Anda di halaman 1dari 24

GRAND MAL EPILEPSI

BAB 1 PENDAHULUAN
Pendahuluan
EPILEPSI DIANGGAP OLEH MASYARAKAT SEBAGAI SUATU KUTUKAN.
MASYARAKAT MENGKAITKAN PENYAKIT EPILEPSI DENGAN MITOS SEHINGGA
MENYULITKAN UPAYA PENANGANAN PENDERITA EPILEPSI.
EPILEPSI ADALAH SUATU KEADAAN NEUROLOGIK YANG MEMPENGARUHI
SISTEM SARAF, YAKNI KEJANG BERULANG AKIBAT LEPASNYA MUATAN LISTRIK
NEURON OTAK SECARA BERLEBIHAN DAN PAROKSISMAL TANPA DIPICU OLEH
PENYEBAB YANG AKUT.
EPILEPSI MERUPAKAN SALAH SATU KELAINAN NEUROLOGI YANG PALING
UMUM TERJADI DAN MENGENAI SEKITAR 50 JUTA ORANG DI DUNIA.
PUNCAK TERJADINYA KEJANG EPILEPSI PADA SAAT MASA KANAK-KANAK DAN
SETELAH USIA 60 TAHUN.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan


berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak
secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi ditetapkan
sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak
dipicu oleh penyebab yang akut.
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan
mewakili keadaan darurat medis dan neurologis utama.
International League Against Epilepsy mendefinisikan status
epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih.
Epidemiologi
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (>65 tahun).
Pada 65% pasien, epilepsi dimulai pada masa anak-anak dan puncak
insidensi pada kelompok usia 0-1 tahun.
Tingkat insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita.
Angka kejadian status epileptikus di USA setiap tahunnya kira-kira 60.000
160.000 dimana status epileptikus tonik klonik paling umum terjadi di
USA.
Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosis epilepsi, biasanya
karena ketidakteraturan dalam meminum obat antikonvulsan.
Patofisiologi
Mekanisme iktogenesis
Hiperekstasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi
yang berlebihan daoat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan
neuron, atau jaringan neuron.
Mekanisme epileptogenesis
Mekanisme non-sinaptik : perubahan konsentrasi ion terlihat
selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau
penurunan kadar Ca2+ ekstrasel.
Mekanisme sinaptik : dimana epilepsi melibatkan penurunan
inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamaergik.
Gambaran Klinis
Pada fase awal kejang akan terjadi kontraksi otot yang tonik-klonik.
Terdapat tanda yang dinamakan sebagai Ictal Cry yang disebabkan oleh
kontraksi secara tonik otot respirasi dan juga laring. Dapat diikuti dengan
gangguan pernapasan yang dapat menyebabkan sianosis.
Setelah fase iktal, akan diikuti dengan fase postictal yaitu, ditandai oleh
otot pasien akan menjadi flacid, tidak respons, perembesan air liur
meningkat dan bingung. Beberapa jam kemudian, pasien akan sadar
kembali.
Diagnosis
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan dari ananemsis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah
dalam menegakkan diagnosis epilepsi :
Langkah pertama : Pastikan adanya bangkitan epileptik.
Langkah kedua : tentukan tipe bangkitan berdasarkan
klasifikasi ILAE 1981.
Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi berdasarkan
klasifikasi ILAE 1989.
Anamnesis : auto dan allo-anamnesis
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca bangkitan :
Sebelum bangkitan atau gejala prodromal :
Kondisi fisik dan psikis yang dapat mengindikasikan terjadinya
bangkitan.
Selama bangkitan/iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
Bagaimana pola/bentuk bangkitan ?
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan ?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan.
Pasca bangkitan/postiktal :
- Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh-gelisah
b. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antara bangkitan, kesadaran antar bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE ;
Jenis obat antiepilepsi (OAE)
Dosis OAE
Kepatuhan minum OAE
Kadar OAE dalam plasma
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis, psikiatrik,
maupun sistemik
f. Riwayat penyakit epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran dan tumbuh kembang.
h. Riwayat bangkitan neonatal.
i. Riwayat trauma, stroke, SSP dan lain lain.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a. Pemeriksaan fisik umum
Trauma kepala
Tanda-tanda infeksi
Kelainan kongenital
Kecanduan alkohol atau napza
Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
Tanda-tanda keganasan
b. Pemeriksaan neurologis
Dalam pemeriksaan neurologis pada pasien epilepsi, maka akan tampak
tanda pasca bangkitan seperti :
Gangguan kesadaran pascaiktal
Afasia pasca iktal
Paresis Todd
Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan EEG
b. Pemeriksaan pencitraan otak
MRI : mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi
patologik
Positron Emission Tomoghrapy (PET), Single Photo Emission
Computed Tomography (SPECT), dan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) : memberikan informasi tambahan mengenai
dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional
di otak berkaitan dengan bangkitan.
c. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan hematologis, Pemeriksaan
kadar OAE
d. Pemeriksaan penunjang lainnya : Punksi lumbal dan Ekg
Diagnosis Banding

Epilepsi Umum
Epilepsi myoklonik/juvenil : Epilepsi myoklonik ditandai dengan kejang
berulang yang terdiri dari kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot
simetris dengan kehilangan tonus tubuh dan jatuh atau menelungkup ke
depan.
Epilepsi Parsial
Epilepsi parsial sederhana : Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau
tonik yang tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher
dan tungkai. Rata rata kejang berlangsung selama 10 22 detik.
- Epilepsi parsial kompleks : Kejang ini dapat didahului oleh kejang parsial
sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan gangguan kesadaran
atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat bersama dengan
keadaan kesadaran yang berubah.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien epilepsi adalah untuk mengatasi kejang
dan serangan epilepsi sedini mungkin. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa merupakan terapi lini pertama pada pasien
epilepsi. Pemberian obat secara monoterapi memiliki tingkat keberhasilan
yang lebih baik dibandingkan pemberian obat secara politerapi. Obat lini
pertama yang diberikan pada pasien epilepsi yang umum diberikan adalah
obat golongan fenitoin, carbamazepine, fenobarbital dan asam valproat.
Untuk obat lini pertama pasien epilepsi dengan tipe kejang tonik-klonik
atau grand mal epilepsi adalah Carbamazepine. Sedangkan obat lini
keduanya adalah Acetazolamide
Tujuan dilakukan terapi bedah pada pasien epilepsi adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien serta mengendalikan kejang.
Tindakan ini dilakukan apabila kejang pada pasien epilepsi
menetap meskipu telah diterapi selama 2 tahun atau obat anti
epilepsi mempunyai efek samping yang tidak dapat diterima pada
pasien epilepsi sehingga harus dilakukan tindakan pembedahan.
Penghentian OAE
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam penghentian OAE,
yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah
sebagai berikut :
Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran eeg
normal.
Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka dihentikan dimulai dari 1
OAE yang bukan utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
Epilepsi simtomatis
Gambaran EEG yang abnormal
Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
Penggunaan lebih dari satu OAE
Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita.
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum pengurangan dosis OAE) kemudian di evaluasi kembali.
Rujukan ke spesialis perlu dipertimbangkan bila :
Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama
Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
Berencana untuk hamil
Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.
Prognosis
Prognosis dari epilepsi sendiri tergantung dari jenis serangan,
usia waktu dimulainya serangan, saat dimulainya pengobatan,
dan ada atau tidak kerusakan neurologis dan mental. Prognosis
terbaik pada jenis serangan tonik klonik dan serangan petit mal.
Sedangkan prognosis buruk pada pasien yg mengalami serangan
epilepsi pada saat bayi dan usia dibawah tiga tahun.
Komplikasi
Komplikasi epilepsi adalah dimana dapat menyebabkan kehilangan
kontrol pada saat terjadi serangan epilepsi pada kematian mendadak.
Kebanyakan pasien epilepsi meninggal karena tenggelam dimana pasien
epilepsi mengalami serangan pada saat sedang berenang. Selain itu
pasien epilepsi juga berpotensi jatuh dan mematahkan tulang. Apabila
penderita epilepsi sedang hamil maka dapat menganggu perkembangan
janin.
Daftar Pustaka
1. WHO. 2006. Neurological Disorders Public Health Challenges.
2. World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 2000.
3. WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach.
4. Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical Neurology.
3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
5. Dodson, W. E. & Pellock J.M., 2008, Pediatric Epilepsy Diagnosis & Therapy, 3rd Ed., 140-
145, Demos, New York.
6. Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizure and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed). Harrisons:
Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
7. Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. And Ronthal, Michael (Ed.). Neurology
Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
8. Engel J Jr. A Proposed Diagnostic Scheme for People with Epileptic Seizures and with
Epilepsy: Report of the ILAE Task Force on Classification and Terminology. Epilepsia 2001.
9. Kania, Nia. 2007. Kejang pada Anak
10. Kusumawati, K., Gunadharma, S., Kustiowati E., Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok
Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)
11. Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat, Cetakan Ketiga, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
12. Kasper D.L., Fauci A. S., Longo D. L, Braunwald E., et al. 2005. Harrisons: Principles of Internal
Medicine. 16th edition. United States of America. McGraw-Hill.
13. Leviit LP, Weiner HL. Buku Saku Neurologi. 2001. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
14. Bradley J, Wayne D, Rubenstein D. Kedokteran klinis. Edisi Keenam. 2008. Jakarta : Penerbit
Erlangga
15. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Gangguan kejang pada bayi dan anak. In : Rudolph AM,
Hoffman JIE, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. Jakarta : EGC; 2007
16. Fakultas Kedokteran Indonesia. Kapita selekta kedokteran jilid I. Edisi VII. Jakarta : Media
Aesculapics
17. WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO
18. Sisodiya, S.M. dan Duncan, J. 2000, Epilepsy: Epidemiology, Clincal Assessment, Investigation and
Natural History, Medicine International, Vol. 4
19. Mardjono, M. 2003, Pandangan Umum tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-
Dasar Pelayanan Epilepsi dan Neurologi
20. Oguni, H. 2004, Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, Vol. 48
21. Silbernagl, S. 2006. In: Silbernagl, S., Lang, F. editor. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC
22. Price SA, Wilson L.M. Patofisiologi. Edisi Keenam. 2006. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
23. Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy.

Anda mungkin juga menyukai