DEVELOPMENT INDUSTRI FARMASI 3 Hal yang menciptakan krisis Mahalnya biaya penelitian dan pengembangan ( R&D ) Menurunnya tingkat laba perusahaan ( relatif ) Citra industri farmasi di kalangan masyarakat yang kurang baik . Konsep baru dunia global One world , one medicine and one health > Memungkinkan adanya kemitraan antara tenaga medis untuk mengantisipasi kemungkinan kebangkitan beberapa penyakit yang berpotensi menjadi epidemis. Contoh : SARS , Ebola, West Nile , HIV-AIDS dsb. Penjualan Global Industri Farmasi yang tergolong ke dalam Big Pharma ( Lehman, 2008 dlm milyar dolar US ).
1. Pfizer & Pharmacia 37,5
2. Glaxo Smith Kline 24,8 3. Merck 20,2 4. Astra Zeneca 16,5 5. Bristol Myers Squibb 15,3 6. Johnson& Johnson 14,8 7. Novartis 11,9 8. Wyeth 10,9 9. Eli Lily 10,8 10. Roche 9,8 Dana yang dikeluarkan untuk biaya R&D :
1. Pfizer & Pharmacia 4,2
2. Glaxo Smith Kline 3,8 3. Merck 2,3 4. Astra Zeneca 2,6 5. Bristol Myers Squibb 1,9 6. Johnson & Johnson 1,8 7. Novartis 1,9 8. Wyeth 2,1 9. Eli Lily 2,0 10. Roche 1,7 Blockbuster Drugs adalah produk yang dihasilkan oleh perusahaan Big Pharma yang bisa menghasilkan penjualan minimal 1 milyar dolar US dalam waktu satu tahun. Contoh : * Viagra * Lipitor * Renaquil Menurut Tufts Center for Study of Drug Development :
* Pada thn 2003 biaya rata-rata untuk memasukkan
obat baru dalam pasar farmasi sekitar 897 juta US$
* New Molecul Entities (NMEs) yang dihasilkan pada
beberapa tahun terakhir, tidak terlalu banyak. Pada periode 1993-1997, Eropa memasukkan 81 NMEs, sedangkan AS hanya 48 NMEs. Pada periode 2002 2008, Eropa memasukkan 48 NMEs sedangkan AS 85 NMEs. Mengapa ada frustasi dengan perusahaan-perusahaan farmasi di dunia ?
1. Adanya berita finansial dari hasil investigasi ( return of
invesment ), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan industri lainnya. 2. Perusahaan farmasi menetapkan klaim yang terlalu berlebihan dalam nilai terapi sebuah obat yang dibuatnya. Terkadang tidak sesuai dengan pengalaman yang diterima para pasien. 3. Perusahaan farmasi mengeluarkan banyak uang untuk melakukan kerjasama dengan para dokter 4. Perusahaan farmasi terlalu cepat memasukkan obat-obatannya ke pasar, padahal setelah diteliti banyak produknya yang harus ditarik kembali ( withdraw). 5. Terkadang perusahaan farmasi suka menyembunyikan informasi tentang kelemahan ( drawbacks ), agar tidak diketahuai oleh para dokter dan pasien. Menurut Tufts Center for Study of Drug Development :
Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh pabrikan farmasi
besar untuk sebuah obat baru yang dipasarkan , sekitar US$ 897 juta. Semakin banyak perusahaan farmasi yang memusatkan penelitiannya di AS. Pada periode 1993-1998, New Molecul Entities (NMEs) yang dikeluarkan Eropa 81 buah, sedangkan As hanya 48 buah saja. Pada periode 2002 2009 , NMEs dari Eropa 44, sedangkan dari AS 85 buah. 1992, total laba pabrikan farmasi dunia sekitar US$ 60 milyar dan setengahnya diterima di AS. 2004 , total laba pabrikan farmasi dunia sekitar US$ 121 milyar dan hampir 60% diterima di AS. Dewasa ini banyak terjadi migrasi para ahli farmasi Eropa ke AS , karena iklim penelitian di AS lebih kondusif. Menurut Boston Consulting Group, 40% dari 130 lokasi penelitian industri farmasi, ada di AS. Sekitar 40% pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dari Big Pharma untuk line extensions yaitu perbaikan obat-obat yang sudah ada, bukan untuk menciptakan obat yang sama sekali baru. BAGAIMANAKAH DENGAN PENELITIAN & PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA ? Di Indonesia, pabrikan farmasi hanya mengalokasikan dana sekitar 1% saja dasri penjualan total ( omset ) untuk kegiatan R&D nya. Hal ini sudah dilakukan oleh PT. Kalbe Farma. R&D di Indonesia termasuk barang mewah, karena itu lebih senang dengan memproduksi obat-obatan licensed formula ( me too product ) saja. Di Indonesia R&D masih tergolong mahal dan mewah, sehingga tidak banyak atau bahkan tidak ada yang fokus pada bidang R&D ini. Pabrikan di Indonesia lebih senang dengan memproduksi obat-obat licensed formula ( me too product ) saja Sudah saatnya pemerintah mendorong dengan menyediakan insentif khusus seperti yang dilakukan di Singapura dan Malaysia. Pengembangan iptek kedokteran di Indonesia berjalan sangat lamban , karena kebijakan pemerintah yang kurang memihak, padahal inovasi yang dihasilkan adalah sebagai aset yang sangat berharga. Beberapa pabrikan yang sudah mulai meneliti herbal medicine ( PT. Kimia Farma sejak 2006 mengembangkan virgin coconut oil untuk hiperkolesterol ) dan bbrp perusahaan jamu. Studi farmakoekonomi pada tahapan pengembangan sebuah obat baru, yaitu dari tahap ( phase ) I IV.
Phase I Trial
* Tahap ini untuk melihat profil toksisitas obat pada
seorang sukarelawan. * Dipakai obat tunggal dan terus diadakan evaluasi dosis. * Selama masa ini, studi cost of illness sudah mulaiu dihitung, untuk membantu membuat keputusan. Phase II Trial
Tahap ini ditujukan untuk jumlah pasien terbatas
Pasien harus sehat artinya tidak punya riwayat kondisi buruk sebelumnya ataupun punya komplikasi penyakit lainnya. Akan diuji masalah efektivitas obat dan potensi terapi. Bisa dipakai juga plasebo, untuk menentukan rentang dosis optimal. Studi cost of illness terus dilakukan sebagai tahap dari penelitian quality of life dari pasien Phase III Trial
Diberikan kepada pasien dalam jumlah agak banyak.
Dosis sudah ditetapkan dan bentuk sediaanpun sudah diputuskan oleh pabrikan. Tetap dilakukan pemanataun seksama untuk melihat kemungkinan adanya efek samping yang signifikan. Diskusi dan implementasi dari farmakoekonomi, terus dilakukan ( sebagai tahapan akhir ). Phase IV Trial Disebut juga dengan post marketing stage. Studi retrospektif dan prospektif farmakoekonomi dapat di desain dengan lebih komprehensif dalam rangka membantu peluncuran obat baru tersebut. Studi farmakoekonomi dalam tahapan ini sangat penting, berkaitan dengan biaya dan konsekuensi dari terapi dengan obat tersebut. Hubungan antara farmakoekonomi dengan percobaan klinis : a. Evaluasi farmakoekonomi adalah tujuan sekunder untuk membantu tujuan primernya yaitu masalah efektivitas dan keamanan b. Evaluasi ekonomi sebagai barometer terutama dari aspek finansial sehubungan dengan kehadiran sebuah obat baru. c. Evaluasi farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai pembanding dengan obat-obat sejenis yang sudah terlebih dahulu ada di pasaran. Pharmacoeconomic Guidelines Kesepakatan para peneliti :
Methodological guideline , gambaran berupa
kecocokan desain, analisis dan membuat laporan tentang sisi ekonomi dan kemanusiaan.
Reimbursement and pricing guideline , berupa isi atau
outline dari materi dan evaluasi dari data farmakoekonomi untuk menunjukkan dan membenarkan harga dari sebuah produk. Approval guidelines , membuat standarisasi untuk regulator ( pemerintah ) sehubungan dengan produk baru tersebut.
Promotional guidelines, akan mengatur
kriteria dalam menggunakan data farmakoekonomi dalam rangka membantu masalah promosi untuk para penulis resep ) tenaga medis ) dan konsumen.