Pengertian Kode Etik nilai-nilai, norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus dipenuhi dan ditaati setiap anggota profesi. mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota profesi, apa yang harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan oleh profesi ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis, tujuan dan cita-cita luhur profesi, dan bahkan sanksi yang akan dikenakan kepada anggota profesi yang melanggar kode etik. Kode Etik Akuntan Indonesia
Kode Etik Akuntan Indonesia mempunyai struktur seperti kode
etik AICPA yang meliputi prinsip etika, aturan etika dan interpretasi aturan etika yang diikuti dengan tanya jawab dalam kaitannya dengan interpretasi aturan etika 1.Tanggung Jawab 2.Kepentingan Umum (Publik) 3.Integritas 4.Obyektivitas 5.Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional 6.Kerahasiaan 7.Perilaku Profesional 8.Standar Teknis Integritas
Integritas berkaitan dengan profesi auditor yang dapat dipercaya
karena menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat dapat dipercaya, bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Misalnya, auditor seringkali menghadapi situasi di mana terdapat berbagai alternatif penyajian informasi yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang berbeda-beda. Dengan berbagai tekanan yang ada untuk memanipulasi fakta- fakta, auditor yang berintegritas mampu bertahan dari berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif mungkin. Auditor perlu mendokumentasikan setiap pertimbangan- pertimbangan yang diambil dalam situasi penuh tekanan tersebut. Obyektivitas
Auditor yang obyektif adalah auditor yang tidak memihak
sehingga independensi profesinya dapat dipertahankan. Dalam mengambil keputusan atau tindakan, ia tidak boleh bertindak atas dasar prasangka atau bias, pertentangan kepentingan, atau pengaruh dari pihak lain. Obyektivitas dipraktikkan ketika auditor mengambil keputusan2 dalam kegiatan auditnya. Auditor yang obyektif adalah auditor yang mengambil keputusan berdasarkan seluruh bukti yang tersedia, dan bukannya karena pengaruh atau berdasarkan pendapat atau prasangka pribadi maupun tekanan dan pengaruh orang lain. Ketidakmampuan auditor dalam menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam aturan etika karena keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu menunjukkan indikasi adanya kekurangan obyektivitas. Kompetensi dan Kehati-hatian Agar dapat memberikan layanan audit yang berkualitas, auditor harus memiliki dan mempertahankan kompetensi dan ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian profesinya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa instansi tempat ia bekerja atau auditan dapat menerima manfaat dari layanan profesinya berdasarkan pengembangan praktik, ketentuan, dan teknik-teknik yang terbaru. Berdasarkan prinsip dasar ini, auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila ia memiliki kompetensi yang diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli yang kompeten untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara memuaskan. Berkenaan dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatu penugasan audit, auditor harus dapat memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan. Kerahasiaan
Auditor harus mampu menjaga kerahasiaan atas informasi
yang diperolehnya dalam melakukan audit, walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus dilakukan secara terbuka dan transparan Dalam prinsip kerahasiaan ini juga, auditor dilarang untuk menggunakan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan finansial. Prinsip kerahasiaan tidak berlaku dalam situasi-situasi berikut: Pengungkapan yang diijinkan oleh pihak yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat ia bekerja. Dalam melakukan pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak, tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja, tetapi juga termasuk pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari pengungkapan informasi ini. Pengungkapan yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana pencucian uang, tindakan KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya. Pengungkapan untuk kepentingan masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang. Lanjutan
Bila auditor memutuskan untuk mengungkapkan informasi
karena situasisituasi di atas, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: Fakta-fakta yang diungkapkan telah mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya pertimbangan profesional penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta tersebut tidak didukung dengan bukti yang kuat. Pihak-pihak yang menerima informasi adalah pihak yang tepat dan memiliki tanggung jawab untuk bertindak atas dasar informasi tersebut. Perlunya nasihat hukum yang profesional atau konsultasi dengan organisasi yang tepat sebelum melakukan pengungkapan informasi. Ketepatan Bertindak
Auditor harus dapat bertindak konsisten dalam mempertahankan
reputasi profesi serta lembaga profesi akuntan sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan yang dapat mendiskreditkan lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor profesional. Apabila auditor mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang tidak benar, maka auditor tersebut harus mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, profesi, lembaga profesi, instansi tempat ia bekerja dan anggota profesi lainnya dari tindakan-tindakan auditor lain yang tidak benar tersebut. Auditor kemudian melaporkan kepada pihak yang berwenang atas tindakan yang tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari auditor yang melakukan tindakan yang tidak benar tersebut atau kepada pihak yang berwajib apabila pelanggarannya menyangkut tindak pidana. Standar teknis dan profesional
Auditor harus melakukan audit sesuai dengan standar audit
yang berlaku, yang meliputi standar teknis dan profesional yang relevan. Standar ini ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia. Pada instansi-instansi audit publik, terdapat juga standar audit yang mereka tetapkan dan berlaku bagi para auditornya, termasuk aturan perilaku yang ditetapkan oleh instansi tempat ia bekerja. Dalam hal terdapat perbedaan dan/atau pertentangan antara standar audit dan aturan profesi dengan standar audit dan aturan instansi, maka permasalahannya dikembalikan kepada masing-masing lembaga penyusun standar dan aturan tersebut. Whistleblower
Istilah whistleblower memiliki makna yang bermacam-
macam. Kadang ia diartikan sebagai saksi pelapor, pemukul kentongan, atau pengungkap fakta. Sampai sekarang belum ada padanan kata yang pas dalam kosakata Bahasa Indonesia bagi istilah yang secara harfiah disebut peniup peluit itu Whistleblowerbiasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegaldi tempatnya bekerja atau orang lain berada. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap penyelewengan yang diketahuinya Dasar Hukum
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator)
whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat walau memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut. Seorang pekerja dapat menjadi whistleblower di institusi swasta atau perusahaan ketika dia melaporkan dugaan pelanggaran atau kejahatan di tempatnya bekerja. Melalui cara yang normal, biasanya laporan dapat disampaikan pada lembaga internal yang dibentuk khusus untuk menangani masalah yang terjadi di dalam perusahaan. Laporan juga dapat disampaikan kepada lembaga eksternal yang dibentuk untuk menerima laporan whistleblower. Auditor internal memiliki kewenangan formal untuk melaporkan adanya ketidakberesan dalam sebuah perusahaan. Kewenangan formal ini yang membedakan auditor internal dengan para individu di atas dalam kapasitasnya sebagai whistleblower Ada 3 (tiga) alasan mengapa auditor internal juga dapat dianggap sebagai whistleblower: 1. Auditor Internal memiliki mandat formal untuk melaporkan bila terjadi kesalahan. auditor internal yang lebih paham mengenai kesalahan yang terjadi dalam perusahaan. 2. Laporan auditor internal mungkin bertentangan dengan pernyataan top managers. Jika para manager cenderung menutupi kesalahan, maka laporan auditor internal mengenai kesalahan justru lebih jujur dan independen. 3. Perbuatan mengungkap kesalahan merupakan tindakan yang jarang ditegaskan dalam aturan perusahaan. Dengan demikian pada prinsipnya seorang whistlebloweratau juga disebut peniup peluitmerupakan prosocial behaviour yang menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah organisasi atau perusahaan. Kriteria Dasar Whistleblower
Pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap
laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Pada umumnya, whistleblowerakan melaporkan kejahatan di lingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Kedua, seorang whistleblower merupakan orang dalam, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Whistleblowing System
Ada dua kata kunci yang berkaitan dengan whistleblowing
system, yaitu pelapor dan pelanggaran. Dalam prakteknya kedua kata ini dipadankan menjadi pelapor pelanggaran dan kemudian disebut sebagai whistleblower.
Syarat dari seorang whistleblower dalam konsep ini adalah
memiliki informasi, bukti, atau indikasi yang akurat mengenai terjadinya pelanggaran yang dilaporkan oleh itikad baik serta bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebakan perusahaan tertentu ataupun didasari oleh kehendak buruk atau fitnah sehingga informasi yang diungkap dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tujuan dari sistem pelaporan pelanggaran ini adalah untuk mengungkap tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan tidak etis atau tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Yang termasuk di dalam aktivitas pelanggaran adalah sebagai berikut: 1. Melanggar peraturan perundang-undangan. 2. Melanggar kode etik perusahaan. 3. Melanggar prinsip akuntasi yang berlaku umum. 4. Melanggar kebakan dan prosedur operasional perusahaan, ataupun kebakan, prosedur, peraturan lain yang dianggap perlu oleh perusahaan. 5. Tindakan kecurangan lain yang dianggap perlu oleh perusahaan. 6. Tindakan kecurangan lainnya yang dapat menimbulkan kerugian finansial ataupun non finansial. 7. Tindakan yang membahayakan keselamatan kerja.