Anda di halaman 1dari 31

Pengaruh Zat Gizi terhadap Sistem Imun

Kelompok 2:
Dyah Ayu Kirana
Jihan
Media Dwi Rasna Claudia

DIV-A
Mikronutrien

keparahan gangguan imunologik


tergantung kepada keparahan
kekurangan mikronutrien, interaksinya
dengan bahan gizi esensial, umur
individu dan keberadaan infeksi yang
menyertainya.
Chandra (1990) dalam makalahnya mengajukan 4
konsep umum tentang mikronutrien:
1. Perubahan respons imun berlangsung dini apabila terjadi
pengurangan masuknya dan simpanan mikronutrien
dalam tubuh.
2. Abnormalitas imun yang timbul akan meramalkan akibat
yang ditimbulkan, khususnya menyangkut risiko infeksi
dan mortalitas.
3. Pemasukan sejumlah mikronutrien tertentu yang
berlebihan, mempunyai kaitan dengan gangguan respons
imun.
4. Uji imunokompeten berguna untuk pengukuran
kebutuhan faali dan penentuan batas atas dan bawah
dari kebutuhan mikronutrien seseorang.
Vitamin
Vitamin A
Vitamin A merupakan bagian dari senyawa larut dalam
lemak yang penting untuk penglihatan normal, ekspresi
gen, integritas epitel, pertumbuhan, dan fungsi
kekebalan tubuh, terdiri dari retinoid dan provitamin A
karotenoid
Vit A merupakan salah satu mikronutrien yang
mempunyai peran penting sebagai regulator sistem
imun dan juga sebagai anti infeksi.
Vitamin A dibutuhkan dalam respons mitogenik dari
limfosit T dan limfosit B.
Vitamin A juga berfungsi sebagai regulator produksi
sitokin
Peran vit.A terhadap sistem imun

Peran vitamin A telah dikenal pada tahun


1920 , ketika itu disebut "vitamin anti
infeksi" (Green dan Melanby , 1928) .
Sejak saat itu, telah menjadi semakin
jelas bahwa vitamin A beroperasi pada
beberapa tingkat untuk memodulasi
fungsi kekebalan tubuh.
Vitamin A dapat mempengaruhi sel T pada
beberapa tingkatan untuk memodulasi fungsi
imun sel T, dan hal ini telah membenarkan
penelitian lebih lanjut pada subjek.

Vitamin A dibutuhkan dalam respons mitogenik


dari limfosit T dan limfosit B dibutuhkan
sintesis glikoprotein yg diekspresikan pd
membran sel membutuhkan vitamin A.
Kekurangan vitamin A

Vitamin A mempunyai peranan penting di


dalam pemeliharaan sel epitel, oleh
karena itu vitamin A sangat berperan
dalam imunitas non-spesifik, dimana
dalam keadaan kekurangan vitamin A,
integritas mukosa epitel terganggu
mengganggu pembentukan sIgA (penting
untuk pertahanan membran mukosa)
Selain itu kekurangan vitamin A yang
parah akan menyebabkan pengecilan
kelenjar timus dan limpa, sehingga
jumlah limfosit akan menurun juga.
Sommer (1990) : anak-anak yang
menderita xerophtalmia (kekurangan
vitamin A) menghadapi risiko yang tinggi
mendapatkan infeksi pernapasan
dibandingkan dengan anak-anak yang
tidak menderita xerophtalmia, walaupun
kedua kelompok tersebut mempunyai
status antropometrik normal.
Vitamin A Deficiency and Clinical Disease
Konsekuensi sistemik dari kekurangan vitamin A
meningkat setelah pengamatan bahwa anak-
anak Indonesia dengan ringan xerophthalmia
(kebutaan malam , bercak Bitot) meninggal jauh
lebih tinggi dari mereka yang nonxerophthalmia.
Kami memperkirakan mencegah semua
xerophthalmia (dan yang terkait defisiensi
vitamin A) akan mengurangi kematian anak
muda Indonesia sebesar 16 %.
Selain itu , hubungan monoton antara
angka kematian dan parahnya
xerophthalmia disarankan bahwa bahkan
defisiensi subklinis (tanpa diikuti
perubahan nyata) mungkin terkait
dengan meningkatnya kematian. Dengan
demikian , maka penurunan angka
kematian secara keseluruhan yang
mungkin dengan pencegahan semua
kekurangan vitamin A yang signifikan
mungkin jauh lebih besar.
Vitamin B6
Dalam review Miller dan Kerkvliet (1990)
disimpulkan bahwa kekurangan vitamin B6 pada
orang-orang usia lanjut memeberikan dampak
gangguan pada sistem imun, seperti halnya
yang ditemukan pada hewan coba.
Talbot, Miller dan Kerkvliet (1986) dalam
penelitiannya memberikan tambahan
pyridoxine pada makanan sekelompok
orang-orang usia lanjut (65-81 tahun),
sampai pada kesimpulan bahwa
kelompok tersebut tidak menunjukkan
gejala defisiensi imun, dan gangguan
metabolisme. Pada pemeriksaan fungsi
limfositnya, memberikan kesimpulan
bahwa vitamin B6 penting dalam
perangsangan imunokompetensi pada
usia lanjut.
Vitamin C

Terdapat bukti yang menyatakan bahwa


vitamin C berpengaruh terhadap
proliferasi limfosit.
Hewan yang menderita skorbut
menunjukkan alergi terhadap antigen
mikobakteria. Hal ini menunjukkan
adanya gangguan respons imun selular,
sedangkan produksi antibodi tidak
terganggu.
Penelitian menunjukkan bahwa fungsi fagosit,
proliferasi sel T dan produksi sitokin dipengaruhi
oleh status vitamin C Pada masa infeksi,
fagosit yang teraktivasi menghasilkan agen
pengoksidasi yang memiliki efek antimikrobial.
Akan tetapi, itu dilepaskan ke media ektraseluler
sehingga dapat membahayakan inang. Untuk
menetralisir efek peningkatan oksigen radikal ini,
sel memanfaatkan berbagai mekanisme
antioksidatif, termasuk vitamin antioksidan
seperti vitamin C.
Peran vitamin C

Membantu integritas epitel dengan


mengembangkan sintesis kolagen.
Mempertahankan integritas redoks dari sel dan
melindungi spesies oksigen reaktif yang
dihasilkan selama pernapasan dan respon
inflamasi
Vitamin C berakumulasi (dengan konsentrasi
milimol/l) dalam neutrofil, limfosit dan monosit,
yang mengindikasikan bahwa vitamin C
berperan penting dalam fungsi imunitas.
Vitamin E

Peran utama vitamin E dalam


memperkuat respons imun dan
fagositosis yaitu melalui pencegahan
peroksidasi molekul-molekul lipid
sebagai komponen membran sel
Khususnya sel-sel imunokompeten dan
fagosit yang cepat berproliferasi setelah
mendapatkan rangsangan antigen
sangat rawan menghadapi kerusakan
karena peroksidasi oleh gugus radikal
bebas, peroksida dan superoksida..
Melalui perannya sebagai antioksidan, vitamin E
juga dapat menurunkan produksi faktor penekan
imunitas (immunosuppressive factors) seperti
prostaglandin E2 dan hidrogen peroksida
dengan mengaktifkan makrofag

Dari data-data penelitian dan pengamatan yang


telah dilakukan, tengerdy (1990) merangkumkan
bahwa penambahan vitamin E untuk tubuh
dapat memperkuat imunitas humoral dan selular
dan memperbesar efisiensi fagositosis dalam
hewan-hewan coba, hewan ternak dan orang
MINERAL
Zn
Fungsi Zn:
Defisiensi imun pada kekurangan Zn disebabkan karena
Zn diperlukan dalam beberapa proses selular
Zn dibutuhkan untuk aktifitas biologik hormon timus.
(Bach dan Darnenne, 1975)
Zn merupakan bahan mitogen untuk limfosit. (Ruhl dan
Kirshner, 1978)
Mengaktifkan limfosit B in vitro sehingga menghasilkan
Ig poliklonal (Cunningham-Rundles et al, 1981)
Mengaktifkan sel NK in vitro apabila diberikan IFN- dan
IFN-
Pengaruh defisiensi Zn terhadap
imunitas
Kekurangan Zn primer yang ditimbulkan oleh
berkelebihan senyawa fitat dalam makanan
dapat mempermudah terkena infeksi.
Gangguan genetik pada penyerapan Zn akan
menyebabkan defisiensi imun sehingga dapat
menimbulkan Sindroma Acrodermatitis
enteropathica yang disertai menurunnya fungsi
timus
Fe
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan
zat besi akan meningkatkan infeksi yang dibarengi
gangguan pada sistem imun.

Sherman (1990) mencoba meneliti dengan


menggunakan hewan tikus sebagai model dan zat besi
sebagai satu-satunya variabel yang diteliti.
Dari hasil penelitian sherman dan peneliti-peneliti lain
dapat disimpulkan bahwa:
Kekurangan Fe akan mengganggu perkembangan
jaringan sistem imun dan pengurangan sistesis
protein yang terlibat dalam respon imun seperti
antibodi dan IL-1
Kekurangan Fe mengakibatkan gangguan aktivitas
selular dan respons imun selular seperti sel NK, sel
netrofil dan fungsi pembunuhan sel-sel tumor

Mekanisme yang berlangsung pada sistem imun oleh


adanya kekurangan Fe belum diketahui dengan jelas
Tembaga (Cu)

Cu memainkan peran penting dalam fungsi


immunologik, namun belum jelas perannya.
Penelitian menunjukkan bahwa Cu sangat
penting untuk pembentukan antibodi, respons
imun selular, dan untuk membangkitkan reaksi
radang.
Penelitian yang dilakukan terhadap mencit
menunjukkan bahwa kekurangan Cu
memberikan efek berbeda terhadap produksi
sitokin.
Selenium
Sejak tahun 1957 telah terungkap bahwa Se
merupakan komponen gizi yang esensial.

Dalam tahun 1973, John Rotruck


mengungkapkan bahwa enzim glutathion
peroxidase mengandung Se yang kemudian
disusul oleh penemuan Fulvio Ursini dalam
tahun 1985 bahwa Se juga terdapat dalam
enzim phospholipidhydroperoxide glutathione
peroxidase. Dua enzim tersebut dijelaskan
sebagai senyawa tempat Se berperan.
Menurut Sphallholz et al(1990), berdasarkan penelitian
dalam jaringan dan sel dari sistem imun, Se mempunyai 3
fungsi utama yaitu:
Reduksi Peroksid organik dan anorganik
Metabolisme Hidoperoksid
Modulasi letupan respiratori

Ketiga fungsi utama Se tersebut diatas diperankan oleh


2 jenis enzim yang mengandung Fe seperti yang telah
disebutkan sebelumnya.
Sejak tahun 1981 sampai tahun 1990 telah dibuat 5
buah review mengenai berbagai aspek dari peran Se
dalam sistem imun. Dari review tersebut dapat
disimpulkan bahwa defisiensi Se pada hewan, umumnya
mengakibatkan menurunnya respons imun, sedang
toksisitas Se mengakibatkan imunosupresi.
Yodium
Yodium telah digunakan sebagai terapi dalam
berbagai penyakit dimana mekanisme kekebalan
tubuh memainkan peran yang dominan.

Respon kekebalan tubuh yang buruk dapat


disebabkan oleh gangguan fungsi tiroid dari defisiensi
yodium.

Pada waktu fagositosis dan mekanisme aktif


konsentrasi iodida ditemukan terjadi pada leukosit,
peneliti juga menemukan bahwa protein iodo
disekresikan oleh leukosit.
Kekurangan yodium secara endemik
memberikan prevalensi yang meluas,
namun sangat sedikit pengkajian yang
mengungkapkan peran unsur ini dalam
aspek imunokompetensi

Pada pengkajian lain diantara penderita


hipotiroid endemik diungkapkan bahwa
fungsi limfosit dan sel netrofil dapat
menurun, bahkan hal tersebut ditemukan
pula pada subjek dengan status eutiroidi
tanpa gejala.
Daftar pustaka
R. Watson, Ronald. 2010. Dietary
Components and Immune Function. New
York: Humana Press.
Litwack, Gerald. 2011. Vitamins and the
Immune System. USA: Academic Press.
Subowo. 2013. Immunologi Klinik. CV
Sagung Seto. Jakarta.
Sircus Mark. 2014. Iodine, Bringing Back
the Universal Medicine. USA: Lulu Press
Inc.

Anda mungkin juga menyukai