Seorang wanita 35 tahun dibawa ke unit gawat darurat
dengan ambulans setelah tidak sadarkan diri di rumah. Pasien sebelumnya telah diperiksa oleh dokternya dan diresepkan amoxillin untuk sinusitis. Vital sign yang dilaporkan berupa tekanan darah 70/30 mmHg, denyut nadi 140 x/m, RR 40 x/m, dan saturasi oksigen 76%. Selama proses transport diberikan cairan dan oksigen. Petugas paramedis membantu pernafasan pasien dengan ventilasi bag-valve mask, tapi saturasi oksigen tetap rendah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sianosis perioral, pembengkakan lidah, stridor, wheezing, dan sesak nafas. Kulit pasien dingin dan berkeringat dengan lesi urtikaria yang luas. Apa langkah selanjutnya? Terapi apa yang harus diberikan? JAWABAN KASUS 10 Anafilaksis Kesimpulan : Pasien ini menunjukkan tanda dan gejala anafilaksis. Anafilaksis adalah reaksi alergi berat yang membahayakan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi pasien. Pasien juga bisa menunjukkan gejala flushing, biduran dan pembengkakan membran mukosa. Terapi anafilaksis yang sukses membutuhkan pengenalan dini gejala anafilaksis, dukungan jalan nafas, dan pemberian epinefrin. Langkah selanjutnya : dengan adanya gejala yang mendukung diagnosis anafilaksis, epinefrin harus segera diberikan. Dosis awal diberikan secara IM. Jika ada reaksi berat, maka direkomendasikan pemberian secara infus intravena. Terapi lebih lanjut : Pasien ini membutuhkan resusitasi cepat dan stabilisasi. Airway, Breathing dan Circulation (ABC) pasien harus dikelola dengan baik. Jalan napas pasti harus segera dibuat untuk menghadapi obstruksi jalan nafas dan sistem kardiovaskular pasien harus didukung dengan epinefrin. Para ahli menyebut ABC pada anafilaksis sebagai AEBC, dimana E adalah epinefrin. Selain manajemen jalan nafas dan pemberian epinefrin, terapi lain disesuaikan dengan manifestasi sistemik dari anafilaksis, meliputi pemberian kristaloid, nebulizer beta agonis, nebulizer epinefrin racemic , kortikosteroid, antihistamin (termasuk H2 bloker), dan pengambilan antigen yang tersisa. ANALISIS Pada pasien ini dijumpai sianosis perioral, pembengkakan lidah, stridor, wheezing, dan hipoksia yang menandakan impending respiratory failure. Intervensi yang penting selain pemberian epinefrin adalah menjaga jalan nafas. Pada pasien ini memungkinkan terjadi edema faring dan laring, sehingga intubasi sulit dilakukan. Manajemen jalan nafas pada pasien seperti ini seringkali membutuhkan cricothyroidotomy. Terapi farmakologi yang paling penting adalah pemberian epinefrin secara IV. Dosis awal epinefrin harus diberikan secara IM, jika gagal dapat diberikan secara drip. PENDEKATAN KLINIS Epidemiologi Jutaan orang dibawa ke IGD setiap tahun dengan keluhan alergi mulai dari kemerahan ringan sampai anafilaksis dimana kebanyakan sulit untuk mengidentifikasi penyebabnya. Karena spektrum dari respon alergi yang luas, anafilaksis kemungkinan banyak yang tidak dilaporkan. PATOFISIOLOGI Anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas tipe 1 yang terjadi setelah kontak dengan paparan bahan sensitif. Reaksi ini adalah aktivasi basofil dan sel mast yang dimediasi kekebalan tubuh dengan pelepasan prostaglandin, leukotrin, dan histamin. Dari sudut pandang klinis, reaksi anafilaktoid juga mencakup pelepasan senyawa ini tetapi melalui jalur yang tidak dimediasi oleh imun. Ketika pertama kali kontak dengan suatu zat, antibodi yang mengikat memicu perubahan dalam ekspresi gen, yang secara efektif mengarahkan sistem imunitas untuk pertemuan berikutnya dengan agen yang menyinggung. Dalam reaksi anafilaksis yang didefinisikan secara klasik, antigen tersebut kembali berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh, berikatan dengan IgE pada sel mast dan basofil, dan melepaskan genangan sitokin yang menentukan respons klinis. Dalam reaksi anafilaktoid, antigen menyebabkan pelepasan sitokin langsung melalui sel mast dan basofil, tanpa perlu adanya sensitisasi sebelumnya. Dalam kedua kasus tersebut, hasil akhirnya sama dan secara klinis tidak bisa dibedakan. Tahap awal reaksi anafilaksis melibatkan peningkatan sekresi oleh membran mukosa. Selain mata berair dan rinore, peningkatan sekresi bronkial dan tonus otot polos menyebabkan wheezing dan peningkatan usaha bernafas. Penurunan tonus pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan bahaya kardiovaskular dan hipotensi. Pasien dapat kehilangan 30% volume pembuluh darah akibat ekstravasasi pada 10 menit pertama reaksi alergi. Sitokin lain terutama histamin dapat menimbulkan urtikaria dan angioedema. Leukotrin C4, prostaglandin D2, histamin, dan triptase diketahui sebagai komponen kunci pada reaksi ini. Peningkatan level triptase memastikan diagnosa. PENYEBAB Beberapa penyebab umum dari anafilaksis berhubungan dengan kesehatan, yang paling terkenal adalah alergi terhadap penisilin dan obat-obatan yang mengandung sulfa. Agen kontras intravena pada pemeriksaan radiografi juga dapat menyebabkan anafilaksis. Reaksi ini tidak dimediasi oleh IgE, tetapi lebih umum pada pasien yang menerima agen hiperosmolar yang lebih murah. Sengatan lebah dan tawon adalah penyebab lain dari anafilaksis. Sumber makanan melengkapi penyebab utama reaksi alergi yang serius. Kacang, telur dan kerang adalah penyebab paling sering dari alergi berat, namun makanan lainnya juga dapat terlibat. DIAGNOSIS Diagnosis anafilaksis dibuat berdasarkan klinis pasien. Sistem yang paling umum terkena adalah kulit, bermanifestasi sebagai angioedema, urtikaria, eritema, dan pruritus kurang lebih pada 80% pasien. Sistem kardiovaskuler juga terkena akibat penurunan vasomotor tone dan kebocoran kapiler yang menyebabkan hipotensi dan takikardi. Efek pada respirasi berupa bronkospasme dan bronchorrhea pada saluran nafas bawah kombinasi dengan edema pada saluran nafas atas adalah efek yang paling ditakuti dan sulit untuk dikelola pada anafilaksis. Hampir semua kematian pada anafilaksis disebabkan keterlibatan dari jalan nafas. Gejala GIT termasuk mual, kram, dan diare. KRITERIA DIAGNOSIS Diagnosis anafilaksis ditegakkan jika terdapat satu atau lebih dari ketiga kriteria diagnosis dibawah ini : 1. Onset akut (menit-jam) dengan reaksi dari kulit dan/atau jaringan mukosa ditambah gejala respirasi atau hipotensi. Gejala kulit meliputi : gatal, merah, biduran, urtikaria general, dan edema mukosa. Gejala respirasi meliputi laringeal stridor, bronkospasme, bronchorrhea, dan hipoksia. Hipotensi terjadi karena ekstravasasi cairan dari vaskular. 2. Dua atau lebih dari berikut ini terjadi dengan cepat (menit-jam) setelah kontak dengan bahan yang mungkin merupakan alergen : keterlibatan kulit, jaringan mukosa, gejala respirasi, hipotensi atau gejala GIT. 3. Hipotensi terjadi secara cepat (menit-jam) setelah kontak dengan alergen yang diketahui pasien tersebut. Hipotensi mungkin bermanifestasi sebagai pingsan atau perubahan status mental. TERAPI Terapi inisial anafilaksis adalah pemberian epinefrin. Epinefrin akan berperan sebagai pressor untuk dukungan hemodinamik, bronkodilator untuk mengurangi wheezing, juga melawan mediator yang dilepaskan dan mencegah pelepasannya lebih lanjut. Pemberian epinefrin secara subkutan sudah tidak direkomendasikan karena terbukti kurang efektif dibandingkan IM. Pemberian awal secara IM pada paha anterior dengan dosis 1: 1000 pada 0,3 sampai 0,5 ml setiap 5 menit. Jika tidak ada respon atau pasien sudah menunjukkan manifestasi kardiovaskular, pemberian IV harus segera dimulai. Secara umum, semua ampul mengandung 1 mg epinefrin (1 ml dari 1:1000 = 1 mg obat; 10 ml dari 1:100.000 = 1 mg obat). Salah satu metode pemberian adalah dengan menempatkan 1 mg (1 ampul) epinefrin dalam 1 L cairan intravena (setara dengan 1 g/ml) dan masukkan ke 1 sampai 4 cc/min (1-4 1 g/min). Kehati-hatian harus dilakukan pada lansia dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Pemberian epinefrin IV dapat menyebabkan hipertensi, takikardi, disritmia, dan iskemia miokard. Beta agonis inhalasi diindikasikan untuk wheezing, dan nebulasi epinefrin racemic dihipotesiskan dapat mengurangi edema laring. Glukagon intravena diusulkan untuk individu dengan beta blocker jika tidak responsif terhadap epinefrin. Glukagon dapat mengatasi hipotensi dengan mengaktifkan adenil siklase independent dari reseptor beta. Adjuvant lainnya termasuk steroid sistemik, khususnya methylprednisolone dan prednisone. Steroid harus dilanjutkan berhari-hari setelah reaksi dan secara bertahap diturunkan. H1 dan H2 blocker juga harus diberikan. Dipenhidramin dan ranitidin adalah agen yang paling sering digunakan. Harus diingat bahwa obat ini, meski aman dan mudah diberikan bukanlah agen lini pertama, dan tidak akan melawan manifestasi pernafasan dan kardiovaskular.