Anda di halaman 1dari 31

Sejarah Arsitektur Timur

Kelompok 4
Nama:
Dede Trisna Bayu Putra(142016023)
M. Rizki Dwicahaya(142016011)

Fakultas Teknik Arsitektur


Univesritas Muhammadiyah Palembang
Rumah Adat Daerah Musi Rawas
Masyarakat di Kabupaten Musirawas dapat dikatakan sedang mengalami proses
transisi yang tajam, baik dari segi demografi, interaksi sosial dan bisnis dengan
daerah-daerah lain, perkembangan sosial politik lokal, maupun pertumbuhan
ekonomi yang sedang dialami wilayah tersebutSuku Rawas
Orang Rawas berdiam di Kecamatan Rupit, Kecamatan Rawas Ulu dan
Kecamatan Rawas Ilir, di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan.
Jumlah populasinya sekitar 90.000 jiwa. Bahasanya termasuk ke dalam kelompok
bahasa Melayu yang terbagi ke dalam tiga dialek, yaitu dialek Rupit, Rawas Ulu
dan Rawas Ilir. Masyarakat Suku Rawas umumnya bekerja sebagai petani di
sawah dan ladang, sebagian lagi bekerja sebagai penganyam barang-barang dari
rotan dan pandan, tukang kayu, pedagang kecil dan sebagainya.
Era reformasi dan otonomi daerah juga disambut dengan semangat berbagai
segmen masyarakat di Musirawas. Begitu pula gaung kembali ke adat, yang
akhir-akhir ini menasional, juga ditangkap dengan keinginan untuk
mengeksistensikan kembali adat di Musirawas. Upaya kembali menguatkan adat
dan institusi adat, atau yang populer sisebut pemberdayaan terhadap masyarakat
adat, tentu saja perlu diawali dengan studi yang relatif mendalam terhadap
komunitas bersangkutan, apalagi menyangkut komunitas-komunitas adat di
Musirawas yang sedang dalam proses transisi. Oleh karena itu kegiatan Need
Assesment (NA) ini dilakukan di Kabupaten Musirawas.
Rumah Adat Daerah Musi Rawas
Rumah Adat Daerah Musi Rawas
Suku Rawas

Orang Rawas berdiam di Kecamatan Rupit, Kecamatan Rawas Ulu dan Kecamatan Rawas Ilir, di Kabupaten
Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Jumlah populasinya sekitar 90.000 jiwa. Bahasanya termasuk ke dalam
kelompok bahasa Melayu yang terbagi ke dalam tiga dialek, yaitu dialek Rupit, Rawas Ulu dan Rawas Ilir.
Masyarakat Suku Rawas umumnya bekerja sebagai petani di sawah dan ladang, sebagian lagi bekerja sebagai
penganyam barang-barang dari rotan dan pandan, tukang kayu, pedagang kecil dan sebagainya.
Kekerabatan Dan Kekeluargaan Suku Rawas

Bentuk hubungan keturunan atau kekerabatan dalam masyarakat Suku Rawas ini dapat dibagi tiga. Pertama
melalui sistem perkawinan yang mereka sebut ambik anak (ambil anak), karena setelah kawin suami tinggal
dalam keluarga pihak isteri dan anak-anak yang lahir langsung mewarisi garis keturunan pihak isteri. Dalam
perkawinan seperti ini suami tidak usah membayar uang jojor (mas kawin). Kedua, perkawinan yang bersifat
patrilineal, karena isteri dibawa masuk ke dalam lingkungan keluarga pihak suami dan anak-anak yang lahir
mewarisi garis keturunan suami. Dalam perkawinan ini suami harus membayar uang jojor, karena itu disebut
juga perkawinan jojor. Ketiga, apa yang disebut perkawinan rajo-rajo, sifatnya bilateral dan tempat tinggal
setelah kawin adalah neolokal.
Rumah Adat Daerah Musi Rawas

Masyarakat Suku Rawas


Sistem kepemimpinan dan pemerintahan tradisional Suku Rawas dipengaruhi oleh adat Simbur Cahaya, yaitu kodifikasi peraturan adat yang berasal dari zaman
Kesultanan Palembang.
Agama Suku Rawas
Umumnya masyarakat Suku Rawas sudah memeluk Agama Islam dan menjadi kepercayaan mereka masing-masing.
Kebudayaan, Seni-Budaya, dan Pariwisata daerah musi rawas
Kabupaten daerah tingkat II Musi Rawas dikenal memiliki motto daerah yang disebut Lan Serasan Sekentenan yang secara harfiah diartikan: Lan berasal dari bahasa
Sindang dan Musi yang berarti kerja atau usaha atau karya nyata. Serasan merupakan bahasa yang lazim dipakai oleh sebagian penduduk Sumatera Selatan yang berarti
se mufakat . Sekentenan berasal dari bahasa Rawas yang berarti berteman akrab atau kelompok. Kesimpulan pengertian dari Lan Seketenan adalah karya mufakat
yang kompak, ini menunjukkan Masyarakat Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Rawas Senantiasa bekerja sama / mufakat dalam mensukseskan setiap kegiatan
pembangunan di daerah.
Rumah Adat Daerah Musi Rawas

Kabupaten Musi Rawas memiliki adat dasar Musi Rawas antara lain tentang cara perkawinan, seperti umumnya di Sumatera Selatan. Cara Perkawinan di Musi Rawas
ada tiga macam, yakni:

Daku Anak ( laki-laki dan Perempuan); Bajojo ( Perempuan ikut Laki-laki); Semendo Rajo-rajo (Bebas memiliki kedudukan).

Sedangkan bahasa yang digunakan diKabupaten Musi Rawas ada sekitar 6 Bahasa, yaitu :

(a) Bahasa Rejang di Ulu Rawas Kecamatan Rawas Ulu

(b) Bahasa Rawas di Kecamatan Rupit dan Rawas Ilir

(c) Bahasa Musi di Kecamatan Muara Kelingi dan Muara Lakitan

(d) Bahasa Beliti di Kecamatan Muara Beliti dan BKL. Ulu Terawas

(e) Bahasa Jawa di Kecamatan Jayaloka dan Tugumulyo

(f) Bahasa Campuran (pendatang ) di Kota Lubuk Linggau. Kabupaten Musi Rawas dikenal memiliki banyak objek wisata yang keindahan alamnya tidak
diragukan lagi.
Rumah Adat Daerah Empat Lawang
Sejarah
Nama kabupaten ini, menurut cerita rakyat berasal dari kata Empat Lawangan, yang
dalam bahasa setempat berarti "Empat Pendekar (Pahlawan)". Hal tersebut karena
pada zaman dahulu terdapat empat orang tokoh yang pernah memimpin daerah ini.[2]
[3]

Pada masa penjajahan Hindia Belanda (sekitar 1870-1900), Tebing Tinggi


memegang peran penting sebagai wilayah administratif (onderafdeeling) dan lalu
lintas ekonomi karena letaknya yang strategis. Tebing Tinggi pernah diusulkan
menjadi ibukota keresidenan saat Belanda berencana membentuk Keresidenan
Sumatera Selatan (Zuid Sumatera) tahun 1870-an yang meliputi Lampung, Jambi
dan Palembang. Tebing Tinggi dinilai strategis untuk menghalau ancaman
pemberontakan daerah sekitarnya, seperti Pagar Alam, Pasemah dan daerah
perbatasan dengan Bengkulu. Rencana itu batal karena Belanda hanya membentuk
satu keresidenan, yaitu Sumatera.
Sistem Kepercayaan
Orang Lintang umumnya adalah pemeluk agama Islam. Yang berperan dalam urusan
keagamaan ini adalah seorang penghulu yang bertanggung jawab pada tingkat marga
dan seorang khatib yang bertanggung jawab pada tingkat dusun. Pengaruh agama
Islam juga terlihat dalam bentuk-bentuk kesenian orang Lintang, diantaranya
kesenian rebana, jidor, dan berbagai tari-tarian. Bentuk kesenian lainnya yang masih
berkembang dengan baik adalah tradisi sastra lisan, seperti pantun, jampi,
memoneng, rejung, andai-andai, karnasian, dan sebagainya.
Rumah Adat Daerah Empat Lawang
Sisitem pencaharian
Bertani merupakan pekerjaan apara kaum pria Suku lintang sementara para wanita bekerja mengurus rumah tangga. Ini
disbebakan karena suku Lintang menganut sistem kekeluargaan Patrilineal. Selain bertani masyarakat Suku Lintang juga
mencari penghidupan dari usaha beternak.
Konsep Pembangunan
Dari sudut pandang arsitektur, rumah adat asal Empat Lawang didesain dengan konsep rumah panggung (seperti konsep
kebanyakan rumah adat di Indonesia) ialah untuk menghindari serangan binatang buas, mengantisipasi banjir dan
guncangan akibat gempa. Para kakek nenek moyang jaman dahulu telah minciptakan konsep rumah panggung yang sangat
cocok untuk dibangun di Indonesia karena telah memperhitungkan keadaan geografis, cuaca dan iklim dan keadaan alam
pada masa itu, sehingga rumah adat tersebut dapat dihuni dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan para penghuninya.
Desain Rumah adat orang Empat Lawang yang asli dibuat dengan ukuran yang besar, yaitu luasnya mencapai 400 hingga
1.000 meter persegi. Rumah adat di kabupaten Empat Lawang terbuat dari material yang mudah didapatkan pada saat itu.
Struktur rumah adat di Empat Lawang menggunakan kayu Unglen sebagai tiang-tiang penyangganya, kayu ini dipilih
karena kuat dan tahan terhadap air. Sedangkan untuk didnding, lantai dan pintu, terbuat dari kayu Cempaka atau kayu
Meranti.
Pada dasarnya Desain Bentuk rumah adat Empat Lawang memiliki beberapa bentuk, bentuk-bentuk dari rumah adat di
provinsi Sumatera Selatan ini menandakan siapa pemiliki rumah tersebut, bentuk dari rumah adat-nya dapat menjelaskan
status soisial dan kedudukan ekonomi masyarakat di Empat Lawang tersebut.
Rumah Adat Daerah Empat Lawang

Kabupaten Empat Lawang sendiri memiliki ciri khas sendiri, baik itu desain bentuk maupun tata letak ruangnya. Rumah Panggung Empat Lawang memiliki 4 ruang utama, yang terdiri :

- Ruang depan, pada ruang ini terdapat satu kamar, biasanya kamar ini diperuntukan untuk anak bujang, juga terdapat ruang untuk berkumpul teman temannya.

- Ruang tamu utama, ruangan ini cukup besar, ruangan ini dipergunakan untuk menerima tamu, dan juga dipergunakan untuk berkumpul keluarga.

- Ruang tengah, pada ruang ini terdapat kamar tidur untuk anak gadis, serta kamar orang tua. - Ruang belakang, pada ruang ini terdapat, dapur, ruang makan, serta keperluan untuk mencuci
keperluan untuk memasak yang disebut gaghang.

Sedangkan untuk keperluan mencuci serta mandi, sebagian besar masyarakat Empat Lawang memanfaatkan sungai, sebagian masyarakat juga yang menyediakan tempat sendiri untuk MCK.
Biasanya tempat MCK ini terpisah jauh dengan bangunan utama, pada tempat ini terdapat sumur, wc serta tempat untuk mandi dan mencuci. Pada ruangan bawah rumah, biasaya dimanfaatkan
untuk gudang, ternak seperti ayam, bebek dan itik, juga digunakan untuk menyimpan kayu bakar.
Rumah Adat Daerah Muara Enim
Agama / Kepercayaan
Orang Semendo secara turun temurun beragama Islam. Ajaran Islam ini cukup berakar dalam masyrakat. Ajaran Islam ini cukup berakar
dalam masyarakat.Hal ini dapat terlihat dari betapa patuhnya sebagian dari masyarakat menjalankan syariat Islam secara rutin dan teratur,
sesuai dengan rukun Islam. Di mana-mana kita bertemu dengan tempat ibadah baik besar maupun kecil.
Di daerah ini juga terdapat banyak sekali pesantren yang secara khusus mendidik putra putri remaja dan pemuda suku Semendo menjadi
penyebar agama Islam di daerahnya.
Kebutuhan
Suku Semendo membutuhkan peningkatan pengolahan lahan pertanian agar dapat dikerjakan dengan lebih modern. Saat ini telah ada
proyek kerja sama yaitu : proyek penggilingan kopi, perikanan dan percontohan perikanan. Proyek ini perlu didukung dan dikembangkan lagi
untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mereka juga membutuhkan peningkatan dalam bidang pendidikan.
Pokok doa
Kemudian daripada itu aku melihat : sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhintung banyaknya, dari
segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang
daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru : "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta
dan bagi Anak Domba.
Berdoa agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus, berkat dan kasihNya di tengah-tengah suku Semendo, agar terang dan kemuliaan Tuhan
bercahaya di atasnya. Berdoa agar hati mereka disentuh oleh kasih Tuhan melalui berbagai cara dan mereka yang berseru kepada nama Tuhan
akan diselamatkan.
Berdoa agar Tuhan yang empunya tuaian membangkitkan gerejaNya untuk bersatu dan bekerjasama, menyediakan pekerja : pendoa
syafaat, penerjemah Alkitab, kaum profesional, penabur dan penuai untuk memberkati dan meningkatkan kesejahteraan hidup suku Semendo
Berdoa bagi adanya lembaga & gereja yang digerakkan oleh Tuhan untuk mengadopsi suku Semendo yang juga berbeban dalam
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Rumah Rakit Sumatera Selatan

Latar Belakang Rumah

Pemilihan Kota Palembang khususnya tepian sungai Musi sebagai kasus,


berdasarkan pertimbangan kondisi kawasan yang cukup dinamis, mempunyai
keunikan lokal serta historikal yang terkait erat dengan air sebagai sarana
tranportasi lokal, nasional bahkan internasional. Kota Palembang di masa
Kesultanan Palembang, secara geografis terbagi menjadi dua oleh sungai Musi
menjadi daerah Seberang Ilir dan Seberang Ulu yang merupakan dataran rendah
dimana daerahnya selalu digenangi air. Beberapa peninggalan penting yang
terdapat di kawasan tepian sungai Musi adalah : rumah rakyat tradisional
Palembang, yang terdiri dari : rumah limas, rumah gudang/deret dan rumah rakit.
Adapun tipe rumah limas dan rumah gudang /deret adalah tipe rumah panggung
dan rumah rakit adalah tipe rumah terapung di badan Sungai Musi.
(Alimansyur,Moch, 1985)
Rumah Rakit Sumatera Selatan Sejarah Rumah Rakit di Palembang
Sebagai sebuah kota, Palembang mempunyai sejarah yang sangat
panjang, melalui masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya sampai
Kesultanan Palembang. Perjalanan panjang tersebut telah
menghasilkan peninggalan budaya yang tidak ternilai harganya, salah
satunya adalah permukiman tradisional. Secara umum
diklasifikasikan sebagai rumah limas, rumah gudang dan rumah rakit.
sesuai dengan namanya, rumah rakit terapung di atas susunan balok
kayu atau bambu, sedangkan lantai rumah dari bahan papan. Bentuk
atap rumah pelana dengan penutup atap dari daun nipah, alang-alang
(ijuk) yang diikat dengan tali rotan. Atap pelana yang melengkung
lebih tinggi di ujung diperkuat oleh sistem konstruksi Cina yang
berbentuk segi empat.
Kondisi Geografis
Kota Palembang merupakan dataran rendah yang dipengaruhi oleh
air pasang surut. Daerah yang termasuk dalam kelompok tergenang
terus menerus dan tergenang musiman meliputi luas sekitar 50% dari
wilayah kota Palembang. Perbedaan antara air pasang surut
berfluktuasi sekitar 3 s/d 5 m. Melihat kondisi Palembang yang
wilayahnya sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan sungai Musi,
Gambar 1: Ilustrasi rumah asli Palembang masa lampau di dapat dimengerti apabila rumah rakyat sebagian besar merupakan
tepian sungai Musi rumah bertiang (panggung) yang terletak di tepi sungai, di atas
daerah rawa maupun terapung di sungai. Rumah tradisional dengan
karakter seperti di atas sangat sesuai serta adaptif dengan lingkungan
di sekitarnya.
Rumah Rakit Sumatera Selatan

Gambar 2: Kehidupan dan kesibukan di sungai Musi di masa lampau Gambar.3 Rumah rakit di masa lampau yang
berfungsi sebagai tempat tinggal
Rumah rakit merupakan rumah tinggal yang pada awalnya menjadi permukiman orang Cina. Hal tersebut disebabkan karena adanya
peraturan yang tidak diijinkannya orang asing bermukim di daratan. Orang asing (Cina) umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang,
sehingga rumah rakit juga berfungsi sebagai perniagaan terapung, gudang, bahkan penginapan. Oleh sebab itu rumah rakit mempunyai sifat
komersial dan terletak di sepanjang sungai yang merupakan urat nadi transportasi pada saat itu.
Sesuai dengan namanya, rumah rakit terapung di atas susunan balok kayu atau bambu, sedangkan lantai rumah dari bahan papan. Bentuk
atap rumah pelana dengan penutup atap dari daun nipah, alang-alang (ijuk) yang diikat dengan tali rotan. Atap pelana yang melengkung
lebih tinggi di ujung diperkuat oleh sistem konstruksi Cina yang berbentuk segi empat.
Rumah Rakit Sumatera Selatan
Kota Palembang secara geografis terbagi menjadi dua oleh sungai Musi menjadi
daerah Seberang Ilir dan Seberang Ulu adalah suatu dataran rendah yang daerahnya
selalu digenangi air. Perbedaan kondisi fisik kedua daerah tersebut mempunyai
pengaruh besar dari segi pengembangan wilayah, daerah seberang Ulu terlihat lebih
lambat perkembangannya dibandingkan daerah Ilir. Palembang adalah kota tua yang
telah lama dikenal serta mempunyai sejarah panjang sejak jaman Sriwijaya.
Beberapa peninggalan penting yang terdapat diseluruh wilayah kota adalah : rumah
tradisional Palembang yang mempunyai tipikal yaitu Limas, gudang dan rakit.
Rumah tersebut masih banyak dijumpai di perkampungan masyarakat asli
Palembang.
Kondisi Perumahan dan Permukiman
Walaupun Kotamadya Palembang dapat diklasifikasikan sebagai kota Metropolitan,
beberapa bagian wilayah kota Palembang ternyata masih banyak daerah kumuh.
Daerah kumuh tersebut menyebar di tengah kota atau di pinggir kota serta di daerah
Seberang Ilir maupun di daerah Seberang Ulu. Kondisi tersebut antara lain
disebabkan oleh pengaruh pasang surut dan karakter geografis daerah rawa serta
kurang tersedianya utilitas perkotaan.
Keberadaan daerah kumuh di wilayah Kotamadya Palembang secara tidak langsung
dapat membahayakan bangunan tradisional yang ada. Kebanyakan rumah
masyarakat Palembang adalah rumah panggung, yang bahan utamanya adalah kayu.
Selain itu kepadatan rumah tersebut cukup tinggi, sehingga daerah tersebut rawan
terhadap bencana kebakaran. Hal tersebut ternyata diperburuk oleh kondisi jalan
Rumah Rakit Sumatera Selatan
Tipe Rumah Rakyat Tepian Sungai Musi Palembang
Rumah merupakan kebutuan dasar manusia atau penduduk disamping sandang dan pangan.
Rakyat adalah manusia atau sekelompok manusia yang menghuni daerah atau wilayah tertentu yang mempunyai legalitas sesuai
dengan peraturan setempat. Maka rumah rakyat adalah suatu papan bagi manusia atau sekelompok manusia yang tinggal di daerah
tertentu dengan legal.
Tempat yang menarik bagi manusia untuk bermukim umumnya di daerah yang memberikan sumber penghidupan, diantaranya
cukup banyak sumber makanan, air, transportasi, kegiatan sosial LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-
3764
dan ekonomi. Keadaan lingkungan yang demikian juga akan mempengaruhi bentuk atau pola permukiman, tata ruang luar
permukiman, tata ruang dalam suatu rumah, tuntutan struktur dan konstruksi pada bangunan, serta penggunaan bahan
bangunannya.
Rumah rakyat tepian sungai Musi - Palembang menurut letak dan kondisi lokasi dibagi menjadi 3 katagori : (Dwinasari, 1997)
1)Rumah yang letaknya di badan sungai, yang selalu terapung di atas air, disebut rumah rakit.
2) Rumah yang letaknya di tepian sungai yang kondisi lokasinya tergantung dari pasang surut air sungai disebut rumah
panggung (rumah limas/rumah gudang)
3)Rumah yang letaknya di tepian sungai yang lokasinya pada daerah relatif kering dengan kondisi tanah lembek/lunak serta
berair apabila ada banjir musiman, disebut rumah panggung.
(rumah limas/rumah gudang/rumah deret).Lokasi ketiga tipe diatas dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam persiapan pembangunan rumah rakyat tepian sungai Musi-Palembang, yang pertama dilakukan adalah pemilihan kayu
dan bambu yang cukup tua dengan diameter tertentu. Kondisi tepian air memerlukan jenis kayu dan bambu tua dengan serat
yang cukup padat dan menghindari cacat kayu dan bambu, terutama bambu yang akan dipakai pada bagian bawah (pondasi)
Rumah Rakit Sumatera Selatan
Adapun jenis kayu yang dipilih adalah kayu yang mempunyai kwalitas paling baik yaitu kayu tembesu. Khusus rumah rakit, bagian bawah atau pondasi digunakan bambu
dengan syarat ukuran tertentu dan lurus. Kayu seru yang mempunyai kwalitas tahan tarik yang cukup tinggi dipakai pada bagian atas rumah yaitu untuk alang-alang (nok dan
gording) atau rangka atap. Bagi keluarga yang tingkat ekonominya lebih baik bahkan dinding dan lantai rumahnya menggunakan kayu tersebut. Kayu tembesu saat ini sulit
didapat, sebagai pengganti kayu tersebut digunakan jenis kayu lain yang diharapkan mempunyai kwalitas yang cukup baik yaitu kayu merawan, petanang,melebekan medang
dan meranti. Kayu merawan dan petanang dipakai untuk tiang panggung, belandar, rumah dan alang (nok), serta rangka atap sento/ balok. Kayu medang atau meranti
digunakan untuk dinding dan lantai. Pintu dan jendela dibuat dari kayu merawan.
Pekerjaan persiapan memerlukan waktu 1 tahun untuk pembangunan rumah rakyat tradisional dengan alasan pemilihan bahan bangunan kayu dan bamboo yang tepat, ukuran
dan umurnya untuk mendapatkan kwalitas maximum, dan pengawetan
Struktur- Konstrusi Rumah Di Atas Air (Rumah Rakit)
Rumah di atas air adalah rumah rakit yang selalu terapung sepanjang waktu dan merupakan bangunan tempat tinggal tetap. Rumah rakit ada beberapa fungsi yaitu rumah
tinggal dan rumah gudang. Rumah rakit dibangun di atas rakit, baik rakit itu dari sekumpulan balok kayu atau sekumpulan bambu.
Pada keempat sudut rumah rakit tersebut dipasang tiang yang berfungsi agar bangunan itu tidak dapat berpindah-pindah tempat. Disamping itu juga tali untuk mengikat terbuat
dari rotan yang dijalin, kemudian diikatkan pada tiang atau tonggak yang kuat dan kokoh , tiang diletakkan di tebing sungai. Rumah rakit berbentuk empat persegi panjang,
dan mempunyai bentuk atapnya pelana. pada rumah tradisional palembang disebut atap kajang. Ukuran rumah rakit pada awalnya 36 sampai 64 m2.

Gambar 5: Foto rumah rakit yang berlokasi di daerah Ilir, Sungai Musi - Gambar 6: . tonggak pengikat rumah sebagai penembat
Palembang
Rumah Rakit Sumatera Selatan
Rumah Adat Daerah Muara Enim
Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten
Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Menurut sejarahnya, suku
Semendo berasal dari keturunan suku Banten yang pada beberapa
abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan
kemudian menetap dan beranakcucu cucu di daerah Semendo.
Hampir 100% penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian,
yang masih diolah dengan cara tradisional. Lahan pertanian di
daerah ini cukup subur, karena berada kurang lebih 900 meter di
atas permukaan laut. Ada dua komoditi utama dari daerah ini : kopi
jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per
tahunnya, dan padi, dimana daerah ini termasuk salah satu
lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan.
Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi
oleh nafas keIslaman yang sangat kuat. Mulai dari musik rebana,
lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat dipengaruhi oleh budaya
melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari
adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini
umumnya berakhiran "e."
Rumah Adat Daerah Muara Enim
Letak: Sumatera selatan
Populasi: 105.00 Jiwa
Bahasa: Semeno
Anggota Gereja: 10(0,01%)
Alkitab dlam Bahasa semeno:-

Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Kecamatan
Semendo terbagi menjadi 3 wilayah kecamatan yaitu : 1 Kecamatan Pusat dan 2 Kecamatan perwakilan, jumlah
desa 31 buah, luasnya 900 km2, ibukotanya Pulau Panggung. Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari
keturunan suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan kemudian
menetap dan beranak cucu di daerah Semendo.

Sosial Budaya
Hampir 100% penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian, yang masih diolah dengan cara tradisional. Lahan
pertanian di daerah ini cukup subur, karena berada kurang lebih 900 meter di atas permukaan laut. Ada dua
komoditi utama dari daerah ini : kopi jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per tahunnya, dan
padi, dimana daerah ini termasuk salah satu lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan. Ada kurang lebih 5000
bidang sawah produktif yang ditanami dan dipanen 1 kali dalam setahun.
Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman yang sangat kuat. Mulai dari
musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya
berakhiran "e."
Salah satu adat yang masih dipegang kuat secara turun temurun oleh suku Semendo ialah Adat "Tunggu
Tubang", yaitu adat yang mengatur hak warisan dalam satu keluarga, dimana yang berhak atas warisan tersebut
adalah anak wanita yang paling tua (sulung). Warisan yang dimaksud adalah terdiri atas satu bidang sawah, dan
satu buah rumah yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya secara terus menerus. Hal tersebut menjadi
penyebab tingginya dorongan untuk merantau bagi anak laki-laki dari masyarakat suku ini.
Rumah Adat Daerah Ogan Ilir (OI)
Kecamatan Ogan ilir memiliki 2 kelurahan yaitu Tanjung batu dan tanjung atap Kebudayaan Tanjung
Batu dan Tanjung Atap
Kebudayaan Tanjung Batu
Tanjung Batu adalah sebuah Kelurahan yang berada di Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan
Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, Negara Indonesia. Daerah Tanjung Batu dikenal dengan kerajinan
dari emas dan sekarang juga ke kerajinan perak.
Kerajinan emas di tanjung batu dilakukan secara turun-temurun, dan biasanya para pengrajin
mendapatkan pesanan dari daerah lain seperti Palembang dan daerah tingkat II di Sumatera Selatan.
Selain daripada itu pula telah terjadi pergeseran dari pengrajin juga berkembang menjadi pengusaha.
Tanjung batu merupakan dataran rendah dengan dominasi rawa yang pada musim kemarau nampak
sebagai hamparan padang rumput hijau, sementara saat musim penghujan hamparan tersebut
tergenang air, sehingga kawasan ini nampak sempit.
a). Bentuk desa
Desa Tanjung Batu ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah Tanjung Batu Induk dan Tanjung
Batu Timur. Tanjung Batu Induk ini adalah daerah kediaman utama dan di anggap pusat bagi sebuah
desa. Sedangkan, Tanjung Batu Timur adalah daerah bagian dari Tanjung Batu Induk. Daerah
Tanjung Batu Induk ini ditandai dengan adanya masjid, balai, dan tempat pasar sekali atau dua kali
seminggu. Di daerah Tanjung batu dan tanjung Atap hanya Tanjung Batu Induk yang mempunyai
pasar sehingga dapat dikatakan bahwa Tanjung Batu Induk adalah pusat bagi desa Tanjung Batu dan
Tanjung Atap.
b). Mata Pencarian Hidup
Sebagian besar masyarakat Tanjung Batu memiliki Mata pencarian yaitu membuat Emas di olah oleh
tangan sendiri, dan juga menggunakan alat-alat tradisional. Alat-alat wajib atau harus ada ketika
mengolah Emas misalnya : sepit alit, sempret, ragum, mesin gilis, dan pengurutan. Selain Emas dan
perak, tanjung batu juga membuat songket dan banyak juga yang berkebun sebagai mata pencarian
mereka. Proses mengelolah Emas menjadi suatu barang, misalnya seperti cincin, kalung, gelang,
Kebudayaan Tanjung Atap

Rumah Adat Daerah Ogan Ilir (OI)


Desa tanjung atap adalah desa yang berdekatan dengan desa tanjung batu. Desa ini merupakan sentra kerajinan perkakas rumah tangga yang terbuat
dari Aluminium. Karenanya desa ini sering dijuluki desa Aluminium. Produknya tak kalah dengan buatan pabrikan.
Meski dibuat dengan sederhana, hasil kerajinan tangan ini lumayan bagus, bahkan bisa melebihi keluaran pabrik.
a) Bentuk desa
Desa Tanjung Atap ini juga terdiri dari dua bagian utama, yaitu : Tanjung Atap Timur dan Tanjung Atap Barat. Tanjung Atap Timur dan Tanjung
Atap Barat sama-sama memiliki penduduk yang banyak. Tanjung Atap Timur ditandai dengan adanya lapangan-lapangan, masjid, dan sebagainya.
Sedangkan tanjung atap barat ditandai dengan adanya lapangan pemakaman umum, masjid, padang (daerah ujung dari desa tanjung atap).
b) Mata Pencarian Hidup
Selain sumber penghidupan yang berasal dari perkakas rumah tangga yaitu Aluminium. Masyarakat Tanjung Atap juga bermata pencarian dengan
bertani, membuat tikar purun, dan tidak sedikit warga disana yang berjualan. Aluminium sama seperti pembuatan Emas di Tanjung Batu yang di
olah oleh tangan sendiri. Alat-alat yang digunakan yaitu : besi, catok (pukul kayu), tapakan (cetakan kayu), gunting seng, jangka besi, paku, kawat.
3.Konsep Banguanan
Desain Bentuk Rumah Adat Ogan Ilir dan Penjelasannya :
Rumah adat di Ogan Ilir memiliki desain bentuk dengan konsep rumah panggung seperti halnya rumah adat Nusantara pada umumnya. Tapi kini
rumah adat asal Ogan Ilir telah mengalami perkembangan pada desain arsitekturnya, terutama pada bagian kolong rumah panggung, yang dahulu
merupakan ruang kosong atau ruang yang difungsikan sebagai kandang ternak, kini telah didesain lebih rapi sehingga dapat difungsikan, baik
sebagai ruangan tertutup maupun sekedar ruang terbuka sebagai teras atau tempat bersantai-santai.
Rumah adat orang Ogan Ilir sama seperti rumah adat Sumatera Selatan pada umumnya, rumah adat tersebut disebut rumah Limas. Rumah adat ini
disebut rumah Limas karena bentuk atapnya menyerupai bentuk Limasan.
Pada awal pembangunannya, konsep rumah panging yang diterapkan pada rumah adat Limas adalah karena kondisi lingkungan pada lahan dan site
tempat pembangunan rumah tersebut yang merupakan wilayah rawa dan berair sehingga konsep arsitektur rumah panggung merupakan solusi tepat
untuk kondisi geografis seperti itu, selain untuk menghindari air masuk dalam rumah, juga untuk menjaga kelembaban dalam rumah dengan adanya
sirkulasi dan penghawaan dari kolong rumah yang menciptakan jarak antara tanah rawa dengan lantai rumah.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU) LATAR BELAKANG. Seperti halnya dengan kota-kota di Indonesia yang mempunyai
khazanah budaya beragam, Ogan Komering Ulu mempunyai beragam kekayaan sejarah
budaya yang sangat menakjubkan. Budaya yang menunjukkan ekspresi masyarakat dalam
beradaptasi dengan lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Salah satu
peninggalan budaya tersebut tergolong dalam bidang arsitektur ialah arsitektur tradisional
Rumah Ulu. Rumah Ulu terlihat anggun dan gagah karena bentuknya yang proporsional,
dengan atap berbentuk pelana yang dominan. Keberadaan rumah Ulu masih dapat
dijumpai di daerah Minanga kabupaten Ogan Komering Ulu. Beberapa rumah tradisional
tersebut telah berumur lebih dari 50 tahun serta menyimpan nilai sejarah, budaya dan
arsitektur yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Rumah Ulu seperti bangunan-
bangunan tua yang spesifik misalnya bangunan tipe Limas, mengalami ancaman yang
serius dari kehancuran bahkan kepunahan. Ancaman tersebut disebabkan karena usia tua,
pemilik tidak mempunyai dana cukup untuk perbaikan atau karena tanah mempunyai nilai
ekonomis cukup tinggi sehingga rumah tersebut dihancurkan untuk bangunan baru yang
fungsinya lebih kearah ekonomi. Pada sisi yang lain, Pemerintah Kabupaten Ogan
Komering Ulu umumnya dan Perangkat Kecamatan Minanga atau Perangkat di bawahnya
kurang perhatiannya terhadap keberadaan arsitektur Rumah Ulu tersebut. Padahal, ia
memiliki potensi yang tinggi baik dari sisi budaya dan arsitektur, bagi sumber
kearsitekturan, keilmuan maupun sebagai suatu aset yang tidak terharga nilainya. Belum
ada data inventaris dan pendokumentasian yang memadai tentang rumah Ulu di Minanga.
Beberapa buku dan peneliti hanya memusatkan perhatian pada beberapa rumah saja
misalnya rumah Ulu di Pasemah, Semendo dan Lahat. Data inventaris dan dokumentasi
dari beberapa rumah Ulu tersebut juga dipandang masih sangat terbatas. Pada penelitian
ini diyakini bahwa beberapa rumah Ulu di daerah Minanga layak ditampilkan untuk
mengungkapkan kekayaan budaya masyarakat Ogan Komering Ulu di bidang arsitektur.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU)
Arsitektur Tradisional Rumah Ulu Menurut Sukanti dkk (1994) dalam buku Rumah Ulu, menyebutkan
bahwa : Rumah Ulu antara golongan bangsawan dan rakyat biasa mempunyai perbedaan mendasar pada bentuk
dan susunan lantainya. Rumah untuk rakyat kebanyakan memiliki lantai pada satu ketinggian atau tidak berundak.
Sebaliknya, lantai rumah untuk keturunan pangeran atau bangsawan memiliki ketinggian berbeda, atau dibuat
berundak yang terdiri dari tiga tingkatan/pangkat. Pangkat I, paling atas dipergunakan oleh keluarga atau keturunan
pangeran saat acara perkawinan atau selamatan. Pangkat II ditempati oleh masyarakat yang mempunyai marga,
sedangkan pangkat II untuk rakyat biasa. Keadaan ini memiliki kemiripan dengan rumah limas yang mempunyai
lantai berundak atau kekijing. Walaupun demikian, terdapat juga rumah limas yang hanya mempunyai satu
ketinggian lantai dan dikenal sebagai rumah Limas Gudang. Rumah Ulu pada dasarnya dihiasi juga dengan
ornamen dan ukiran yang terletak pada tiang, balok, pintu dan listplank. Ornamen tersebut menunjukkan dengan
jelas pengaruh agama Islam di masyarakat. Ragam hias non geometris pada rumah ulu pada umumnya berupa
motif tumbuh-tumbuhan atau flora. Motif hewan jarang dijumpai. Motif yang paling banyak ditemui adalah motif
sukuran yang menyiratkan tentang kehidupan yang berkesinambungan. Motif dari bunga tertentu dan matahari
pada rumah Ulu, juga memberikan arti yang dalam serta terkait dengan kehidupan manusia.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU)
Menurut buku Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Selatan (1991) salah satu bentuk Rumah Ulu yang sangat unik terdapat di desa Pelang
Kenidai, Pagar Alam. Rumah panggung yang mempunyai atap pelana tampak menjorok ke depan dan ke belakang di bagian tengahnya. Terdapat
3 tipologi rumah yang dapat menjelaskan status sosial pemilik rumah untuk jenis rumah tradisional Pasemah di Pelang Kenidai. Rumah Tatahan
mempunyai ukiran halus di beberapa bagian rumah. Bentuk kedua adalah rumah Kilapan, yaitu rumah panggung yang tidak berukir dan bentuk
ketiga adalah rumah Padu Kingking yang berupa rumah panggung yang mengkombinasikan kayu dengan bambu. Rumah Ulu pada umumnya
mempunyai bentuk dasar denah berupa segiempat yang terdiri dari beruge atau garang di bagian depan sedangkan bagian tengah terdiri dari
sengkar bawah dan sengkar atas. Selain itu pada Rumah Ulu terdapat hal yang menarik berupa semacam plafond tetapi hanya untuk sebagian
ruangan yang diberi nama pagu hantu. Pagu hantu berfungsi untuk tempat menyimpan barang maupun bahan makanan. Walaupun
diklasifikasikan sebagai Rumah Ulu, rumah tradisional Pasemah berbeda dengan rumah Ulu di desa Surabaya, kecamatan Banding Agung, Ogan
Komering Ulu yang dikenal sebagai rumah tradisional Lamban Tuha, berbeda pula dengan Rumah Ulu di daerah Pulau Panggung Kabupaten
Ogan Komering Ilir. Rumah tradisional Pasemah mempunyai banyak kemiripan dengan rumah tradisional Semendo di kabupaten Muaraenim.
Dari penjelasan tersebut, telah jelas bahwa Rumah Ulu di beberapa daerah mempunyai perbedaan-perbedaan dan hal tersebut sangat menarik
karena menambah kekayaan khazanah budaya nenek moyang masyarakat Sumatera Selatan. Sebagaimana halnya dengan rumah tradisional
lainnya, Rumah Ulu mempunyai nilai arsitektur yang tinggi. Hal ini bisa dimengerti karena Rumah Ulu mempunyai proporsi yang baik, sesuai
dengan iklim tropis dan lingkungan setempat dan dapat menunjukan ekspresi dari pemilik rumah. Dengan mempertimbangkan hal tersebut,
dapat dimengerti apabila rumah tradisional di daerah Minanga yang diantaranya termasuk klasifikasi Rumah Ulu perlu diidentifikasikan dan
seharusnya dilestarikan sebelum asset yang berharga dari nenek moyang tersebut hilang selamanya. Berdasarkan uraian di atas maka rumah
tradisional di daerah-daerah ulu yang bukan merupakan Rumah Limas dapat dikelompokkan sebagai Rumah Ulu, demikian pula halnya dengan
di Minanga. Karakter yang mudah terlihat pada rumah tradisional tersebut adalah penggunaan atap pelana dan rumah panggung. Keberadan
arsitektur tradisional Rumah Ulu ini masih cukup banyak ditemukan di wilayah kabupaten-kabupaten, provinsi Sumatera Selatan.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU)
Arsitektur Tradisonal di Minanga Minanga merupakan daerah yang cukup berkembang. Terdapat beberapa peninggalan budaya dan
arsitektur di daerah Minanga. Bila dilihat dari uraian tentang arsitektur tradisional di Sumatera Selatan dan arsitektur tradisional rumah
ulu seperti diuraikan pada bagian II.1 dan II.2 di atas, di Minanga terdapat peninggalan arsitektur tradisional rumah limas dan arsitektur
tradisonal rumah ulu sebagai bagian dari arsitektur tradisonal di Sumatera Selatan. Kondisi Rumah Ulu di daerah Minanga yang
umumnya telah berumur lebih dari 50 tahun terlihat cukup menyedihkan, buruk serta kurang terawat.

Sebagaimana dengan karakter arsitektur tradisional di Sumatera Selatan, arsitektur tradisional di daerah Minanga terutama rumah Ulu
yang dikenal mewakili arsitektur tardisonal Minanga mempunyai ciri yang sangat mudah dikenal. Ciri tersebut yaitu ia merupakan
rumah panggung yang berdiri di atas beberapa tiang penyangga, kanstruksi kayu, bahan bangunan dominan dari kayu baik dinding,
lantai langit dan elemen kecuali penutup atap, kaya dengan ragam hias/ ornamen , misalnya pada kolom, listplank dan balok.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu (OKU)
Dengan
Rumah Adat
demikian dalam Daerah
melihat gaya Ogan
arsitektur tradisional Komering
Minanga terlebih Ulu
dahulu dilihat makna (OKU)
yang terkandung dalam
unsur-unsurnya. Makna yang terkandung tersebut adalah merupakan nilai-nila filosofis yang mendasari suatu ujud arsitektur
dalam setiap unsur arsitekturalnya. Sedangkan rupa atau wujudnya adalah tampilan arsitekturnya yang umumnya terlihat pada
unsur-unsur: atap, dinding termasuk elemen pintu dan jendela, kolom/tiang, unsur lainnya seperti elemen tangga dan
balkon/teras.
Altman , Irwin dan Chemers (1980) dalam bukunya Culture and Environment meyatakan bahwasanya
perencanaan/perancangan dan fungsi suatu kota didasari dari hubungan dengan beberapa faktor : lingkungan fisik (termasuk
sumberdaya, iklim), politik, ekonomi, dan sosial budaya (termasuk relegi, cosmologi pandangan-pandangan dunia, ELEMEN
ARSITEKTUR TANGGA, PINTU DAN JENDELA struktur sosial). Selanjutnya sesuai dengan analisanya bahwa suatu kota
merupakan refleksi dari variasi beberapa faktor yan mendasarinya tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
berhubungan dengan perencanaan/perancangan dan fungsi suatu kota adalah didasari oleh salah satu atau variasi beberapa
faktor yang mendasarinya tersebut, dan faktor-faktor tersebut akan terefleksi dalam wujud kotanya.Walaupun apa yang
dinyatakan oleh Altman, Irwin dan Chemers tersebut dalam konteks kota, namun mengingat kota adalah merupakan suatu ujud
lingkungan binaan sedangkan arsitektur pada dasarnya adalah termasuk dalam lingkungan binaan maka hal tersebut juga dapat
berlaku dalam arsitektur.
arsitektur tradisional Minanga adalah dengan terlebih dahulu menggali nilai-nilai filosofis yang mendasarinya. Nilai-nilai
filosofis tersebut dicoba digali melalui faktor-faktor yang dinyatakan oleh Altman, Irwin dan Chemers di atas yang terkandung
dalam unsur-unsur kearsitekturan baik tampilan wujud arsitektur maupun pertapakannya.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU)
Ragam Arsitektur Tradisonal di Minanga.
Tipe Ragam Arsitektur Tradisional di Minanga Dari tinjauan lapangan dilihat dari karateristik fisik arsitektur : atap, denah,
lantai, tiang/pondasi terdapat 3 (tiga) tipe dalam ragam arsitektur tradisional Minanga, yaitu : Rumah Bari, Rumah Ulu dan
Rumah Gudang. Visualisasi ketiga tipe dalam ragam arsitektur tradisional Minanga tersebut seperti terlihat pada gambar-foto
no. 01.01-04 di bawah ini.
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU)
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU)
Rumah Adat Daerah Ogan Komering Ulu
(OKU) Timur
Kesenian dan Adat Istiadat serta kebudayaan penduduk Asli OKU TIMUR masih kental dengan
kebiasaan turun temurun dari nenek moyang mereka sebagai salah satu contoh adat perkawinan di
Kab.OKU TIMUR terdapat empat jenis perkawinan :
Perkawinan rasan tuha angkat gawi;
Perkawinan rasan tuha takat padang;
Perkawinan sibambang (kawin lari);
Perkawinan ngakuk anak (mengambil anak).
Serta beberapa jenis tarian yang dikenal akrab oleh penduduk OKU TIMUR antara lain :
Tari Minur (Diperagakan oleh kaum wanita yang sudah menikah);
Tari Sabai (Diperagakan oleh pria dan wanita maknanya untuk kegemnbiraan).
Pemberian Gelar atau Adok (Julukan) di daerah komering diberikan menurut kedudukannya di
masyarakat :
Kedudukan Bangsawan (bila dia laki-laki diberi gelar yakni DALOM untuk anak cucu tua);
MANGKU untuk anak laki-laki di bawah DALOM;
MENTERI untuk anak laki-laki di bawah MANGKU;
PRABU untuk anak tua cucung tua;
RADEN untuk dibawah PRABU-adiknya;
RATU untuk gelar dibawah RADEN;
BUNGSU untuk anak paling akhir.
Konsep Pembangunan
Rumah atau sering disebut dengan istilah papan merupakan kebutuhan dasar manusia disamping pangan dan sandang. Manusia mulai mengenal pemukiman
dan membangunan rumah sejak zaman neolitikum, kemudian berkembang sebagaimana dengan perkembangan zaman. Semakin kompleks perkembangan yang ada
dalam masyarakat maka semakin kompleks pula bangunan tempat tinggal yang dimilikinya.
Tempat yang menarik bagi manusia untuk membuat permukiman umumnya di daerah-daerah yang memberikan sumber-sumber makanan. Tempat-tempat yang
menarik untuk dihuni adalah yang cukup mengandung bahan-bahan makanan dan air, terutama yang sering dikunjungi atau dilalui binatang. Tempat-tempat
semacam ini berupa padang-padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil yang terletak berdekatan dengan sungai atau danau (Kartodirjo, 1975 : 110-111).

Anda mungkin juga menyukai