Anda di halaman 1dari 36

NEGERI CAWAN

MASA PRASEJARAH
Banyumas adalah sebuah kawasan berbentuk cawan dengan
dikelilingi gunung-gunung:
Gunung Slamet di sebelah utara
Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah timur
Pegunungan Kendheng di sebelah barat dan selatan.

Pada awal peradaban wilayah Banyumas diperkirakan berupa


rawa-rawa dengan sebuah aliran sungai (Serayu) yang
menerabas pegunungan Kendheng dan mengalir ke laut
selatan. Masyarakatnya tinggal secara terpisah-pisah, dibatasi
oleh hutan, gunung, sungai, rawa, dan semak belukar.
Peninggalan-peninggalan yang tersisa di antaranya situs
Batur Agung di wilayah Kecamatan Kedungbanteng dan
situs Datar di wilayah Kecamatan Sumbang. Kedua situs ini
terdapat di wilayah perbukitan yang bukan merupakan
wilayah rawa.
MASA KLASIK
Masa klasik adalah istilah arkeologis untuk menyebut
masa persebaran Hindu-Budha di wilayah nusantara.
Pada masa klasik di Pulau Jawa berdiri berbagai
kerajaan: Mataram Kuno, Kalingga, Kediri, Singasari,
Majapahit, Galuh, dan Pejajaran.

Wilayah Banyumas tidak pernah berada di bawah


kekuasaan secara langsung dari kerajaan-kerajaan
besar tersebut. Hal tersebut diperkirakan karena
wilayah ini terdapat di wilayah antara dari kerajaan-
kerajaan besar di sisi timur (Mataram Kuno, Kalingga,
Kediri, Singasari, dan Majapahit) maupun kerajaan-
kerajaan besar di sisi barat (Galuh dan Pejajaran).
MASA ISLAM
Islam masuk ke wilayah Banyumas melalui dua cara,
yaitu melalui jalur struktural (pemerintahan) dan non-
struktural.
Melalui jalur struktural terjadi pada masa pemerintahan
Kadipaten Pasir dipimpin oleh Adipati Banyak Blanak.
Utusan dari Demak bernama Syeh Makdum Wali diterima
dengan baik oleh pihak Pasir. Bahkan Adipati Banyak
Blanak ikut berperan dalam proses Islamisasi sampai ke
daerah Krawang (arah barat) dan Ponorogo dan
sekitarnya hingga wilayah pantai selatan (arah timur).
Berkat perannya itu Adipati Banyak Blanak mendapat
beberapa anugrah:
Atas perannya itu Adipati Banyak Blanak mendapat tiga
anugrah dari Kerajaan Demak:

Wilayah kekuasaan mulai dari Tugu Mangangkang


(Sindoro-Sumbing) hingga Udhug-udhug Karawang (sisi
timur sungai Citarum).
Diberi gelar Kanjeng Adipati Mangkubumi.
Kadipaten Pasir lestari sebagai daerah perdikan, yaitu
sebagai daerah otonom dan tidak berkewajiban
menyetorkan pajak.
Penyebaran Islam melalui jalur non-struktural dilakukan
oleh para ulama yang terjun langsung ke masyarakat dari
satu daerah ke daerah lain. Masyarakat Banyumas
menyebutnya sebagai kaum maulana.

Salah satu ulama terkenal yang menyebarkan Islam


sampai wilayah Banyumas adalah Sunan Panggung yang
konon merupakan salah satu murid Syeh Siti Jenar
dengan ajaran tasawufnya. Landmark yang masih bisa
dijumpai sampai saat ini adalah adanya Masjid Saka
Tunggal di Cikakak Kecamatan Wangon.
MASA KOLONIAL
Ketika wilayah pusat-pusat kekuasaan di nusantara telah
dikuasai oleh Belanda, Portugis, dan Inggris, wilayah
Banyumas tidak tersentuh atau setidak-tidaknya tidak
menjadi wilayah kekuasaan yang diperhitungkan.

Pada masa kolonial, wilayah Banyumas justru menjadi


wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa, yaitu mulai
Kerajaan Pajang, Mataram, hingga Surakarta-Yogyakarta.
Wilayah Banyumas mulai secara resmi menjadi
kekuasaan Belanda baru dimulai pasca perang
Diponegoro tahun 1830. Kasunanan Surakarta
Hadiningrat sebagai pihak yang kalah perang
berkewajiban membayar pampasan perang kepada
Belanda, maka diserahkannyalah wilayah Dulangmas
(Kedu, Magelang, Banyumas).
Pada tahun 1830 mulailah diterapkan sistem
cultuurstelsel yang memanfaatkan wilayah Banyumas
sebagai kawasan emas hijau, berupa hasil bumi yang
dijadikan sebagai sumber pendapatan Belanda di
nusantara.
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi) yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes
van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi
ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman
ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah
harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun
milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti
karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku
ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan
Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel
pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian.
Sistem ini berhasil luar biasa. Antara 1831-1871 Batavia
tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya
hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Pada 1860-an, 72% penerimaan
Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau
Hindia Belanda. Batavia menjadi sumber modal.
Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang
serba mewah dan kas kerajaan Belanda pun mengalami
surplus.

Wilayah Banyumas pun menjadi ladang yang sangat


subur bagi pendapatan Belanda, yaitu mampu
memberikan 30% dari seluruh penerimaan Oost Indische
di nusantara.
Di wilayah Banyumas Pemerintah memetakan tiga kekuatan
yang sangat berpengaruh bagi perkembangan masyarakat
Banyumas:
Pemerintahan, diserahkan kepada trah ningrat yang
tetap lestari dijadikan sebagai bagian dari kekuasaan
Kraton Surakarta Hadiningrat dan Yogyakarta
Hadiningrat.
Ekonomi, diserahkan kepada Tionghoa. Pemerintah
Hindia-Belanda membangun rumah-rumah sewa dan
pasar untuk tempat usaha dagang bagi kaum Tionghoa.
Tenaga kerja pertanian dan buruh, diserahkan kepada
pribumi. Sejak diterapkannya sistem tanam paksa
banyak di antara pekerja dari Banyumas dijadikan
sebagai kuli kontrak (welver kontrak atau disingkat
werk) disebar ke berbagai daerah atau negara seeperti
Deli (Sumatra Utara), Melayu, bahkan Suriname.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN
KEBUDAYAAN?

Menurut Koentjaraningrat (1990:181) kebudayaan dengan


kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi atau akal. Koentjaraningrat mendefinisikan budaya
sebagai daya budi yang berupa cipta, rasa dan karsa,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa itu. Semua itu merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.
Clifford Geertz: kebudayaan merupakan sistem mengenai
konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik,
yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi,
melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan
sikapnya terhadap kehidupan.
E. B Taylor: kebudayaan sebagai keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
J.J. Honigmann membedakan adanya tiga gejala
kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact.
Tujuh Unsur kebudayaan
menurut Koentjaraningrat:
Bahasa
Sistem Pengetahuan
Organisasi Sosial
Sistem Peralatan Hidup dan
Teknologi
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Religi
Kesenian
IDENTITAS KEBUDAYAAN
Pergulatan kehidupan suatu kelompok masyarakat
membentuk suatu kekuatan yang terpancar dalam
berbagai dimensi, mulai dari pola pikir, pandangan
terhadap kekuatan adikodrati dan alam, cara bertindak,
hingga hal-hal fisik. Semua itu menjadi penanda
eksistensi masyarakat yang bersangkutan yang
membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya.
Kekuatan kedirian semacam ini direpresentasikan melalui
berbagai media, baik secara fisik maupun non-fisik. Inilah
sesungguhnya substansi dari identitas kebudayaan
bangsa-bangsa yang tertuang di dalam wujud kearifan
lokal (local geniuous).
Judith Starkey:
Karakteristik umum dan gagasan-gagasan dapat
menjadi penanda yang jelas bagi identitas kebudayaan,
tetapi secara esensial ditentukan oleh perbedaan: kita
merasakan menjadi milik kelompok, dan kelompok
mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah
kelompok, dengan mencatat dan menunjuk perbedaan
penting dengan kelompok dan kebudayaan yang lain.

Esensi dari konsep yang ditawarkan Judith Starkey


adalah pada perasaan seorang individu sebagai bagian
integral dari kebudayaan miliknya serta kemampuan
kebudayaan mendefinisikan dirinya sendiri sebagai
sebuah sistem yang berbeda dengan kebudayaan yang
lain.
Berdasarkan pendapat Judith Starkey tersebut maka
terdapat dua hal penting yang secara bersama-sama
berperan bagi hadirnya identitas kebudayaan Banyumas:
Pertama, kemampuan masyarakat Banyumas
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian kebudayaan
Banyumas. Hal ini dapat dilihat dari pola pikir, pola rasa
dan tindakan atau aktivitas dalam kehidupan sehari-hari
yang mencerminkan dirinya adalah orang Banyumas.
Kedua, kemampuan kebudayaan Banyumas sebagai
suatu obyek sekaligus subyek yang dinamis di tengah
pergulatan interaksi kebudayaan. Hal terakhir ini dapat
dilihat dari karakter, kekhasan dan atau ciri khusus di
dalam aspek-aspek tertentu dari kebudayaan Banyumas
yang dapat dijadikan sebagai pembeda dengan ragam
kebudayaan lain. Kedua hal tersebut secara bersama-
sama menunjukkan karakteristik umum dan gagasan-
gagasan yang dengan jelas menjadi penanda bagi
munculnya identitas.
Masyarakat pendukung kebudayaan Banyumas adalah
kaum penginyongan, yakni kalangan masyarakat kecil
yang umumnya hidup di lingkungan pedesaan. Di dalam
diri mereka tersimpan ide-ide atau gagasan-gagasan, cara
bertindak serta totalitas pengalaman empirik tentang hidup.
Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, baik sistem
gagasan, tindakan maupun hasil karya manusia tersebut
merupakan bagian terpenting bagi munculnya karakter
individu yang secara umum memiliki kesamaan antara
yang satu dengan lainnya. Ketika individu-individu itu
bergabung menjadi kelompok, maka secara sadar maupun
tak sadar akan membentuk suatu karakter yang berlaku
secara umum. Inilah yang kemudian melahirkan identitas
kebudayaan Banyumas.
Di sisi lain kebudayaan Banyumas yang terbentuk dari
sebuah tradisi kerakyatan secara umum memiliki karakter
khas sebagai kebudayaan wong cilik. Pada kebudayaan
Banyumas dengan jelas dapat dilihat akar kerakyatan
sebagai kekuatan utama pembentuk kebudayaan itu.
Dengan kata lain esensi kebudayaan Banyumas adalah
nafas kerakyatan. Semua itu mampu menjadi satu-
kesatuan kekuatan yang berhasil menjadi pembeda
dengan kebudayaan Jawa (kraton). Oleh karena itu
sekalipun kebudayaan Banyumas masuk dalam ranah
kebudayaan Jawa, akar kerakyatan di dalamnya hadir
sebagai pembeda yang sangat tegas dengan ciri adiluhung
pada kebudayaan Jawa (kraton).
GELIAT KEBUDAYAAN PINGGIRAN

Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa,


Banyumas seringkali dipandang sebagai wilayah marginal
(Koentjaraningrat, 1984) yang berkonotasi kasar, tertinggal
dan tidak lebih beradab dibanding dengan kebudayaan
yang berkembang wilayah negarigung (pusat kekuasaan
kraton) yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Kebudayaan
Banyumas hadir sebagai kebudayaan rakyat yang
berkembang di kalangan rakyat jelata yang jauh dari
hegemoni kehidupan kraton.
Kebudayaan Banyumas terbentuk dari perpaduan antara unsur-
unsur kebudayaan Jawa lama dengan pola kehidupan masyarakat
setempat. Dalam perjalanannya kebudayaan Banyumas
dipengaruhi oleh kultur Jawa baru, kultur Sunda, kultur Islami, dan
kultur Barat. Khasanah budaya ini tumbuh berkembang di
kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, sebagai
wujud local genious dan menjadi bagian integral dari kehidupan
komunitas wong cilik.

Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan,


dilandasi oleh semangat kerakyatan, cablaka (transparency),
exposure (terbuka) dan dibangun dari masyarakat yang berpola
kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian terutama
disebabkan oleh karena wilayah Banyumas merupakan wilayah
pinggiran dari kerajaan-kerajaan besar tempo dulu. Perkembangan
kebudayaan di daerah ini secara umum berlangsung lebih lambat
dibanding dengan kebudayaan yang hidup di lingkungan kraton
sebagai pusat kekuasaan raja.
Letak geografis Banyumas yang berada di daerah
perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda telah
memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap
pertumbuhan kebudayaan Banyumas. Kedua kebudayaan
ini mengalami akulturasi yang demikian kental yang
bermuara pada terbentuknya ragam budaya tersendiri yang
justru berbeda dengan kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda yang notabene adalah kebudayaan
induknya. Pada berbagai aspek dapat dilihat dengan jelas
lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut
di dalam budaya Banyumas.
SPIRIT PENGINYONGAN DI TENGAH
HEGEMONI KRATON
Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, istilah penginyongan
atau disebut juga pekulaan merupakan pengakuan secara sadar
tentang siapa saya. Pengakuan demikian bukan dalam situasi
kejiwaan yang jumawa dan tinggi hati, melainkan ungkapan sadar
untuk mengakui diri sebagai masyarakat lumrah, orang
kebanyakan, wong cilik, tidak menempatkan diri dalam posisi lebih
unggul dibanding dengan orang atau kelompok lain. Ada nuansa
kegetiran, kekalahan dan kepasrahan di sana. Situasi demikian
sangat jauh berbeda dengan keakuan yang lebih berkonotasi
inilah saya; situasi psikologis yang hanya dialami oleh orang-
orang yang tengah dalam keadaan menang, memiliki pengaruh
dan kekuasaan atau memiliki posisi lebih unggul dibanding pihak
lain; keadaan seseorang yang mencitrakan kualitas diri yang
hebat, yang agung, yang berpengaruh.
Penginyongan bagi orang Banyumas adalah sebuah
konsep hidup yang berisi cara berpikir orang Banyumas di
tengah kehidupan sosial yang heterogen. Ada dua sikap
dasar di balik makna kata penginyongan. Pertama, sikap
merendah, tidak ngungkul-ungkuli (tidak memandang diri
sendiri lebih unggul dibanding orang lain), sikap semadya
(tidak lebih unggul, tapi juga tidak rendah). Kedua, sikap
jujur, mengakui hal-hal umum yang melekat pada dirinya
baik berupa kekurangan maupun kelebihan. Dengan kedua
sikap ini, maka kaum penginyongan dapat lepas dari
kebohongan dan kamuflase untuk menutupi kelemahan
diri. Mereka lepas dari hidup seolah-olah; seolah-olah
hebat, seolah-olah menang, seolah-olah kaya, seolah-olah
kuasa dan seterusnya.
Konsep penginyongan merupakan wujud resistensi
masyarakat Banyumas terhadap hegemoni kekuasaan
kerajaan-kerajaan besar pada masa lalu baik kerajaan-
kerajaan Jawa maupun kerajaan-kerajaan di tanah
Pasundan. Hal ini karena hegemoni kekuasaan kerajaan-
kerajaan besar itu berimbas pada dua hal penting, yaitu
kekuasaan secara teritorial dan secara kultural.
Kekuasaan secara teritorial terhadap Banyumas
sebenarnya baru dimulai pasca Demak yang ditandai
Banyumas menjadi bagian dari wilayah kekuasaan dari
kerajaan Pajang. Namun demikian kekuasaan secara
kultural sudah terjadi sejak lama, yaitu sejak Majapahit atau
bahkan mungkin jauh sebelum itu. Kekuasan secara
kultural inilah yang paling memiliki dampak bagi
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas.
Penginyongan dalam tataran konsep lahir menjadi bentuk
resistensi terhadap keberadaan priyayi di Banyumas.
Kehadiran kebudayaan kraton di Banyumas menyisakan
tradisi priyayi yang menganggap diri mereka sebagai
kelompok yang lebih santun, lebih beradab dan lebih
unggul dibanding dengan wong cilik. Hal ini mengakibatkan
geliat wong cilik untuk mampu eksis di tengah jagad
sesrawungan (pergaulan). Mereka pun mengukuhkan
jatidiri sebagai sebuah komunitas masyarakat yang
memiliki wewaton atau paugeran (konvensi), adat dan
tradisi yang berbeda dengan kaum priyayi.
Konsep penginyongan menjadi spirit yang mendasari setiap
gerak langkah seseorang ketika ia menyadari dirinya
sebagai orang Banyumas. Mereka menyadari sebagai
kaum yang kalah, terjajah, terbelakang, dan kurang
informasi. Di sisi lain mereka sadar bahwa mereka memiliki
warisan nenek-moyang yang harus mereka jadikan sebagai
wewaton dalam hidup. Dua hal inilah yang tak terjamah
oleh hegemoni kraton. Bahwa kekalahan dan keterjajahan
dapat menyulut api semangat untuk berjuang (struggle)
serta mampu survive di segala macam situasi dan kondisi.
Semua itu terangkum dalam wujud tokoh Bawor dalam
pakeliran wayang kulit purwa. Bawor dikenal sebagai tokoh
punakawan yang lugas, berani dan jujur (cablaka). Semua
itu merupakan sikap batin yang senantiasa ditunjukkan
melalui sikap lahir selama mengikuti para ksatria yang
menjadi tempat mengabdi. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai punakawan, Bawor senantiasa memberikan saran
dan tuntunan bagi bendara-nya agar mampu menjalankan
peran dan tugasnya sebagai pembela kebenaran dan
keadilan. Ia tidak segan-segan mengingatkan, apabila
bendara yang diikutinya melakukan kesalahan dan
kekeliruan dalam berpikir, berbicara, bersikap dan bertindak
yang akan menodai citranya sebagai seorang ksatria.
MEMBEBASKAN DIRI DARI IMPERIUM
KEBUDAYAAN
Salah satu persoalan yang sangat pelik dalam
perkembangan sejarah kebudayaan Banyumas adalah
wilayah ini begitu lama mengalami masa-masa
keterjajahan. Tragisnya lagi, imperialisme di Banyumas
tidak sekedar dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat pada
masa kolonialisme, tetapi juga oleh bangsa sendiri pada
masa kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa. Paling tidak
semenjak era Pajang, Banyumas mulai berada di bawah
kekuasaan kerajaan Jawa, yang berlangsung hingga era
Mataram dan era Surakarta-Yogyakarta.
Penjajahan budaya lebih berupa penguasaan psikologis untuk
kepentingan kekuasaan raja. Penguasaan secara psikologis ini
berimbas pada hampir seluruh sisi kehidupan; fisik-mental. Wilayah
Banyumas selain dikuasai dari sisi kewilayahan dan ekonomi, juga
dikuasai dari sisi kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan,
ideologi, hingga harapan hidup. Sultan Agung di Negeri Mataram
memberikan sanepa bagi orang Banyumas sebagai kebo
cinancangan dhadhung adi (kerbau yang diikat dengan tali
berkualitas bagus). Perumpamaan tersebut memiliki makna,
apabila orang Banyumas diberi cukup makan dan dipiara dengan
baik, maka akan dengan mudah ditaklukkan. Bagi mereka yang
menganut sinkretisme, perumpamaan tersebut diterima dengan
baik sebagai sebuah realita yang tidak dapat disangkal. Namun,
bagi sebagian sesepuh yang merupakan intelektual lokal,
perumpamaan demikian adalah sebuah penghinaan Mataram
terhadap Banyumas dalam arti yang sesungguhnya.
Masyarakat Banyumas merasakan betapa kuatnya
kekuasaan kraton telah menempatkan Banyumas dalam
posisi yang lemah. Semua itu dapat bermakna sebagai
usaha pembedaan kelas dan pembodohan. Namun
demikian, umumnya mereka tidak memiliki kekuatan untuk
melawan kekuasan Mataram. Perasaan menderita dan
terjajah telah mendarah-daging, menjadi memori otak kecil
yang tergambar melalui perilaku bawah sadar dalam
kehidupan sehari-hari. Orang Banyumas umumnya memiliki
ciri nrima ing pandum (menerima semua keadaan yang
menimpa dirinya), apatis (masa bodoh), dan tidak suka
melawan kekuasaan.
Di kalangan masyarakat Banyumas sendiri kemudian tumbuh dua
kelompok masyarakat. Kelompok pertama adalah kelompok priyayi
yang terdiri dari para ambtenaar (pegawai pemerintah) dan para
trahing aluhur (keturunan ningrat). Mereka adalah kelompok
minoritas yang umumnya memegang kendali sistem kehidupan
yang dianut bersama, memiliki tempat tinggal yang strategis, dekat
dengan fasilitas umum seperti pasar, balai desa dan sekolah.
Kalangan kelompok priyayi memiliki pola hidup yang teratur, hidup
sehat, berpendidikan serta pola tindakan dan tutur kata halus yang
mengacu pada budaya tinggi.

Kelompok kedua adalah wong cilik atau kaum penginyongan yang


terdiri dari buruh tani, petani kecil, dan para pedagang. Mereka
adalah kelompok mayoritas yang mendiami wilayah-wialayah
pinggiran dan cenderung berada dalam posisi siap diperintah oleh
kaum priyayi. Kalangan kaum penginyongan cenderung hidup
sederhana, apa adanya dan lebih mengutamakan kebersamaan
dalam suasana hidup yang berdiri sama tinggi duduk sama rendah.
Orang Banyumas memiliki sikap yang khas, yaitu pinter
madani awake dhewek (pintar mencela diri sendiri). Di
daerah ini banyak terdapat ungkapan-ungkapan yang
dimaksudkan untuk madani. Misalnya: anak turune si
kemrunggi (orang yang dalam hidupnya senantiasa
merugikan orang lain), anak turune wong gelung unthil
(keturunan orang kecil/rakyat kebanyakan), balung cilik
(orang yang memiliki kekuatan terbatas sehingga tidak
mampu melakukan hal-hal besar) dan lain-lain. Ungkapan-
ungkapan semacam ini ditujukan untuk diri sendiri yang
bertujuan untuk menyadari ketidakmampuan dan
kekurangannya di dalam pergaulan sosial.
Di tengah kuatnya pengaruh imperialisme budaya itu, di Banyumas
justru lahir banyak aktivitas estetik yang langsung maupun tidak
langsung menjadi media ungkap dalam upaya membebaskan diri
dari peristiwa imposisi tersebut. Di dalam musik calung, misalnya,
tersirat adanya usaha masyarakat Banyumas menjadi dirinya
sendiri, tanpa diliputi perasaan tertekan atau terancam oleh pihak
luar. Kenyataan demikian dapat menjadi sarana uji kebenaran
pendapat Ernst Cassier (1987:240) yang menyatakan bahwa seni
merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling hakiki yang
menjadikan manusia merasa lebih hidup. Dengan kesenian pula
manusia dapat lepas dari beban hidup yang senantiasa menimpa
dirinya. Orang Banyumas bisa saja apatis, nglenggana atau nrima
ing pandum atau minder terhadap keadaan yang menimpa dirinya.
Tetapi semua itu tidak tampak pada tampilan musiknya. Calung
justru tampil begitu dahsyat, dengan irama dan tempo yang
dinamis, atraktif dan semangat.
Farida (1994:25) mengemukakan bahwa dalam pembentukan
jatidiri seseorang dipengaruhi berbagai macam pengalaman yang
dijumpai dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada faktor-faktor
determinan (penentu) yang berpengaruh terhadap timbulnya
motivasi bagi perilaku seseorang yang dapat digolongkan tiga
determinan perilaku, yaitu: (1) determinan yang berasal dari
lingkungan; (2) determinan yang berasal dari dalam diri sendiri;
dan (3) determinan yang merupakan nilai dari obyek. Determinasi
yang berasal dari lingkungan dapat dilihat pada perkembangan
kebudayaan asing yang merambah ke wilayah sebaran
kebudayaan Banyumas. Determinasi yang datang dari dalam diri
sendiri terjadi karena adanya harapan, emosi, insting, keinginan,
dan lain-lain. Adapun determinasi yang merupakan nilai dari obyek
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berasal dari dalam diri
individu seperti dijumpai pada kepuasan kerja, tanggung jawab,
disiplin; dan berasal dari luar individu seperti halnya yang dijumpai
ketika seseorang mengharapkan perolehan status dan uang.
Usaha membangkitkan kembali identitas Banyumas tidak
lain adalah membangkitkan totalitas karakter yang tinggal
menetap di dalam setiap diri pribadi masyarakat Banyumas
dalam konteks kebudayaan dan peradaban masa kini dan
masa yang akan datang. Nilai-nilai budaya sebagaimana
tercermin melalui ide-ide, tindakan-tindakan maupun hasil
karya dari tindakan-tindakan diharapkan dapat ditampakkan
pada tampilan perwajahan yang dapat diketahui
kehadirannya melalui panca indera serta keseluruhan
karakter yang lebih bersifat psikologis. Dengan demikian
Banyumas sebenarnya bukan sekedar menunjuk wilayah,
tetapi juga manusia, sekaligus mind set manusia yang
menghuni wilayah tersebut.
Pada masa sekarang ini, wujud identitas kebudayaan
Banyumas yang hendak direngkuh kembali merupakan
perpaduan antara konsep lama dan konsep kekinian.
Konsep lama terdiri dari spirit Banyumas yang tidak lain
adalah spirit masyarakat penginyongan yang tercermin
pada semangat kerakyatan yang dibangun dari pola
kehidupan tradisional-agraris. Sedangkan semangat
kekinian dijiwai oleh nilai-nilai modernisme yang berakar
pada konsep berpikir yang rasional, efektif, efisien dan
terstruktur. Semua itu diarahkan pada terciptanya
kebudayaan Banyumas yang mengindonesia serta
berorientasi ke depan sebagai sebuah kelompok
masyarakat yang berbudaya dan bermartabat dengan
tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal yang merupakan
warisan nenek-moyang yang telah menjadi pedoman hidup
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai