Beberapa minggu yang lalu saya silaturahmi ke rumah
teman menunauikan ibadah haji. Wah ternyata ada
perubahan yang sangat signifikan pada usaha yang selama ini beliau jalankan. Haji Hambali, begitulah nama beliau orangnya pendiam, namun dari pendiamnya tersebut ternyata menyimpan potensi wirausaha yang luar biasa. Bagaimana tidak hanya dalam kurun waktu 5 tahun usaha toko grosir, yang dijalankan dari modal hanya Rp. 500.000,- itu kini asetnya sudah lebih dari Rp 350 juta. Ditambah lagi beliau dan istri sudah menunaikan haji.
Diawal perjalanan usaha beliau sempat terhenti, karena
usaha beliau menawarkan barang ke toko kelontong
disekitar rumahnya gagal. Dalam kondisi semangat sedang menurun Allah mengirimkan pertolongan, ada salah satu tetangganya berniat kolakan ketempat beliau. Karena modal yang cekak tersebut maka, agar dapat bersaing dengan toko grosir yang ada dipasar yang tidak jauh dari rumahnya, belaau berani tidak mengambil untung. Jadi praktis kerja bakti. .
Transaksi
pertama tersebut cukup memberi
semangat dan inspirasi., Akhirnya berkat keuletan dan keramahan beliau dalam menawarkan dagangannya dan melayani pelanggan, satu persatu pelanggan mulai didapatkan. Beliau membawa dan menawarkan dagangannya menggunakan motor. Cara ini untuk mensiasati agar pelanggan tidak tahu bahwa beliau hanya bermodal cekak
Kemudian dengan konsep, hidup sederhana dan
menahan segala keinginan, keuntungan yang
diperoleh digunakan untuk menambah modal. Maka tidak heran dalam waktu relative singkat , 5 tahun modal yang hanya Rp. 500.000,- bisa menjadi Rp. 350 juta lebih.
Kesederhanaan beliau tercermin dari ketika beliau naik haji, saya
perhatikan beliau tidak membeli barang yang mahal-mahal. Bahkan saya sering memergoki belaui dan istri cukup makan mie instant saja yang dibawah dari tanah air. Yang lebih menarik lagi. Walau kini beliau terbilang sudah cukup sukses namun beliau belum mau menikmati hasilnya untuk membeli mobil, yang sudah menjadi ikon agar terlihat kaya. Ya saya yakin, tanpa disadari beliau telah menerapkan prinsip ingin menjadi kaya bukan kelihatan kaya.
Kasus 2
Cerita tentang Nurhayati, bukan cerita tentang kecantikan
belaka, tapi juga kisah tentang gagasan. Kejelian melihat pasar.
Jatuh bangun membesut bisnis. Pantang menyerah. Keringat. Dan selalu melihat " Pertolongan dari Atas" pada setiap kemajuan yang dilalui. Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 27 Juli 1950, dia melewati masa belia di kota di sana. Dia sekolah di Diniyah Putri. Lalu pindah ke kota Padang. Masa remajanya dilewati di kota itu. Menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di situ. Sesudah lulus dari sekolah menengah, dia kuliah di Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung. Dia cerdas. Juga rajin belajar. Kuliah tuntas lalu wisuda tepat pada waktu.
kecintaan pada kampung halaman, memulangkan
Nurhayati ke Sumatera Barat sesudah wisuda itu. Dia
bekerja sebagai apoteker di Rumah Sakit Umum di Padang. Merasa cukup berbakti di sana, dia memilih pindah ke Jakarta. Bekerja sebagai staf quality control di sebuah perusahaan kosmetik yang sudah sohor. Bekerja di perusahaan itu adalah dambaan para professional muda lulusan farmasi. Dari rumahnya di Kebayoran lama, Nurhayati melaju ke kantor perusahaan di timur Jakarta itu. Saban hari begitu
Dan Nurhayati adalah kata lain dari tekad. Dia mulai lagi. Dari
nol. Benar-benar nol. Modal awal pinjam dari tabungan suami.
Bayar gaji karyawan diambil dari gaji bulanan suami. Kerja keras episode kedua ini juga ada hasilnya. Mesin pabriknya kembali menyala, " Bahkan bisa bayar gaji dan THR para karyawan," kisahnya. Sesudah itu mesin pabriknya terus menderu. Begitu untung, dia melakukan inovasi. Dan salah satu inovasi itu masuk ke bisnis kosmetik. Nurhayati jitu membidik konsumen. Merekam apa yang diperluka dunia di sekitarnya. Dari pergaulan sehari-hari dia merasa bahwa ada kebutuhan para muslimah untuk tampil elegan. Merias diri secara bebas tanpa perlu cemas soal halal tidaknya sebuah produk.
Dan karir di situ sesungguhnya sudah mulai berkilau. Tapi
sebuah kejadian kecil di perusahaan ini mendorongnya
keluar. " Saya kurang cocok dengan seorang petinggi di situ," kenangnya . Keluar dari perusahaan raksasa itu, dia tak mau menyerah. Dapur harus mengepul. Semangat harus menyala. Dua anaknya beranjak remaja, butuh uang yang cukup. Dia lalu memulai bisnis sendiri. Dan itu tahun 1985. Sebuah industri rumahan. Semula tenaga kerjanya cuma satu orang. Pembantu rumah tangganya sendiri. Produk pertama yang dibesut adalah sampo dengan merek Putri. Dan membesarkan si putri itu mengucurkan keringat.
Si Putri itu mekar berkembang. Keuangan juga mulai
berkilau. Meski pelan diterima pasar. " Alhamdulillah,
sebagian besar salon menerima produk kami," kata Nurhayati mengenang masa pahit itu. Saat itu sejumlah produk besutannya dikenal di salon-salon ternama di Jakarta. Sudahlah bisa diramalkan, masa depan perusahaan ini bakal kemilau. Tapi cobaan berat itu datang lima tahun kemudian. Pabriknya hangus terbakar. Usaha yang dirintis dari nol itu tiba-tiba saja jadi arang. Lenyap juga semua mimpi yang sudah lama menyala itu.
Dihantam krisis ke titik nadir seperti itu, Nurhayati hendak
menutup perusahaan itu. Matematika bisnis sudah tak mungkin
membangkitkan usaha itu. Sudah tak masuk akal. Utang dibank belum lunas. Ketika usaha ini merangkak naik, Nurhayati memang membeli secara kredit sebuah mobil box. Mobil itulah yang mengantarkan si Putri ke salon-salon. Jadi? Jalan paling masuk akal, tutup itu usaha. Tapi Nurhayati bukan seorang pebisnis belaka. Dia juga seorang ibu, yang bisa meleleh air mata memikirkan nasib para karyawannya. " Bila perusahaan saya tutup, bagaimana nasib mereka," kenangnya mengingat masamasa susah itu. Mencoba bangkit juga sungguh tak gampang. Pabrik sudah hangus. Menyerah bukan pilihan.
Nurhayati seperti menemukan rumah usahannya.
Dia membidik segmen muslimah itu. Meramu
produk kosmetik yang kini kita kenal dengan nama Wardah. Bunga mawar yang indah. Perlahan si bunga itu mekar. Merangsek pasar. Mulai dikenali dan jadi kosmetik langanan kalangan kelas menengah ke atas. Kaki bisnis ini kuat. Konsumen juga setia. Kesetian pemakai dan manajemen yang kuat membuat Wardah sanggup melewati badai krisis yang menggulung ekonomi Indonesia 1997.
Banyak cara ditempuh memasarkan produk kosmetik ini.
Selain lewat sejumlah agen di beberapa kota besar,
Wardah juga dipasarkan dengan cara Multi Level Marketing (MLM). Dan kerja keras itu memang ada hasilnya. Produk Wardah terus berkembang seiring dengan membaiknya ekonomi nasional. Modal juga kian banyak. Laba yang diraih dipakai untuk terus memperluas jaringan pasar. Wardah kemudian merangsek ke pasar Negara tetangga. Masuk ke kota-kota di Malaysia. Dan di sana sejumlah produknya laku keras. Diminati banyak muslimah di sana, bersaing dengan produk negeri serumpun itu.
Kini Wardah menjadi salah satu produk kosmetik
terbesar di negeri ini. Banyak tokoh wanita dan
pesohor yang memakai produk kosmetik dan menjadi bintang iklan perusahannya. Inneke Koesherawati dan Dian Pelangi, yang ada dibaliho kecil di ruang tamu itu, adalah dua contoh bintang itu. Inneke adalah mantan artis. Dian Pelangi adalah desainer hijab yang sukses dan sudah melalangbuana ke sejumlah Negara. Dua wanita cantik itu adalah bintang iklan Wardah. Syuting iklan itu hingga ke kota Paris.