Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh Aceh Utara PENGANTAR Keragaman yang terjadi pada setiap diri manusia adalah suatu kenyataan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk individu atau pribadi yang memiliki perbedaan satu sama lain. Adanya perbedaan itulah yang melahirkan keragaman. Selain sebagai makhluk individu, manusia juga makhluk sosial. PENGANTAR Dengan demikian, keragaman terjadi tidak hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat sosial atau kelompok. Masyarakat beragam berdasarkan pengelompokan tertentu, misalnya suku, ras, golongan, agama, afiliasi politik, umur, wilayah, jenis kelamin, profesi, dan lain- lain. A. HAKIKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN MANUSIA 1. Makna Keragaman Manusia Keragaman berasal dari kata ragam. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ragam berarti (1) sikap, tingkah laku, cara; (2) macam, jenis; (3) musik, lagu, langgam; (4) warna, corak; (5) laras (tata bahasa). Merujuk pada arti nomor dua di atas, ragam berarti jenis, macam. Keragaman menunjukkan adanya banyak macam, banyak jenis. Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia adalah makhluk individu yang setiap individu memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Perbedaan itu ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat. Contoh, sebagai mahasiswa baru kita akan menjumpai teman-teman mahasiswa lain dengan sifat dan watak yang beragam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menemukan keragaman akan sifat dan ciri-ciri khas dari setiap orang yang kita jumpai. Jadi, manusia sebagai pribadi adalah unik dan beragam. Selain makhluk individu, manusia juga makhluk sosial yang membentuk kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup manusia juga beragam. Masyarakat sebagai persekutuan hidup itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam hal ras, suku, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat tinggal, dll. Hal-hal demikian kita katakan sebagai unsur-unsur yang membentuk keragaman dalam masyarakat. Keragaman individual maupun sosial adalah implikasi dari kedudukan manusia, baik sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Kita sebagai individu akan berbeda dengan seseorang sebagai individu yang lain. Demikian pula kita sebagai bagian dari suatu masyarakat memiliki perbedaan dengan masyarakat lainnya. 2. Makna Kesetaraan Manusia Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaran manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibandingkan makhluk lain. Di hadapan Tuhan, semua manusia adalah sama derajat, kedudukan, atau tingkatannya. Yang membedakan nantinya adalah tingkat ketaqwaan manusia tersebut terhadap Tuhan. Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban sebagai sesama munusia. Implikasi selanjutnya adalah perlunya jaminan akan hak-hak itu agar setiap manusia bisa merealisasikannya serta perlunya merumuskan sejumlah kewajiban-kewajiban agar semua bisa melaksanakan agar tercipta tertib kehidupan. Berkaitan dengan dua konsep di atas, maka dalam keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya, meskipun individu maupun masyarakat adalah beragam dan berbeda-beda, tetapi mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Terlebih lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jaminan akan kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dari berbagai ragam masyarakat di dalamnya amat diperlukan. B. KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Keragaman yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk berarti banyak ragam, beraneka, berjenis-jenis. Konsep masyarakat majemuk (plural society) pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik. Konsep ini merujuk pada masyarakat Indonesia masa kolonial. Masyarakat Hindia Belanda waktu itu dalam pengelompokan komunitasnya didasarkan atas ras, etnik, ekonomi, dan agama. Masyarakat tidak hanya terkelompok antara yang memerintah dengan yang diperintah, tetapi secara fungsional terbelah berdasarkan satuan ekonomi, yaitu antara pedagang Cina, Arab, India, dan kelompok petani bumi putra. Pelly (1989) mengategorikan masyarakat majemuk di suatu kota berdasarkan dua hal, yaitu pembelahan horizontal dan pembelahan vertikal. Secara horizontal, masyarakat majemuk, dikelompokkan berdasarkan: 1. Etnik dan ras atau asal usul keturunan. 2. Bahasa daerah. 3. Adat istiadat atau perilaku. 4. Agama. 5. Pakaian, makanan, dan budaya material lainnya. Secara vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan: 1. Penghasilan atau ekonomi. 2. Pendidikan. 3. Pemukiman. 4. Pekerjaan. 5. Kedudukan sosial politik. C. KEMAJEMUKAN DAN KESETARAAN SEBAGAI KEKAYAAN SOSIAL BUDAYA BANGSA 1. Kemajemukan sebagai Kekayaan Bangsa Indonesia Sudah diakui secara umum bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan bangsa terutama karena adanya kemajemukan etnik, disebut juga suku bangsa atau suku. Di samping itu, kemajemukan dalam hal ras, agama, golongan, tingkat ekonomi, dan gender. Beragamnya etnik di Indonesia menyebabkan banyak ragamnya budaya, tradisi, kepercayaan, dan pranata kebudayaan lainnya karena setiap etnis pada dasarnya menghasilkan kebudayaan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultur artinya memiliki banyak budaya. Kemajemukan adalah karakteristik sosial budaya Indonesia. Selain kemajemukan, karakteristik Indonesia yang lain adalah sebagai berikut (Sutarno, 2007). a. Jumlah penduduk yang besar. Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 220 juta jiwa dapat menjadi potensi yang besar dalam pengadaan tenaga yang besar. Namun, jumlah yang besar saja tidak mencukupi. Jumlah yang besar itu perlu disertai dengan ketrampilan yang memadai. b. Wilayah yang luas Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km yang menduduki urutan 15 terbesar dunia. c. Posisi silang Indonesia terletak di antara dua Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia). Karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian budaya dari berbagai negara. d. Kekayaan alam dan daerah tropis Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal dua musim (penghujan dan kemarau) maka mungkin saja membuat masyarakat Indonesia memiliki budaya yang santai dan kurang berwawasan ke depan. e. Jumlah pulau yang banyak. Pulau di Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000 pulau. Jumlah yang banyak ini tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan yang ekstra keras dari pemerintah untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia. f. Persebaran pulau. Persebaran pulau yang dikelilingi lautan menjadikan sebagai wilayah kepulauan. Kendala geografis ini membuat masyarakat di berbagai tempat di Indonesia ini kurang bisa mengatasi ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju. 2. Kesetaraan Sebagai Warga Bangsa Indonesia Pengakuan akan prinsip kesetaraan dan kesederjatan itu secara yuridis diakui dan dijamin oleh negara melalui UUD 1945. warga negara tanpa dilihat perbedaan ras, suku, agama, dan budayanya diperlakukan sama dan memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. D. PROBLEMATIKA KERAGAMAN DAN KESETARAAN SERTA SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN 1. Problematika Keragaman serta Solusinya dalam Kehidupan Keragaman adalah modal, tetapi sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khazanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun, kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Konflik atau pertentangan sebenarnya terdiri atas dua fase, yaitu fase disharmoni dan fase disintegrasi. Disharmoni menunjuk pada adanya perbedaan pandangan tentang tujuan, nilai, norma, dan tindakan antar kelompok. Disintegrasi merupakan fase di mana sudah tidak dapat lagi disatukannya pandangan, nilai, norma, dan tindakan kelompok yang menyebabkan pertentangan antar kelompok. Etnosentrisme atau sikap etnosentris diartikan sebagai suatu kecenderungan yang melihat nilai atau norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang mutlak serta menggunakannya sebagai tolok ukur kebudayaan lain. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Prasangka mengarah pada pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap orang atau sekelompok orang. Rasisme bermakna anti terhadap ras lain atau ras tertentu di luar ras sendiri. Rasisme dapat muncul dalam bentuk mencemooh perilaku orang lain hanya karena orang itu berbeda ras dengan kita. Diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya. Scape goating artinya pengkambinghitaman. Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambinghitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi, tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Selain menghilangkan penyakit-penyakit budaya di atas, terdapat bentuk solusi lain yang dapat dilakukan. Elly M. Setiadi dkk (2006) mengemukakan ada hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu: 1. Semangat religius. 2. Semangat nasionalisme. 3. Semangat pluralisme. 4. Semangat humanisme. 5. Dialog antar umat beragama. 6. Membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antar agama, media massa, dan harmonisasi dunia.