Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

airway management
PENGELOLAAN
JALAN NAFAS Yudha Satria
PENDAHULUAN
AIRWAY MANAGEMENT menyediakan fungsi respirasi / jalan
nafas.
Prinsip manajemen jalan nafas secara garis besar adalah
aplikasi untuk semua situasi klinis dimana kemungkinan
berkembangnya respirasi yang tidak adekuat.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
OBSTRUKSI JALAN NAFAS?
Riwayat
Beberapa syndrom
kongenital terbukti meliputi
jalan nafas membuat
kesulitan mask ventilasi atau
intubasi.
Penyakit lain seperti infeksi
trauma, neoplastik atau
inflamasi juga memberikan
efek pada manajemen jalan
nafas.
Pemeriksaan fisik Evaluasi lebih lanjut
Pemeriksaan pertama pada Foto thorak mungkin
pasien dilakukan inspeksi dari mengurangi masalah yang
depan atau samping untuk tidak terdeteksi dari riwayat
mengidentifikasi masalah dan pemeriksaan fisik , foto
dengan jelas seperti obesitas, lateral, anterior posterior
kollar servikal, alat traksi, seharusnya dibuat jika
trauma eksternal atau ada diperkirakan ada gangguan
indikasi kesulitan jalan nafas jalan nafas. Pemakaian CT
Memeriksa rongga mulut scan untuk mengevaluasi
membantu mengidentifikasi keterlibatan trakea , bronkus
panjang, mulut sempit, dan tumor mediastinum
tingginya lengkung palatum pada kardiovaskuler.
yang berkait dengan
kesulitan intubasi.
2.2 Alat alat
2.2.1 Oral & Nasal Airway
TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mempertahankan jalan


nafas bebas, jalan nafas
buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau
hidung untuk menimbulkan
adanya aliran udara antara
lidah dengan dinding faring
bagian posterior
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA

Pemasangan oral airway kadang-kadang


difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas
dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa
umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3),
medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100
mm/Guedel no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai
jarak antara lubang hidung ke lubang telinga, dan
kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.2 Teknik dan Bentuk Face Mask


Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen
atau gas anestesi dari sistem pernafasan ke pasien dengan
pemasangan face mask yang rapat (Gambar)
Tersedia berbagai model face mask.
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.3 Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)


Penggunaan LMA untuk menggantikan pemakaian
face mask dan TT (Trakel Tube) selama pemberian
anestesi.

Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan:


LMA yang dapat dipakai ulang,
LMA yang tidak dapat dipakai ulang,
ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif,
Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi
pasien dengan jalan nafas yang sulit.
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.4 Esophageal Tracheal Combitube (ETC)


Teknik & Bentuk Pipa
Pipa kombinasi esophagus tracheal (ETC) terbuat dari
gabungan 2 pipa, masing-masing dengan konektor 15 mm
pada ujung proksimalnya.
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.6 Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen
untuk pemeriksaan laring dan
untuk fasilitas intubasi trakea.
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.7 Laringoskop Khusus


Terdapat 2 laringskop baru
untuk membantu dokter
anestesi menjamin jalan nafas
pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit- Laringokop
Bullard dan laringoskop Wu.
TINJAUAN PUSTAKA

2.3.2 Persiapan Untuk Laringoskopi


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa
perlengkapan dan posisi pasien. TT harus
diperiksa.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi
pasien yang benar. Gambaran klasik yang benar
adalah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini
disebut sebagai Sniffing in the air position.
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA

Tujuan Intubasi Endotrakeal

a. Mempermudah pemberian anestesi.


b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi
lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung
penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret
trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
TINJAUAN PUSTAKA

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal


menurut Gisele tahun 2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat
yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat
karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat
sebelum intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan
penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas. 4
Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan
gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri
menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi.
Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk
membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.4,5
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole,
uvula, dinding posterior
oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole,
sebagian uvula, dinding
posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole,
dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum
saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas
I dan II saluran nafas
umumnya diperkirakan mudah
intubasi, sedangkan kelas III
dan IV terkadang sulit.5
TINJAUAN PUSTAKA

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan


sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien
dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan
refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Pada pasien yang mudah timbul
laringospasme.
f. Trakeostomi.
g. Pada pasien dengan fiksasi vocal cord.
TINJAUAN PUSTAKA

2.3.3 Intubasi Orotrakeal


Laringoskop dipegang oleh tangan kiri.
Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi
kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindarigigi.
Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung
blade lurus menutupi epiglotis.
Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara.
TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan
melalui pita suara yang terbuka (abduksi).
Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari
kerusakan gigi.
Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar
tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk
meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea.
TINJAUAN PUSTAKA

2.3.3 Intubasi Orotrakeal


Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan
segera diauskultasi untuk memastikan TT ada di
intratrakeal.
Jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau diikat
untuk mengamankan posisi.

Jika pasien juga sulit untuk ventilasi


dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas
yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi
dengan jet ventilasi, trakeostomi).
TINJAUAN PUSTAKA

2.3.3 Intubasi Orotrakeal


TINJAUAN PUSTAKA

2.3.4 Intubasi Nasotrakeal


Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali
bahwa TT masuk lewat hidung dan nasofaring
menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi.
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut
dalam air, dimasukkan dipergunakan didasar
hidung, dibawah turbin inferior.
Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga
ujungnya terlihat di orofaring, dengan laringoskop,
digunakan untuk adduksi pita suara.
TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Teknik Ekstubasi


Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan ketika
pasien sedang teranestesi dalam atau bangun.
Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh
obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi.
Selain kapan TT dicabut, yakni ketika pasien
teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien
juga sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum
ekstubasi untuk mengurangi risiko aspirasi atau
laringospasme.
TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Teknik Ekstubasi


Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen
sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi
kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT
dicabut.
Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester
dan balon dikempiskan.
Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas
pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan
TT dapat membantu meniup sekret yang terkumpul
pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas,
menuju faring, yang kemudian dapat disuction.
TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Komplikasi Laringoskopi dan Intubasi


Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk
hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas,
posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau
malfungsi ETT.
Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama
laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan,
dan setelah ekstubasi.
TINJAUAN PUSTAKA

2.5.1 Trauma Jalan Napas

Lamanya tekanan eksternal pada struktur saluran


napas yang sensitif. Ketika tekanan TT melebihi
tekanan arteriolar-kapiler (kurang lebih 30 mmHg),
iskemia jaringan dapat mengakibatkan inflamasi,
ulserasi, granulasi, dan stenosis.
Paralisis pita suara akibat kompresi
balon atau trauma lain pada saraf rekuren laringeal,
dapat menyebabkan serak dan meningkatnya risiko
aspirasi.
BAB III. KESIMPULAN
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang
menuju orofaring (pars oralis).
Tindakan penguasaan jalan nafas darurat meliputi triple manuver,
head tililt chin lift, jaw trush
Alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan jalan nafas
diantaranya adalah oral dan nasal airway, face mask, LMA,
Esophageal Tracheal Combitube (ETC), dan Pipa Tracheal (TT).
Sedangkan untuk laringoskop nya terdapat berbagai jenis yaitu
Rigid Laryngoscope, Laringokop Bullard dan laringoskop Wu, dan
Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB) .
Teknik intubasi ada 2 macam yaitu intubasi endotrakeal dan
intubasi nasotrakeal.
DAFTAR PUSTAKA

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in


Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in
Anesthesia 12th ed. 2000.
Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG,
Cullen BF, Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow
and ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British
Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Anda mungkin juga menyukai