Anda di halaman 1dari 75

Chronic Obstructive

Pulmonary Disease
(COPD)
KELAS K

Rosidah 260110150001 Lafie Urwatul W. 260110150011

Shifa Hudzaifah H. 260110150002 Risda Rahmi I. 260110150012


Rena Choerunisa 260110150003 Luthfi Utami 260110150013

Riska Nelinda 260110150004 Chairunnisa 260110150014


Qisti Fauza 260110150005 Fachreza Erdi P. 260110150015

Rossi Febriany 260110150006 M. Naufal M. 260110150016


Fairuzati Anisah M. 260110150007 Puty Prianti N. 260110150017
Wiwit Nurhidayah 260110150008 M. Irfan Fitriansyah 260110150018

Wichelia Nisya F. 260110150009 Derif Azis Abdullah 260110150019


Fariza Fida M. 260110150010 Rain Kihara 260110150021
DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit


paru umum yang ditandai dengan keterbatan aliran ud
ara yang tidak sepenuhnya balik yang bersifat kronis d
an progresif (Dipiro et al, 2011).
EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO tahun 1990 PPOK menempati urutan keenam
sebagai penyebab kematian di dunia, tahun 2002 menempati
urutan kelima sebagai penyebab kematian di dunia.
WHO memprediksikan tahun 2030 PPOK akan menempati
urutan ketiga sebagai penyebab kematian di dunia.
Prevalensi dari PPOK terus meningkat, tahun 1994 kira-kira 16,2
juta laki-laki dan perempuan di Amerika dan lebih dari 52 juta
individu di dunia menderita PPOK.

(Juvelekian dan Stoller, 2009).


Dari hasil RIKESDAS pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%.

(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).


ANATOMI
DAN
FISIOLOGI
FARING

Tabung yang
dibentuk oleh otot
rangka dan dilapisi
oleh membran
mukosa yang
kontinu dengan
rongga hidung.
Dibagi menjadi tiga
wilayah utama: naso
faring, orofaring,
dan laringofaring.
LARING

Struktur tulang rawan yan


g lebih rendah daripada lari
ngofaring, menghubungkan fa
ring ke trakea dan me
mbantu mengatur volume uda
ra yang masuk dan keluar dari
paru-paru. Struktur laring dibe
ntuk oleh beberapa bagi
an tulang rawan. Tiga tula
ng rawan besar - tulang raw
an tiroid (anterior), epiglos (su
perior), dan tulang rawan krik
oid (inferior) - membentuk str
uktur utama laring.
TRAKEA (tenggorokan)

Memanjang dari laring ke paru-


paru. Dibentuk oleh 16 sampai
20 susun, potongan berbentuk C
dari tulang rawan hialin yang
dihubungkan oleh jaringan
ikat padat.
BRONKUS BRONKIOLUS

Dilapisi oleh epitel Cabang dari bronkus, berdiameter


sekitar 1 mm, Dinding otot
kolumnar bersilang pseudo
bronkiolus tidak mengandung
stratifikasi yang tulang rawan seperti bronkus.
mengandung sel goblet Dinding berotot ini bisa mengubah
penghasil lendir. ukuran tubing untuk menambah
atau menurunkan aliran udara
melalui tabung.
ZONA PERNAPASAN
ALVEOLI

Saluran alveolar adalah tabung


yang terdiri dari otot polos
dan jaringan ikat.

ALVEOLUS

Banyak kantung kecil seperti anggur


yang menenmpel pada saluran
alveolar
Kantung alveolar berfungsi untuk
pertukaran gas
Diameter 200 mm dengan dinding
elastis
BAGIAN YANG TERSERANG
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi PPOK melibatkan beberapa sel inamasi, mediator
inamasi dan stres oksidatif seperti halnya perubahan pada
sistem kardiovaskular sebagai hasil pajanan asap rokok dan
berkembang menjadi keterbatasan aliran udara yang progresif
(Supriyadi, 2013)
Mediator inflamasi yang terlibat diantaranya neutrofil, makrofag
dan limfosit CD 8+ yang membebaskan sejumlah mediator kimia
termasuk tumor nekrosis faktor (TNF), alfa interleukin-8 (IL-8) dan
leukotrien B4 (LT B-4). Sel inflamasi dan mediator ini
menyebabkan perubahan dekstruktif secara meluas pada saluran
udara, pembuluh pulmonar, dan parenkim paru-paru
(Dipiro, 2009).
Sel in amasi dan mediator menginduksi metaplasia sel goblet,
hipersekresi mukus, hipertrof otot polos jalan napas dan
hilangnya fungsi mukosiliar. Hipersekresi mukus dan kehilangan
fungsi siliar adalah keadaan yang mempermudah terjadinya
infeksi oleh virus maupun bakteri yang dapat mengubah kondisi
jalan napas (Supriyadi, 2013).
Infiltrasi sel yang melepaskan enzim proteolitik dan mengakibatka
n kerusakan menetap. Pada saat yang sama, reactive oxygen speci
es (ROS) dihasilkan dalam kompartemen paru sebagai hasil dari
inhalasi asap rokok atau peningkatan produksi oleh aktivasi sel
in amasi dan aktivasi siklus xantin oksidase. Oksidan-oksidan in
i akan menghambat 1-antitripsin yang merupakan salah satu
penghambat enzim elastase yang berperan dalam kerusakan
parenkim dan kehilangan elastisitas rekoil (Supriyadi, 2013).
Inamasi dan stres oksidatif merupakan peran utama pada
patofisiologi perubahan kompartemen paru pada pasien PPOK
(Supriyadi, 2013).
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu :
inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas (Perhimpunan dokter paru
Indonesia, 2003).
a.

b.

Keterangan:
a. Skema singkat PPOK
b. Perbedaan ASMA dan PPOK
MANIFESTASI
KLINIS DAN
GEJALA
MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal meliputi batuk kronik dan produksi sputum. Pasien mungkin m
emiliki gejala ini selama beberapa tahun sebelum dyspnea berkembang.
Pada tahap PPOK ringan, biasanya pemeriksaan fisik normal. Bila keterbatasan
aliran udara menjadi parah, pasien memiliki sianosis pada membran mukosa,
pengembangan "chest barrel" karena hiperinflasi paru-paru, peningkatan laju
pernafasan, pernapasan dangkal, pengeritik bibir saat kadaluarsa, dan
penggunaan otot pernapasan.
Pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK mungkin mengalami dyspnea yang m
emburuk, kenaikan volume sputum, atau peningkatan purulensi dahak. Ga
mbaran umum lainnya dari eksaserbasi meliputi sesak dada, meningkatnya ke
butuhan akan bronkodilator, malaise, kelelahan, dan toleransi olah raga ber
kurang.

(Dipiro, 2009).
(Dipiro, 2011).
(Dipiro, 2011).
G
Batuk kronik
E
Batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2
J tahun terakhir yang tidak hilang dengan
A pengobatan yang diberikan.
L Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau

A intermiten.
Batuk kadang terjadi pada malam hari.
G
Berdahak Kronik
E Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi
J sputum.
A Kadang-kadang pasien menyatakan hanya
L berdahak terus menerus tanpa disertai batuk

A Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi


pada pagi hari ketika bangun tidur.
G Sesak Napas
E Terjadi terutama pada saat melakukan aktivitas.
J Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
A dengan sesak nafas yang bersifat progressif

L lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.

A Anamnesis harus dilakukan dengan teliti,


gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
Khairani, 2013.
Kebiasaan Merokok

Riwayat terpapar polusi udara di lingkungan


tempat kerja
K
A
F

Hiperreaktivitas bronkus

Riwayat infeksi saluran pernapasan bawah


berulang
Defisiensi antitripsin alfa-1

(PDPI, 2003).
SKRINNING
DAN
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS

Keluhan

Riwayat
Anamnesis penyakit
Gambaran
klinis
Pemeriksaan Faktor
fisis predisposisi
Diagnosis
Pemeriksaan
rutin
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
khusus

PDPI, 2003
Pemeriksaan Fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
- paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips
breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema t
ungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan Fisik
A. Vital Signs

Tekanan Darah : 145/100 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi Rate : 24 x/menit

Suhu : 36,2

B. Pemeriksaan Fisik

BB : 43 kg

TB : 133 cm
Nilai BMI untuk Laki-laki

Nilai BMI Kategori


< 17 Kurus
17 23 Normal
23 27 Kegemukan
> 27 Obesitas

Pada Kasus :
BB : 43 kg
TB : 133 cm
BMI = = 24,3
Keterangan: Kegemukan
Spirometri

No. Pemeriksaan Hasil

1. Kapasitas Vital 2030 ml


2. %KV (KV/KV Prediksi) 66%

3. Kapasitas Vital Paksa (KVP) 2290 ml

4. %KVP (KVP/KVP prediksi) 75%

5. VEP1 1770 ml

6. %VEP1 (VEP1/prediksi) 72%

7. VEP1 % (VEP1/KVP) 77%


Restriksi : gangguan pengembangan paru

KV < 80% nilai prediksi

KVP < 80% nilai prediksi

Restriksi ringan 80% > KV < 50%

Restriksi sedang 50% > KV > 30%

Restriksi berat KV < 30%

Pada Kasus : Kapasitas Vital 2030 ml

%KV (KV/KV Prediksi) 66%

Kapasitas Vital Paksa (KVP) 2290 ml

%KVP (KVP/KVP prediksi) 75%

Keterangan : Retriksi ringan

Fauci et al, 2008


Obstruksi : perlambatan aliran udara ekspirasi

VEP1 < 80% nilai prediksi

VEP1 / KVP < 75%

Obstruksi ringan 75% > VEP1/KVP < 50%

Obstruksi sedang 50% > VEP1 / KVP > 30%

Obstruksi berat VEP1 / KVP < 30%

Pada Kasus : VEP1 1770 ml

VEP1 (VEP1/prediksi) 72%

VEP1 % (VEP1/KVP) 77%

Keterangan : Obstruksi ringan

Fauci et al, 2008


Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri
: Normal.
b. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk.
Dengan atau tanpa produksi sputum. Spirometri : FEV1/FVC < 70%,
FEV1 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk.
Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2
(sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50%
< FEV1 < 80%.
c. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas ketika berjalan da
n berpakaian. Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC <
70%; 30% < FEV1 < 50% .
d. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : Pasien derajat III
dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi korpulmonale atau
gagal jantung kanan. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau
< 50%
Pada Kasus : VEP1 1770 ml

VEP1 (VEP1/prediksi) 72%

VEP1 % (VEP1/KVP) 77%

Keterangan :Derajat II (PPOK Sedang)


Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP 1/KVP
( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
-Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
-Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit k
emudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP 1 atau APE < 20% ni
lai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,
VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti
bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP
1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk m
engetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang me
rupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi a
ntitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

PDPI, 2003
TERAPI
TUJUAN TERAPI
Mencegah perkembangan penyakit

Mengurangi gejala

Memperbaiki status kesehatan secara keseluruhan

Mencegah dan mengobati eksaserbasi

Mencegah dan mengobati komplikasi

Mengurangi morbiditas dan mortalitas

(Dipiro et al, 2009).


TERAPI
FARMAKOLOGI
Panduan Terapi
PPOK
dengan Eksaserbasi
Akut
Tahap Terapi Pada PPOK Yang Stabil

Tahap 1 : Ipratropium bromida (MDI) atau nebulizer, 2-6 puff 4 x


sehari, tunjukkan cara penggunaan yang tepat, memberitahu pasien
ttg pentingnya penggunaan teratur dan efek samping yg mungkin
timbul (mulut kering & rasa pahit), jika hasil trial : perbaikan FEV1
< 20% step 2
Tahap 2 :Tambahkan -agonis MDI atau nebulizer, tunjukkan cara
penggunaan yang tepat, memberitahu pasien ttg pentingnya
penggunaan teratur dan efek samping yg mungkin timbul (takikardi,
tremor) jika tidak ada perkembangan: hentikan -agonis, jika ada
perbaikan tapi kecil step 3.

(Dipiro, 2015).
Tahap Terapi Pada PPOK Yang Stabil

Tahap 3 : Tambah teofilin (kombinasi anti kolinergik &


simpatomimetik), mulai dari 400 mg/hari dlm bentuk sustained
released, sesuaikan dosis setiap interval 3 hari untuk menjaga serum
level antara 10-15 g/ml, pantau ESO takikardi, tremor, nervous, efek
GI; jika tidak ada perbaikan hentikan teofilin dan step 4
Tahap 4: Coba dengan kortikosteroid : prednison 30-40 mg/hari
selama 2-4 minggu, cek dengan spirometer (perbaikan 20%),
titrasi dosis ke dosis efektif terkecil (< 10 g sehari), pertimbangkan
penggunaan kortikosteroid inhalasi jika pasien tidak berespon baik
kembali ke steroid oral.

(Dipiro, 2015).
Untuk PPOK
derajat II
disarankan
untuk meng-
gunakan
antikolinergik
atau beta
agonist
kerja lama
Obat yang dipilih
1. Terapi utama -> terapi O2

2. Bronkodilatoragonis2 (kerja lama) ->Formoterol

3. Kombinasijikabronkodilatoragonis2 tidak m
emberikan hasil yang diinginkan dikombinasika
n dengan tiotropium bromida.

4. Antioksidan->Asetilsistein
Bronkodilator Agonis Beta 2 Kerja Lam
a
1. Formoterol
Mekanism kerja : mekanisme kerja merelaksasi otot polos bronkial
dan bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk
meningkatkan pembentukan adenosin monofosfat siklik (cMAP)

Indikasi: gejala obstruksi bronkus pada asma bila pengobatan dengan

kortikosteroid tidak mencukupi.

Efek samping: Pusing, gelisah, tremor; sakit dada; Sakit kepala,


masalah tidur (insomnia); Sakit perut, gangguan pencernaan, mual;
Sakit tenggorokan, batuk, pilek, sakit sinus; kram otot; atau Infeksi
virus

Dosis:
Kapsul inhalasi
12 mcg (1 inhalasi) secara oral setiap 12 jam menggunakan inhaler ae
rolizer .Dosis maksimum per hari : 24 mcg
Antikolinergik Kerja Lama
1. Tiotropium bromida
Mekanisme kerja:

Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya


digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada
otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah
inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.

Indikasi: untuk penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis


dan emfisema

Efek samping: mulut kering, dispepsia, sakit perut, nyeri dada, edema

Dosis:

a. Serbuk inhalasi Tiotropium, kapsul keras:

-18 mcg (2 inhalasi) secara oral sehari sekali dengan menggunaka


n perangkat HandiHaler

b. Larutan inhalasi tiotropium:


-5 mcg (2 inhalasi) secara oral sehari sekali
Antioksidan
Asetilsistein
Mekanisme kerja:

bekerja langsung dalam memecahkan ikatan disulfida antara ikatan

molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan

viskositas mukus(sebagai ekspektoran dengan mukolisis dahak)


Indikasi:

Untuk sekresi mukus yang tidak normal dan untuk penyakit


bronkopulmonari kronik.

Efek samping: mual, muntak, ngantuk, berkeringat

Dosis:
Administrasi oral larutan 20% untuk inhalasi:
Loading Dose : 140 mg / kg berat badan, secara oral, sekali
Maintenance Dose: 70 mg / kg berat badan, oral, 4 jam setelah dosis
pemuatan dan setiap 4 jam untuk 17 dosis total, kecuali asetaminofen
yang diulang menunjukkan tingkat tidak beracun.
TERAPI
NONFARMAKOLOGI
Meningkatkan toleransi latihan
TUJUAN
Memperbaiki kualitas hidup

REHABILITAS INDIKASI

I Simptom pernapasan bera


MEDIK Sering masuk rawat darura
Kualitas hidup menurun
PROGRAM

1. LATIHAN FISIS
2. PSIKOSOSIAL
3. LATIHAN PERNAPASAN

4. BERHENTI MEROKOK
TERAPI NONFARMAKOLOGI
Rehabilitasi: Semua pasien PPOK mendapat m
anfaat dari program pelatihan, memperbaiki tole
ransi olah raga dan gejala dyspnea (sesak) dan kelela
han (perbaikan kualitas hidup).
TERAPI NONFARMAKOLOGI
PPOK Hipoksemia (kurang oksigen pada pembuluh arteri) Kerusakan
Jaringan

Mengurangi Mengurangi
Vasokonstriksi Hematokrit

Mengurangi Sesak Terapi Mencegah


Oksigen Komplikasi Jantung

Memperbaiki Meningkatkan
Fungsi Neuropsikiatri Memperbaiki Kualitas Hidup
Aktivitas
Cara Pemberian Oksigen

Terapi Oksigen jangka panjang yang di beri


kan di rumah pada keadaan stabil teruta
ma bila tidur atau sedang aktivitas (pemb
erian 15 jam setiap hari), pemberian oksigen
dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Pemberian
oksigen harus mencapai saturasi oksigen di a
tas 90%.
KONDISI Kebutuhan energi meningkat
MALNUTRISI Kerja otot respirasi meningkat

Gangguan Keseimbangan
Elektrolit
NUTRI Hiperkalemi
SI Hipofosfatemi
Hipokalsemi
PENANGANAN Hipomagnesemi

Komposisi nutrisi seimbang

Nutrisi terus-menerus (Nocturnal feeding)


TERAPI NONFARMAKOLOGI
NUTRISI

Malnutrisi dapat dievaluasi Cara mengatasi malnutrisi :


dengan: Nutrisi diberikan secara terus
Penurunan berat badan menerus
Kadar albumin darah rendah Seimbang kalori yang masuk
( < 3 gr% ) dengan yg dibutuhkan
Antropometri Komposisi nutrisi yang
Pengukuran kekuatan otot seimbang : tinggi lemak rendah
karbohidrat
Hasil metabolisme ( Hiperkapni
Porsi kecil dengan waktu
& hipoksia )
pemberian yang lebih sering
Pada PPOK+gagal nafas : protein
berlebihan timbul kelelahan
(PDPI,
HINDARI FAKTOR PENCETUS

Mencegah perburukan PPOK :

1. Berhenti merokok

2. Gunakan obat-obatan adekuat (memenuhi syarat)

3. Cegah eksaserbasi berulang


MONITORING

Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien termasuk


PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan dengan
pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari keterbatasan alir
an udara harus dimonitor untuk menentukan kapan dilakukan modifikasi
terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi yang bisa timbul.
Pemantauan progresifitas penyakit dan
komplikasi
Spirometri Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri,
dilakukan sekurang-kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti
CAT bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.

Gejala Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat


kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq,
keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.

Merokok Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan


paparan terhadap rokok.
Pemantauan farmakoterapi dan
terapi medis lain

Diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat,


kepatuhan terhadap regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi,
efektivitas regimen terbaru dalam mengontrol gejala dan efek
samping terapi harus selalu dalam pengawasan. Modifikasi terapi
harus dianjurkan untuk menghindari polifarmasi yang tidak
diperlukan.

(Silva, 2004).
Pemantauan Riwayat Eksaserbasi

Tingkat beratnya eksaserbasi bisa diperkirakan dari p


eningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau kor
tikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi antibio
tik. Perawatan di rumah sakit harus terdoku
mentasi, termasuk fasilitas, lamanya perawatan,
dan penggunaan ventilasi mekanik.

(Silva, 2004).
Pemantauan Komorbid

Komorbid biasa ditemukan pada pasien dengan PP


OK, memperbesar ketidakmampuan yang ber
hubungan dengan PPOK dan potensial meni
mbulkan penatalaksanaan menjadi lebih komple
ks.

(Silva, 2004).
KONSELING
1. Mempersilahkan duduk pada pasien
2. Memperkenalkan diri sebagai Apoteker
3. Skrining resep :
Harus ditanyakan resep ini untuk siapa ? karena bisa jadi
orang yang dihadapi adalah keluarganya
Administrasi (identitas) berupa Nama, usia, alamat rumah
dan pekerjaan pasien.
Farmakologi dan farmasetika dari resep
4. Three frime question : apa kata dokter tentang
obatnya, penggunaannya dan harapan setelah
minum obat.
5. Meminta izin waktu untuk konseling dan apakah
pasien bersedia.
KONSELING
6. Assestment khusus untuk Asma :
- Keluhan apa yang dirasakan dan sudah berapa
lama?
- Apakah ada orang tua/saudara yang memiliki
penyakit asma (keturunan/genetik) ?
- Apakah pasien perokok aktif atau pernah minum
alkohol ?
- Apakah ada riwayat penyakit lain selain asma ?
- Apakah sedang menggunakan obat lain selain
obat yang diresepkan ?
- Apakah ada alergi terhadap obat/makanan dan
makanan apa yang biasa dikonsumsi ?
KONSELING
7. Resolution (pemberian Informasi Obat) meliputi :
Indikasi; Dosisnya serta cara penggunaannya (peroral, Inhaler,
nebulizer); Kontraindikasi; Peringatan; Efek samping; Interaksi
obat dan Penyimpanan obat.
KONSELING

8. Jika terjadi efek samping atau hal apapun terkait pengobatan


segera konsultasi dengan Apotekernya.
9. Meminta pasien untuk mengulangi kembali informasi yang di
berikan, pasien harus tahu Obatnya, Kegunaan, Cara
penggunaan dan Penyimpanannya
10. Meminta pasien untuk memberi tahu keluarganya bahwa
pasien sedang mendapatkan pengobatan asma.
11. Memberikan saran terapi Non farmakologi (gaya hidup,
olahraga, makanan, dll) agar terapi berjalan baik dan kualitas
hidup pasien meningkat dan memberi saran untuk kontrol ke
mbali pada Dokter setelah menjalani pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, Joseph T., et al. 2009. Pharmacotherapy Handbook. New York: Mc Graw Hill.

Dipiro, Joseph T. 2011. Pharmacoterapy Handbook 8th Edition. New York : Mc-Graw Hill

Khairani,Fathia. 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronik( PPOK). Tersedia online di


http://eprints.undip.ac.id/43859/2/FATHIA_KHAIRANI_G2A009079_BAB_2_KTI.pdf (diakses pada
25 Mei 2017, 19:20).
Devereux G. 2006. ABC of chronic obstructive pulmonary disease. Definition, epidemiology, an
d risk factors. BMJ 332:11424.
Fauci AS, Kasper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser SL, Loscalzo J, et al.2008. Harrison's Principl
es of Internal Medicine, 17th Edition.United States of America: Mcgraw-hil.
Ilmu Kesehatan.2017. Tanda-Tanda Vital Normal Menurut Depkes.Tersedia online di http://www.
ilmukesehatan.com/2841/tanda-vital-normal-menurut-depkes.html (Diakses 25 Mei 201
7).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta: Per
himpunan Dokter Paru Indonesia.
Silva GE, Sherrill DL, Guerra S, Barbee RA. Asthma as a risk factor for PPOK in a longitudinal st
udy. CHEST Journal. 2004;126(1):59-65.
Supriyadi, Megantara. 2013. Faktor Genetik Penyakit Paru Obstruktif. CDK-207. Vol. 8(2): 573.

Anda mungkin juga menyukai