasabah akan
mendapatkan manfaat atas suatu barang.
 Risiko Ijarah:
a. Default: nasabah tidak membayar cicilan dengan
sengaja.
b. Rusak: aset ijaran rusak sehingga menyebabkan
pemeliharaan bertambah.
c. Berhenti: nasabah berhenti di tengah kontrak dan
tidak mau membeli aset tersebut.
Syarat2 Pembiayaan Ijarah
a. Bank dapat membiayai pengadaaan obyek
sewa berupa barang yang telah dimiliki bank
atau barang yang diperoleh dengan menyewa
dari pihak lain untuk kepentingan nasabah
berdasarkan kesepakatan
b. Objek dan manfaat barang sewa harus dapat
dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan
dinyatakan dengan jelas termasuk
pembayaran sewa dan jangka waktunya
c. Bank wajib menyediakan barang sewa,
menjamin pemenuhan kualitas maupun
kuantitas barang sewa, serta ketepatan
waktu penyediaan barang sewa sesuai
kesepakatan
d. Bank wajib menanggung biaya
pemeliharaan barang/aset sewa yang
sifatnya materiil dan struktural sesuai
dengan kesepakatan
e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah
untuk mencarikan barang yang akan
disewa oleh nasabah
f. Nasabah wajib membayar sewa secara
tunai, menjaga keutuhan barang sewa,
dan menanggung biaya pemeliharaan
barang sewa sesuai dengan kesepakatan.
g. Nasabah tidak bertanggungjawab atas
kerusakan barang sewa yang terjadi bukan
karena pelanggaran perjanjian atau
kelalaian nasabah.
Berakhirnya Masa Sewa
(Klausula dalam Pembiayaan Ijarah)
 Masa sewa akan berakhir apabila:
1. Jangka waktu sewa berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Akad, atau
2. Tidak terjadi kesepakatan atas peninjauan
kembali Harga Sewa, atau
3. Obyek Sewa musnah, atau
4. NASABAH tidak dapat memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Akad.
Konsekuensi hukum berakhirnya masa
sewa
1. NASABAH wajib mengembalikan Obyek Sewa yang disewa
kepada BANK apabila masa sewa berakhir.
2. NASABAH berjanji untuk mengembalikan Obyek Sewa
kepada BANK termasuk dan tidak terbatas pada peralatan
dan perlengkapan tambahan yang telah menjadi bagian
Obyek Sewa sebagaimana dimaksud dalam Akad dalam
keadaan baik, selambat-lambatnya 14 empat belas) hari
kalender sejak berakhirnya masa sewa.
3. NASABAH wajib membayar lunas nilai sisa pembayaran
manfaat sewa serta kewajiban-kewajiban lainnya yang masih
terhutang menurut Akad ini, tanpa mengurangi hak BANK
untuk memperhitungkannya dengan “Simpanan Jaminan”
jika ada.
Skema al-Ijarah
Obyek Sewa

Sewa

Supplier

Nasabah
3 Bayar Sewa
A. Milik
1 Pesan Obyek
2 Beli Obyek Sewa Sewa

Bank
Implementasi Akad Murabahah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 126 – 128.
Ijarah Muntahia Bitamlik (IMBT)

 Pengertian :  Aplikasi pada


– Akad pemindahan hak
perbankan :
guna atas barang atau jasa,
– Bentuk yang banyak
melalui pembayaran upah
digunakan adalah :
sewa, diikuti dengan
– Ijarah al-Muntahia
pemindahan kepemilikan
Bittamlik dengan hibah
atas barang itu sendiri.
– Ijarah with Promise to
 Dasar Hukum : Sell
– Al-Baqarah 233
Syarat2 Pembiayaan IMBT
a. IMBT harus disepakati ketika akad ijarah
ditandatangani dan kesepakatan tersebut wajib
dituangkan dalam akad ijarah dimaksud.
b. Pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah
akad ijarah dipenuhi.
c. Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang
sewa kepada nasabah berdasarkan hibah, pada
periode akhir perjanjian sewa.
d. Pengalihan kepemilikan barang sewa kepada
penyewa dituangkan dalam akad tersendiri
setelah masa ijarah selesai
Skema al-Ijarah Muntahia
Bittamlik
Obyek Sewa

B. Milik

Supplier

Nasabah
3 Bayar Sewa
A. Milik
1 Pesan Obyek
2 Beli Obyek Sewa Sewa

Bank
Implementasi Akad Murabahah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 128.
Qardh
Qardh adalah pinjam-meminjam dana tanpa
imbalan dengan kewajiban pihak peminjam
mengembalikan pokok pinjaman sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Pada dasarya qardh adalah akad yang dipakai
sebagai produk pembiayaan dalam perbankan
syariah.
Akan tetapi sifatnya lebih pada misi sosial,
terlebih pada qardh al-hasan (pinjaman
kebajikan) adalah produk perbankan yang
khusus ditujukan bagi mereka yang benar-benar
membutuhkan
Dalam Qardh, pihak bank dilarang
mengambil keuntungan sekecil apapun,
karena termasuk riba jika dilakukan. Akan
tetapi nasabah berdasarkan kebijakan
sendiri tanpa diperjanjikan
diawal,diperkenankan mengembalikan
melebihi hutang pokok.
Bank hanya diperkenankan meminta biaya
administrasi yang rasional
Syarat Akad Qardh
a. Bank dapat memberikan pinjaman qard untuk kepentingan
nasabah berdasarkan kesepakatan
b. Nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman qardh pada
waktu yang telah disepakati
c. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya
administrasi
d. Nasabah dapat memberikan tambahan pengembalian dengan
sukarela
e. Nasabah yang tidak mampu mengembalikan bisa diberikan
perpanjangan jangka waktu atau dihapuskan segala
hutangnya
f. Dalam hal nasabah mampu, tetapi tidak mengembalikan
bank dapat mengenakan sanksi
g. Sumber dana qardh untuk kegiatan
usaha yang bersifat sosial dapat berasal
dari modal, keuntungan yang
disisihkan, dan dari dana infak.
h. Sumber dana qardh yang utk kegiatan
usaha yang bersifat talangan dana
komersial jangka pendek
diperbolehkan dari dana pihak ketiga
yang bersifat investasi sepanjang tidak
merugikan kepentingan nasabah
pemilik dana.
Implementasi Akad Qardh dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 150 – 151.
PRODUK PEMBIAYAAN
PRODUKTIF
Al-Mudharabah (Sbg produk
penyaluran dana)
 Pengertian :  Jenis Mudharabah :
– Akad kerjasama antara dua pihak – Mudharabah Mutlaqah (tanpa
dimana pihak pertama menyediakan
seluruh modal (100%), sedang syarat)
pihak lain menjadi pengelola. – Mudharabah Muqayyadah
Keuntungan usaha mudharabah (dengan syarat)
dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, kerugian  Aplikasi pada perbankan :
ditanggung oleh pemodal selama – Sisi Pembiayaan :
kerugian tidak akibat kelalaian
pengelola • Pembiayaan modal kerja
 Landasan : • Investasi khusus
– Al-Qur’an :
• QS. Muzamil : 20;
• Al-Jum’ah : 10;
• Al-Baqarah : 198
Penjelasan
1) Mudharabah muthlaqah: bentuk kerja sama antara
shahibul maal dan mudharib yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu, dan daerah bisnis. (Banyak dipakai
dalam produk penghimpunan dana berupa tabungan
dan deposito).
2) Mudharabah muqayyadah: bentuk kerja sama
dimana mudharib dibatasi jenis usahanya, waktu,
atau tempat usaha. (Banyak dipakai dalam produk
penyaluran dana berupa pembiayaan)
Syarat2 Pembiayaan Mudharabah
a. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan
dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib
yang mengelola dana dalam kegiatan usaha
b. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan
bank dan nasabah
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi
memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha
nasabah
d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang
e. Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus
dinyatakan jumlahnya
f. Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka
barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan harga
perolehan atau harga pasar yang wajar
g. Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan
dalam bentuk nisbah yang disepakati
h. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang
dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai
atau menyalahi perjanjian
i. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah
sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar
kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut
j. Nisbah bagi hasil dapat diterapkan secara berjenjang yang
besarnya berbeda berdasarkan kesepakatan pada awal akad
k. Metode pembagian keuntungan: profit and loss sharing atau
revenue sharing
l. Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari
mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha bagi usaha
mudharib
m. Dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dlm
kegiatan usaha yang dibiayai bank maka berlaku
ketentuan: nasabah bertindak sbg mitra usaha dan
mudharib, sehingga nasabah berhak mengambil
keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan
dibagi sesuai kesepakatan antara bank dan nasabah
n. Pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode
akad, untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai
dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran
berdasarkan aliran kas masuk.
o. Bank dapat meminta jaminan/agunan sbg langkah
antisipasi risiko, apabila nasabah tidak memenuhi
kewajibannya sesuai dengan akad.
Manfaat al-mudharabah
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil
pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan
dengan cash flow/arus kas usaha nasabah
sehingga tidak memberatkan nasabah.
3) Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari
usaha yang benar-benar halal, aman, dan
menguntungkan karena keuntungan yang
konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
4) Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah berbeda
dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi
krisis ekonomi.
Risiko al-Mudharabah
1) Side streaming: nasabah yang
menggunakan dana itu bukan seperti yang
disebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah
bila nasabahnya tidak jujur.
Skema Mudharabah
Perjanjian Bagi Hasil

Keahlian Modal
100%
Proyek
Nasabah
Bank

Keuntungan

Bagi Hasil sesuai


Nisbah X% dengan Nisbah Nisbah Y% Pengembalian Modal
Pokok

Modal
Skema Mudharabah Muqayyadah Chanelling

Perjanjian arrange
fee
Bank

2a. Modal 1. Arranger


2b. Proyek
Nasabah Mudharib

3.Proyek

4. Bagi Hasil

5. Modal
Skema Mudharabah Muqayyadah Executing
Perjanjian bagi hasil,
bagi risiko, arrange
fee Bank
1. Arranger + Modal

2a. Modal
2b. Proyek
Nasabah Mudharib

3.Proyek

X% Y%
4. Bagi Hasil
Z%
A 5. Modal B
Implementasi Akad Musyarakah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 138 – 140.
Al-Musyarakah
 Pengertian :
– Akad kerjasama antara dua pihak  Jenis Musyarakah :
atau lebih untuk suatu usaha – Syirkah Al-Inan ( atas modal)
tertentu di mana masing-masing – Syirkah Mufawadah
pihak memberikan kontribusi (persamaan atas modal &
dana atau keahlian dengan pengelolaan)
kesepakatan bahwa keuntungan – Syirkah A’mal (menerima
dan risiko akan ditanggung order untuk dua orang)
bersama sesuai dengan – Syirkah Wujuh (tanpa modal/
kesepakatan nama baik)
– Syirkah Al-Mudharabah
 Landasan : (modal dengan keahlian)
– Al-Qur’an :  Aplikasi pada perbankan :
• QS. An-Nisa : 12; – Pembiyaan Proyek
• QS. Ash-Shad : 24 – Modal Ventura
Penjelasan
a) Pembiayaan Proyek: Nasabah dan bank
sama-sama menyediakan dana utk
membiayai proyek tsb. Setelah proyek selesai
nasabah mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b) Modal Ventura: Penanaman modal
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan
setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat
Syarat2 Pembiayaan Musyarakah
a. Bank dan nasabah masing-masing
bertindak sebagai mitra usaha dengan
bersama-sama menyediakan dana
dan/atau barang untuk membiayai suatu
kegiatan usaha tertentu.
b. Nasabah bertindak sebagai pengelola
usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat
ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai
dengan tugas dan wewenang yang
disepakati.
c. Bank beradasarkan kesepakatan dengan
nasabah dapat menunjuk nasabah untuk
d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai/barang
e. Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk
barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai
secara tunai berdasarkan kesepakatan.
f. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara bank dan nasabah.
g. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama
sesuai dengan kesepakatan.
h. Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana
dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati
i. Bank dan nasabah menanggung kerugian
secara proporsional menurut porsi modal
masing-masing, kecuali jika terjadi
kecurangan, lalai atau menyalahi perjanjian
dari salah satu pihak.
j. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat
diubah sepanjang waktu investasi, kecuali
atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak
berlaku surut
k. Nisbah bagi hasil dapat diterapkan secara
berjenjang yang besarnya berbeda-beda
berdasarkan kesepakatan pada awal akad
l. Pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan
metode bagi untung atau rugi [profit and loss
sharing] atau metode bagi pendapatan [revenue
sharing]
m. Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha
sesuai dengan laporan keuangan nasabah
n. Pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada
akhir periode akad atau dilakukan secara angsuran
berdasarkan aliran kas masuk/cash flow
o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk
mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat
memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
akad karena kelalian dan atau kecurangan.
Manfaat al-Musyarakah
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah
tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah
tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap,
tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha
bank, sehingga bank tidak akan mengalami
negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan
dengan cash flow/arus kas usaha nasabah,
sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)
mencari usaha yang benar-benar halal, aman,
dan menguntungkan.
5) Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda
dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) bunga
tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan
nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi
krisis ekonomi.
Risiko dalam Musyarakah
1) Side streaming: nasabah
menggunakan dana itu bukan seperti
yang disebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja
dalam menggunakan dana.
3) Penyembunyian keuntungan oleh
nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
Skema Musyarakah

Proyek
Nasabah Bank

Keuntungan

Bagi Hasil sesuai


dengan Nisbah
Implementasi Akad Musyarakah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 144 – 145.
Eksistensi Jaminan
Dalam produk penyaluran dana bank syariah berupa
pembiayaan berlaku prinsip bahwa semua bentuk
pembiayaan dapat dimintakan jaminan oleh bank,
kecuali pembiayaan mudharabah.
Mudharabah tidak diperbolehkan mensyaratkan
jaminan karena hakikatnya dibuat berdasarkan
kepercayaan, oleh karena itu sering disebut sebagai
Trust Financing.
Kepercayaan dari shahibul maal terhadap mudharib
itulah yang hakikatnya menjadi jaminan atas
suksesnya suatu pembiayaan.
Pada praktik perbankan syariah di Indonesia, jaminan
(collateral) atas pembiayaan mudharabah merupakan
suatu keniscayaan.
Argumentasi hukum yang dapat diberikan adalah
karena bank adalah lembaga keuangan yang harus
menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential
principle).
Di samping itu karena untuk kondisi saat ini,
khususnya dalam kontek perbankan jumlah
mudharib-nya banyak sehingga nasabah deposan yang
mempercayakan dananya dalam suatu bank tidak
mengenal karakter dari mudharib.
Dengan demikian pada dasarnya
keberadaan jaminan adalah dalam rangka
lebih menjamin pembayaran/pemenuhan
kewajiban Nasabah dengan tertib dan secara
sebagaimana mestinya oleh Nasabah kepada
Bank.
Biasanya pengikatan barang jaminan
sebagai agunan akan dibuat dalam suatu
akta/akad tersendiri sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
PRODUK PERBANKAN SYARIAH
DI BIDANG JASA
Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya.
Atau pemindahan beban utang dari muhil (orang yang
berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang
yang berkewajiban membayar utang).
Dasar hukum:
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu
adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah seorang dari
kamu diikutkan (di-hiwalah-kan) kepada orang yang
mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.” (H.R Bukhari
dan Muslim)
Hiwalah (Lanjutan)
 Fatwa DSN-MUI no: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Hiwalah, menyebutkan bahwa ketentuan umum akad
hiwalah adalah:
a. Rukun hiwalah adalah muhil, yakni orang yang
berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau
muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal
alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan
wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih,
yakni hutang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-
qabul).
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad).
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
d. Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil,
muhal/muhtal dan muhal ‘alaih.
e. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus
dinyatakan dalam akad secara tegas.
f. Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak
yang terlibat hanyalah muhal dan muhal ‘alaih; dan
hak penagihan muhal berpindah kepada muhal
‘alaih.
Manfaat dan Risiko Hiwalah
a. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang
dengan cepat dan simultan.
b. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi
yang membutuhkan.
c. Dapat menjadi salah satu fee based income bagi
bank syariah.
Risiko: adanya kecurangan nasabah dengan
memberi invoice palsu atau wanprestasi untuk
memenuhi kewajiban hawalah ke bank.
Implementasi Akad Hiwalah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 157 – 158.
Kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau
yang ditanggung.
Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Dasar hukum kafalah dapat dijumpai dalam Q.S
Yusuf: 72
Kafalah (Lanjutan)
 Fatwa DSN-MUI no: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Kafalah, menyebutkan bahwa ketentuan umum dari
kafalah adalah:
a. Pernyatan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad)
b. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan
(fee) sepanjang tidak memberatkan
c. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak
boleh dibatalkan secara sepihak
Implementasi akad kafalah dalam Perbankan Syariah
adalah dalam produk Bank Garansi
Implementasi Akad Kafalah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 162.
Wakalah
 Akad pemberian kuasa dari satu orang kepada
orang lain untuk bertindak melakukan suatu
urusan untuk dan atas nama pihak pemberi
kuasa
 Ketentuan tentang Wakalah dlm Fatwa DSN-
MUI no: 10/DSN-MUI/IV/2000, adalah sbb:
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh
para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan
tidak boleh dibatalkan secara sepihak .
Implementasi Akad Wakalah
dalam Perbankan Syariah
Sebagai produk mandiri,akad wakalah
dapat diimplementasikan dalam
Kliring, Inkaso, L/C
Sedangkan sebagai produk pelengkap,
wakalah biasanya juga diterapkan pada
akad pembiayaan murabahah
Gadai/Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta
milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya.
Rahn diatur dalam Fatwa DSN-MUI no:
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn
dibolehkan setelah memenuhi persyaratan
tertentu, yaitu:
Ketentuan akad Rahn
 Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan Marhun (barang) sampai semua hutang
Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
 Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin.
Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan
oleh Murtahin kecuali seizin Rahin ,dengan tidak
mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
 Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban Rahin.
 Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
 Penjualan Marhun
 Apabila jatuh tempo, Murtahin harus
memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
hutangnya.
 Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya,
maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang
sesuai syariah.
 Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi
hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penujualan.
 Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Aplikasi Rahn dalam Perbankan
a. Sebagai Produk Pelengkap, artinya sebagai akad
tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain
seperti dalam pembiayaan bai’ al murabahah. Bank
dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut.
b. Sebagai Produk Tersendiri, artinya sebagai alternatif
dari pegadaian konvensional. Oleh karena itu tidak
mendasarkan bunga, namun nasabah dikenakan
biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta
penaksiran.
Biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Manfaat ar-Rahn
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau
bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan bank.
b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan
pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar
janji, karena ada suatu aset yang dipegang oleh bank.
c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian,
maka akan dapat membantu masyarakat yang
kesulitan dana.
Risiko ar-Rahn
a. Risiko tak terbayarnya utan nasabah
(wanprestasi)
b. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan
atau rusak.
Jasa Pertukaran Mata Uang atas Dasar Akad
Sharf
Syarat-syarat yang harus dipenuhi:
a. Bank dapat bertindak baik sebagai pihak yang menerima
penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari atau
kepada nasabah;
b. Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis
(valuta asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi
spot;
c. Dalam hal transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata
uang berlainan jenis dalam kegiatan money changer, maka
transaksi harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar
(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan
(Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS
Jakarta, 17 Maret 2008)
Implementasi Akad Kafalah dalam
Produk Perbankan Syariah
 Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
 Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No.
10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
 Lihat: PSI hal 175.
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah (Non
Performing Finance)
 Pembiayaan bermasalah intinya adalah suatu
kondisi yang terjadi pada diri nasabah, sehingga
padanya tidak dapat menunaikan kewajiban-
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
 Penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat
ditempuh melalui:
1. First way out : Restrukturisasi Pembiayaan
2. Second way out: Eksekusi Jaminan
First Way Out:
Restrukturisasi Pembiayaan
Adalah upaya yang dilakukan Bank dalam
rangka membantu nasabah agar dapat
menyelesaikan kewajibannya, antara lain
melalui: Penjadwalan kembali
(rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali
(restructuring).
Latar belakang restrukturisasi
Untuk menghindari risiko kerugian.
Merupakan salah satu upaya untuk
menjaga kelangsungan usaha nasabah
pembiayaan.
Restrukturisasi pembiayaan harus
memperhatikan prinsip syariah dan
prinsip kehati-hatian
Bentuk-bentuk restrukturisasi
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu
perubahan jadwal pembayaran kewajiban
nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu
perubahan sebagian atau seluruh persyaratan
Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal
pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu
dan/atau pemberian potongan sepanjang
tidak menambah sisa kewajiban nasabah
yang harus dibayarkan kepada Bank;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu
perubahan persyaratan Pembiayaan tidak
terbatas pada rescheduling atau reconditioning,
antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga
syariah berjangka waktu menengah;
4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal
sementara pada perusahaan nasabah.
BUS dan UUS dapat mengenakan ganti rugi (ta’widh)
kepada nasabah dalam rangka Restrukturisasi
Pembiayaan sebesar biaya riil yang dikeluarkan dalam
rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan
oleh nasabah dan bukan potensi kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena
adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-
furshah al-dha-I’ah)
Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS
dan UUS dengan nasabah dalam Restrukturisasi
Pembiayaan harus dituangkan dalam addendum akad
Pembiayaan atau akad pembiayaan baru.
Kebijakan dan prosedur yang harus dimiliki BUS
dan UUS dalam rangka restrukturisasi
pembiayaan
1. Penetapan satuan kerja khusus untuk menangani
Restrukturisasi Pembiayaan;
2. Penetapan limit wewenang memutus pembiayaan
yang direstrukturisasi;
3. Kriteria Pembiayaan yang dapat direstrukturisasi;
4. Sistem dan Standard Operating Procedure
Restrukturisasi Pembiayaan;
5. Sistem informasi manajemen Pembiayaan yang
direstrukturisasi.
Second Way Out
Langkah ini ditempuh setelah langkah pertama
(first way out) gagal atau dinyatakan gagal.
Langkah dimaksud berupa eksekusi terhadap
jaminan yang ada.
Jaminan yang dieksekusi adalah jaminan
kebendaan yang telah diberikan oleh nasabah.
Ekesekusi jaminan dilakukan apabila nasabah
sudah benar-benar tidak mempunyai iktikad baik
untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
restrukturisasi pembiayaan dapat dibaca
pada PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang
Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
Langkah-langkah yg bisa ditempuh oleh para
pihak dalam rangka dispute resolution
1. Penyelesaian Internal melalui jalur
musyawarah
2. Penyelesaian melalui perantara pihak
ketiga (non litigasi)
a. Lembaga Pengaduan Nasabah
b. Mediasi
3. Penyelesaian sengketa melalui litigasi:
a. Arbitrase (UU No. 30/1999)
b. Peradilan Agama (UU No. 3/2006)
Penyelesaian Sengketa
(Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah)
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
 Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah
upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Contoh Klausula Penyelesaian Sengketa
 Penyelesaian Perselisihan
1. Apabila di kemudian hari terjadi perbedaan pendapat atau
penafsiran atas hal-hal yang tercantum di dalam Akad ini
atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan
Akad ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya
secara musyawarah untuk mufakat.
2. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud ayat 1 Pasal ini tidak tercapai, maka Para Pihak
bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri
satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menurut
Peraturan dan Prosedur Arbitrase yang berlaku di dalam
Badan Arbitrase tersebut.
3. Para pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri
satu terhadap yang lain, bahwa pendapat hukum (legal
opinion) dan/atau putusan yang ditetapkan oleh
BASYARNAS tersebut sebagai keputusan tingkat
pertama dan terakhir.
4. Tanpa mengurangi tempat pokok BASYARNAS di
Jakarta yang ditentukan di dalam Peraturan dan
Prosedur Arbitrase BASYARNAS, Para Pihak
bersepakat memilih tempat pelaksanaan arbitrase di
kota tempat cabang BANK berada. Namun penunjukan
dan pembentukan Arbiter atau Majelis Arbitrase
dilakukan oleh Ketua BASYARNAS.
5. Mengenai pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS,
sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Para Pihak sepakat bahwa Para
Pihak dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan
BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Negeri di
wilayah hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan pada klusula tersebut menunjukkan bahwa
terhadap sengketa perbankan syariah bisa diselesaikan
melalui berbagai forum, pada bagian berikut akan
dipaparkan mengenai mekanisme dan forum
penyelesaian sengketa.
Penyebab terjadinya sengketa
1. Wanprestasi: tidak dipenuhinya prestasi oleh salah
satu pihak berupa tidak berprestasi sama sekali,
berprestasi tetapi tidak tepat, terlambat dalam
berprestasi, atau melakukan sesuatu yang dilarang
dalam perjanjian.
2. Perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigdaad):
intinya adalah perbuatan yang dilakukan dengan
kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi pihak
lain sehingga pihak dimaksud wajib mengganti
kerugian.
3. Force Majeur: keadaan dimana seorang debitur tidak
dapat berprestasi karena adanya keadaan yang tidak
dikehendaku dan diluar batas kemampuannya.
Contoh wanprestasi pada Akad Syariah
1. Nasabah tidak melaksanakan kewajiban
pembayaran/pelunasan (harga sewa, harga beli, bagi hasil)
tepat pada waktu yang diperjanjikan sesuai dengan tanggal
jatuh tempo atau jadwal angsuran yang telah diserahkan
NASABAH kepada BANK;
2. Dokumen atau keterangan yang dimasukkan/disuruh
masukkan ke dalam dokumen yang diserahkan NASABAH
kepada BANK, sebagaimana dimaksud palsu, tidak sah, atau
tidak benar;
3. Pihak yang bertindak untuk dan atas nama serta mewakili
NASABAH dalam Akad ini menjadi pemboros, pemabuk, atau
dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti (in
kracht van gewijsde) karena tindak pidana;
4. Dst
Akibat Cidera Janji (Wanprestasi):
Akad Ijarah
 Dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267
KUH Perdata, Bank berhak untuk:
1. Menghentikan jangka waktu sewa yang ditentukan dalam
Akad ini dan BANK berhak meminta NASABAH untuk
membayar sisa Harga Sewa serta mengembalikan atau
menyerahkan kembali Obyek Sewa kepada BANK dalam
kondisi baik dan layak serta mengosongkan Obyek Sewa
tersebut; atau
2. Menyewakan Obyek Sewa tersebut kepada pihak ketiga
lainnya yang ditunjuk oleh BANK tanpa memerlukan
persetujuan NASABAH dan NASABAH bersedia untuk
mengembalikan atau menyerahkan kembali Obyek Sewa
kepada BANK dalam kondisi baik dan layak serta
mengosongkan Obyek Sewa tanpa berhak atas ganti rugi
apapun dari BANK.
Dengan demikian
Akibat cidera janji (wanprestasi) adalah
dapat menghentikan seluruh atau sebagian
dari isi Akad ini, menagih seketika dan
sekaligus jumlah kewajiban NASABAH
kepada BANK sebelum jangka waktu Akad
berakhir.
Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 KUH Perdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1366 KUH Perdata:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kurang hati-hati.”
Bentuk-bentuk perbuatan
melawan hukum
Perbuatan yang bertentangan dengan Peraturan
perundang-undangan.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku.
Perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban
umum.
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Bahwa terhadap perbuatan melawan hukum ujung-
ujungnya adalah ganti kerugian, dimana terlebih
dahulu harus dibuktikan adanya kubungan kausalitas
antara kerugian dengan perbuatan melawan hukum
tersebut. Beban pembuktian ada pada penggugat.
Force Majeure (Penuangannya dalam Akta)
1. Force Majeure yaitu peristiwa-peristiwa yang disebabkan
oleh bencana alam, kerusuhan, huru-hara,
pemberontakan, epidemi, sabotase, peperangan,
pemogokan, kebijakan pemerintah atau sebab lain di luar
kekuasaan NASABAH dan BANK.
2. Dalam hal terjadi Force Majeure, maka Pihak yang
terkena akibat langsung dari Force Majeure tersebut
wajib memberitahukan secara tertulis dengan
melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/ Instansi yang
berwenang kepada Pihak lainnya mengenai peristiwa
Force Majeur tersebut dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas hari kerja) terhitung sejak tanggal Force
Majeure ditetapkan.
3. Keterlambatan atau kelalaian Para Pihak untuk
memberitahukan adanya Force Majeure tersebut
mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa
tersebut sebagai Force Majeure oleh Pihak lain.
4. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul
akibat terjadinya Force Majeure akan
diselesaikan oleh NASABAH dan BANK secara
musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa
mengurangi hak-hak BANK sebagaimana diatur
dalam Akad ini.
Lembaga Pengaduan Nasabah
Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan
Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi
kerugian finansial pada Nasabah yang diduga
karena kesalahan atau kelalaian Bank.
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa
Bank, termasuk pihak yang tidak memiliki
rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk
melakukan transaksi keuangan (walk-in
customer).
Dasar Hukum
PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah.
PBI No. 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan
Atas PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Ketentuan dalam Lembaga Pengaduan
Nasabah
 Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan
Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah terkait dengan
permasalahan yang muncul akibat kelalaian bank dalam
transaksi keuangan.
 Transaksi Keuangan adalah pemanfaatan produk dan atau
jasa perbankan maupun produk dan atau jasa lembaga
keuangan lain dan atau pihak ketiga lainnya yang
ditawarkan melalui Bank.
 Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan
mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang
diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan
atau Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh
suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang
menjadi Nasabah Bank tersebut
Pada prinsipnya, Bank tidak diperkenankan
menolak setiap pengaduan yang diajukan secara
lisan maupun tertulis.
Untuk pengaduan lisan, bank wajib
menyelesaikannya dalam waktu 2 hari kerja.
Untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan
dalam waktu 20 hari kerja dan dapat diperpanjang
hingga 20 hari kerja berikutnya apabila terdapat
kondisi-kondisi tertentu.
Tujuan Lembaga Pengaduan
Nasabah
 Dari perspektif regulator, penerbitan PBI
Penyelesaian Pengaduan Nasabah ini
memiliki dua tujuan utama, yaitu:
1. untuk memelihara dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga
perbankan.
2. untuk menurunkan publikasi negatif
terhadap bank yang dapat mempengaruhi
reputasi bank tersebut.
Manfaat bagi Bank
1. Mengidentifikasi permasalahan yang terdapat pada
produk-produk yang ditawarkannya kepada
masyarakat;
2. Mengidentifikasi penyimpangan kegiatan
operasional pada kantor-kantor bank tertentu yang
mengakibatkan kerugian pada nasabah;
3. Memperoleh masukan secara langsung dari nasabah
mengenai aspek-aspek yang harus dibenahi untuk
mengurangi risiko operasional; dan
4. Memperbaiki karakteristik produk untuk
menyesuaikannya dengan kebutuhan nasabah.
Penyelesaian Melalui Proses Mediasi
Perbankan
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak
ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasihat (Dept. P&K, 1997:640).
Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian
Sengketa yang melibatkan mediator untuk
membantu para pihak yang bersengketa guna
mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan
sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang disengketakan.
Dasar Hukum Mediasi Perbankan
UU No. 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan
PBI dimaksud telah diubah dengan
PBI No. 10/1/PBI/2008
Elemen Mediasi
Penyelesaian sengketa sukarela
Berbentuk intervensi/bantuan
Pihak ketiga yang tidak berpihak
Putusan diambil oleh para pihak yang
bersengketa itu sendiri berdasarkan
konsensus
Dibutuhkan adanya partisipasi aktif dari
pihak yang bersengketa
Pengaturan Mediasi Perbankan oleh
Bank Indonesia
1. Nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa
melalui mediai kepada Bank Indonesia.
2. Proses mediasi yang dilakukan Bank Indonesia hanya sengketa
dengan nilai klaim maksimen sebesar Rp. 500 juta.
3. Proses mediasi dapat dilaksanakan apabila kasus yang
diajukan memenuhi persyaratan.
4. Pelaksanaan proses mediasi sejak ditandatanganinya
perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan
penandatanganan Akta Kesepakatan dilaksanakan dalam
waktu 30 hari kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30
hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan
bank.
5. Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan menyeluruh,
kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atas
kasus yang disengketakan.
Penyelenggara Mediasi Perbankan
Lembaga Mediasi perbankan independen yang
dibentuk asosiasi perbankan
Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan
dibentuk selambat-lambatnya 31 Des 2007),
sehingga fungsi Mediasi Perbankan utk
sementara dilaksanaan oleh Bank Indonesia.
Fungsi Mediasi Perbankan yang dilaksankan
oleh Bank Indonesia tersebut hanya terbatas
pada upaya membantu nasabah dan bank
untuk mengkaji ulang sengketa secara
mendasar dalam rangka memperoleh
kesepakatan
Syarat Bagi Mediator (Ps. 5 PBI No.
8/5/PBI/2006 )
 Dalam rangka melaksanakan fungsi
Mediasi Perbankan, Bank Indonesia akan
menunjuk Mediator, dengan kualifikasi
sebagai berikut:
a. Memiliki pengetahuan di bidang
perbankan, keuangan, dan atau hukum.
b. Tidak mempunyai kepentingan finansial
atau kepentingan lain atas penyelesaian
sengketa.
c. Tidak memiliki hubungan sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua
dengan Nasabah atau Perwakilan Nasabah
Sengketa yang bisa diajukan melalui
Mediasi Perbankan
1. Sengketa tersebut memiliki nilai tuntutan
finansial paling banyak Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
2. Nasabah tidak dapat mengajukan
tuntutan finansial yang diakibatkan oleh
kerugian immateriil.
(Pasal 6 PBI No. 8/5/PBI/2006)
Proses Beracara
1) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka
Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia
dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan
Nasabah.
2) Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah
mengajukan penyelesaian Sengketa kepada
Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi
panggilan Bank Indonesia.
(Pasal 7 PBI No. 8/5/PBI/2006)
Syarat2 Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui
Mediasi Perbankan (Pasal 8 No. 8/5/PBI/2006)
1) diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen
pendukung yang memadai;
2) pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah
kepada Bank;
3) Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau
belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau
peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang
difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
4) Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa
keperdataan;
5) Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam
Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank
Indonesia; dan
6) pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60
(enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil
penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank
Setelah persyaratan di atas terpenuhi, maka
pengajuan penyelesaian sengketa di sampaikan
kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi
Perbankan Bank Indonesia, yang beralamat di
Menara Radius Prawiro Lantai 19, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10110 (Ps. 15 PBI No.
8/5/PBI/2006)
Kapan Proses Mediasi akan
dilaksanakan?
 Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau
Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani
perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang
memuat:
a. Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai
alternatif penyelesaian Sengketa; dan
b. Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan
Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
 Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian
Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah
atau Perwakilan Nasabah dan Bank
Perwakilan Nasabah
Ps 10 PBI No. 8/5/PBI/2006
1. Nasabah dan Bank dapat memberikan
kuasa kepada pihak lain dalam proses
mediasi.
2. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan surat
kuasa khusus yang paling sedikit
mencantumkan kewenangan penerima
kuasa untuk mengambil keputusan.
Hasil Kesepakatan dalam Mediasi
Perbankan
Kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan
Nasabah dengan Bank yang dihasilkan dari proses
mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang
ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan
Nasabah dan Bank (Ps. 12)
Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian
sengketa perbankan antara Nasabah dengan Bank
yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta
Kesepakatan (Ps. 13)
Penyelesaian Sengketa Melalui Badan
Arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian sengketa
perdata diluar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Ps. 1 angka 1 UU No. 30/1999
ttg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa)
Jadi, sebelum proses arbitrase dilaksanakan
para pihak harus membuat perjanjian
arbitrase terlebih dahulu
Legitimasi Penyelesaian Sengketa
Melalui Arbitrase
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang
bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka
(open system), oleh karenanya terdapat
kebebasan bagi para pihak dalam menentukan:
Materi/isi perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
Cara menyelesaikan sengketa
Dasar Hukum Arbitrase
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
“ketentuan ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan
negara melalui perdamaian atau arbitrase”.
Pasal 5 UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang
menyatakan Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Bentuk-bentuk Arbitrase
1. Arbitrase ad hoc, adalah bentuk arbitrase
yang bukan lembaga, melainkan dibentuk
pada saat sengketa terjadi sehingga akan
bubar ketika sengketa sudah dapat
diselesaikan.
2. Arbitrase institutional, adalah bentuk
arbitrase berupa lembaga, misalnya BANI,
BAPMI, dan BASYARNAS.
Jenis Perjanjian Arbitrase
1. Pactum de Compromittendo, adalah
pernjanjian arbitrase yg dibuat oleh para pihak
sebelum suatu sengketa terjadi. Biasanya
menyatu dengan perjanjian pokok, yaitu
dengan pencantuman klausula arbitrase
2. Acta Kompromis, adalah perjanjian arbitrase
yang dibuat setelah suatu sengketa terjadi.
Catatan:Perjanjian arbitrase wajib didaftarkan
kepada Badan Arbitrase yang ditunjuk,
misalnya BANI, khusus untuk sengketa di
Bank Syariah biasanya akan memakai Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Yurisdiksi BASYARNAS
1. Dispute Resolution
“ Penyelesaian sengketa yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa
dll, dimana para pihak sepakat secara tertulis
untuk menyerahkan penyelesaian kepada
BASYARNAS. Dalam hal ini adalah sengketa di
bidang ekonomi syariah”
2. Legal Binding Opinion
“Memberikan suatu pendapat yang mengikat
tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian atas
permintaan para pihak”
Syarat yg harus dipenuhi oleh Arbiter
(Ps 12 UU No. 30/99)
1. cakap melakukan tindakan hukum;
2. berumur paling rendah 35 tahun;
3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah
satu pihak bersengketa;
4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau
kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
5. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Catatan: Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan
lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter
Prosedur Beracara di BASYARNAS
 Penyelesaian sengketa di Basyarnas, dapat
dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:
1. Pendaftaran
2. Prosedur penyelesaian
3. Eksekusi Putusan
1. Pendaftaran
a. Sebelum sengketa (pactum de
compromittendo), dengan
mencantumkan “ Arbitration Clause”
atau perjanjian arbitrase yang
terpisah dari perjanjian pokok.
b. Setelah sengketa (akta kompromis)
2. Prosedur Penyelesaian
a. Pendaftaran surat permohonan arbitrase yang
memuat : Nama lengkap dan tempat tinggal atau
tempat kedudukan para pihak, uraian singkat
tentang sengketa, dan tuntutan.
b. Dengan melampirkan perjanjian khusus yang
menyerahkan penyelesaian sengketa kepada
BASYARNAS atau perjanjian pokok yang memuat
arbitration clause.
c. Penetapan/penunjukan arbiter (tunggal/majelis)
d. Penawaran perdamaian, yang apabila diterima
arbiter membuatkan akta perdamaian dan apabila
tidak diterima, maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan.
e. Pemeriksaan sengketa.
f. Putusan Arbitrase.
3. Eksekusi Putusan Arbitrase
a. Putusan yang sudah ditandatangani arbiter bersifat
final and binding.
b. Salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan
di kepaniteraan PN.
c. Bilamana putusan tidak dilaksanakan secara
sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah
ketua PN.
 Catatan: Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 2008, fiat eksekusi terhadap
Putusan BASYARNAS diberikan oleh Ketua
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal Termohon.
Prinsip-prinsip persidangan dalam
BASYARNAS
a. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh
Majelis Arbiter.
b. Sederhana dan penuh kekeluargaan guna
mencapai kesepakatan penyelesaian
sengketa secara adil, bijaksana dan
disepakati bersama.
c. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup.
d. Penyelesaian perkara mengutamakan
prinsip “damai/islah”.
e. Jika perdamaian tidak tercapai, proses
pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana
halnya pemeriksaan di Pengadilan resmi
dengan memberikan kesempatan kepada
para pihak secara adil/seimbang.
f. Putusan diambil atas dasar musyawarah
Majelis Arbiter dengan mengindahkan
tuntutan syariat Islam.
Penyelesaian Sengketa di PA
Pada awalnya PA tidak memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syariah.
Munculnya UU No. 3/2006 yang
merubah UU No. 7/1989, memperluas
kewenangan PA untuk dapat
menerima, memeriksa, dan memutus
sengketa di bidang ekonomi syariah,
termasuk sengketa pada bank syariah.
Lingkup Perluasan Kewenangan PA (Pasal 49
huruf i)
Penjelasan Pasal 49 Huruf i Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah,
meliputi : a. bank syariah, b. asuransi
syariah, c. reasuransi syariah, d. reksadana
syariah, e. obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, f.
sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h.
pegadaian syariah, i. Dana pensiun lembaga
keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k.
lembaga keuangan mikro syariah
Crussial Issues
Adanya pengurangan secara sistematis terhadap
kompetensi absolut Peradilan Agama.
Adanya pengurangan kompetensi absolut secara
sistematis ditunjukkan oleh Pasal 55 UU No. 21
Tahun 2008 yang memberikan kesempatan bagi
Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa di
bidang Perbankan Syariah.
Di sisi lain adanya ketentuan yang demikian justru
sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang
berlaku dalam penyelesaian sengketa keperdataan
dalam hukum perjanjian
……Lanjutan
Penyelesaian melalui Peradilan
Umum hanya dapat ditempuh
sepanjang diperjanjikan oleh para
pihak dalam akad dan penyelesaiannya
tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah.

Anda mungkin juga menyukai