Anda di halaman 1dari 47

HUKUM KEWARISAN

ISLAM & ADAT


Dr. H. MOH. MUHIBBIN, SH.,MHum.
PERTEMUAN PERTAMA
Materi Kuliah
1. Kontrak Belajar dan Pengenalan Hukum Waris Islam
2. Pengertian dan tujuan mempelajari hukum kewarisan islam
3. Dasar dan sumber hukum kewarisan islam, membandingkan asas-asas hukum
kewarisan islam dengan asas hukum adat dan hukum barat.
4. Sejarah pertumbuhan hukum kewarisan Islam: Masa pra islam, masa kedatangan
islam masa kemapanan islam
5. Syarat dan rukum mewarisi dan penggolongan ahli waris
6. Sebab-sebab mewaris dan halangan-halangan mewarisi
7. Pengertian ahli waris dzul faraaid/furuudlul muqaddarah, macam-macam furuudlul
muqaddarah dan golongan kerabat yang memperoleh bagian tertentu
8. cara pembagian warisan menurut hukum kewarisan Islam: Isbatul furudl dan Asal
masalah dan cara perhitungannya
9. Pengertian asabah binafsihi, asabah bil-ghairi, asabah maal ghairi
10.Bagian para ahli waris dzul faraaid dan dzul arham
11.Masalah Aul, Menjelaskan masalah Raad
12.Bagian-bagian para ahli waris
13.Menjelaskan pengertian wasiat dan hibah serta memandingkan pengertian wasiat
dan hibah menurut hukum barat
14.Hukum kewarisan Islam dalam kompilasi hukum islam.
Metode Perkuliahan
Proses belajar dilakukan melalui kegiatan tatap muka, yang
meliputi perkuliahan di kelas berupa ceramah, diskusi, dan
presentasi tugas mengenai pendidikan agama islam

Tugas
Setiap mahasiswa wajib membuat tugas:
Tugas terstruktur yaitu membuat makalah kelompok.
Tugas non struktur yaitu membuat catatan (review)

tentang materi pada setiap pertemuan kuliah.


Kedisiplinan
Tidak diperbolehkan memakai kaos oblong
Mahasiswa wajib hadir tepat waktu.

Toleransi waktu 15 menit. Terlambat di atas


15 menit mahasiswa tdk diperbolehkan
untuk ikut perkuliahan tetapi tidak
diperkenankan mengisi absensi.
Proses Penilaian

Rentang Penilaian :
Presensi & 20 %
kedisiplinan Nilai A (100 - 81) Sangat Baik
Nilai B (79-70) Baik
Keaktifan tugas non Nilai C (59 - 50) Cukup / Sebaiknya
10 %
terstruktur diulang
Nilai D (49 - 40) Tidak Lulus
Tugas Pra Nilai E (40 - 0) Tidak Lulus
10 %
UTS/terstruktur
UTS 25 %

Tugas Pra UAS 10 %

UAS 25 %
Metode Pembelajaran (Kep.
Dikti No 30/2003)
Menggunakan student center learning (scl)
Yaitu: metode pembelajaran yg
menempatkan mahasiswa sebagai subjek
didik, mitra dlm proses pembelajaran. Peran
dosen hanya sebagai fasilitator(hanya
mediasi)
Mahasiswa mencari sumber2 belajar yg
terkait dengan materi kuliah
LITERATUR
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam
Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia, jakarta, Sinar grafika, 2011.
Fathurrahman, Ilmu Warits, Bandung, Al

Maarif, 1975
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Jakarta,

Pustaka Rizki Putra, 2001


Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum

Waris Islam dalam perspektif teks dan


kontek, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2013
PENDAHULUAN
Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di
atas dunia ini.
Aturan itu dituangkan dalam bentuk titah/kehendak Allah tentang

perbuatan yg boleh & tidak boleh dilakukan oleh manusia.


Pada diri manusia terdapat 2 naluri: mempertahankan hidup dan

melanjutkan hidup
Untuk terpenuhinya 2 naluri tsb Allah menciptakan 2 nafsu

(Makan & minum)


Nafsu makan berpotensi memenuhi naluri mempertahankan

hidup, karena itu manusia memerlukan sesuatu yg dapat


dimakannya shg ada kecendrungan untuk mendapatkan &
memiliki harta
Nafsu syahwat, berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan

kehidupan, karena itu manusia memerlukan lawan jenisnya


dalam menyalurkan nafsu syahwatnya.
TUJUAN HUKUM ISLAM
Selain mencari kebahagian hidup di dunia
dan di akhirat, terdapat juga tujuan hukum
islam yang lima sebagai kebutuhan dasar
manusia:
1. Hifdzuddin (memelihara agama)
2. Hifdzul aqli (memlihara akal)
3. Hifdzunnafsi (memelihara jiwa)
4. Hifdzul maal (memelihara harta)
5. Hifdzunnasli (memelihara keturunan)
FAROIDL (ILMU WARIS)
Waris, secara bahasa (etimologi) adalah
pindahnya se-suatu dari seseorang kepada
orang lain.
Secara terminologi, Hukum kewarisan adalah

hukum yang mengatur pemindahan hak


kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan yang tidak berhak mewaris,
berapa bagiannya masing2, serta cara
pengambilannya
TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM
KEWARISAN
Agar kita dapat menyelesaikan masalah
harta peninggalan sesuai dengan ketentuan
agama, jangan sampai ada yang dirugikan
dan termakan bagiannya oleh ahli waris
yang lain
SUMBER KEWARISAN
ISLAM
QS. ANNISA AYAT 7
QS. ANNISA AYAT 8
QS. ANNISA AYAT 9
QS. ANNISA AYAT 10
QS. ANNISA AYAT 11
QS. ANNISA AYAT 12
QS. ANNISA AYAT 13
QS. ANNISA AYAT 14
QS. ANNISA AYAT 176
BEBERAPA HAL YANG
BERKAITAN DENGAN HARTA
WARIS
Sebelum dilaksanakannya pembagian waris,
beberapa hal yang harus diperhatikan, a.l.
1. Dikeluarkan dulu untuk biaya pemeliharaan
mayat.
2. Pelunasan seluruh hutang piutang si mayat.
3. Keluarkan wasiat (bila ada), dan dilaksanakan
bukan kepada ahli warits, dan besarnya tidak
boleh lebih dari 1/3 harta warits (kecuali ada hal
lain).
4. Membagi sisa harta kepada ahli warits sesuai
petunjuk Quran, Hadits, dan Ijma Ummat (Para
ahli Hukum Islam)
ASAS-ASAS KEWARISAN
ASAS IJBARI (peralihan harta warisan beralih dg
sendirinya menurut ketentuan Allah)
ASAS BILATERAL ( harta warisan beralih kpd ahli

waris melalui dua arah= laki-laki & wanita)


ASAS INDIVIDUAL ( harta warisan dapat dibagi pada

masing2 ahli waris untuk dimiliki secara


perorangan)
ASAS KEADILAN BERIMBANG( keseimbangan hak

dan kewajiban)
ASAS SEMATA AKIBAT KEMATIAN ( kewarisan hanya

berlaku setelah yg mempunyai harta meninggal


dunia)
SEBAB-SEBAB SALING WARIS
MEWARISI
1. PERKAWINAN (PERSEMENDAAN).
2. PERTALIAN DARAH/NASAB
3. AL-WALA, YAITU KERABAT HUKMIAH
(MUTIQ/MUTIQOH)= PEMERDEKAAN
BUDAK
RUKUN WARIS (MEMPUSAKAI)
1. MUWARITS : ORANG YANG MENINGGAL DUNIA
(SECARA HAKIKI ATAU HUKMI) .
2. WARITS: ORANG-ORANG YANG AKAN MEWARISI
HARTA PENINGGALAN MUWARITS, LANTARAN
MEMPUNYAI SEBAB-SEBAB UNTUK MEMPUSAKAI
3. MAURUTS: HARTA BENDA YG DI-TINGGALKAN
OLEH MUWARITS, DN AKAN DIBAGI OLEH PARA
AHLI WARIS SETELAH DIAMBIL UNTUK BIAYA2
PERAWATAN, MELUNASI HUTANG, PELAKSANAAN
WASIAT (BILA ADA)
SYARAT MEMPUSAKAI
MATINYA MUWARITS (orang yang
mempusakakan)
HIDUPNYA WARITS ( orang yang

mempusakai) disaat kematian muwarrits


TIDAK ADANYA HALANGAN MEMPUSAKAI

(maaniul irtsi)
HALANGAN MEWARISI
(MEMPUSAKAI)

PEMBUNUHAN
BERBEDA AGAMA
MURTAD
HAMBA SAHAYA
GOLONGAN AHLI WARIS LAKI-LAKI

1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki
3. Ayah
4. Kakek shahih (kakek kandung terus ke atas dari pihak
laki-laki
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki se ayah
7. Saudara laki-laki se ibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah
10. Paman (dari pihak ayah yang sekandung dengan ayah
11. Paman (dari pihak ayah) yang se ayah dengan ayah
12. Anak laki-laki paman sekandung
13. Anak laki-laki paman seyah dengan ayah
14. Suami si mayat
15. Mutiq
GOLONGAN AHLI WARIS
PEREMPUAN

1. ANAK PEREMPUAN
2. CUCU PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI (TERUS
KE BAWAH)
3. IBU
4. NENEK SHAHIH TERUS KE ATAS (IBUNYA IBU)
5. NENEK SHAHIH TERUS KE ATAS (IBINYA AYAH)
6. SAUDARA PEREMPUAN SEKANDUNG
7. SAUDARA PEREMPUAN SE AYAH
8. SAUDARA PEREMPUAN SE IBU
9. ISTERI / ISTERI-ISTERI
10. MUTIQOH.
MACAM-MACAM FURUDLUL
MUQADDARAH
1/2 (setengan)
2/3 (dua pertiga)
1/3 (seper tiga)
1/4 (seper empat)
1/6 (seper enam)
1/8 (seper delapan)
BAGIAN-BAGIAN PARA AHLI
WARITS BERDASAR AL-QURAN
DAN HADITS
YANG MEMPEROLEH

1. Seorang anak perempuan (tunggal)


2. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-
laki
3. Saudara perempuan tunggal sekandung
4. Saudara perempuan tunggal sebapak bila
tidak ada saudara perempuan sekandung.
5. Suami bila si mayat ridak meninggalkan
anak turunan.
YANG MEMPEROLEH
1. Suami bila si mayat meninggalkan anak turunan
(terus ke bawah).
2. Isteri atau para isteri bila si mayat tidak
meninggalkan anak turunan

YANG MEMPEROLEH 1/8

Seorang isteri atau para isteri bila si mayat


meninggalkan anak turunan
YANG MEMPEROLEH 2/3

1. Dua anak perempuan sekandung atau


lebih, bila tidak bersama-sama dengan
saudaranya yang laki-laki
2. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak
laki-laki terus ke bawah, bila tidak
bersama-sama dengan saudaranya yang
laki-laki.
3. Dua saudara perempuan sekandung atau
lebih
4. Dua saudara perempuan se-ayah atau
lebih.
YANG MEMPEROLEH 1/6

1. Ayah, bila si mayat meninggalkan anak laki-laki atau


cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2. Kakek sahih, bila si mayat meninggalkan anak laki-
laki/cucu laki-laki dari anak laki-laki.
3. Ibu, bila si mayit meninggalkan anak atau cucu (laki/
perempuan); atau mempunyai 2 orang atau lebih
saudara sakandung/se-ayah/se-ibu.
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, bila si mayit
mening-galkan hanya seorang anak perempuan. Bila
anak perem-puan lebih dari satu, maka cucu
perempuan tidak memper-oleh bagian.
5. Saudara perempuan se ayah seorang atau lebih, bila
si ma-yat mempunyai seorang saudara perempuan
sekandung.
6. Saudara laki-laki/perempuan se-ibu, masing-masing
mereka memperoleh 1/6.
7. Nenek sahih, bila tidak ada ibu si mayat.
YANG MEMPEROLEH 1/3

1. Ibu, bila si mayat tidak meninggalkan


anak/cucu; tidak mempunyai saudara laki-
laki/perempuan 2 orang atau lebih
(sekandung/se-ayah/se-ibu) mereka
memperoleh atau terhijab.
2. Saudara laki-laki dan saudara perempu-an
se-ibu 2 orang atau lebih, dengan syarat
tidak ada orang tua atau anak keturunan.
HIJAB / PENGHALANG

Hijab (penghalang), yaitu seseorang dapat


menghalangi orang lain untuk memperoleh
bagian yang sebenarnya atau sama sekali tidak
memperoleh.

Hijab ada dua (2) macam yaitu :

1. Hijab Nuqshon, yaitu seseorang menghalangi


orang lain untuk memperoleh bagian yang se-
benarnya, karena ia lebih dekat pada si mayat.
2. Hijab Hirman, yaitu seseorang menghalangi orang
lain yang sama sekali tidak memperoleh bagian.
DAFTAR HIJAB HIRMAN
Orang-orang yang terhalang Orang-orang yang meng-
halangi
1. Kakek 1. Ayah
2. Nenek 2. Ibu
3. Cucu (laki/perempuan) 3. Anak laki-laki
4. Sdr.laki-laki sekandung 4. Ayah; anak laki-laki; cucu
laki-laki.
5. Ayah; anak laki-laki; cucu
5. Sdr. Peremp. Sekandung laki-laki
6. Ayah; anak laki-laki; cucu
6. Sdr. Laki-laki se-ayah laki-laki; sdr.
Laki/perempu-
7. Sdr. Laki-laki se-ibu an sekandung.
7. Ayah; anak laki-laki; cucu
laki-laki; sdr.
Laki/perempu-an
sekandung.
9. Anak laki-laki sdr.laki-laki 9. Ayah; anak laki-laki; cucu
sekandung laki-laki; kakek; sdr. Laki-
laki sekandung, sdr. Laki-
laki se-ayah; sdr.
Perempuan sekandung,
sdr. Perempuan se-ayah.
10. Ayah; anak laki-laki; cucu
10. Anak laki-laki sdr.laki-laki laki-laki; kakek; sdr. Laki-
se-ayah laki sekandung, sdr. Laki-
laki se-ayah; sdr.
Perempuan sekandung;
sdr. Perempuan se-ayah;
anak laki-laki sdr. Laki-laki
sekandung.
11. Paman sekandung 11. Sda + anak laki-laki sdr.
dengan ayah Laki-laki se-ayah
12. Paman se-ayah dengan 12. Sda + paman sekandung
ayah dengan ayah.
13. Anak laki-laki
paman sekandung
dengan ayah 13. Sda. + anak laki-
14. Anak laki-laki pa- laki paman
man se-ayah sekandung de-
dengan ayah ngan ayah
15. Cucu perempuan 14. Sda. + anak laki-
dari anak laki-laki laki paman
seorang atau lebih sekandung de-
ngan ayah
15. Dua orang atau
le-bih anak
perempuan.
ASHOBAH (YANG MEMPEROLEH
SISA)
ASHOBAH, secara istilah ialah semua ahli
waris yang tidak memiliki bagian tertentu
dengan jelas dalam Al-Quran dan Hadits.
Arti lain ashobah adalah semua ahli waris
yang mendapatkan semua harta pusaka
apabila sendirian dan mengambil sisa harta
pusaka setelah ash-habul furudl mengambil
bagiannya masing-masing
ORANG YANG MEMPEROLEH ASHOBAH A.L.

1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Sdr. Laki-laki sekandung
4. Sdr. Laki-laki se-ayah
5. Paman sekandung
6. Bapak
7. Kakek (terus ke atas)
8. Anak laki-laki sdr. Sekandung
9. Anak laki-laki sdr. Se-ayah
10. Paman seayah
11. Anak laki-laki paman sekandung
12. Anak laki-laki paman se-ayah
13. Laki-laki dan perempuan yang memerdekakan (Mutiq
dan Mutiqoh).
14. Anak laki-laki yang memerdekakan.
MACAM-MACAM ASHOBAH
A. Ashobah Bin-nafsihi, yaitu golongan laki-laki
yang dipertalikan dengan si mayat tanpa
diselingi oleh perempuan. Terdiri dari :
- Jihat Bunuwah (pertalian anak), yaitu anak laki-
laki
terus ke bawah
- Jihat Ubuwah (pertalian orang tua), yaitu ayah,
kakek terus ke atas
- Jihat Ukhuwah (pertalian saudara), yaitu sdr.
laki-laki sekandung, dan sdr. Laki-laki se-ayah
terus kebawah
- Jihat Umumah (pertalian paman), yaitu paman
se-kandung dan paman se-ayah, anak laki-laki
paman sekandung dan se-ayah terus ke bawah.
Untuk penetapan kewarisan ini urutan yang
paling atas didahulukan daripada urutan
bawahnya, demikian se- terusnya
B. Ashobah Bil-ghoir, yaitu orang-orang yang
ditarik untuk bersama-sama memperoleh sisa
harta pusaka oleh saudaranya yang laki-laki,
dengan ketentuan 2 : 1. mereka-mereka itu a.l.:
1. Anak perempuan yang ditarik oleh saudara-
nya yang laki-laki.
2. Cucu perempuan yang ditarik oleh saudara-
nya cucu laki-laki.
3. Saudara perempuan sekandung yang ditarik
saudara laki-laki sekandungnya.
4. Saudara perempuan se-ayah yang ditarik
saudara laki-laki se-ayah pula.
Ashobah Maal Ghoir, yaitu khusus untuk
saudara perempuan sekandung atau sau-
dara perempuan se-ayah yang mewarisi
harta pusaka bersama-sama dengan anak-
anak perempuan atau cucu-cucu perem-
puan dari anak laki-laki.
AUL
Adl; Adanya kelebihan dalam bagian para
AW dari besarnya asal masalah yang secara
otomatis terjadi penyusutan dalam kadar
penerimaan mereka.
Orang yang pertama menetapkan Aul adl.
HUKUM WARIS BANCI
(KHUNTSA)
Khuntsa, menurut istilah ialah seseorang yang
memiliki ke-lamin dua atau sama sekali tidak
memiliki kelamin, da-lam hal ini statusnya tidak
jelas, apakah ia dihukumkan laki-laki atau
perempuan ? Orang-orang yang demikian dalam
istilah hukum Islam disebut dengan Khuntsa
Musykil (Banci yang sulit ditentukan statusnya).
Bagian waris banci seperti ini adalah :
Ulama Hanafiyah berpendapat, ia memperoleh
bagian yang paling sedikit dari bagian haknya
yang jelas.
Ulama Syafiiyah menyatakan, masing-masing ahli
warits dan khuntsa diberi bagian minimal dari
status yang diya-kini, baru apabila sudah jelas
dikembalikan ke kejelasan statusnya tersebut.
Ulama Malikiyah menyatakan, ia memperoleh
bagian se-besar pertengahan antara bagian laki-
laki dan bagian perempuan.
Sedangkan seseorang yang secara fisik/ jas-
maninya laki-laki atau perempuan, namun
perilakunya bertolak belakang dari jasma-
ninya tersebut. Banci (khuntsa) semacam
ini dalam hukum Islam biasa disebut de-
ngan banci (khuntsa) Ghoir Musykil (banci
yang mudah ditentukan statusnya -> laki-
laki atau perempuan), maka kewarisan
banci semacam ini berlaku sesuai kejelas-an
status mereka masing-masing (laki-laki atau
perempuan secara fisik)
HUKUM WARIS ANAK DALAM KANDUNGAN

Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya


menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai
ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki
beberapa persyaratan, yaitu :
1. Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam
kandungan ibunya pada waktu muwarisnya
meninggal dunia.
2. Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup,
karena hanya orang yang hiduplah yang
mempunyai keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri
keadaan hidupnya adalah ketika ia bayi itu
dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya
jeritan (tangisan) atau gerakan, atau menetek
pada payudara ibunya serta ditandai dengan
tanda-tanda kehidupan lainnya.
Dalam pembagian masalah ini : Kita harus
mem-bagi harta pusaka secara bertahap,
yaitu sebe-lum bayi lahir diadakan
pembagian sementara, sedangkan
pembagian sebenarnya ditangguhkan
sampai bayi dilahirkan.
Keadaan darurat semacam ini, memberi
motivasi pada para ahli fiqih untuk
menyusun hukum secara khusus bagi anak
yang ada dalam kan-dungan, yakni harta
pusaka dibagi secara ber-tahap, sedapat
mungkin berhati-hati demi ke-maslahatan
anak yang berada dalam kandung-an.
WARISAN ORANG YANG HILANG
Para ulama bersepakat bahwa isteri orang
yang hilang tersebut tidak boleh dinikah-
kan, dan hartanya tidak boleh diwariskan
sampai orang yang hilang tersebut diketa-
hui dan diyakini dengan jelas, apakah ia
telah mati atau masih hidup. Dalam hal ini
hanya hakimlah yang dapat memutuskan
perkara tersebut.
PENETAPAN TENGGANG WAKTU
KEMATIAN ORANG HILANG
1. Ulama Hanafiah menetapkan bahwa orang
itu dianggap mati dengan melihat teman-
teman sepermainan/sebaya yang menetap
di negaranya. Apabila teman-teman
sepermainan/sebayanya sudah tidak ada
yang hidup seorangpun, maka ia dihukumi
telah mati. Sedangkan Abu Hanifah sendiri
menetapkan tenggang waktu selama 90
tahun.
2. Ulama Malikiyah menetapkan bahwa
tenggang waktunya selama 70 tahun, hal ini
didasarkan pada hadits masyhur yang artinya
Umur ummatku antara 60 dan 70 tahun.
3. Ulama Syafiiyah menyatakan bahwa
tenggang waktunya adalah 90 tahun, yaitu
masa matinya teman-teman seangkatan di
negaranya. Penda-pat Imam SyafiI yang
paling sahih adalah se-benarnya tenggang
waktunya tidaklah dapat di-tentukan secara
pasti, tetapi ketetapan kemati-annya
diputuskan oleh pengadilan. Dalam hal ini
hakim berijtihad untuk menghukumi
kematian-nya.
4. Ulama Hanabilah, Imam Ahmad berpen-
dapat apabila ia hilang dalam situasi kebia-
saannya, maka ia akan binasa, seperti da-
lam peperangan, atau tenggelam yang se-
bagian temannya ada yang hidup, sedang
lainnya meninggal, maka orang yang hilang
tertsebut diselidiki selama 4 tahun. Jika ti-dak
diketahui jejaknya, maka hartanya di-bagikan
kepada ahli warisnya, dan isterinya beriddah
sebagaimana iddah yang ditinggal mati
suami. Pendapat Imam Ahmad bin Hambal ini
paling banyak diikuti.
Apabila hilangnya dalam situasi yang tidak
biasa tidak membawa kematian, seperti orang
yang keluar untuk berniaga atau pergi meran-
tau, atau pergi menuntut ilmu, maka dalam hal
ini ada dua pendapat :
a. Menunggu sampai berumur 90 tahun sejak
ia dilahirkan, yang menurut kebiasaannya
orang tidak akan hidup melebihi usia itu.
b. Diserahkan kepada ijtihad hakim dan me-
nunggu keputusannya. Dalam masalah ini,
ijtihad hakim menjadi keputusan hukum.
HUKUM WARIS ORANG YANG
MATI BERSAMA-SAMA

Ketentuan waris dalam kasus seperti ini kita


harus memperhatikan siapa yang terlebih
dahulu me-ninggal dunia. Apabila diketahui,
maka orang yang mati kemudian sebagai ahli
warisnya de-mikian seterusnya. Apabila tidak
diketahui siapa yang paling dulu dan
belakangan seperti dalam peristiwa tenggelam
atau kebakaran yang tidak ada seorangpun
mengetahui, maka diantara me-reka tidak
boleh saling mewarisi. Karena kurang
memenuhi syarat. Harta masing-masing diberi-
kan kepada para ahli waris yang masih hidup.

Anda mungkin juga menyukai