Anda di halaman 1dari 35

Sindrom Hemolysis Elevated Liver enzymes

Low Platelets (HELLP) merupakan suatu


komplikasi obstetri yang dapat
membahayakan nyawa. Sindrom HELLP
biasanya dihubungkan dengan kondisi pre
eklampsia. Angka kejadian dilaporkan
sebesar 0,2-0,6% dari seluruh kehamilan, 412% pada preeklampsia berat, dan
menyebabkan mortalitas maternal yang
cukup tinggi (24 %), serta mortalitas
perinatal antara 7,7%-60%.

Kriteria sindrom HELLP adalah anemia hemolitik, peningkatan


enzim-enzim hati, dan rendahnya kadar trombosit. Komplikasi
yang dapat menyertai adalah terlepasnya plasenta (abruption),
edema paru-paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
hematom pada hati dan pecah, gagal ginjal akut, disseminated
intravascular coagulation (DIC), eklampsia, perdarahan
intraserebral, dan kematian maternal. Jika kondisinya tidak
diobati dengan segera, 1 sampai 4 wanita dapat mengalami
komplikasi yang serius, dan jika tanpa tatalaksana, pada
sedikit wanita dapat mengalami kematian. Oleh sebab itu,
penatalaksanaan utama adalah untuk melahirkan janin dengan
segera, baik dengan pervaginam maupun dengan sectio
caesarea, meskipun janin masih prematur, sebab fungsi hepar
ibu akan semakin memburuk dengan cepat.

Perawatan ibu post partum dengan preeklampsia dan


sindrom HELLP meliputi pemberian steroid dan plasma
exchange. Monitoring kondisi kardiovaskuler terutama
tekanan darah harus dilakukan, termasuk pemberian
profilaksis anti kejang. Pasien pasca persalinan harus
ditangani di unit perawatan intensif (ICU) paling sedikit 48
jam dengan pemantauan ketat terhadap semua parameter
hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan
atau kelainan respiratorik. Sebagian pasien akan membaik
selama 48 jam postpartum; beberapa diantaranya,
khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau
bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan
pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.

Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma


yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20
minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan
proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria
preeklampsia dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh
penyakit neurologis dan atau koma maka ia dikatakan
mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil tersebut tidak
menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi
sebelumnya.
Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme,
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, dan penurunan
perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskuler tersebut
mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu,
sering pula dijumpai peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi
sistem koagulasi.

Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan


pasti. Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu
memberi jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu,
preeklampsia sering disebut sebagai the disease of theory. Teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida,
kehamilan ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa
peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya
usia kehamilan
perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus
penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilankehamilan berikutnya
mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti
hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma

Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi


preeklampsia hingga saat ini, yaitu:
Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap
arteri spiralis sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi
uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta.
Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri
spiralis oleh sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang
diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik
dan radikal bebas.
Genetik. Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia
plasenta. Namun, banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia
dan di antara faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali
sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.

Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat (PEB):


Preeklampsia ringan
Dikatakan preeklampsia ringan bila :
Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg
Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
Tidak disertai gangguan fungsi organ
Preeklampsia berat
Dikatakan preeklampsia berat bila :
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif
Bisa disertai dengan :
Oliguria (urine 400 mL/24jam)
Keluhan serebral, gangguan penglihatan
Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerahepigastrium
Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
Edema pulmonum, sianosis
Gangguan perkembangan intrauterine
Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan
ke dalam eklampsia.
Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
PEB tanpa impending eclampsia
PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending di antaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan
muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas.

Insidens preeklampsia sebesar 45 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada negara maju. 7
Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 610 kasus per 10.000 kelahiran
hidup.
Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara 0-4%. 1Angka kematian
ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem tubuh. Penyebab
kematian terbanyak wanita hamil akibat preeklampsia adalah perdarahan intraserebral dan
edema paru. Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%. Penyebab
terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan
solutio plasenta. Sekitar 75% eklampsia terjadi antepartum dan sisanya terjadi pada
postpartum. Hampir semua kasus (95%) eklampsia antepartum terjadi pada trimester
ketiga.
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12% pada
kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai pada primigravida
terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida.
Penelitian mengenai prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia dilakukan di Rumah
Sakit Denpasar. Pada primigravida frekuensi preeklampsia/eklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan insidensi preeklampsia pada primigravida 11,03%. Angka kematian maternal
akibat penyakit ini 8,07% dan angka kematian perinatal 27,42%. Sedangkan pada periode
Juli 1997 s/d Juni 2000 didapatkan 191 kasus (1,21%) PEB dengan 55 kasus di antaranya
dirawat konservatif.

Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia


lain di antaranya adalah:
nullipara
kehamilan ganda
obesitas
riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia
riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
abnormalitas uterus yang diperoleh pada Doppler pada
usia kandungan 18 dan 24 minggu
diabetes melitus gestasional
trombofilia
hipertensi atau penyakit ginjal

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah


adanya spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam
dan air. Bila spasme arteriolar juga ditemukan di seluruh
tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan darah yang
meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan
tahanan perifer agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi.
Sedangkan peningkatan berat badan dan edema yang
disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang
interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur
menyebutkan bahwa pada preeklampsia dijumpai kadar
aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi
dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting
untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi
air serta natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh
darah terhadap protein meningkat.

Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi


perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini
kemungkinan akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau
menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan
noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor.
Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid
seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan
tekanan darah yang normal seperti tekanan darah sebelum hamil.
Regulasi volume darah

Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.


Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada
derajat mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat
mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema
interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita
hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu
penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi
tanda awal hipertensi.

Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah

Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan hamil normal,
penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi
lahir rendah (BBLR).
Aliran Darah di Organ-Organ

Aliran darah di otak


Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini berhubungan
dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan suatu faktor penting dalam
terjadinya kejang pada preeklampsia maupun perdarahan otak.
Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi penanda pada
kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750
ml menjadi 600ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi
120ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria,
uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal. Plasenta ternyata
membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan
tekanan darah dan menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin
plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II, dan aldosteron meningkat nyata di atas nilai
normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar
progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,
angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.

Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah


iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta
yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih
banyak renin uterus yang mengakibatkan vasokonstriksi dan
meningkatnya kepekaan pembuluh darah. Di samping itu angiotensin
menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin
sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas atau
sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat yang
menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan
pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai
pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada
kehamilan.

Aliran darah uterus dan choriodesidua


Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan
patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan
faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum
ada satu pun metode pengukuran arus darah yang memuaskan baik di
uterus maupun di desidua.
Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema
paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital.
Bila terjadi hal-hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya
preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah
skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri
atau dalam retina.

Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi


dan proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak
disadari oleh wanita hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit
kepala, gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium mulai timbul,
hipertensi dan proteinuria yang terjadi biasanya sudah berat.
Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme
arteriol sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan
tekanan darah. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang
lebih baik dibandingkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar
90 mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan abnormal.
Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba
dan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda pertama
preeklampsia. Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu
adalah normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg
dalam sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus
dicurigai.

Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama


disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum
timbul gejala edema nondependen yang terlihat jelas, seperti edema
kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.
Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya
suatu penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal,
proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali.
Pada kasus yang berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan
mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian
dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi setelah kenaikan
berat badan yang berlebihan.
Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi
semakin sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering
terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan
pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan
eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului serangan kejang
pertama.

Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri


kuadran kanan atas merupakan keluhan yang sering
ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat
menjadi presiktor serangan kejang yang akan terjadi.
Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan
kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.
Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang
dapat terjadi di antaranya pandangan yang sedikit
kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau
total. Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme,
iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks
oksipital.

Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia


adalah:
terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya
terdapat trauma pada ibu maupun janin
kelahiran bayi yang dapat bertahan
pemulihan kesehatan lengkap pada ibu

Persalinan merupakan pengobatan untuk


preeklampsia. Jika diketahui atau diperkirakan janin
memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya
adalah mempertahankan sementara janin di dalam
uterus selama beberapa minggu untuk
menurunkan risiko kematian neonatus.

Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri dari


penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB umumnya
dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah
pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan ini
mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok wanita
dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk
keamanan ibu.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara lain
adalah:
tirah baring
oksigen
kateter menetap
cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada
diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans cairan ini
harus selalu diawasi.
Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara
intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40%
sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit.

Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:


refleks patella normal
frekuensi respirasi >16x per menit
produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam
disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda
intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.

Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah
nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan
interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu
agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat
dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan efektifitas yang cukup
baik.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko
melahirkan prematur, termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh
kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga
mengalami percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan pematangan paru
pada penderita preeklampsia. Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang oleh
adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang berlangsung lama. Hal yang sama juga
dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi
dalam kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan
terutama hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk
dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang
lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam kehamilan.

Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal
dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila
dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid sampai kelahiran,
tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih
besar dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara
apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.
Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna insiden RDS
dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan interval
antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian Liggins dan Howie
mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat pemberian
steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari dan perbedaan
ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak 24 jam
sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru janin.
Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi
sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:
Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 2434 minggu yang dalam persalinan prematur
mengancam merupakan kandidat untuk pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis dengan selang
waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis intramuskular dengan interval 12 jam.
Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung selama tujuh hari.

Penanganan Aktif.
Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan mortalitas perinatal dan
peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk
terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah
terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB.
Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin:
Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
kegagalan terapi medikamentosa:

setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang persisten
setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah
yang persisten

tanda dan gejala impending eklampsia


gangguan fungsi hepar
gangguan fungsi ginjal
dicurigai terjadi solusio plasenta
timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
umur kehamilan 37 minggu
Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG timbulnya oligohidramnion

Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin


Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP (hemolytic
anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).

Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi


untuk PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus
melihat keadaan ibu dan janinnya. Sementara Nowitz ER dkk
membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi
kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil
penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap
ibu untuk melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah
ditegakkan.
Ahmed M dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan
bahwa terminasi kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB.
Sebelum terminasi, pasien telah diberikan dengan antikejang,
magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK19
juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB.
Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk
menghindari faktor stres dari operasi sesar.

Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi


kehamilan pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli
berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm
mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia
kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif
bertujuan:
mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan
yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada
pasien PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu,
terminasi kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi
yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak).
Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34
minggu, penanganan ekspektatif lebih disarankan.

Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam


dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
Penderita belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8

Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan pematangan


serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus
disusul dengan pembedahan sesar.
Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress, terjadi fetal distress, atau
umur kehamilan <33 minggu. 38

Bila penderita sudah inpartu


Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
Memperpendek kala II
Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress.
Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.
Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan anastesia
umum.

Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut Godlin (1982)


sindroma HELLP (Hemolysis Elevated Liver enzymes Low Platelets ) merupakan
bentuk awal dari PEB. Weinstein (1982) melaporkan sindroma HELLP
merupakan varian yang unik dari preeklampsia, tetapi Mackenna dkk (1983)
melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan dengan preeklampsia. Di
lain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan
bentuk lain dari disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terlewatkan
karena proses pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.

2.2.2 Insidens
Sampai saat ini insidens sindroma HELLP belum diketahui dengan pasti. Hal ini
disebabkan sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya mirip dengan
penyakit nonobstetri. Menurut Sibai (1964) angka kejadian sindroma HELLP
berkisar antara 4 -14% dari seluruh penderita PEB, sedangkan angka kejadian
Sindroma HELLP pada seluruh kehamilan adalah 0,2 0,6%. Sindroma ini
secara bermakna lebih tinggi pada wanita kulit putih dan multigravida.

Terdapat 2 klasifikasi yang digunakan pada Sindroma HELLP, yaitu:


Berdasarkan jumlah keabnormalan yang dijumpai.
Audibert dkk (1996) melaporkan pembagian Sindroma HELLP berdasarkan
jumlah keabnormalan parameter yang didapati, yaitu: sindroma HELLP
murni bila didapati ketiga parameter, yaitu (1) hemolisis, peningkatan
enzim hepar, dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik
gambaran darah tepi dijumpainya burr cell, schistocyte, atau spherocytes,
LDH > 600 IU/L,, SGOT > 70 IU/ L, bilirubin >1,2 ml/dl, dan jumlah
trombosit <100.000/mm3, (2) sindroma HELLP parsial bila dijumpai hanya
satu atau dua parameter sindroma HELLP.
Berdasarkan jumlah trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita Sindroma HELLP dalam tiga
kelas:
kelas I : jumlah trombosit 50.000/mm3
kelas II : jumlah trombosit > 50.000 - 100.000/mm3
kelas III : jumlah trombosit > 100.000 - 150.000/mm3

Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau
kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum
dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 86%).1,4 Selain itu,
dapat pula ditemukan penambahan berat badan dan edema (60%). Hipertensi
tidak dijumpai sekitar 20% kasus, hipertensi ringan 30%, dan hipertensi berat
50%.
Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice,
perdarahan gastrointestinal, dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai
hipoglikemi, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal, dan diabetes
insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasa
dijumpai pada kasus sindroma HELLP yang onsetnya postpartum atau
antepartum yang ditangani secara konservatif.

2.2.5 Penatalaksanaan
Protokol manajemen sindroma HELLP:
Penanganan dimulai sebagaimana penanganan pada PE berat.
Adanya Sindroma HELLP bukan merupakan indikasi untuk segera melakukan
terminasi kehamilan. Stabilisasi ibu adalah prioritas utama

Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 84.82.55
Usia : 23 tahun
Hari Rawatan ke : 4

Anamnesis
Keluhan Utama :
Seorang pasien perempuan usia 23 tahun datang ke IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 9 November 2013
dengan kiriman RSUD Pasaman dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid aterm dengan PEB.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sebelumnya pasien berobat ke RSUD Pasaman Barat, ditemukan tensi tinggi 180/ 100 mmHg sehingga pasien
dirujuk ke RSUP M Djamil dengan terpasang infus tanpa regimen dan terpasang kateter urin.
Batuk sejak 1 minggu yang lalu, sesak nafas sejak 1 hari ini. Sakit kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-)
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan (-)
Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)
HPHT lupa, TP sulit ditentukan
Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan yang lalu
RHM: mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
ANC : kontrol dengan SpOG di Pasaman Barat
RHT : Mual (-), muntah (-)
Menstruasi : menarche usia 13 tahun, siklus tidak teratur 1 x sebulan, lama 1-2 hari, banyaknya 2-3 x ganti duh /
hari.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan Hipertensi.
Riwayat alergi obat (-)

Pemeriksaan Fisik (sekarang 13-11-2013) :


Keadaan umum:
Kesadaran : Composmentis Cooperative
Keadaan umum: sedang
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : afebris
Mata : konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Pupil isokor
Paru: vesikuler, rh -/-, wh -/Jantung : irama teratur, bising (-)
Abdomen : Bising usus (+) Normal
Genitalia: terpasang kateter
Ekstrimitas: edema -/-

Plan
Cek Labor
USG
Sectio Caesarea

Diagnosa
P1A0H1 Post SCTPP ai PEB + Hellp Syndrome

Follow up ICU
S/ Penurunan Kesadaran (-)
CNS :
GCS : 15
Pupil : 3/3
Refleks : +/+
CVS :
TD : 120/70
HR : 80x/i
CRS: Pernafasan kontrol dengan ventilator
GUT : terpasang kateter
GIT : terpasang NGT
Lab:
Hb: 10,3
Ht : 32%
Leukosit: 13.300
Trombosit: 160.000
pH : 7,45
pCO2 : 46
PO2 : 223
Na+ : 137
K+ : 4,4
Ca2+ : 0,62
HCO3: 32
Ureum : 44

Intake
Enteral :
Air Putih 6 x 200 cc

Parenteral:
Tutofusi E500
Aminofusin I600
80 cc/jam
NaCl 0,9%
Ca Glukonas 15 mg

Obat
Enteral:
Sukralfat 3 x 10 cc
Parenteral:
Meropenem 3 x 1 g
Vit K 3 x 10 mg
Vit C 3 x 200 mg
Adona 3 x 1 amp
Metronidazol 3 x 500 mg
Tamoliv 4 x 500 mg
Ranitidine 2 x 50 mg
Tramadol 200 + ondansetron 8 mg
Levofloxacin
Lain-lain:
Nebu combivent 4 x sehari

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 23 tahun datang ke IGD


RSUP Dr. M Djamil Padang tanggal 9 November 2013 dengan diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta dibantu
dengan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesa didapatkan pasien datang dengan kiriman RSUD Pasaman
dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid aterm dengan PEB. Sebelumnya pasien
berobat ke RSUD Pasaman Barat, ditemukan tekanan darah tinggi 180/100
mmHg sehingga pasien dirujuk ke RSUP M Djamil dengan terpasang infus
tanpa regimen dan terpasang kateter urin. Pasien mengeluh batuk sejak 1
minggu yang lalu dan sesak nafas sejak 1 hari ini. Namun tidak ditemukan
sakit kepala, pandangan kabur, dan nyeri ulu hati. Selain itu belum ada tandatanda inpartu. HPHT lupa dan TP sulit ditentukan. Gerak anak dirasakan sejak
4 bulan yang lalu. Riwayat menarche usia 13 tahun, menstruasi dengan siklus
tidak teratur 1 x sebulan, lama 1-2 hari, banyaknya 2-3 x ganti duh / hari.
Dari pemeriksaan fisik terakhir di ICU ditemukan keadaan umum sedang,
kesadaran composmentis cooperative, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80x
per menit

Anda mungkin juga menyukai