Anda di halaman 1dari 119

GINJAL

Oleh Kelompok 3
Anggota Kelompok:
Ernovia Rizky
Ni Putu Katarina
Rifka Uljannah
Suci Maulida R
Anatomi
Ginjal merupakan
suatu organ yang
terletak retroperitoneal
pada dinding abdomen
di kanan dan kiri
columna vertebralis
setinggi vertebra
Torakalis 12 hingga
Lumbalis 3 . Ginjal
kanan terletak lebih
rendah dari yang kiri
karena besarnya lobus
hepar (lobus hepatis
dextra)(Tortora, 2011).
Ginjal dibungkus oleh tiga lapis
jaringan, yaitu :
1. Jaringan yang terdalam Kapsula
renalis
2. Jaringan pada lapisan kedua
Adiposa
3. Jaringan terluar Fascia renal.
Ketiga lapis jaringan ini berfungsi
sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).
Fascia renalis
Fascia renalis terdiri dari:
a) Fascia (fascia renalis)
b) Jaringan lemak perirenal
c) Kapsula yang sebenarnya (kapsula
fibrosa), meliputi dan melekat
dengan erat pada permukaan luar
ginjal.
Stuktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang
disebut kapsula fibrosa. Ginjal memiliki korteks ginjal di
bagian luar yang berwarna coklat terang dan medula
ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap.
Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring
disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus
dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-
massa triangular (kerucut) disebut piramida ginjal
dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks
yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna
untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian
disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal
(Tortora, 2011).
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk
konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah,
pembuluh limfe, ureter dan nervus.
Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi
menjadi dua atau tiga calices renalis majores
yang masing-masing akan bercabang menjadi
dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron
yang merupakan unit fungsional ginjal.
Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap
ginjal. Nefron terdiri dari: glomerulus, tubulus
proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus
urinarius (Panahi, 2010).
Peredaran Darah Ginjal
Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis
yang mempunyai percabangan arteri renalis,
arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri
renalis bercabang menjadi arteri interlobularis
kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri
interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang
manjadi arteriole aferen glomerulus yang masuk
ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan
gromerulus disebut arteriole eferen gromerulus
yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke
vena cava inferior (Barry, 2011).
Persarafan Ginjal
Ginjal mendapatkan persarafan
dari fleksus renalis (vasomotor).
Saraf ini berfungsi untuk mengatur
jumlah darah yang masuk ke dalam
ginjal, saraf ini berjalan bersamaan
dengan pembuluh darah yang masuk
ke ginjal (Barry, 2011).
Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-
masing bersambung dari ginjal ke
vesika urinaria. Panjangnya 25-34
cm, dengan penampang 0,5 cm.
Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak
pada rongga pelvis. Lapisan dinding
ureter menimbulkan gerakan-
gerakan peristaltik yang mendorong
urin masuk ke dalam kandung kemih.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan


fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan
mukosa
Vesika urinaria (kandung kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai
penampung urin. Organ ini
berbentuk seperti buah pir (kendi).
Letaknya di belakang simfisis pubis
di dalam rongga panggul. Vesika
urinaria dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet.
Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada
vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air
kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-kira
13,7-16,2 cm, terdiri dari:
a. Uretra pars prostatika
b. Uretra pars membranosa
c. Uretra pars spongiosa.
Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2
cm. sphincter uretra terletak di sebelah atas
vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini
hanya sebagai saluran ekskresi (Panahi, 2010).
Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai
pengatur volume dan komposisi kimia darah dan
lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan
zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital
ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah
melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah
zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di
sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut
dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin
melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson, 2012).
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga
sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang
tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa
pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme
tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-
obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus
disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan
mengambil zat-zat yang berbahaya dari
darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun
diubah menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter.
Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih
dahulu di kandung kemih. Bila orang
tersebut merasakan keinginan berkemih dan
keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di
keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam
pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan
sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein
dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman.
Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di
filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya
pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan
difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus
tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi
parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan
dieksresi (Sherwood, 2011).
Filtrasi akan mengambil 20%
plasma yang masuk glomerulus
tanpa menyeleksinya. Kurang lebih
akan didapat 125 mL filtrat/menit
atau 180 L/hari. Dari jumlah itu 178,5
L/hari akan direabsorbsi. Maka rata-
rata urin orang normal adalah 1,5
L/hari.
Proses Pembentukan Urin
a. Proses filtrasi, di glomerulus.
Terjadi penyerapan darah yang
tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein. Cairan yang tersaring
ditampung oleh simpai bowmen yang
terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida,
sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke
tubulus ginjal. Cairan yang disaring
disebut filtrat glomerulus.
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali
sebagian besar dari glukosa, sodium,
klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat.
Prosesnya terjadi secara pasif (obligator
reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan
pada tubulus distal terjadi kembali
penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila
diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi
secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan
sisanya dialirkan pada papilla renalis.
c. Proses sekresi
Sisa dari penyerapan kembali yang
terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan
ke luar (Rodrigues, 2008).
Bagan Proses
Parameter Fungsi Ginjal
1. Kreatinin
Nilai normal: 0,6 1,3 mg/dL (SI: 62-115mol/L)
pria >1,4/wanita >1,2

Deskripsi:
Kreatinin dihasilkan selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan
kreatinin fosfat. Kreatinin diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam
darah sebagai indikator fungsi ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal normal,
kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya akan
meningkat pada penurunan fungsi ginjal.
Serum kreatinin berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet,
atau aktivitas dan diekskresi seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin
berguna untuk mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati
glomerular fi ltration rate (GFR).
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan
fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin
konstan selama masa otot konstan. Penurunan fungsi ginjal akan
menurunkan ekskresi kreatinin.
Kadar Menurun Kadar Meningkat

Pada gangguan fungsi


ginjal baik yg
Distropi otot, atropi,
disebabkan oleh
malnutrisi atau
nefritis, penyumbatan
penurunan masa otot
saluran urin, penyakit
Note:
akibat penuaan
otot atau dehidrasi
Kreatinin serum 2-3 mg/dLotot.
menunjukkan fungsi
ginjal yang menurun 50% hingga 30% dari
fungsi ginjal normal.
Konsentrasi kreatinin serum bergantung pada
berat, umur, dan massa otot.
2. Kreatinin urin (Clcr)Kreatinin
Klirens
Nilai normal:
Pria : 1-2 g/24 jam
wanita: 0,8-1,8 g/24 jam
Deskripsi:
Kreatinin terbentuk sebagai hasil dehidrasi
kreatin otot dan merupakan produk sisa kreatin.
Kreatinin difi ltrasi oleh glomerulus ginjal dan
tidak direabsorbsi oleh tubulus pada kondisi
normal. Kreatinin serum dan klirens kreatinin
memberikan gambaran fi ltrasi glomerulus.
Kategori kerusakan ginjal berdasarkan
kreatinin serum dan klirens
Klirens Kreatinin (ClCr)
Tingkat kerusakan ginjal parah < 10 mL/menit, sedang 10-
30 mL/menit, ringan 30-70 /menit
Klirens kreatinin adalah pengukuran kecepatan tubuh (oleh
ginjal) membersihkan kreatinin, terutama pengukuran
kecepatan fi ltrasi glomerolus (GFR).
Hasil penilaian dengan mengukur klirens kreatinin
memberikan hasil yang lebih akurat.
Pada anak-anak, nilai klirens kreatinin akan lebih rendah
(kemungkinan akibat masa otot yang lebih kecil)
Obat-obat yang perlu dimonitor pada pasien dengan
ganguan fungsi ginjal
a. Golongan aminoglikosida
b. Obat dengan indeks terapi sempit
3. Laju Filtrasi Glomerulus
Tes ini merupakan pengukuran seberapa
baik ginjal dalam mengeliminasi sampah-
sampah dan kelebihan cairan dalam darah.
Nilai LFG dapat dihitung dari kreatinin serum
dengan menggunakan umur, bobot badan,
jenis kelamin dan ukuran tubuh.

Nilai normal LFG adalah >90ml/menit/1,73m 2


Pria: 97- 137 mL/menit
Wanita: 88 128 mL/menit
4. Blood Urea Nitrogen (BUN)
Nilai normal BUN: 7- 20 mg/dL

Nitrogen urea terbentuk dari hasil perombakan


protein makanan yang dimakan. Semakin
menurun fungsi ginjal semakin meningkat pula
kadar BUN dalam darah. Bila kadar BUN dalam
darah 20 mg/dL, ginjal mungkin tidak bekerja
dengan kekuatan penuh. Penyebab lain BUN
tinggi yang mungkin termasuk adalah dehidrasi
dan kegagalan jantung.
GAGAL GINJAL
AKUT
Definisi
Sindrom klinis dimana ginjal
tidak lagi mengekskresi
produk-produk limbah
metabolisme, biasanya
karena hipoperfusi ginjal.
Sindrom ini bisa berakibat
azotemia (uremia), yaitu
akumulasi produk limbah
nitrogen dalam darah dan
oliguria, dimana haluaran urin
kurang dari 400 ml/24 jam.
Menyebabkan hilangnya
kemampuan ginjal untuk
mempertahankan
homeostatis tubuh.
Klasifikasi Gagal Ginjal
Akut berd. Etiologi
PATOFISIOLOG
I
Tanda dan gejala gagal ginjal akut
Manajemen pengobatan
Non Farmakologi
dehidrasi
Terapi farmakologi
Manitol 20%
Dimulai pada dosis 12.5 50 g IV selama 3 hingga 5
menit. Kerugiannya meliputi penggunaan secara IV,
resiko hiperosmolaritas, dan perlu dimonitoring
volume urin yang keluar dan kadar serum elektrolit
serta osmolalitas karena manitol berkontribusi
menyebabkan GGA.
Kombinasi Loop diuretik dengan diuretik lain yang
memiliki tapak kerja berbeda seperti obat yang
bekerja di tubulus distal (tiazid) atau tubulus
pengumpul (amilorid, triamterene, dan
spironolakton).
Strategi untuk pasien yang
mengalami resistensi diuretik
Adanya obat
Hindari protein
yang
yang
mengandung
hilang selama
K seperti
dialisisbubuk
sehingga
pengganti
perlu peningkatan
fosfor (Neutra-Phos
konsum
Perlu pasien
Pada dimonitor
yangkadar
mengalami
kaliumnya
Continuous
sehari sekali
Renalatau
Replacement
dua kali sehari
Therapy
bila (CRRT)
sakit pa
90% pasiendekstrosa
Pemberian GGA mengalami
pada pasien
hiperkalemia
CRRT memperbaiki
yang menyebabkan
jumlah kalori
aritmia
pasien.
jantung
FARMAKOKINETIK
PADA PASIEN
DISFUNGSI GINJAL
1. Absorbsi

Pada obat-obat yang dieliminasi oleh ginjal,


terjadi penurunan klirens dan konstanta
kecepatan eliminasi (kel).
Absorbsi obat di saluran pencernaan belum
diketahui dengan pasti. Akan tetapi, pada pasien
gagal ginjal yang disebabkan oleh diabetes
menunjukkan penundaan waktu pengosongan
lambung, penundaan absorbsi dengan
perpanjangan Tmax dan penurunan Cmax.
ekskresi obat presistemik (atau lintas
pertama) berkurang.
Distribusi
Kerusakan
Penurunan
3.Terdesaknya
2.Perubahan
1.
Peningkatan

2. Distribusi
3.
Metabolisme
Kebanyakan obat tidak
berubah mengalami
perubahan terlebih
dahulu menjadi metabolit
sebelum diekskresikan.
Gagal ginjal tidak hanya
memperlambat ekskresi
obat, tetapi juga
mengubah aktivitas
farmakologi obat.
Dampak dari disfungsi
ginjal dalam metabolisme
obat tergantung pada
jalur metabolismenya,
seperti ditunjukkan pada
tabel berikut
Di ginjal
Ginjal bertanggung jawab terhadap
tahap akhir aktivasi vitamin D
melalui hidroksilasi 25-
hidroksikolekalsiferol menjadi bentuk
yang lebih aktif, yaitu 1,25-
dihidroksikolekalsiferol. Proses ini
terganggu pada gagal ginjal.
Ginjal juga merupakan tempat utama
bagi metabolisme insulin dan
kebutuhan insulin. Pada penderita
diabetes yang mengalami gagal
ginjal akut sering berkurang.
4. Eksresi
Perubahan filtrasi, sekresi dan/atau
absorpsi bisa sangat berpengaruh pd
farmakokinetika obat tergantung
keparahan kondisi ginjal
Penurunan nilai Clearens total (CLE)
akan meningkatkan konsentrasi
steady-state (Css) dalam darah
Clearens total terdiri dari Clearens
renal dan clearens non renal
Secara kuantitatif, salah satunya
dapat diukur melalui kreatinin klirens
Disfungsi ginjal: klierens obat yang
tereliminasi berkurang dan waktu
paruh obat dalam plasma lebih
panjang
GAGAL GINJAL KRONIK
PATOFISIOLOGI
KDOQI 2002, DEFINITION
CKD didefinisikan sebagai kelainan struktur atau
fungsi ginjal, selama 3 bulan, dengan atau tanpa
penurunan GFR

Am J Kidney Dis
2002; 39:S1
FAKTOR RISIKO
Susceptibility Initiation
(peningkatan
(faktor atau
risiko)
keadaan yg
Bertambahnya
secara langsung
umur
Penurunan massa
dpt menyebabkan
ginjal & BB lahir kerusakan ginjal)
rendah Diabetes melitus
Riwayat keluarga Hipertensi
Edukasi & Penyakit
pendapatan yg autoimun
rendah Penyakit ginjal
Inflamasi sistemik polikistik
dyslipidemia Toksisitas obat
Progression
(faktor risiko yg menyebabkan kerusakan
ginjal semakin memburuk)
Glikemia
Peningkatan tekanan darah
Proteinuria
merokok
STAGING OF CKD AND
SYMPTOMS
DiPiro Edisi 9
KDIGO surveys and Controversy Conferences in 2004 and 2006
TREATMENT (DiPiro edisi 9)
Tujuan Pengobatan: Tujuannya adalah
untuk menunda perkembangan CKD,
meminimalkan perkembangan atau
tingkat keparahan komplikasi.
Gunakan panduan konsensus terkini dan
praktik klinis terbaik untuk manajemen
dari CKD
Terapi non Farmakologi
a. Batasi protein sampai 0,8 g / kg / hari jika GFR kurang dari 30
mL / min / 1,73 m2.
b. Hindari asupan protein tinggi (> 1,3 g / kg / hari) pada orang
dewasa dengan risiko mengalami perkembangan CKD.
c. Sebaiknya turunkan asupan garam menjadi <90 mmol (<2 g)
natrium per hari (sesuai dengan 5 g natrium klorida) pada
orang dewasa, kecuali kontraindikasi.
d. Penghentian merokok untuk memperlambat perkembangan
CKD dan kurangi risiko CVD.
e. Olahraga minimal 30 menit lima kali per minggu dan
pencapaian tubuh
f. Indeks massa (BMI) 20 sampai 25 kg / m2.
Terapi Farmakologi
Diabetes and Hypertension With CKD
a. Kontrol tekanan darah dapat mengurangi tingkat penurunan GFR dan
albuminuria pada pasien tanpa diabetes.
b. Pedoman KDIGO merekomendasikan Tekanan darah target 140/90 mmHg atau
kurang jika ekskresi albumin urin atau setara kurang dari 30 mg / 24 jam.
c. Jika ekskresi albumin urin lebih besar dari 30 mg / 24 jam atau setara, target
Tekanan darah adalah 130/80 mmHg atau kurang dan memulai terapi lini
pertama dengan angiotensinconverting Enzyme inhibitor (ACEI) atau
penghambat reseptor angiotensin II (ARB). Tambahkan diuretik thiazide dalam
kombinasi dengan ARB jika penurunan tambahan dari proteinuria dibutuhkan.
CCB nondihydropyridine umumnya digunakan sebagai antiproteinurik lini
kedua ketika ACEI atau ARB dikontraindikasikan atau tidak ditolerir.
d. Pembersihan ACEI berkurang di CKD; Oleh karena itu, pengobatan harus
dimulai dengan dosis yang terendah yang mungkin diikuti dengan titrasi
bertahap untuk mencapai target BP dan, kedua, untuk meminimalkan
proteinuria
TARGET TERAPI - KONTROL
GLIKEMIK
Kami merekomendasikan target hemoglobin A1c (HbA1c)
dari ~ 7,0% (53 mmol / mol) untuk mencegah atau
menunda perkembangan komplikasi mikrovaskular.
Diabetes, termasuk penyakit ginjal diabetes.
Sebaiknya jangan memperlakukan target HbA1c <7,0%
(<53 mmol / mol) pada pasien yang berisiko mengalami
hipoglikemia. (1B)
Kami menyarankan agar target HbA1c di atas 7,0% (53
mmol / mol) pada individu dengan risiko hipoglikemia.
Hiperlipidemia
a. Prevalensi hiperlipidemia meningkat saat fungsi ginjal
menurun.
b. Pedoman nasional berbeda mengenai seberapa agresif
dislipidemia harus ditangani
c. Pasien dengan CKD Pedoman KDIGO merekomendasikan
pengobatan dengan statin (misalnya atorvastatin 20 mg,
fluvastatin 80 mg, rosuvastatin 10 mg, simvastatin 20 mg)
pada orang dewasa berusia 50 dan lebih tua dengan
stadium CKD 1 sampai 5 bukan pada dialisis.
d. Pada pasien dengan ESRD, profil lipid harus ditinjau ulang
setidaknya setiap tahun dan 2 sampai 3 bulan setelah
mengganti pengobatan.
Strategi terapi utk mencegah
progresivitas GGK
Strategi Terapi utk mencegah
progresivitas GGK pd Pasien Nondiabetik
Anemia dan CKD
Definisi KDIGO tentang anemia: Hemoglobin (Hb) kurang dari
13 g / dL (130 g / L; 8.07 Mmol / L) untuk laki-laki dewasa dan
kurang dari 12 g / dL (120 g / L; 7,45 mmol / L) untuk
Perempuan dewasa.
Mengidentifikasi anemia pada orang dengan CKD mengukur
kadar Hb:
a. Bila ditunjukkan secara klinis pada orang dengan GFR 60
ml / menit / 1,73 m2 (kategori GFR G1-G2);
b. Setidaknya setiap tahun pada orang dengan GFR 30-59 ml /
menit / 1,73 m2 (kategori GFR G3a-G3b);
c. Setidaknya dua kali per tahun pada penderita GFR <30 ml /
menit / 1,73 m2 (kategori GFR G4-G5).
Terapi:
a. Memulai terapi stimulasi eritropoietis (ESA) pada semua pasien CKD dengan
Hb antara 9 dan 10 g / dL (90 dan 100 g / L; 5,59 dan 6,21 mmol / L). Target
Hb masih kontroversial.
b. Kekurangan zat besi adalah penyebab utama resistensi terhadap pengobatan
anemia dengan ESAs. Suplementasi zat besi dibutuhkan oleh sebagian besar
pasien CKD untuk melengkapi besi yang habis oleh kehilangan darah yang
terus berlanjut dan meningkatnya kebutuhan zat besi.
c. Terapi besi parenteral meningkatkan respons terhadap terapi ESA dan
mengurangi dosis yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan
indeks target. Sebaliknya, terapi oral terbatas penyerapan nya dan
ketidakpatuhan yang buruk terutama karena efek samping
d. Preparat IV zat besi memiliki profil farmakokinetik yang berbeda, yang tidak
berkorelasi dengan efek farmakodinamik.
e. Efek samping IV zat besi meliputi reaksi alergi, hipotensi, pusing,
dyspnea, Sakit kepala, sakit punggung bagian bawah, artralgia, sinkop,
dan artritis. Beberapa reaksi ini Dapat diminimalkan dengan
menurunkan dosis atau laju infus. Sodium ferric Glukonat, sukrosa besi,
dan ferumoxytol memiliki catatan keamanan yang lebih baik daripada
Produk dekstran besi.
f. Pemberian epoetin alfa subkutan (SC) lebih disukai karena akses IV
tidak diperlukan, dan dosis SC yang mempertahankan indeks target
adalah 15% sampai 30% lebih rendah dari Dosis IV.
g. Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh lebih lama daripada epoetin alfa
dan memperpanjang aktivitas biologis. Dosis diberikan lebih jarang,
mulai seminggu sekali bila diberikan IV atau SC.
h. ESA dapat ditolerir dengan baik. Hipertensi adalah efek samping yang
paling umum.
Evaluasi Outcome dari Terapi Anemia

a. Indeks besi (saturasi transferrin [TSat]; feritin) harus dievaluasi


sebelum diberi ESA. Status besi harus dinilai ulang setiap bulan
selama awal Pengobatan ESA dan setiap 3 bulan untuk mereka
yang memakai rejimen ESA yang stabil.

b. Hemoglobin harus dipantau paling tidak setiap bulan, meski lebih


sering dipantau (Misalnya setiap 1-2 minggu) diperlukan setelah
memulai ESA atau setelah perubahan dosis sampai hemoglobin
stabil.

c. Pasien harus dipantau untuk komplikasi potensial, seperti


hipertensi, Yang harus diobati sebelum memulai ESA.
CKD-Related Mineral and Bone Disorder
a. Gangguan metabolisme mineral dan tulang (CKD-MBD) umum terjadi pada
CKD dan termasuk kelainan hormon paratiroid (PTH), kalsium, Fosfor,
kalsium-fosfor produk, vitamin D, dan bone turnover, juga kalsifikasi jaringan
lunak.
b. Keseimbangan kalsium-fosfor dimediasi melalui interaksi hormon yang
kompleks dan efeknya pada tulang, saluran pencernaan (gastrointestinal /
GI), ginjal, dan kelenjar paratiroid. Seiring perkembangan penyakit ginjal,
aktivasi ginjal dari vitamin D terganggu, yang mengurangi penyerapan
kalsium usus. Konsentrasi kalsium darah rendah merangsang
c. Sekresi PTH. Saat fungsi ginjal menurun, keseimbangan kalsium serum
dapat dipertahankan hanya dengan mengorbankan resorpsi tulang yang
meningkat, akhirnya mengakibatkan ginjal Osteodistrofi (ROD).
d. Hiperparatiroidisme sekunder dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas dan kematian mendadak pada penderita hemodialisis.
Kami merekomendasikan untuk mengukur kadar
serum kalsium, fosfat, PTH, dan aktivitas alkalin
fosfatase setidaknya satu kali pada orang dewasa
dengan GFR <45 ml / menit /1,73 m2 (kategori
GFR G3b-G5) untuk menentukan nilai awal dan
menginformasikan persamaan prediksi jika
digunakan.
Treatment
Pembatasan diet fosfor,
dialisis, dan paratiroidektomi
bersifat nonfarmakologis untuk
manajemen dari
hyperphosphatemia dan CKD-
MBD.
Pedoman KDOQI memberikan
kisaran kalsium, fosfor, Produk
kalsiumphosphorus yang
diinginkan, dan PTH utuh
berdasarkan tahap CKD
FOSPHATE-BINDING AGENTS
a. Agen pengikat fosfat menurunkan penyerapan fosfor dari usus dan Agen lini
pertama untuk mengendalikan konsentrasi serum fosfor dan kalsium.
b. Pedoman KDOQI merekomendasikan bahwa unsur kalsium dari kalsium yang
mengandung Pengikat sebaiknya tidak melebihi 1500 mg / hari, dan total
asupan harian dari semua sumber Tidak boleh melebihi 2000 mg. Ini
mungkin memerlukan kombinasi kalsium dan Produk kalsium yang tidak
mengandung kalsium (misalnya, sevelamer HCL dan lanthanum carbonate).
c. Efek samping dari semua pengikat fosfat umumnya terbatas pada efek GI,
termasuk Sembelit, diare, mual, muntah, dan sakit perut. Resiko
hiperkalsemia mungkin memerlukan pembatasan penggunaan atau
mengurangi asupan makanan. Pengikat aluminium dan magnesium tidak
dianjurkan untuk pemakaian biasa di CKD karena pengikat aluminium telah
dikaitkan dengan toksisitas SSP dan memburuknya anemia, sedangkan
pengikat magnesium bisa menyebabkan hipermagnesemia dan hiperkalemia.
TERAPI VITAMIN D
a. Kontrol kalsium dan fosfor yang masuk harus dicapai sebelum
inisiasi dan selama terapi vitamin D lanjutan.
b. Calcitriol, 1,25-dihydroxyvitamin D3, secara langsung menekan
sintesis dan sekresi PTH dan meningkatkan reseptor vitamin D.
Dosis tergantung pada stadium CKD (Tabel 74-4).
c. Yang lebih baru vitamin D analog paricalcitol dan doxercalciferol
dapat dikaitkan dengan berkurangnya hiperkalsemia dan untuk
paricalcitol, hyperphosphatemia. Terapi vitamin D, terlepas dari
agen, dikaitkan dengan penurunan angka kematian.
CALCIMIMETICS
a. Cinacalcet mengurangi sekresi PTH dengan
meningkatkan sensitivitas calciumsensing
reseptor. Efek samping yang paling umum
termasuk mual dan muntah.
b. Cara paling efektif untuk menggunakan
cinacalcet dengan terapi lain belum diputuskan.
Dosis awal adalah 30 mg per hari, yang dapat
dititrasi ke PTH dan kalsium yang diinginkan
setiap 2 sampai 4 minggu sampai maksimum
180 mg setiap hari.
LANGKAH DALAM
MENENTUKAN DOSIS
OBAT PADA PASIEN
DENGAN DISFUNGSI
GINJAL
PRINSIP PENGGUNAAN OBAT
PADA GAGAL GINJAL

Pilihlah obat yang


eliminasinya terutama
melalui metabolisme
hati (saluran cerna)

Gunakan dosis yang


lebih rendah,
terutama untuk obat
yg eliminasi
utamanya melalui
ginjal
Hindari penggunaan obat yang
dapat memperparah kerja ginjal
Ciprofibra
seperti obat-obat yang bersifat
t
nefrotoksik, diantaranya:
Ciprofloxacin Trimetrop
Famotidin im
Captopril Metoklopr
Kolkisin amid
Karboplatin Flukonazo
Amantadin l
Tramadol
MODIFIKASI DOSIS PADA
PASIEN DENGAN
GANGGUAN GINJAL
a.Dilakukan penurunan dosis dengan
interval pemberian biasa.
b.Menggunakan dosis biasa dan
memperpanjang interval
penggunaan.
c.Penurunan dosis dan
memperpanjang interval dosis.
d.Pilihan dipilih berdasarkan rute
administrasi obat dan dosis obat
yang tersedia.
PARAMETER
FARMAKOKINETIK
MENGGUNAKAN
KLIRENS KREATININ

Klirens kreatinin bisa dijadikan sebagai


dasar penyesuaian dosis obat-obat yang
terutama dieliminasi melalui ginjal,
turunnya GFR ditandai dengan menurunnya
klirens ginjal.

Semua obat yang diekskresikan melalui


ginjal termasuk sekresi melalui tubulus dan
proses reabsorpsi semuanya akan menurun
bila terjadi penurunan nilai GFR.
- CrCl <50 60 ml/min, bisa dimungkinkan
dilakukan penurunan dosis.
- CrCl <25 30 ml/min, penurunan dosis
agak besar bisa dilakukan.
- CrCl <15 ml/min, dilakukan penurunan
Untuk obat-obat indeks
terapi sempit
Pengukutan atau penentuan CrCl
bisa untuk menetapkan parameter
farmakokinetik pasien berdasarkan
fungsi ginjal pasien.

Lalu tentukan parameter


farmakokinetik lalu gunakan
persamaan penentuan dosis untuk
mendapatkan initial dosis yang sesuai.
PRINSIP PENYESUAIAN DOSIS
PADA GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Langkah-langkah urutan yang harus
dilakukan dalam penyesuaian dosis
untuk pasien gagal ginjal:
1. PENILAIAN STATUS AWAL
PASIEN
- Riwayat penggunaan obat
- Riwayat alergi
- Obat-obatan yang sedang digunakan termasuk
obat OTC.
- Pemeriksaan fisik harus meliputi : tinggi badan,
berat badan, status volume ekstrasel (jugular
venous pulse, TD, dan denyut nadi dengan
perubahan ortostatik, udem, asites, bunyi paru)
dan amati tanda tanda penyakit hati kronik
- Hasil laboratorium terhadap fungsi ginjal dan hati
serta kadar albumin.
2. EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN
GINJAL
Hitung laju filtrasi glomerulus.
Hitung klirens kreatinin (CrCl)
menggunakan persamaan
Cockcroft-gault untuk bisa
menentukan dosis obat.
Hampir semua obat tidak
memerlukan pengurangan dosis
bila ClCr > 50mL/min (kecuali
aminoglikosida, vankomisin,
digoxin, prokanamid dan 5-
flusitosin)
3. PENINJAUAN KEMBALI OBAT-OBAT YANG
DIGUNAKAN
- Memastikan semua obat
mempunyai spesifik indikasi.
- Evaluasi kemungkinan
interaksi obat dan efek
sampingnya.
- Memastikan dosis obat masih
sesuai dengan tingkat
kerusakan ginjal.
4. HINDARI OBAT YANG BERSIFAT
NEFROTOKSIS

Jika penggunaan obat nefrotoksik tidak


dapat dihindarin, TDM dan monitor
fungsi ginjal harus dilakukan.

5. PEMILIHAN DOSIS
AWAL
Biasanya sama dengan dosis
pasien normal, terutama untuk
obat-obatan yang baru.
6. PEMILIHAN MAINTENANCE REGIMEN (METODE
PENJAGAAN)
Sesuaikan dosis dengan ClCr pasien
jika perlu, apakah perlu dikurangi
dosisnya atau diperpanjang
intervalnya.

7. MONITOR KADAR
OBAT
8. LAKUKAN PENILAIAN
KEMBALI
Tinjau kembali pasien untuk mengevaluasi efektivitas
obat dan perlunya terapi berkelanjutan. Jika obat
nefrotoksik digunakan, ingatkan untuk melakukan
pengecekan kembali creatinine serum dan creatinine
clearance (CrCl) pasien.
PENILAIAN
TERHADAP
FUNGSI GINJAL
Rentang nilai normal dan penurunan Creatinine
Clearance (unit SI)

Fungsi Ginjal
Normal 95 - 145 ml/menit (1,58 - 2,42
Pria 75 - 115 ml/menit mL/detik)
Wanita (1,25 - 1,92
mL/detik)
Gangguan Fungsi 50 - 70 ml/menit (0,83 - 1,17
Ginjal Ringan mL/detik)
Gangguan Fungsi 25 - 50 mL/menit (0,42 - 0,83
Ginjal Sedang mL/detik)
Gangguan Fungsi < 25 mL/menit (< 0,42 mL/detik)
Ginjal Berat
KLIRENS
KREATININ
Pengumpulan urin selama 24
jam
Rumus Cockroft dan
PENGUKURAN Gault
Menggunakan Rumus Salazar &
Corcoran
Rumus Jellife

Dalam keadaan normal, kreatinin tidak


disekresi atau diabsorpsi oleh tubulus
ginjal dalam jumlah yang bermakna.
Tetapi pada pasien gangguan ginjal,
sekresi tubuler aktif dari kreatinin menjadi
lebih bermakna dan sebagai akibatnya
klirens kreatinin lebih besar dari nilai LFG.
1. Pengumpulan Urin
selama 24 jam
RUMU
S
2. Rumus Cockroft dan
Gault
Metode yang lebih cepat adalah dengan
mengukur kadar kreatinin serum dan faktor
yang mempengaruhi massa otot penderita
(usia, jenis kelamin, dan berat badan)
menggunakan rumus Cockroft dan Gault.

CrClest adalah bersihan kreatinin dalam mL/min, umur dalam


tahun, BW (Body Weight) adalah bobot badan pasien dalam
kg, SCr adalah kreatinin serum. Nilai 0,85 adalah faktor koreksi
untuk perempuan karena perempuan memiliki massa otot
yang lebih kecil dari pada laki-laki. Persamaan ini hanya
berlaku untuk pasien dengan bobot badan yang normal,
memiliki usia diatas 18 tahun dan memiliki kreatinin serum
yang stabil.
RUMUS


3. RUMUS
JELLIFE
Metode ini memperhitungkan umur penderita dan pada
umumnya dapat dipakai untuk penderita dewasa yang berumur
20-80 tahun.
Untuk penderita wanita hendaknya menggunakan 90% dari Ccr
yang diperoleh untuk pria
Dengan metode ini makin tua penderita makin kecil klirens
kreatinin untuk konsentrasi kreatinin yang sama.
Pasien yang memiliki konsentrasi kreatininserum yang tidak
stabil, bersihan kreatininnya dihitung dengan persamaan Jeliffe
& Jeliffe, sebagai berikut :
Essmale = IBW[29,3-(0,203 x umur)] atau
Essfemale = IBW[25,1-(0,175 x umur)]
Ess adalah nilai eksresi kreatinin, IBW adalah bobot badan ideal
dalam kg dan umur dalam tahun.
Setelah didapatkan nilai Ess, dilakukan perhitungan terhadap
nilai koreksi produksi kreatinin dengan rumus :
Esscorrected = Ess[1,035 (0,0337 x Scrave)]
RUMUS

Scrave adalah nilai rata-ratadua


kreatininserum yang ditentukan
dalam mg/dL,
Scr1 adalah kreatinin serum pertama
dan
Scr2 adalah kreatinin serum kedua,
keduanya dalam mg/dL, dant selisih
waktu antara pengukuran Scr1 dan
Perhitungan Klirens Kreatinin
pada Anak-anak (Metode Schwart,
dkk)

RUMUS

Clcr dinyatakan dalam ml/menit 1,73 m2

Perhitungannya didasarkan atas tinggi


badan dan konsentrasi kreatinin serum
Metode yang digunakan untuk
perhitungan kreatinin anak adalah
metode Schwartz, dkk
3. Menggunakan Rumus Salazar
& Corcoran

RUMUS

Umur Dalam Tahun, Wt Adalah


Bobot Badan Dalam Kg, Ht
Tinggi Dalam Meter, Dan Scr
Adalah Kreatininserum Dalam
Mg/Dl.
4. UREA

Secara umum urea disintesa di dalam hati


sebagai produk sampingan metabolisme
makanan dan protein endogen.
Urea disaring oleh glomerulus dan sebagian
direabsorpsi oleh tubulus.
Metode ini kurang tepat untuk menilai fungsi
ginjal, namun dapat digunakan untuk
perhitungan kasar karena dapat memberikan
gambaran umum tentang keadaan pasien
setingkat dehidrasi.
Jika kadar diatas 10 mmol/L mungkin
mencerminkan adanya gangguan ginjal.
PERHITUNGAN PENYESUAIAN
DOSIS
1. Metode Nomogram Welling
dan Craig
Nomogram menggambarkan rasio tetapan laju eliminasi
uremia (Ku) terhadap tetapan laju eliminasi normal (K N) untuk
berbagai obat sebagai fungsi dari ClCr
Rasio ini akan menurun bila klirens kreatinin menurun
tergantung pada pada persentase obat yang berpindah
melalui ginjal secara normal. Intersep menyatakan tetapan
laju bukan ginjal, yang dinyatakan sebagai persentase dari
tetapan laju eliminasi normal.
Langkah-langkah untuk penyesuaian dosis menggunakan
metode ini:
1. Tempatkan kelompok dimana obat termasuk tabel
2. Dapatkan Ku/KN pada titik yang sesuai dengan ClCr
penderita
3. Tentukan Ku untuk penderita
4. Buat penyesuaian dosis sesuai dengan prinsip
farmakokinetik
Contoh Soal Metode Nomogram Welling
dan Craig

Linkomisin diberikan pada dosis 500 mg setiap 6 jam pada seorang


normal dengan berat badan 75 kg. Berapakah dosis yang akan
digunakan bila ClCr = 10 ml/menit?

Jawaban:
- Tentukan nilai % Ku/KN untuk pasien dengan ClCr = 10 ml/menit.
Dalam kasus ini ditemukan bahwa % Ku/KN= 0,48, dimana nilai KN =
0,15 jam.
- Sehingga dapat dihitung nilai Ku
Ku = % Ku/KNx KN
Ku = 0,48 x 0,15 = 0,072 jam-1
- Hitung penyesuaian dosis:
Dosis = x Dosis normal
Dosis = x 500 mg = 240 mg setiap 6 jam
2. METODE WAGNER

Metode ini mengambil keuntungan dari kenyataan


bahwa tetapan eliminasi untuk seorang penderita
dapat diperoleh dari klirens kreatinin sebagai
berikut:
K% = a+b Clcr
Dosis untuk penyesuaian dosis:
Dosis = Dosis normal x
Contoh Soal Metode Wagner


Seorang penderita secara normal meminum 500 mg ampisilin
setiap 6 jam. Berapakah dosis untuk seorang penderita
dengan ClCr 80 mL/menit.

Jawaban:
- Dari tabel diperoleh a= 11; b = 0,59 dan K% normal= 70
K% = a+b Clcr
K = 11 + 0,59 x 80

K = 58,2%
Dosis untuk penyesuaian dosis:
Dosis = Dosis normal x
Dosis = 500 x
3. METODE GIUSTI-HAYTON

Dosis dihitung dengan


menggunakan rasio bersihan
kreatinin. Penyesuaian dosis
berdasarkan dosis awal

Dimana Du merupakan dosis pada


pasien gagal ginjal; DN merupakan
dosis pada pasien normal,
sedangkan Ku/KN merupakan rasio
bersihan kreatinin.
Penyesuaian dosis juga dapat dilakukan
dengan mengubah interval pemberian
obat:

Dimana u merupakan jarak waktu


pemberian dosis pasien gagal ginjal; N
merupakan jarak waktu pemberian
dosis pasien normal.
(Shargel, et al ,
2005)
Contoh Soal Metode Giusti-Hayton

Daftar Pustaka
Burton, Michael E. 2006. Applied Pharmacokinetics & Pharmacodynamics:
Principles of Therapeutic Drug Monitoring. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Dipiro, et.all. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Seventh
Edition. Mc Graw Hill Medical. New York.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kemenkes RI
National Kidney Foundation. 2016. A to Z Health Guide: Tests to Measure
Kidney Function, Damage and Detect Abnormalities. New York: National
Kidney Foundation, Inc.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
Sweet, Burgunda. 2016. Handbook of Applied Therapeutics. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia.
Tambayong, Jan.1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC. Jakarta.
Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology
Maintanance and Continuity of the Human Body 13th Edition. Amerika
Serikat: John Wiley & Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai