Anda di halaman 1dari 23

KINETIKA

DAN
DISOLUSI
OBAT

By: KELOMPOK 6
NAMA ANGGOTA
KELOMPOK
Putri Andini 1211011005
Yuliana Puspita Sari
1211011008
Arief Candra Abbas
1211012006
Lora Rahmatika 1211012020
Widya Putri 1211012027
Rizky Ananda 1211013012
Naura Prima Vidian
1211013025
Pengertian Disolusi Obat
Merupakan proses perubahan zat padat menjadi
larutan yang melalui dua tahapan, yaitu:
1. Reaksi permukaan antara zat padat dengan
pelarut dimana merubah kristal zat padat menjadi
kristalin, dan membuka kisi-kisi kristal tersebut
menjadi bentuk amorf.
2. Molekul zat terlarut ditransportasikan menjauh
dari permukaan menuju membran membran sel
yang disebut dengan difusi atau konveksi.

Shargel, 2005
Tahapan Disolusi
Menurut Noyes dan Whitney,
Proses pelarutan obat pada permukan
partikel padat, membentuk larutan jenuh di
sekeliling partikel
Obat yang terlarut dalam larutan jenuh
dikenal sebagai Stagnant Layer, berdifusi
ke pelarut dari daerah konsentrasi obat
yang tinggi ke konsentrasi obat rendah.
Shargel, 2005
Mekanisme di atas sesuai dengan teori
lapisan tipis (film model theory) oleh
Nerst yang menyatakan partikel benda
padat yang terendam dalam cairan
mengalami dua tahap berurutan :
1. Larutan dari zat padat pada
interface membentuk lapisan tipis
dan diam.
2. Difusi dari lapisan ini pada batas
hingga banyak dari zat cair.
Shargel, 2005
Mekanisme Disolusi Obat
Saat partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat
pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan
menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang
membungkus permukaan partikel obat padat atau disebut
lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat
keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan
membran biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul
obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul
tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan
partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut.

Martin, 1993
Jika proses disolusi cepat, atau jika obat diberikan
sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh
seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan
tergantung pada kesanggupannya menembus
menembus pembatas membran.
Jika laju disolusi partikel obat lambat, misalnya mungkin
karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan, proses disolusinya sendiri akan yang
menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan
obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu
laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak
yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena
batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam
lambung atau saluran usus halus.
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet
didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah
menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan
tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun
sebenarnya uji hancur hanya waktu yang
diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi
yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui
saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa
partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat
dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya.
Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet .

Martin, 1993
Uji disolusi merupakan hal yang penting untuk
dilakukan dalam merancang suatu sediaan tablet agar
laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat
diketahui. Obat yang memiliki disolusi yang baik akan
memberikan bioavailabilitas yang baik pula sehingga
semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi secara
utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Laju disolusi dapat berhubungan langsung dengan
kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu
karakteristik mutu yang penting dalam menilai mutu
obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek
sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan suatu
parameter penting dalam pengembangan produk dan
pengendalian mutu obat.

(Isnawati, 2003)
Lapisan film (h) dgn konsentrasi =
Cs

Kristal

Massa larutan dengan konsentrasi = Ct

Difusi layer model (theori film)


IDR merupakan kecepatan dari suatu
perpindahan massa per luas permukaan
disolusi dan tidak tergantung pada
ketebalan membran dan volume pelarut
dengan satuan mgcm2/menit.

Laju disolusi merupakan suatu besaran


yang menunjukkan jumlah bagian senyawa
obat yang larut dalam media per satuan
waktu.
Kecepatan
disolusi obat digambarkan melalui
persamaan
= (Cs C)
dC/dt = kecepatan disolusi obat
D = tetapan laju disolusi
A = luas permukaan partikel
Cs = kadar obat dalam stagnant layer
C = konsentrasi obat dalam bagian terbesar
pelarut
h = tebal stagnant layer
K = koefisien minyak/air

Dari persamaan terlihat bahwa kinetika disolusi


dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat,
formulasi, dan pelarut.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV pelarutan
dapat digunakan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri dari sebuah wadah
tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, suatu motor, suatu
batang logam yang di gerakkan oleh motor dan
keranjang berbentuk silinder. Batas kecepatan
yang memungkinkan untuk memilih kecepatan
dan mempertahankan kecepatan seperti yang
tertera dalam masing-masing monografi dalam
batas lebih kurang 4%
(Dirjen POM,1995).
2. Metode Dayung

Metode dayung terdiri atas suatu


dayung yang dilapisi khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang
disebabkan oleh pengadukan. 1
Standar kalibrasi pelarutan yang sama
digunakan untuk memeriksa peralatan
sebelum uji dilaksanakan
(Dirjen POM, 1995).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Laju Disolusi
1) Faktor Fisika yang Berpengaruh pada
Uji Pelarutan In Vitro
Pengadukan
Kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh
pada kecepatan disolusi yang dikontrol difusi
dengan ketebalan lapisan difusi berbanding
terbalik pada kecepatan putaran pengadukan.
Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan
dengan tetapan kecepatan disolusi
(Shargel et al, 2005).
Suhu
Umumnya semakin tinggi suhu medium akan
semakin banyak zat aktif yang terlarut. Suhu
medium dalam percobaan harus dikendalikan
pada keadaan yang konstan umumnya
dilakukan pada suhu 37 oC, sesuai dengan
suhu tubuh manusia. Adanya kenaikan suhu
selain dapat meningkatkan gradien
konsentrasi juga akan meningkatkan tetapan
difusi, sehingga akan menaikkan kecepatan
disolusi

(Shargel et al., 2005).


Medium Kelarutan
Sifat medium larutan akan mempengaruhi
uji pelarutan. Medium larutan hendaknya
tidak jenuh obat. Medium yang terbaik
merupakan persoalan tersendiri dalam
penelitian. Beberapa peneliti telah
menggunakan cairan lambung yang
diencerkan, HCL 0,1 N, dapar fosfat, cairan
lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan
tergantung dari sifat produk obat dan lokasi
dalam saluran pencernaan dan perkiraan
obat yang akan terlarut.
(Shargel et al., 2005).
Wadah
Ukuran dan bentuk dapat
mempengaruhi laju dan tingkat
kelarutan. Untuk mengamati
kemaknaan dari obat yang sangat
tidak larut dalam air mungkin perlu
wadah berkapasitas besar.

(Shargel et al., 2005)


2)Faktor yang berkaitan dengan
sifat fisikokimia obat
Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang
mempengaruhi laju disolusi meliputi
kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat
solvasi dan kompleksasi serta ukuran
partikel. Sifat - sifat fisikokimia lain seperti
kekentalan serta keterbatasan atau berperan
pada permasalahan yang umum pada
disolusi dalam hal terbentuknya flokulasi,
flotasi dan aglomerasi.

(Syukri,2002).
3) Faktor yang berkaitan dengan
formulasi sediaan
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk
sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan
(prossesing). Pengaruh bentuk sediaan pada laju
disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan
bahan aktif yang terkandung didalamnya.
Secara umum laju disolusi akan menurun
menurut urutan sebagai berikut: suspensi,
kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis
disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu
urutan dan masalahnya sama, karena di antara
masing-masing bentuk sediaan padat tersebut
akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori
maupun peralatan uji disolusi.
DAFTAR PUSTAKA
Larsson, Jesper. 2009. Methods for measurement of
solubility and dissolution rate of sparingly
soluble drugs.
Leon, Shargel, dkk. 2005. Applied Biopharmaceutical
and Pharmacokinetic fifth edition.
Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi. Jakarta: UI Press.
Martin, A., et.all. 1993. Farmasi Fisika Edisi III Bagian
II. Jakarta: Penerbit UI.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai