Anda di halaman 1dari 17

Kasus

Kewirausahaan
RITHA WIDYA PRATIWI,MARS,APT

Beberapa minggu yang lalu saya silaturahmi ke rumah

teman menunauikan ibadah haji. Wah ternyata ada


perubahan yang sangat signifikan pada usaha yang selama
ini beliau jalankan.
Haji Hambali, begitulah nama beliau orangnya pendiam,
namun dari pendiamnya tersebut ternyata menyimpan
potensi wirausaha yang luar biasa. Bagaimana tidak hanya
dalam kurun waktu 5 tahun usaha toko grosir, yang
dijalankan dari modal hanya Rp. 500.000,- itu kini
asetnya sudah lebih dari Rp 350 juta. Ditambah lagi beliau
dan istri sudah menunaikan haji.

Diawal perjalanan usaha beliau sempat terhenti, karena

usaha beliau menawarkan barang ke toko kelontong


disekitar rumahnya gagal. Dalam kondisi semangat
sedang menurun Allah mengirimkan pertolongan, ada
salah satu tetangganya berniat kolakan ketempat
beliau. Karena modal yang cekak tersebut maka, agar
dapat bersaing dengan toko grosir yang ada dipasar
yang tidak jauh dari rumahnya, belaau berani tidak
mengambil untung. Jadi praktis kerja bakti.
.

Transaksi

pertama tersebut cukup memberi


semangat dan inspirasi., Akhirnya berkat keuletan
dan keramahan beliau dalam menawarkan
dagangannya dan melayani pelanggan, satu persatu
pelanggan mulai didapatkan. Beliau membawa dan
menawarkan dagangannya menggunakan motor.
Cara ini untuk mensiasati agar pelanggan tidak tahu
bahwa beliau hanya bermodal cekak

Kemudian dengan konsep, hidup sederhana dan

menahan segala keinginan, keuntungan yang


diperoleh digunakan untuk menambah modal. Maka
tidak heran dalam waktu relative singkat , 5 tahun
modal yang hanya Rp. 500.000,- bisa menjadi Rp.
350 juta lebih.

Kesederhanaan beliau tercermin dari ketika beliau naik haji, saya


perhatikan beliau tidak membeli barang yang mahal-mahal. Bahkan saya
sering memergoki belaui dan istri cukup makan mie instant saja yang
dibawah dari tanah air.
Yang lebih menarik lagi. Walau kini beliau terbilang sudah cukup sukses
namun beliau belum mau menikmati hasilnya untuk membeli mobil, yang
sudah menjadi ikon agar terlihat kaya.
Ya saya yakin, tanpa disadari beliau telah menerapkan prinsip ingin
menjadi kaya bukan kelihatan kaya.

Kasus 2

Cerita tentang Nurhayati, bukan cerita tentang kecantikan

belaka, tapi juga kisah tentang gagasan. Kejelian melihat pasar.


Jatuh bangun membesut bisnis. Pantang menyerah. Keringat.
Dan selalu melihat " Pertolongan dari Atas" pada setiap
kemajuan yang dilalui.
Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 27 Juli 1950,
dia melewati masa belia di kota di sana. Dia sekolah di Diniyah
Putri. Lalu pindah ke kota Padang. Masa remajanya dilewati di
kota itu. Menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di
situ. Sesudah lulus dari sekolah menengah, dia kuliah di
Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung. Dia cerdas. Juga
rajin belajar. Kuliah tuntas lalu wisuda tepat pada waktu.

kecintaan pada kampung halaman, memulangkan

Nurhayati ke Sumatera Barat sesudah wisuda itu. Dia


bekerja sebagai apoteker di Rumah Sakit Umum di
Padang. Merasa cukup berbakti di sana, dia memilih
pindah ke Jakarta. Bekerja sebagai staf quality control
di sebuah perusahaan kosmetik yang sudah sohor.
Bekerja di perusahaan itu adalah dambaan para
professional muda lulusan farmasi. Dari rumahnya di
Kebayoran lama, Nurhayati melaju ke kantor
perusahaan di timur Jakarta itu. Saban hari begitu

Dan Nurhayati adalah kata lain dari tekad. Dia mulai lagi. Dari

nol. Benar-benar nol. Modal awal pinjam dari tabungan suami.


Bayar gaji karyawan diambil dari gaji bulanan suami. Kerja keras
episode kedua ini juga ada hasilnya. Mesin pabriknya kembali
menyala, " Bahkan bisa bayar gaji dan THR para karyawan,"
kisahnya.
Sesudah itu mesin pabriknya terus menderu. Begitu untung, dia
melakukan inovasi. Dan salah satu inovasi itu masuk ke bisnis
kosmetik. Nurhayati jitu membidik konsumen. Merekam apa
yang diperluka dunia di sekitarnya. Dari pergaulan sehari-hari
dia merasa bahwa ada kebutuhan para muslimah untuk tampil
elegan. Merias diri secara bebas tanpa perlu cemas soal halal
tidaknya sebuah produk.

Dan karir di situ sesungguhnya sudah mulai berkilau. Tapi

sebuah kejadian kecil di perusahaan ini mendorongnya


keluar. " Saya kurang cocok dengan seorang petinggi di
situ," kenangnya .
Keluar dari perusahaan raksasa itu, dia tak mau menyerah.
Dapur harus mengepul. Semangat harus menyala. Dua
anaknya beranjak remaja, butuh uang yang cukup. Dia lalu
memulai bisnis sendiri. Dan itu tahun 1985. Sebuah
industri rumahan. Semula tenaga kerjanya cuma satu
orang. Pembantu rumah tangganya sendiri. Produk
pertama yang dibesut adalah sampo dengan merek Putri.
Dan membesarkan si putri itu mengucurkan keringat.

Si Putri itu mekar berkembang. Keuangan juga mulai

berkilau. Meski pelan diterima pasar. " Alhamdulillah,


sebagian besar salon menerima produk kami," kata
Nurhayati mengenang masa pahit itu. Saat itu
sejumlah produk besutannya dikenal di salon-salon
ternama di Jakarta. Sudahlah bisa diramalkan, masa
depan perusahaan ini bakal kemilau.
Tapi cobaan berat itu datang lima tahun kemudian.
Pabriknya hangus terbakar. Usaha yang dirintis dari
nol itu tiba-tiba saja jadi arang. Lenyap juga semua
mimpi yang sudah lama menyala itu.

Dihantam krisis ke titik nadir seperti itu, Nurhayati hendak

menutup perusahaan itu. Matematika bisnis sudah tak mungkin


membangkitkan usaha itu. Sudah tak masuk akal. Utang dibank
belum lunas. Ketika usaha ini merangkak naik, Nurhayati
memang membeli secara kredit sebuah mobil box. Mobil itulah
yang mengantarkan si Putri ke salon-salon. Jadi? Jalan paling
masuk akal, tutup itu usaha. Tapi Nurhayati bukan seorang
pebisnis belaka. Dia juga seorang ibu, yang bisa meleleh air mata
memikirkan nasib para karyawannya. " Bila perusahaan saya
tutup, bagaimana nasib mereka," kenangnya mengingat masamasa susah itu. Mencoba bangkit juga sungguh tak gampang.
Pabrik sudah hangus. Menyerah bukan pilihan.

Nurhayati seperti menemukan rumah usahannya.

Dia membidik segmen muslimah itu. Meramu


produk kosmetik yang kini kita kenal dengan nama
Wardah. Bunga mawar yang indah. Perlahan si
bunga itu mekar. Merangsek pasar. Mulai dikenali
dan jadi kosmetik langanan kalangan kelas
menengah ke atas. Kaki bisnis ini kuat. Konsumen
juga setia. Kesetian pemakai dan manajemen yang
kuat membuat Wardah sanggup melewati badai
krisis yang menggulung ekonomi Indonesia 1997.

Banyak cara ditempuh memasarkan produk kosmetik ini.

Selain lewat sejumlah agen di beberapa kota besar,


Wardah juga dipasarkan dengan cara Multi Level
Marketing (MLM). Dan kerja keras itu memang ada
hasilnya. Produk Wardah terus berkembang seiring
dengan membaiknya ekonomi nasional. Modal juga kian
banyak. Laba yang diraih dipakai untuk terus memperluas
jaringan pasar. Wardah kemudian merangsek ke pasar
Negara tetangga. Masuk ke kota-kota di Malaysia. Dan di
sana sejumlah produknya laku keras. Diminati banyak
muslimah di sana, bersaing dengan produk negeri
serumpun itu.

Kini Wardah menjadi salah satu produk kosmetik

terbesar di negeri ini. Banyak tokoh wanita dan


pesohor yang memakai produk kosmetik dan menjadi
bintang iklan perusahannya. Inneke Koesherawati
dan Dian Pelangi, yang ada dibaliho kecil di ruang
tamu itu, adalah dua contoh bintang itu. Inneke
adalah mantan artis. Dian Pelangi adalah desainer
hijab yang sukses dan sudah melalangbuana ke
sejumlah Negara. Dua wanita cantik itu adalah
bintang iklan Wardah. Syuting iklan itu hingga ke
kota Paris.

Anda mungkin juga menyukai