Anda di halaman 1dari 86

1.

1 Pengertian Maritim Dan Kemaritiman


Maritim (maritime bahasa Inggris) = navigasi atau
bahari
Pemahaman maritim adalah segala aktivitas pelayaran
dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan
kelautan atau yang disebut dengan pelayaran niaga,
sehingga maritim adalah berkenaan dengan laut dan
berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan laut.
Pengertian kemaritiman adalah menunjukkan kegiatan di
laut yang berhubungan dengan pelayaran dan
perdagangan.
Kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi atau
penangkapan ikan bukan merupakan kemaritiman
Berdasarkan terminologi, kemaritiman adalah mencakup
ruang/wilayah permukaan laut, pelagik dan mesopelagik yang
merupakan daerah subur dimana didaerah ini terdapat kegiatan
seperti penangkapan, pariwisata, lalulintas, pelayaran dan jasa-jasa
kelautan.
Laut merupakan kumpulan air asin yang luas sekali dipermukaan
bumi yang memisahkan pulau dengan pulau, benua dengan benua.
Misalnya Laut Jawa, Laut Merah.
Lautan (= samudra) ocean (bahasa Inggris) merupakan laut yang
luas sekali. Seperti lautan atlantik (Atlantic Ocean Samudra
Atlantik), Lautan Pasifik (Pasific Ocean Samudra Pasifik).
Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, tidak memberikan definisi
tentang laut atau SEA secara jelas. Tetapi definisi LAUT mencakup
pengertian sangat luas, seperti SEA BED and SUBSOIL, collisions at sea
ocean (misalnya ocean floor, ocean space, oceanography, oceanologi),
MARINE (misalnya: MARINE activities, MARINE scientific research,
MARINE environment, MARINE life, MARINE mammals, MARINE
transmissions), MARITIME ( misalnya: MARITIME causalty,
MARITIME traffic).
Istilah KELAUTAN dipakai karena istilah ini lebih luas dan bersifat
publik dari pada menggunakan istilah KEMARITIMAN, sehingga
pengertian laut dan KELAUTAN dalam kamus tersebut tidak menunjuk
kepada Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS).
Pengertian KELAUTAN secara terminologi mencakup aspek yang sangat
luas yaitu termasuk ruang/wilayah udara di atas permukaan air laut,
pelagik (dari permukaan sampai 200 m kolom air), mesopelagik (pelagik
sampai kedalaman 500 m), abisal (kedalaman 500 700 m) hingga
mencapai dasar laut (under the sea) yang dikenal sebagai landas
kontinen.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari 17.508 pulau
beserta segenap air laut disekitarnya sampai sejauh 200 mil dari garis
pangkalnya. Zona pesisir, landas benua, lereng benua, cekungan
samudra di bawahnya dan udara di atasnya (Dewan Hankamnas &
BPPT, 1996; 12).
NKRI terbentang dari 92 BT sampai dengan 141 BT dan dari
720 LU sampai dengan 14 LS merupakan Negara Kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari:
(1). 5.707 pulau yang telah diberi nama dan 11.801
pulau yang belum bernama,
(2). Luas perairan 3,1 juta km, luas perairan nusantara
2,8 juta km, luas laut territorial 0,3 juta km dan
luas perairan ZEE 2,7 juta km,
(3). Panjang seluruh garis pantai 80.791 km (43.670 mil),
panjang garis dasar 14.698 km (7.945 mil).
NKRI sebagai Negara Kepulauan mempunyai kompleksitas dalam
karakteristik cuaca dan iklim (meteorologi dan klimatologi), keadaan
perairan laut (oseanografi), serta tatanan kerak bumi (geologi) yang
menyebabkan perbedaan potensi sumberdaya alam hayati dan
nonhayatinya dengan massa bumi (benua) lainnya.
Bagian dalam kawasan barat tersusun oleh pulau-pulau utama
Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang merupakan sistem paparan
Sunda dengan kedalaman dasar laut sampai sekitar 200 m. Kearah
Timur terletak Selat Makassar, Laut Bali, Laut Flores yang
merupakan zona transisi antara sistem Paparan Sunda dengan sistem
Laut Banda.
Di ujung bagian Timur Negara Kepulauan Indonesia ditempati oleh
sistem Laut Banda yang merupakan laut dalam dengan kedalaman
1.000 6.000 m yang dikelilingi oleh Pulau Sulawesi di bagian barat,
gugusan pulau-pulau Sula dan Seram di utara, rangkaian gunung api
di selatan dan timur
Di bagian selatan ditandai oleh gugusan kepulauan gunung api aktif
NTB-NTT yang relatif kecil.
Bagian luar wilayah maritim Indonesia sebagian besar membentuk
tepi benua konvergen aktif, terdiri dari Samudra Hindia (selatan
barat) dan Samudra Pasifik (timur laut), Laut Sulawesi (utara) serta
Laut Cina Selatan (barat laut).
Kawasan Barat Wilayah Maritim Indonesia (WMI) memanjang dari
pantai barat Sumatera sampai pantai timur Kalimantan Timur, berciri
sistem Samudra Hindia (bagian luar WMI), memanjang dari bagian
barat Sumatera sampai ke selatan Sumba, serta sistem Laut Jawa yang
merupakan sistem perairan Sunda pada sebagian besar perairan
Indonesia pada bagian dalam WMI.
Kawasan Timur WMI memanjang dari pantai bagian timur Kawasan
Timur WMI sampai pada batas paling timur dari wilayah yuridiksi
Indonesia. Pada bagian luarnya ditempati oleh tepi benua Australia
(laut Timor dan Laut Arafura) di bagian selatan. Laut Karolina dan
Samudra Pasifik di bagian timur dan Laut Sulawesi di bagian utara.
Sedangkan bagian dalam ditempati oleh Laut Flores di bagian barat,
Laut Banda di bagian timur dan Laut Maluku di bagian paling utara.
Secara umum WMI diapit oleh dua samudra yaitu Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik dan dua benua yaitu Benua Australia dan Benua Asia
yang dilalui ekuator geografis dan meteorologis, serta merupakan
pertemuan antara tiga lempeng kerak bumi (Eurasia, Indo-Pasifik dan
Pasifik). Perairan WMI diperkirakan mempunyai potensi sumberdaya
hayati seperti ikan dan rumput laut maupun nonhayati seperti mineral
dan gas bumi, serta sumberdaya laut lainnya.
Ditinjau dari sudut pandang geologi kelautan, pakar kebumian (Earth
Scientists) sepakat bahwa WMI adalah merupakan salah satu
laboratorium alam yang terlengkap di dunia. Para pakar kebumian
Internasional banyak menggunakan proses geologi yang terjadi di
WMI saat ini sebagai suatu acuan untuk menjelaskan proses
pembentukan jalur pegunungan yang berlangsung ratusan juta tahun
yang lalu. Acuan ini merupakan kunci untuk memahami proses-proses
yang berlangsung pada masa silam
WMI sebagai aktualisasi Wawasan Nusantara dalam dimensi
kehidupan nasional mencakup kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Aktualisasinya dalam kehidupan
bermasyarakat adalah kehidupan bersama yang saling
berinteraksi antara orang-orang dalam suatu kelompok, dimana
setiap orang atau pihak yang berkepentingan terhadap pihak
lainnya saling mempunyai kewajiban.
Kehidupan berbangsa adalah kehidupan yang berkaitan dengan
penyaluran aspirasi dan upaya mewujudkan cita-cita bangsa
yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa. Pemerintahan
Negara sesuai tugasnya mempunyai kewenangan untuk
mengatur seluruh warga negara dan penyelenggara negara. Oleh
karena itu, kehidupan bernegara merupakan kehidupan yang
didasari oleh keharusan atas kesadaran untuk mentaati secara
konsekuen aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara.
WMI sebagai aktualisasi Wawasan Nusantara mengandung tiga unsur,
yaitu: (1). wadah, (2). isi dan (3). tata laku.

(1). Wadah
Wadah konsepsi WMI berbentuk Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang meliputi daratan, lautan dan udara yang didalamnya
mencakup wilayah laut nusantara, wilayah laut territorial, serta
wilayah laut landas benua dan ZEE sebagai hak kedaulatan dan
yuridiksi nasional.
Bentuk dan wujud daerah WMI terletak di posisi silang antara
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta Benua Asia dan Benua
Australia yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh.
Daerah WMI didayagunakan untuk kepentingan nasional dalam
mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan pemerintah
dibatasi oleh undang-undang serta sistem pemerintahan konstitusional.
(2). Isi
Unsur Isi WMI mencakup cita-cita bangsa Indonesia yang
bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan keamanan bagi
seluruh bangsa Indonesia, serta turut mewujudkan kebahagian
dan perdamaian bagi seluruh umat manusia. Konsepsi WMI
juga bertujuan mewujudkan kesatuan di dalam semua aspek
kehidupan nasional, baik alamiah maupun sosial.
Bangsa Indonesia dalam pendayagunaan WMI bercita-cita
mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur, modern, mandiri dan unggul dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi kebumian, teknologi kelautan
dan teknologi kedirgantaraan.
Hal penting dari Isi WMI adalah pendayagunaan WMI
didasarkan pada persatuan dan kesatuan, kesejahteraan dan
keamanan, serta konsultasi dan kerjasama.
Tata laku merupakan proses atau hasil interaksi antara wadah
dan isi yang meliputi tata laku lahiriah dan tata laku batiniah.
Tata laku batiniah mencerminkan kepribadian bangsa dalam
pendayagunaan WMI yang dijiwai oleh sikap mental bangsa
yang luhur dan terpuji.
Tata laku lahiriah tercermin dalam tata perencanaan, tata
pelaksanaan dan tata pengawasan penyelenggaraan dan
pengaturan WMI yang berdasarkan kesejahteraan dan keamanan,
konsultasi dan kerjasama.
Tata laku selain mempengaruhi pembentukan aspirasi
masyarakat dalam pendayagunaan WMI, juga merupakan
perwujudan segenap potensi, sumberdaya dan sarana, baik
kemampuan fisik maupun non fisik yang dimiliki bangsa. Untuk
itu, geopolitik WMI harus senantiasa memperhatikan ciri-ciri
dan kondisi serta konstalasi geografi dan geologisnya, serta
perkembangan lingkungan strategis, baik lingkup nasional
maupun internasional.
2.1 Pengantar
Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang
mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat maritim.
Dalam catatan sejarah, terekam bukti-bukti bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia menguasai lautan nusantara, bahkan
mampu mengarungi samudra luas sampai ke pesisir Madagaskar
dan Afrika Selatan
Fakta prasejarah Cadas Gua yang terdapat di pulau-pulau Muna,
Seram dan Arguni yang diperkirakan berasal dari 1000 tahun SM
dipenuhi dengan lukisan perahu-perahu layar. Juga ditemukan
beberapa artefak suku Aborigin di Australia yang diperkirakan
berasal dari 2500 tahun SM serupa yang ditemukan di Pulau
Jawa. Kenyataan ini memberikan indikasi bahwa jauh sebelum
gelombang migrasi dari Indochina yang datang ke Indonesia,
nenek moyang bangsa Nusantara sudah berhubungan dengan
suku Aborigin di Australia lewat laut.
Bangsa Indonesia dengan karakteristik sosial budaya
kemaritiman, bukanlah merupakan fenomena baru. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa fenomena kehidupan
kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta kelembagaan
formal dan informal yang menyertainya merupakan
kontinuitas dari proses perkembangan kemaritiman
Indonesia masa lalu.
Proses perkembangan tersebut memberi gambaran tentang
bagian-bagian masa yang lebih maju dari pada masa
sebelum atau sesudahnya.
Munculnya kerajaan-kerajaan Maritim Nusantara yang
berdaulat dengan sistem pertahanan keamanan yang
ampuh, tumbuhnya sektor-sektor ekonomi kemaritiman
terutama pelayaran dan perikanan, aplikasi pengetahuan
dan teknologi kelautan yang ada serta diberlakukannya
kebijakan dan hukum perundang-undangan laut merupakan
hasil kreatifitas inovatif lokal. Kesemuanya adalah prestasi
masyarakat maritim masa lalu yang harus diapresiasi
setinggi-tingginya oleh generasi sekarang, dimana prestasi
itu potensial dijadikan rujukan pembelajaran bagi rekayasa
perkembangan masyarakat dan kebudayaan maritim
Indonesia ke depan. Belajarlah sejarah, maka engkau jadi
bijak.
Keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut
haruslah menjadi penyemangat generasi sekarang dan yang
akan datang. Bentuk implementasinya pada masa kini,
bukan hanya sekedar berlayar, tetapi bagaimana bangsa
Indonesia yang wilayahnya dua pertiga adalah lautan dapat
dimanfaatkan demi kesejahteraan dan pembangunan bangsa.
Sejarah perjalanan bangsa mencatat bahwa ada dua kutub
kekuasaan kerajaan maritim yang menjadi soko guru Negara
maritim nusantara. Keduanya adalah Sriwijaya yang didirikan
pada abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi dan Majapahit pada
abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Bersamaan dengan itu,
di Wilayah Timur Nusantara muncul pula Kerajaan Gowa
sebagai kerajaan maritim besar yang dibuktikan dengan adanya
ekspansi kekuasaan dari berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan,
bahkan di Nusantara bagian Timur seperti Kerajaan Wolio di
Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi
bagian Timur dan Utara, dan lain-lainnya ditambah dengan
keperkasaan dan kepiawaian pelaut-pelaut Bugis Makassar
dalam mengarungi samudera yang terkenal dan dikagumi
seantero nusantara.
Beberapa kerajaan maritim Nusantara yang pernah tumbuh
dan berjaya: (1). Kerajaan Tarumanegara di Tanjung Priok
Jakarta abad ke-3 hingga tahun 690 M, (2). Dinasti
Sanjayawangsa dan Chailendrawangsa yang menguasai
Jawa Tengah abad ke-7 hingga abad ke-10, (3). Kerajaan
Darmawangsa di Jawa Timur tahun 991 1016 M, (4).
Kerajaan Melayu Srivujaya (Sriwijaya) masa pemerintahan
Balaputradewa dan Dharmaphala di Sumatera Selatan abad
ke-8 hingga abad ke-9 M, (5). Kerajaan Samudera Pasai
tahun 1225-1523 M, (6). Kerajaan Banten tahun 1481-1531
M, (7). Kerajaan-kerajaan di bagian Timur Nusantara pada
abad ke-17.
Puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya adalah sekitar abad
ke-9 antara tahun 833-836 M pada masa pemerintahan
Balaputradewa yang memiliki orientasi pembangunan
ekonomi maritim dan menguasai perdagangan di Selat
Malaka bahkan Asia Tenggara dan juga telah mampu
membuka jalur perdagangan dengan Cina dan India.
Setelah runtuhnya kerajaan Fu Nan di Champa (Kamboja),
wilayah kekuasaan Sriwijaya meliputi sebagian besar
wilayah barat Nusantara dengan ibu kota pemerintahannya
di sekitar Palembang Sumatera Selatan.
Kerajaan Sriwijaya terdiri atas tiga zona utama,
(1). Daerah ibukota muara yang berpusat
di Palembang,
(2). Lembah sungai Musi yang berfungsi sebagai
daerah pendukung,
(3). Daerah-daerah muara saingan yang mampu
menjadi pusat kekuasaan saingan.

Ibukota diperintah langsung oleh seorang penguasa (raja),


sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh tokoh lokal.
Wilayah hulu sungai Musi sangat kaya akan berbagai komoditas
dagang Sriwijaya. Tiongkok merupakan negara tujuan utama
ekspor dan telah menjalin hubungan diplomatik sejak awal
berdirinya kerajaan Sriwijaya.
Sebagai pusat kerajaan maritim, Sriwijaya mempunyai
beberapa produk unggulan, diantaranya: pala, cengkeh,
kapulaga, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, gading,
timah, emas, perak, penyu serta beraneka rempah-rempah
yang dibeli oleh pedagang dari Cina, India, Arab dan
Madagaskar. Seringkali barang-barang tersebut dibarter
dengan kain, procelen dan barang-barang gerabah. Sebagai
bangsa maritim Sriwijaya telah mampu menguasai pangsa
pasar Asia bahkan pembangunan kanal ekonomi tiga arah
(Nusantara-Cina-India) telah menjadi saksi sejarah bahwa
mayoritas dari produk domestik dunia dapat dikuasai oleh
kerjasama tiga negara tersebut.
Kebesaran kerajaan Sriwijaya itu dibuktikan dengan berbagai
penemuan prasasti, diantaranya adalah Kedukan Bukit (683
M) di Palembang, prasasti Talang Tuwo (684 M) di sebelah
barat Palembang, prasasti Kota Kapur (686 M) di bagian
barat Pulau Bangka dan prasasti-prasasti lain yang ditemukan
di Palembang dan Jambi. Penemuan berbagai bukti sejarah
keberadaan Sriwijaya ini sangat penting untuk mengetahui
perjalanan panjang dan mata rantai sejarah nusantara
khususnya mengenai kemaritiman.
Di Pulau Jawa terdapat Kerajaan Majapahit yang mencapai
puncak kejayaannyapun berdasarkan visi maritimnya.
Wilayah kekuasaannya merupakan sebaran kerajaan
bawahan yang memiliki pelabuhan dan komoditas dagang
vital terutama beras. Kapal-kapal dan pelaut-pelaut Jawa
tercatat dalam kronik-kronik di mancanegara (Sukodaya,
Thailand dan Pegu-Myanmar) sebagai manifestasi kejayaan
Negara maritim Majapahit yang juga menjadi pusat budaya
dan peradaban di nusantara. Selain itu, kekuatan maritimnya
merupakan modal dasar untuk melakukan kolonisasi,
ekspansi dan penetrasi budaya dizaman tersebut.
Kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia
saat ini, termasuk daerah-daerah Sumatera di bagian barat dan di
bagian timur, termasuk Maluku serta sebagian Papua dan
beberapa Negara Asia Tenggara seperti Champa, Malaysia,
Singapura, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam. Majapahit
juga menjalin hubungan bilateral dengan pemerintah Cina serta
memiliki beberapa duta besar serta diplomat di Cina.
Puncak kebesaran Majapahit dicapai pada saat pemerintahan
Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada pada
pertengahan abad ke-14.
Mahapatih Gajah Mada adalah tokoh pelopor persatuan
nusantara dengan Sumpah Bhakti Persadanya yang dikenal
dengan nama Sumpah Palapa dihadapan majelis tinggi Kerajaan
Majapahit ketika beliau diangkat menjadi Patih Mangubumi
Majapahit pada tahun 1336 M.
Teks Sumpah Palapa ditemukan dalam Kitab Kuno Pararaton
yang berbunyi: Sira Gaja Mada Patih Amangkubhumi tan ayun
amuktia palapa, sira Gajah Mada; Lamun huwus kalah
nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa
(Beliau Gajah Mada Patih Amangkubhumi tidak ingin
melepaskan puasa, Beliau Gajah Mada; Jika telah mengalahkan
nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, Jika
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura (Kalimantan Barat),
Haru (Karo, Sumatera Utara), Pahang (Semenanjung Melayu),
Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang,
Tumasik (Singapura), demikianlah saya (baru akan) melepaskan
puasa).
Dalam berbagai penelitian sejarah Majapahit, memang
lebih banyak ditemukan tulisan tentang kekuatan politik
Majapahit daripada kekuatan ekonominya. Namun
demikian, Majapahit sebagai Negara maritim memiliki
wibawa dan kekuasaan yang luar biasa di Asia Tenggara
karena kemajuan peralatan perang armada lautnya. Apa
yang dilakukan oleh Patih Gajah Mada merupakan sikap
yang memiliki implikasi yang menyangkut strategi dan
kebijakan kerajaan dalam pengelolaan serta pemanfaatan
laut utamanya dalam masalah transportasi serta pertahanan
wilayah Majapahit sebagai pusat kerajaan yang harus
mampu mengkoordinasi negeri kekuasaannya serta
melindungi diri dari serangan musuh.
Kerajaan maritim nusantara bagian timur adalah Kerajaan
Gowa (1548-1669) dan kedua Kesultanan Ternate dan
Buton yang kurang lebih sezaman dengan Kerajaan Gowa
(Schoorl, 1985). Kerajaan Gowa mulai mengalami
pertumbuhan sejak tahun 1548 dan mencapai puncaknya
tahun 1669.
Kerajaan Maritim Gowa berpusat di kota pelabuhan Somba
Opu menjalin hubungan kerjasama dengan kota-kota
dagang lainnya di Asia Tenggara, seperti Siam, Pegu,
Malaka dan Banten. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya sebagai salah satu kerajaan maritim penting di
Asia Tenggara dan terkuat di Nusantara bagian timur pada
abad ke-16
Langkah-langkah penting Raja Gowa untuk membangun
kerajaan maritim ini adalah :
(1). Mengatur dan menguasai produksi pertanian dan hasil-
hasil hutan di pedalaman untuk komoditi perdagangan
maritim,
(2 ). Menjadikan Somba Opu sebagai tempat pelabuhan
transit utama bagi perdagangan rempah-rempah dari
Maluku,
(3). Menjalin hubungan kerjasama dan diplomatik dengan
kerajaan-kerajaan luar dan menjadikan Somba Opu
sebagai kota internasional,
(4). Membangun angkatan perang dan benteng-benteng
pertahanan pantai, sampai abad ke-17 ada 12 benteng
(5). Meningkatkan penghasilan kerajaan melalui perdagangan,
kontak-kontak dagang dilakukan dengan banyak negara/
kerajaan, jaringan-jaringan perdagangan dikontrol dengan
sangat ketat, undang-undang, sistem cukai, izin tinggal
orang asing.
(6). Membangun sistem birokrasi yang menunjang kegiatan
sosial ekonomi dan politiknya.
Kerajaan Gowa mulai bangkit dibawah Raja Gowa ke IX Karaeng
Tumaparisi Kallonna. Periode (1512-1548) sangat penting artinya
terutama bagi sejarah kemaritiman Indonesia Timur. Karaeng
Tumaparisi Kallonna yang menjadikan kerjaan Gowa beralih secara
formal dari tradisi birokrasi agraria ke tradisi birokrasi maritim.
Karena itu Raja Gowa ini memindahkan pusat kekuasaan dari
pedalaman ke kawasan pesisir yaitu dari Tamalate ke Somba Opu di
Muara Sungai Jeneberang.
Perpindahan pusat kekuasaan dan perubahan tradisi kerajaan
Gowa dari kerajaan agraris ke kerajaan Maritim, ditandai
dengan pengangkatan Daeng Pamatte sebagai Sabannare
(Syahbandar) kerajaan Gowa yang pertama.
Munculnya pelabuhan Makassar tidak terpisahkan dari usaha
kerajaan Gowa membangun diri sebagai kerajaan maritim
utama di Sulaawesi Selatan. Usaha-usaha itu dilakukan antara
lain adalah menguasai daerah-daerah pedalaman Bugis
penghasil beras dan hasil hutan, sehingga terjadi perang atas
kerajaan-kerajaan Bugis di pedalaman sejak abad 15.
Untuk mewujudkan Somba Opu sebagai pusat perdagangan,
Kerajaan Gowa berusaha menjalin kerjasama dan hubungan
diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar di Nusantara dengan
membangun angkatan perang dan sistem birokrasi pelabuhan
yang handal.
Sekitar tahun 1600, jauh sebelum datangnya orang-orang
Belanda, Raja Gowa yang ke-14 I MANGURANGI DG
MANRABIA SULTAN ALAUDDIN mendirikan keraton
Somba Opu, dan disekelilingnya itu berdiam 2000 kepala
keluarga Portugis.
Orang-orang Makassar pada masa itu amat berani berlayar
mengarungi lautan luas, sehingga orang Portugis menggelar
mereka Celebes De Makassares (orang-orang Makassar yang
ulung dan masyhur). Hal ini diperkuat dengan adanya bukti
dalam buku Lontara Lagaligo pada abad X Sawerigading (putra
Raja Luwu II) sudah melayari negeri-negeri seperti Maluku,
Ternate, Cina, Jawa, Malaka, Asia Tenggara, Kamboja, dan
Madagaskar dengan tujuan mengadakan pelayaran muhibah dan
pengenalan dunia.
Kehidupan kota Makassar sebagai kota pelabuhan yang dikenal
oleh dunia Internasional sangat erat hubungannya dengan
tumbuhnya satu kerajaan maritim yang dikenal dengan kerajaan
Gowa terutama dalam abad XVI.
Sebuah sumber Portugis yang dapat dipergunakan sekedar
untuk mengungkapkan bahagian-bahagian gelap dari sejarah
ini. Diterbitkan dalam tahun 1944 oleh Armando Costesao,
yaitu terjemahan dalam bahasa inggris, catatan perjalanan Tom
Pires yang berjudul SUMAORIENTALE Dalam tahun 1513.
Sumber itu menyajikan tentang orang Makassar. Dikatakan
bahwa orang Makassar itu telah melakukan perdagangan
dengan orang Malaka, Jawa, Borneo, Siam dan semua negeri-
negeri antara Pahan dan Siam. Orang Makassar itu lebih
menyerupai orang Siam. Mereka adalah bajak-bajak laut yang
ulung dengan perahunya yang banyak.
Dengan perahu-perahu mereka mengarungi lautan, melakukan
pembajakan sampai teluk Pegu (Pilipina), ke Maluku, ke Banda,
dan semua pulau disekitar pulau Jawa. Disamping itu dikatakan
bahwa banyak pula diantara mereka yang tidak menjadi bajak-
bajak laut itu, terdiri atas pedagang-pedagang cekatan. Mereka
melakukan perdagangan dengan menggunakan perahu layar
yang besar dan bagus bentuknya. Mereka membawa beras yang
putih sekali, juga membawa sedikit emas. Barang-barang
dagangan mereka ditukarkan dengan brentangi-brentangi, bahan-
bahan pakaian, cambay, dan kemenyan. Kaum mereka
mempunyai bentuk tubuh yang bagus-bagus, semuanya memakai
keris atau tombak-tombak yang tajam, semuanya menjelajahi
dunia dan semua orang takut pada mereka. Penyamun-penyamun
lainnya tak dapat berbuat apa-apa untuk melawan sampan-
sampan jongka mereka yang sanggup membela diri.
Menurut Prof. B.J.O. Schrieke, seorang sarjana sosiologi
dan sejarah bahwa sampai pada permulaan abad ke-16
peranan Gowa di Nusantara ini belumlah dapat dikatakan
berarti. Perniagaan rempah-rempah di Nusantara ini masih
dikuasai bangsa Melayu dari Malaka dan Johor serta orang-
orang dari Jawa. Keadaan itu berlangsung sampai
ditaklukannya Malaka oleh Aceh yang mulai
mengembangkan kekuatannya di bagian barat Nusantara.
Kegiatan perniagaan berpindah ke pulau Jawa, dimana
pengaruh Portugis masih sangat kecil. Akan tetapi dengan
timbulnya persaingan-persaingan antara negeri-negeri
pesisir dengan negeri-negeri pedalaman Jawa maka
akhirnya pusat perniagaan rempah-rempah berpindah ke
Makassar, dan semakin meningkat sesudah tahun 1625.
3.1 Masyarakat Maritim
Masyarakat menurut Koentjaraningrat (1980) ialah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-
istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh
suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang
disebut masyarakat ialah berupa kelompok, golongan,
komunitas, kesatuan suku bangsa (ethnic group) atau
masyarakat negara bangsa (nation state). Interaksi yang kontinu
ialah hubungan pergaulan dan kerjasama antar anggota
kelompok atau golongan, hubungan antar warga dari komunitas,
hubungan antar warga dalam satu suku bangsa atau antar warga
negara bangsa. Adat-istiadat dan identitas ialah kebudayaan
masyarakat itu sendiri.
Masyarakat maritim dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup
manusia berupa kelompok-kelompok kerja (termasuk satuan-
satuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku
bangsa, kesatuan administrasi berupa kecamatan, provinsi,
bahkan bisa merupakan negara atau kerajaan, yang sebagian
besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya
secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan
sumberdaya laut (hayati dan nonhayati) dan jasa-jasa laut, yang
dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan
maritimnya.
Masyarakat maritim di Nusantara, secara ideal dapat dikatakan
semua masyarakat Indonesia termasuk masyarakat maritim,
karena penduduk negara kepulauan ini pada umumnya memiliki
wawasan dan gambaran dunia laut yang luas, pulau-pulau besar
dan kecil yang menaburi lautan tersebut, dan penduduk dengan
keragaman etnis menghuni pulau-pulau yang berjejer dari
Sabang sampai Merauke.
Kebanyakan kelompok suku bangsa di kawasan pantai dan
pedalaman mempunyai cerita rakyat dan mitologi tentang
peradaban laut. Sungai-sungai tertentu diceritakan oleh
penduduk lokal sebagai yang pernah menjadi rute-rute pelayaran
masuk keluarnya perahu dan kapal-kapal besar di zaman
mitologi tersebut.
Gambaran masyarakat pedalaman akan kegiatan ekonomi
kemaritiman tumbuh dari pengetahuan dan apresiasi mereka
terhadap jasa-jasa positif dan nyata masyarakat maritim terhadap
mereka. Dari sejak dahulu, hampir semua penduduk perkotaan
dan pedalaman mengkonsumsi ikan kering, terasi, dan garam
yang dihasilkan oleh penduduk nelayan. Ketika sudah digunakan
sarana pengawetan modern berupa es untuk hasil laut, tangkapan
nelayan terutama berupa ikan segar sudah menjangkau
konsumen di pedalaman.
Jasa kemaritiman yang tak kalah pentingnya bagi masyarakat
pedalaman ialah jasa pelayaran antar pulau. Sejak dahulu para
pengembara/perantau dan pedagang antar pulau selalu memanfaatkan
jasa perhubungan laut. Kenyataannya dari waktu ke waktu peranan
jasa pelayaran di Indonesia semakin penting dimungkinkan daya
tampungnya lebih besar dan tarif angkutan laut masih selalu lebih
rendah dari pada tarif pesawat.
Pemanfaatan jasa perikanan dan pelayaran pada gilirannya melibatkan
hubungan fungsional yang timbal balik antara masyarakat pedalaman
dan masyarakat maritim (nelayan dan pelayar). Masing-masing pihak
sadar akan fungsi atau peranannya, sebab bukan hanya penduduk desa
dan kota pedalaman yang memanfaatkan jasa masyarakat nelayan dan
pelayar tetapi masyarakat nelayan dan pelayar yang ada di pesisir dan
pulau-pulau memperoleh bahan pangan, sandang dan papan dari
masyarakat petani dan industri di pedalaman dan kota.
Karakteristik sosial masyarakat maritim, dalam hal ini mereka yang
menggantungkan sepenuhnya atau sebagian terbesar kehidupan ekonominya
pada pemanfaatan sumber daya laut dan jasa-jasa laut, ditandai dengan
beberapa ciri sosial yang lebih kompleks dan menyolok dari pada yang
mencirikan masyarakat perkotaan dan pedesaan pedalaman. Ciri sosial
dimaksudkan adalah ciri kehidupan kolektif internal, berhubungan dengan
dunia masyarakat luar, dengan lingkungan hidup flora dan fauna laut, dan
dengan lingkungan fisik alam sekitar.
Terdapat 6 karakteristik sosial mencolok masyarakat maritim, terutama
masyarakat nelayan dan pelayar, yaitu:
(1). Hubungan dengan dan ketergantungan secara fisik dan psiko-
sosio-budaya pada lingkungan alamnya,
(2). Pemanfaatan lingkungan dan sumber daya laut secara bersama,
(3). Hubungan dengan dan kebutuhan secara mutlak pada
kelembagaan lokal,
(4). Hubungan dengan dan ketergantungan secara mutlak pada pasar lokal,
regional, dan global,
(5). Hubungan dengan dan ketergantungan pada berbagai
pihak berkepentingan dari luar,
(6). Mobilitas geografi yang tinggi dan jaringan
kesukubangsaan yang luas.
Diasumsikan bahwa terbentuknya karakteristik sosial
masyarakat maritim tersebut terkondisikan oleh sifat lingkungan
sumber daya laut pada satu sisi, dan dipengaruhi secara dominan
oleh budaya masyarakat maritim itu sendiri.
Masyarakat maritim terutama nelayan dan pelayar, merupakan
kesatuan sosial yang sekali menggeluti pekerjaannya akan
terbentuk hubungan menyatu dengan lingkungan alam laut
(biota dan nonbiota) yang dimanfaatkannya dan tidak mudah
meninggalkannya untuk bergeser ke dunia kehidupan di darat.
Menyatunya dengan lingkungan laut sekaligus melibatkan
adaptasi fisiologi dan psiko-sosio-budaya. Adaptasi fisiologi
berupa penyesuaian pemandangan, penciuman, pendengaran,
ukuran rongga pernapasan, mungkin juga tekanan darah.
Adaptasi psiko-sosio-budaya berupa penyesuaian dengan kondisi
laut (badai, ombak, arus, keteduhan dan ketenangan, iklim dan
suhu, keluasan ruang, perilaku biota laut) yang mereproduksi
perasaan dan sikap menyatu dengan laut, kebebasan bergerak,
berpandangan luas, keterbukaan, dan lain-lain.
Ketergantungan pada lingkungan laut juga mereproduksi tatanan
komunalisme, yakni paham menyatu dengan dan menganggap
laut dan isinya sebagai subyek-subyek dengan mana mereka
berinteraksi dan mendapatkan berkah, jadi bukan semata sebagai
obyek yang dipelajari dan diketahui sepenuhnya untuk
dieksploitasi menurut kemauan manusia (Palson; 2001).
Memanfaatkan laut dan isinya secara bersama merupakan ciri sosial
budaya yang umum dan mencolok dari masyarakat maritim,
khususnya nelayan di dunia. Lingkungan laut dan sumber daya
perikanan yang dikandungnya dimanfaatkan dengan berbagai model
pengelolaan dan penguasaan seperti pemilikan komunal, pemilikan
keluarga, pemilikan perusahaan namun dalam sistem pemilikan dan
kontrol wilayah laut yang berlapis-lapis itu justru ditemukan praktik
pemanfaatan secara bebas dan terbuka.
Dalam wilayah perairan Indonesia, praktik pemanfaatan secara bebas
dan terbuka pada gilirannya telah memicu persaingan terbuka yang
menjurus pada konflik antar pemangku kepentingan dari berbagai asal
dan suku, bangsa, terutama antar nelayan sendiri. Konflik antar
pemangku kepentingan berdampak pada kemiskinan pada pihak-pihak
yang kalah dalam persaingan pada satu sisi, dan kerusakan lingkungan
serta kemerosotan sumber daya perikanan pada sisi lainnya.
Dalam kepustakaan antropologi, terdapat tiga spesifikasi kajian
berkaitan hubungan masyarakat dengan lingkungan laut.
Pertama: antropologi maritim (maritime anthropology) yang
penekanannya pada aktivitas kepelayaran dan pengetahuan serta
teknologi dan infrastruktur berkaitan pelayaran (maritime
culture)(Pins; 1965;1984). Kedua: antropologi marin (marine
anthropology) yang kajiannya menekankan pada aktivitas
pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan nonhayati), terutama
penangkapan ikan, serta berbagai pranata yang berkaitan
dengannya antara lain agama dan kepercayaan, mitologi dan
cerita rakyat, seni dan seremoni (marine culture)(Nishimura;
1976). Ketiga: antropologi penangkapan ikan/perikanan
(anthropology of fishing/fishery) yang menekankan studinya
pada aktivitas, pengetahuan, kelompok kerja, dan sarana
prasarana serta berbagai pranata berkaitan dengannya (Anderson
dan Wadel; 1978)
(1). Ide/Gagasan
Gagasan/ide dalam budaya maritim (perikanan kenelayanan,
kepelayaran) tentu sangat luas. Berkenaan dengan pemanfaatan
sumber daya dan rekayasa jasa-jasa laut, dalam budaya maritim
Bugis, Bajo, Makassar, Mandar, dan Buton mengakar beberapa
gagasan utama saling terkait yang banyak menjadi pedoman
bagi keputusan/pilihan perilaku usaha nelayan.
Menangkap ikan dan hasil laut lainnya merupakan media
interaksi manusia dan lingkungan alam, nmakhluk gaib yang
menguasai dan menjaga sumber daya laut pada lokasi-lokasi
tertentu. Perolehan nelayan merupakan pemberian oleh
makhluk gaib dan penguasa laut. Hubungan yang terjadi
diantara manusia/nelayan dan makhluk gaib dan penguasa laut
tersebut adalah hubungan antar subyektif, bukan hubungan
subyek manusia dengan obyek alam yang dikuasai dan pasif
(Gagasan nelayan kawasan timur Indonesia dan pasifik) .
Ikan biota laut bernilai ekonomi lainnya adalah obyek eksploitasi
tanpa batas menurut permintaan pasar ekspor semata, dicari secara
terus menerus dengan meninggalkan daerah-daerah perikanan lama ke
daerah-daerah subur yang baru ditemukan(Gagasan nelayan modern
dan kapitalis).
Kondisi sumber daya perikanan adalah rentan terhadap penangkapan
berlebihan dengan mekanisasi perikanan industrial yang tergantung
pada pasar bebas. Lingkungan dan sumber daya perikanan tidak
mampu memulihkan dirinya sendiri, kecuali harus dilindungi
(Gagasan kaum saintis, para pakar dan praktisi lingkungan, biota
laut).
Laut yang luas dengan segala isinya tidak ada orang tertentu
memilikinya, ini ciptaan Allah SWT untuk dimanfaatkan oleh
manusia dengan doa dan usaha keras, dengan teknologi eksploitasi
apa saja tidak akan menghabiskan isi laut kecuali mengurangi
populasinya (Gagasan nelayan Bugis dan Makassar).
a. Pengetahuan pelayaran:
Pelaut (pelayar dan nelayan) mutlak
memerlukan dan memiliki pengetahuan tentang
musim, kondisi cuaca dan suhu, kondisi dasar,
dan tanda-tanda alam lainnya untuk
menentukan waktu-waktu kegiatan pelayaran
yang efektif dan menjamin keselamatan di laut.
Masyarakat nelayan dan pelayar di nusantara
ini, misalnya mempunyai pengetahuan tentang
dua tipe musim utama, yaitu musim barat dan
musim timur dengan pola atau karakteristik
masing-masing.
Perubahan musim, perubahan cuaca dan suhu, kondisi air
laut, kondisi dasar, yang mempengaruhi secara positif atau
negatif bagi aktivitas pelayaran dan ekploitasi sumber daya
perikanan, pelayar dan nelayan berpedoman pada
perangkat pengetahuan mereka tentang tanda-tanda di laut
dan angkasa berupa kilat, awan hitam, bunyi kemudi
perahu, cahaya laut, yang dihubungkan dengan peristiwa
atau hal datangnya angin kencang, angin tornado, adanya
batu karang dan makhluk berbahaya di laut, dan lain-lain.
Pelaut dan nelayan mendasarkan pengetahuannya dengan
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, firasat dan
keyakinan.
Berdasarkan pengalaman dan warisan pengetahuan, pelayar
dan nelayan mempunyai perangkat-perangkat pengetahuan
tentang lokasi-lokasi berbahaya, seperti selat-selat dimana
banyak pusaran air, tempat-tempat berdiam banyak hiu,
gurita dan paus. Pengetahuan tentang tempat-tempat
keramat dihuni hantu-hantu laut, demikian juga tempat-
tempat aman untuk dilalui dan beristirahat. Khusus bagi
nelayan, mereka juga mempunyai pengetahuan tentang
kondisi dasar (dalam, dangkal, berpasir, berlumpur, berbatu-
batu, rata, landai, curam) dan kondisi air laut (berombak dan
berarus). Pengetahuan seperti ini diperlukan bagi pilihan
penggunaan tipe-tipe alat tangkap.
Berbeda dengan nelayan dan pelayar serta petambak di
kawasan pesisir dan pulau-pulau yang kebanyakan
menggunakan pengetahuan tradisional, kelompok-
kelompok awak perikanan dan pelayaran modern, kesatuan
angkatan laut, peneliti dan praktisi laboratorium dan
museum biologi laut pada umumnya menggunakan
pengetahuan sains dan teknologi komunikasi pelayaran
yang canggih (kompas, ramalan cuaca, radar, GPS,
pemancar radio dan televisi, telepon, dan sebagainya).
Terdapat dua kategori besar pengetahuan masyarakat
maritim tentang lingkungan dan sumber daya laut (hayati
dan nonhayati), yakni; pengetahuan tentang jenis/spesis
bernilai ekonomi dan ilmiah serta kelestarian ekonsistem
semata, dan pengetahuan tentang kondisi populasi dan
perilaku serta tempat/lokasinya.
Nelayan mempunyai klasifikasi pengetahuan lokal seperti:
Jenis ikan karang yang bernilai ekonomi, jenis udang laut
atau lobster yang merupakan komoditas ekspor andalan,
jenis-jenis tripang yang mahal harganya, penyu, hiu,
siput/kerang, akar bahar, rotan laut dan agar-agar
merupakan tangkapan utama nelayan untuk diekspor sejak
abad ke-16.
Pengetahuan tentang perilaku ikan yang menjadi tangkapan
utama nelayan dapat dicontohkan pada beberapa masyarakat
nelayan di dunia, misalnya:
(1).Nelayan penangkap zalm di Amerika Tengah dan Canada
mengetahui persis pola perkembangbiakan dan musim migrasi
ikan zalm dari sungai-sungai besar ke laut lepas kemudian
kembali lagi ke habitat utamanyadi sungai-sungai besar,
(2).Nelayan karapu dari Pulau Sembilan (Sinjai) mengetahui pola
perkembangbiakan, tempat-tempat, musim dan saat munculnya
ikan karapu di perairan gugusan karang Pulau Sembilan,
(3).Nelayan tahu jenis-jenis ikan suka hidup di air dalam atau
dangkal, di dasar berpasir atau berlumpur, di habitat terumbu
karang dan padang lamun serta hutan mangrof atau muara-
muara sungai. Nelayan mengetahui pula saat muncul dan
menghilangnya ikan-ikan tertentu.
(4). Nelayan Eropa mengetahui pola perilaku ikan haring
(ikan berkelompok besar) di laut lepas Atlantik. Nelayan
Jaawa dan Madura, Bugis (Mandar), dan Makassar
mengetahui pola perkembangbiakan dan rute-rute migrasi
ikan layang yang melalui perairan pantai Utara Jawa dan
Selat Makassar.
(5). Nelayan Mandar dan Galesong (Makassar) mengetahui
lokasi-lokasi dan pola perkembangbiakan ikan terbang.
Menurut nelayan, jenis-jenis layang dan ikan terbang hanya
suka hidup di air laut yang kadar garamnya tinggi.
Dibandingkan dengan pengetahuan komunitas saintis dari
berbagai bidang ilmu (biologi laut, ilmu perikanan,
kelautan), klasifikasi pengetahuan nelayan lokal tradisional
adalah miskin. Hal ini disebabkan nelayan hanya perlu
memberi nama pada jenis-jenis ikan dan biota lainnya yang
bernilai ekonomi dan berbahaya, bermakna simbolik, dan
berfungsi praktis bagi kehidupan masyarakat nelayan.
Sedangkan komunitas saintis (dosen, mahasiswa, peneliti
dan lain-lain) mengetahui ratusan bahkan ribuan jenis ikan
dan biota laut lainnya dengan nama/istilah latin. Mereka
tahu lokasi dan perkembangbiakan , kondisi populasi dan
perilaku biota laut melalui pendidikan dan penelitian
ilmiah.
Setiap segmen masyarakat maritim memiliki pengetahuan
tentang lingkungan sosial di sekelilingnya dengan siapa
mereka berinteraksi, bekerjasama, meminta jasa
perlindungan keamanan atau sebaliknya melakukan
persaingan dan konflik memperebutkan potensi sumber
daya dan jasa-jasa laut.
Pengetahuan akan kategori-kategori lingkungan sosial
difungsikan oleh masyarakat maritim (sebagai individu atau
kelompok) acuan dan menentukan sikap dan langkah
pembuatan keputusan.
4.1 Pemetaan Potensi Sumberdaya Maritim
WMI mengandung berbagai jenis sumberdaya alam yang
terdapat di daratan kawasan pesisir, laut dangkal, serta laut
dalam. Sumberdaya alam ini dapat berperan sebagai pelengkap,
pengganti maupun pilihan satu-satunya bagi upaya pemenuhan
kebutuhan umat manusia dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya.
Di sepanjang pantai kepulauan WMI terdapat hutan bakau yang
luas dan di perairan pantainya terdapat bentangan wilayah
terumbu karang sepanjang 17.500 km, serta rawa nipa dan rawa
pasang surut di sekitar muara delta sungai. Kesemuanya
merupakan lingkungan bagi kehidupan biota laut dengan
standing crop populasi ikan yang tinggi merupakan sumber
bahan pangan, minuman, bahan pangan, energy dan lain-lain.
Para ahli menduga bahwa di bawah dasar laut terdapat
sumberdaya minyak dan gas bumi yang besar, diperkirakan juga
bahwa dasar laut mengandung banyak bahan galian atau
tambang. Saat ini hanya mineral-mineral letakan (placer
deposist) terutama tima yang terdapat pada sistem Paparan
Sunda di sektor barat laut yang telah memberikan nilai ekonomis
bagi perekonomian Indonesia.
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia kaya dan beragam
sumberdaya alamnya telah dimanfaatkan sebagai salah satu
sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani sejak
berabad-abad lamanya, selain itu wilayah pesisir dan lautan
Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan
pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri,
rekreasi dan pariwisata.
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Tim
CIDA/BAPPENAS (1988), pada tahun 1987 nilai ekonomi
total yang dihasilkan oleh sebelas kegiatan pembangunan
(pemanfaatan) sumberdaya pesisir dan lautan sebesar Rp.
36,6 trilliun, atau sekitar 22% dari total produk domestik
bruto. Berbagai kegiatan pembangunan ini merupakan
sumber mata pencaharian dan kesejahteraan bagi sekitar
13,6 juta orang, dan secara tidak langsung mendukung
kegiatan ekonomi bagi sekitar 60% dari total penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir. Tahun 1990
kontribusi ekonomi kegiatan sektor kelautan meningkat
menjadi Rp. 43,3 trilliun atau sekitar 24% dari total produk
domestik bruto, dan menyediakan kesempatan kerja bagi
sekitar 16 juta orang (Dahuri; 1998).
Sumberdaya kemaritiman Indonesia yang tersebar
diseluruh wilayah nusantara mulai dari wilayah laut
teritorial, laut nusantara, maupun wilayah laut yang
termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), telah
dideteksi dan ditentukan melalui pemetaan potensi
sumberdaya kelautan dan perikanan yang bernilai ekonomis
terdapat pada 26 titik kawasan ekonomi unggulan pada
sektor kelautan dan perikanan, diantaranya: Laut Selat
Malaka, Laut Natuna, Laut Batam, Laut Selat Bangka, Laut
Cilacap, Laut Madura, Laut Bontang, Laut Tukang Besi,
Laut Banda, Laut Bone, Laut Halmahera, Laut Aru, Laut
Tomini, dan lain-lain.
A. Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)
(1). Sumberdaya Perikanan Laut:
Ikan Pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan Ikan Pelagis
kecil (2.423.000 ton/tahun), Ikan Demersal (3.163.630
ton/tahun), Udang (100.720 ton/tahun), Ikan karang
(80.082 ton/tahun), Cumi-cumi (328.960 ton/tahun),
(Dirjen Perikanan 1995). Dan masih banyak lagi hasil
perikanan laut seperti Ikan Hias, Ikan Karang,
Pertambakan, dan lain-lain.
(2). Hutan Mangrove :
Hutan mangrove mempunyai fungsi ekonomis seperti
penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-
obatan, bubur kayu, bahan kertas, chips, dan arang.
(3). Padang Lamun dan Rumput Laut: dimanfaatkan sebagai
tempat kegiatan marikultur berbagai jenis ikan, kerang-
kerangan, dan tiram; tempat rekreasi atau pariwisata;
Sumber pupuk hijau. Padang Lamun kelompok tumbuhan
laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomis penting
adalah rumput laut. Potensi rumput laut (alga) di perairan
Indonesia mencakup 26.700 ha dengan potensi produksi
482.400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk
industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di
dalamnya, khususnya karegenan, agar-agar, dan algin
(Nontji;1987).
(4). Terumbu Karang: Fungsi dan peran terumbu karang
adalah sebagi pelindung pantai dari hempasan ombak
dan arus kuat yang berasal dari laut, sebagai habitat,
tempat mencari makanan, tempat asuhan dan
pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang
hidup di terumbu karang, sebagai tempat penangkapan
berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai ikan hias,
bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur, bahan
perhiasan, bahan baku farmasi. Indonesia memiliki
kurang lebih 50.000 km ekonsistem terumbu karang
yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan
(Dahuri; 2001)
B. Sumberdaya Tak Dapat Pulih:
a. Bahan tambang dan mineral: Bahan bangunan, Garam,
Pasir Besi dan Pasir Kuarsa, Titanium, Batu Apung,
Lempug Koalin, Mineral Radio Aktif, Emas, dan lain-lain.
b. Minyak dan gas bumi
C. Energi Kelautan : Gelombang, Pasang Surut, Angin,
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
OTEC meruapakan salah satu bentuk pengalihan energi
yang tersimpan dari sifat fisik air laut menjadi eneri listrik.
Suhu air laut akan menurun sesuai dengan bertambahnya
kedalaman. Perbedaan suhu air di permukaan dengan suhu
air dibagian dalam dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan
energi listrik.
Menurut beberapa literatur, perbedaan suhu secara vertikal
sangat besar terjadi di laut tropis sehingga Indonesia
merupakan salah satu negara yang beriklim tropis sangat
potensial untuk mengembangkan OTEC sebagai salah satu
energi alternatif.

D. Jasa-Jasa Lingkungan : Media transportasi dan


komunikasi, Pengaturan iklim, Keindahan alam, sumber
energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan
keamanan, Penyerapan limbah, Wisata bahari, kawasan
lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi
fisiologis lainnya.
Kawasan selatan Indonesia beserta sumber daya
alamnya memiliki makna strategis bagi
pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat
diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi
nasional. Fakta-fakta yang mengindikasikan hal ini
antara lain:
Secara sosial, kawasan selatan dihuni tidak
kurang dari 56 juta jiwa atau 27,54% dari total
penduduk Indonesia yang bertempat tinggal
dalam radius 50 km dari garis pantai. Menjadi
cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia
dimasa yang akan datang.
Secara ekonomi, kawasan selatan Indonesia
telah memberikan kontribusi terhadap
pembentukan PDB nasional sebesar 21% pada
tahun 1998. Poteni yang belum
dikembangkan adalah: (i). Potensi perikanan
yang saat ini baru sekitar 31-53% dari
potensi lestarinya yang termanfaatkan, (ii).
Besaran nilai investasi baik PMA dan PMDN
yang masuk pada bidak kelautan dan
perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari
2% dari total investasi di Indonesia.
Wilayah selatan Indonesia juga kaya akan
beberapa sumber daya pesisir dan lautan yang
potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi: (a).
Pertambangan, dengan diketahuinya 14
cekungan dari total 60 cekungan minyak di
Indonesia, (b). Perikanan, dengan potensi 2,1 juta
ton/tahun yang tersebar pada 3 wilayah laut dari
9 wilayah laut nasional, (c). Pariwisata bahariyang
diakui dunia dengan keberadaan Pulau Bali, Pulau
Nias, Pulau Komodo dll. (d). Keaneka ragaman
hayati sebagai daya tarik bagi pengembangan
kegiatan ecotourism.
Secara geofisik, kawasan ini memiliki kerawanan yang
tinggi terutama merupakan daerah aktivitas gunung
berapi mulai dari Aceh-Lampung, Jawa hingga Laut
Banda. Jalur patahan yang tergores sepanjang wilayah
pulau Sumatra, serta potensi longsor tersebar yang
diakibatkan kemiringan lahan yang cukup tinggi pada
kawasan selatan Indonesia.
Secara biofisik, kawasan selatan termasuk bagian
wilayah posisir yang merupakan pusat biodiversity
laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan
terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
Secara politik dan hankam, wilayah selatan merupakan
kawasan perbatasan antar negara (dengan negara
Australia, Timor Leste, Papua Nugini) yang sensitive
dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan
keamanan NKRI.
IUU Fishing (Illegal Unreported, Unregulated) secara
harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan
yang tidak sah, tidak dilaporkan pada institusi
pengelola perikanan yang berwenang, dan kegiatan
perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang
ada.
(1). Illegal Fishing
Yang termasuk sebagai praktek Illegal Fishing:
Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu
perairan yang menjadi yuridiksi suatu negara tanpa
izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara tempat berlangsungnya kegiatan penangkapan.
Bertentangan denga peraturan nasional yang berlaku
dan/atau peraturan internasional
Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera
suatu negara yang menjadi anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi
tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan
pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi
tersebut atau ketentuan hukum internasional yang
berlaku.
Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di
perairan Indonesia diantaranya: penangkapan ikan
tanpa izin, menggunakan izin palsu,
menggunakan alat tangkap yang dilarang dan
penangkapan jenis ikan (spesies) yang tidak
sesuai dengan izin yang diberikan.
Penyebab Illegal Fishing:
o Meningkat dan tingginya permintaan ikan (DN/LN)
o Berkurang/habisnya SDI di negara lain
o Lemahnya armada perikanan nasional
o Izin/dokumen pendukung dikeluarkan lebih dari
satu instansi.
o Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di
laut
o Lemahnya delik tuntutan dan putusan pengadilan
o Belum ada visi yang sama aparat penegak hukum
o Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan
pidana
(2). Unreported Fishing
Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan
ikan yang dilakukan di area yang menjadi
kompetensi institusi pengelolaan perikanan
nasional, namun tidak pernah dilaporkan atau
dilaporkan secara tidak benar, atau tidak sesuai
dengan ketentuan pelaporan yang telah ditetapkan
oleh institusi tersebut.
Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di
Indonesia diantaranya: penangkapan ikan yang
tidak melaporkan hasil tangkapan yang
sesungguhnya atau pemalsuan data hasil
tangkapan, hasil tangkapan ikan yang langsung
dibawa ke negara lain (transhipment di tengah
laut).
Penyebab Unreported Fishing:
Lemahnya peraturan perundangan
Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil
tangkapan/angkutan ikan
Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya
menyampaikan data hasil tangkapan/angkutan ikan
Hasil tangkapan dan fishing ground dianggap rahasia dan
tidak untuk diketahui pihak lain (saingan)
Lemahnya ketentuan sanksi dan pidana
Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat
pendaratan ikan yang sebagian besar tidak termonitor dan
terkontrol
Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada
penangkapan memiliki pelabuhan tersendiri
Laporan produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan
kepada dinas terkait cenderung lebih rendah, umumny tidak
mencapai 20% dari produksi yang sebenarnya.
(3). Unregulated Fishing
Kegiatan penangkapan ikan disebut Unregulated
Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan:
Pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan
ketentuan pelestarian dan pengelolaannya, atau
kegiatan penangkapan yang dilakukan dengan cara
yang tidak sesuai dengan tanggung jawab negara
untuk pelestarian dan pengelolaan sumberdaya ikan
sesuai aturan internasional
Pada area yang menjadi kewenangan institusi/
organisasi pengelolaan perikanan regional, yang
dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan atau
yang mengibarkan bendera suatu negara yang bukan
anggota organisasi tersebut dengan cara yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian
dan pengelolaan dari organisasi tersebut.
Kegiatan Unregulated Fishing di perairan Indonesia,
antara lain disebabkan masih belum diaturnya
mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari
seluruh kegiatan penangkapan ikan yang ada, belum
diatur wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan
dan dilarang, belum diatur aktivitas sport fishing,
kegiatan-kegiatan penangkapan ikan menggunakan
modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang.
Penyebab Unregulated Fishing:
Potensi SDI di perairan Indonesia masih dianggap
memadai dan belum membahayakan
Sibuk mengatur yang ada karena banyak masalah
Orientasi jangka pendek
Beragamnya kondisi daerah perairan dan SDI
Belum masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi
perikanan internasional.
UU RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pasal
85 dinyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja
di wilayah pengelolaan perikanan RI memiliki,
menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap
ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang
ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak
sesuai dengan persyaratan, atau standar yang
ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat
penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana yang
dimaksud pasal 9, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
5.1 Pengertian
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 Pasal 55 dan 56 ayat 1a
menyebutkan bahwa ZEE adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, lebar zona ini tidak
lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal.
Di perairan ZEE, Indonesia memiliki hak berdaulat atas
eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati yang
terdapat di kolom air. Hak berdaulat lainnya adalah
berkenaan dengan kegiatan untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi pada zona tersebut, seperti produk
energi dari air, arus dan angin.
Disamping hak berdaulat atas kekayaan alam yang terkandung di
kolom air, Indonesia di zona ini mempunyai kewenangan untuk
memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan
penelitian ilmiah kelautan, serta memberikan izin pembangunan
pulau buatan, instalasi, dan bangunan laut lainnya.

5.2 UU RI N0 5 Tahun 1983 Tentang ZEE Indonesia


Pasal 2
ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas
terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia.
Pasal 3:
(1). Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE
negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesi, maka batas ZEE antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antara RI dan negara yang bersangkutan.
(2). Selama persetujuan sebagaimana dalam ayat (1)
belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan
khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas ZEE
antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis
tengah atau garis sama jarak antara garis-garis
pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar
Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau
titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan
negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang
pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas
ZEE Indonesia termaksud.
ZEE adalah zona yang luasnya 200 mil atau 370,4 km
dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona
tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas
kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan
kebijakan hukumnya, kebebasan benavigasi, terbang di
atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan
pipa.
Batas teritorial adalah batas yang ditarik dari sebuah
garis dengan jarak 12 mil ke arah lautan bebas.
Sedangkan laut terletak pada sebelah dalam garis
dasar disebut laut pedalaman. Garis dasar adalah garis
khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung
pulau terluar. Sebuah negara mempunyai kedaulatan
penuh sampai batas laut teritorial.
Landas kontinen adalah dasar dan lapisan tanah
dibawah laut yang berbatasan dengan pantai tetapi
berada di luar daerah laut wilayah sampai kedalaman
200-350 meter atau daerah yang lebih dalam lagi
dimana dalam airnya memungkinkan eksploitasi
sumber-sumber daya alam di daerah tersebut. Dasar
dan lapisan tanah di bawah laut yang dimaksud di atas
yang berbatasan dengan pantai kepulauan.
Sebuah negara bisa menetapkan landas kontinennya
secara maksimal yaitu 350 mil apabila mempunyai
teknologi yang canggih untuk melakukan eksploitasi
dan eksplorasi terhadap jarak 350 mil tersebut.
Pengertian
Lingkungan maritim adalah suatu keadaan dimana di
dalamnya terjadi proses atau aktivitas pelayaran dan
perniagaan yang berhubungan dengan kelautan.Di
dalam lingkungan maritim terdapat semua aspek yang
berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan,
diantaranya mennggunakan alat transportasi laut.
Alat transportasi laut berperan sebagai sarana
pengangkutan yang secara nasional dapat menjangkau
seluruh wilayah melalui perairan sehingga dapat
menunjang, mendorong, dan menggerakkan
pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber
daya alam yang besar dalam upaya meningkatkan dan
memeratakan pmbangunan dan hasilnya.
Berdasarkan PP RI No. 21 Tahun 2010 tentang
Perlindungan Lingkungan Maritim, dijelaskan beberapa
aspek yang berkaitan dengan pelayaran dan
perdagangan:
Pasal 1 ayat 1:
Perlindungan lingkungan maritim adalah setiap upaya
untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang
terkait dengan pelayaran,
Pasal 1 ayat 2:
Pencegahan pencemaran dari kapal adalah upaya yang
harus dilakukan Nakhoda dan/atau awak kapal sedini
mungkin untuk menghindari atau mengurangi
pencemaran tumpahan minyak, bahan cair beracun,
muatan berbahaya dalam kemasan, limbah kotoran,
sampah, dan gas buang dari kapal ke perairan dan udara.
Peraturan-peraturan tentang wilayah maritim juga diatur
dalam badan khusus PBB yaitu International Maritime
Organization (IMO), tujuan utama IMO adalah untuk
memajukan kerjasama antara negara-negara anggotanya
dalam masalah teknis dibidang pelayaran, dengan perhatian
khusus akan keselataman di laut dan untuk menjamin
tercapainya taraf keselamatan serta efisiensi pelayaran
setinggi-tingginya.
Kegiatan-kegiatan IMO secara garis besarnya:
Kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan
keselamatan maritime dan efisiensi pelayaran
Kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan dan
pengawasan pencemaran lingkungan laut yang
disebabkan oleh kapal-kapal
Kegiatan lain yang berhubungan dengan perkapalan serta
kegiatan di laut yang berhubungan khususnya mengenai
bantuan dibidang teknis kepala negara-negara
berkembang
Industri maritim merupakan salah satu industri
strategis yang dipilih sebagai bagian dari berbagai
ujung tombak industri berbasis teknologi dan strategis
globalisasi demi melancarkan pembangunan dalam
negeri dan kemajuan peranan Indonesia dalam
persaingan internasional.
Secara umum, industri maritim nasional relatif
tertinggal jauh dari berbagai negara, padahal industri
maritim yang termasuk didalamnya industri galangan
kapal dan jasa perbaikan (docking), industri mesin
kapal dan perlengkapannya, industri pengolahan
minyak dan gas bumi sangat menentukan kemampuan
nasional dalam memanfatkan potensi laut.
Kemampuan bangsa Indonesia dalam industri maritim
sangat terbatas karena tingginya nilai investasi yang
harus ditanamkan.
Pembangunan konstruksi di pesisir dan laut
memerlukan kemampuan rekayasa yang sesuai dengan
kondisi alam (design with the natural) pesisir dan laut
yang memiliki kondisi ekosistem dan fisik berbeda
dengan daratan. Dengan demikian faktor bangunan
kelautan (penyiapan lahan sampai konstruksi di pesisir
dan bangunan lepas pantai) harus dikaji dengan
seksama agar tidak menimbulkan bencana yang
berdampak pada manusia dan lingkungan serta
sumber daya alam.
Jasa kelautan yang terdiri dari segala jenis kegiatan
yang bersifat menunjang dan memperlancar sektor
kelautan seperti jasa pelayanan pelabuhan,
keselamatan pelayaran, perdagangan, pengembangan
sumber daya kelautan seperti pendidikan dan pelatihan
Peluang pasar pada jasa kelautan yang potensial harus
dipersiapkan dari sekarang karena karakteristik
bisnisnya yang memerlukan kualifikasi sumberdaya
manusia yang prima dan dukungan sarana informasi,
komunikasi serta dukungan teknologi maju.
Melalui pembenahan pada bidang maritim tentu akan
berdampak juga pada peningkatan ekonomi negara.
Untuk mempercepat kemandirian di bidang maritim
dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan swasta.
Harus diakui bahwa Indonesia masih lemah dalam
bidang ilmu dan teknologi kelautan, padahal untuk
pengelolaan kelautan yang optimal memerlukan ilmu
dan teknologi yang canggih.

Anda mungkin juga menyukai