Anda di halaman 1dari 39

RANIBIZUMAB IN PATIENTS

WITH DENSE CATARACT AND


PROLIFERATIVE DIABETIC
RETINOPATHY WITH
RUBEOSIS
Yufei Tu, Catherine Fay, Suqin Guo, Marco A. Zarbin, Edward Marcus, Neelakshi
Bhagat
The Institute of Ophthalmology and Visual Science, New Jersey Medical
School, 90 Bergen Street Suite 6100, Newark, New Jersey, USA
Latar belakang: Untuk mengevaluasi keamanan ranibizumab

sebagai terapi tambahan saat dilakukan operasi pada pasien

katarak dengan retinopati diabetikum proliferatif (PDR) dengan

rubeosis iridis, dan untuk mengevaluasi efikasi dan efek samping

dari ranibizumab dalam mengobati pasien PDR dengan rubeosis.


Metode dan Bahan:
Tiga buah injeksi intravitreal ranibizumab 0,5 mg yang diberikan pada
hari pertama, bulan ke 1 dan 2 dengan operasi katarak 6-16 hari setelah
injeksi pertama.
Pengobatan berulang dengan injeksi ranibizumab dan pan-retinal
photocoagulation (PRP) jika PDR muncul kembali dalam bulan ke 3 dan
11. Observasi keamanan berlangsung pada bulan ke 12, 18 dan 24.
Poin akhir yang utama adalah insidens dan keparahan dari kejadian yang
tidak diinginkan yang berhubungan dengan operasi katarak maupun
pengobatan PDR dengan rubeosis pada bulan ke 12.
Hasil:
Dari 6 pasien yang diskrining, 4 terdaftar (rerata umur 61,3 tahun). Tidak
terlihat adanya efek samping pada operasi katarak maupun pengobatan pada
PDR. Neovaskularisasi pada iris secara cepat berkurang 4 hari setelah injeksi
ranibizumab, sebelum dilakukan operasi katarak pada 3 dari 4 pasien (satu
pasien secara signifikan berkurang pada hari ke 3); NVI tidak terlihat pada
pasien saat 2 minggu setelah injeksi pertama ranibizumab. Rekurensi rubeosis
atau NVA setelah injeksi 3 bulan tidaknampak. Pada bulan ke 12, PDR tidak
terlihat saat dilakukan pemeriksaan fisik dan dengan fluorescein angiogram
(FA). Hanya satu pasien yang menunjukkan neovaskularisasi pada disk dan
tempat lain dan memerlukan terapi kembali pada bulan ke 5 dan 9.
Conclusions: Multiple intravitreal injections of ranibizumab may be
a safe, effective treatment adjunct for PDR and diabetes-related
rubeosis.

Kesimpulan: Injeksi intravitreal ranibizumab beberapa kali dapat


dinyatakan aman, terapi efektif untuk PDR dan rubeosis yang
berhubungan dengan diabetes.
INTRODUCTION
Diabetic retinopathy (DR) is a leading cause of vision loss in the working-age population in developed
countries.[1] Recent research has established the role of vascular endothelial growth factor (VEGF) as a key
mediator of retinal angiogenesis and vascular permeability in ocular neovascular conditions such as
neovascular age-related macular degeneration (NV-AMD),[2] diabetic macular edema (DME),[3] and proliferative
diabetic retinopathy (PDR).[4] Ranibizumab (Lucentis, Genentech, Inc., South San Francisco, CA) is a
humanized monoclonal antibody antigen-binding fragment being used for the intravitreal treatment of NV-
AMD,[5] and DME.[6,7] In this study, ranibizumab was used to inactivate or reduce VEGF levels in eyes to treat
PDR with rubeosis iridis.

Retinopati diabetikum adalah penyebab utama kebutaan pada populasi pasien usia kerja di negara maju.
Penelitian terakhir menyatakan peran dari vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai kunci mediasi
dari angiogenesis retina dan permeabilitas vascular pada kondisi neovaskularisasi mata seperti neovascular
age-related macular degeneration (NV ARMD), diabetic macular edema (DME), and proliferative diabetic
retinopathy (PDR). Ranibizumab adalah humanized monoclonal antibody antigen-binding fragment yang
digunakan sebagai terapi intravitreal pada NV-ARMD dan DME. Dalam studi ini, ranibizumab digunakan
untuk menginaktivasi atau mengurangi tingkat VEGF dalam mata untuk mengobati PDR dengan rubeosis
iridis.
Pan-retinal photocoagulation (PRP) adalah standar terapi untuk PDR. Namun, pada jenis
katarak yang padat, fundus tidak dapat terlihat dengan mudah untuk dilakukan PRP yang
adekuat. Pada praktek saat ini untuk mata yang tidak bisa dilakukan laser karena katarak,
akan dilakukan ekstrasi katarak segera yang diikuti dengan PRP. Terapi PDR dapat diundur
beberapa hari pada pendekatan ini. Sebagai tambahan, pandangan ke retina mungkin tidak
terlalu optimal untuk beberapa minggu jika operasi disertai komplikasi dengan hifema pada
mata dengan rubeosis ini, dimana dapat menyebabkan penundaan terapi PRP atau
dilakukannya pembersihan ruang anterior. Selain itu, pengangkatan lensa mata pada pasien
dengan PDR dapat mempercepat perkembangan retinopati dan memperburuk
neovaskularisasi pada iris, kemungkinan dengan mengambil batas difusi dari faktor
angiogenik dari segmen posterior ke anterior.
Kami melakukan percobaan penelitian pada mata dengan katarak
yang padat dan rubeosis terkait diabetes (tanpa tractional retinal
decahment (TRD)) terapi dengan injeksi intravitreal ranibizumab
dan berikutnya operasi katarak beberapa hari setelah injeksi
pertama. Tujuannya adalah untuk mengembangkan terapi yang
lebih cepat untuk mata dengan rubeosis iridis akibat diabetes dan
katarak yang menghalangi PRP.
MATERIALS AND METHODS
-Desain Studi

Studi ini adalah open-label, single-center, phase I trial dengan periode terapi selama 12
bulan (fase intervensi) dimana termasuk 3 bulan injeksi ranibizumab intravitreal dan
operasi katarak setelah injeksi pertama, diikuti dengan fase observasi selama 12 bulan
yaitu pada bulan ke 12, 18 dan 24. Studi ini telah disetujui oleh University of Medicine
and Dentistry of New Jersey (UMDNJ) Institutional Review Board (IRB), yang
dilakukan sesuai dengan prinsip Deklarasi Helsinki, dan merupakan persyaratan
HIPAA. Setelah informed consent tertulis diperoleh, pasien yang telah terdaftar
menerima injeksi intravitreal ranibizumab 0,5 mg (hari ke 0) diikuti dengan operasi
katarak di antara hari ke 6 dan 16, dan dua injeksi tambahan pada bulan ke 1 dan 2.
Visit follow-up dilakukan kemudian pada bulan ke 3, 5, 7, 9 dan 11. Jika
neovaskularisasi pada iris, diskus optikus, dan/atau retina tampak pada injeksi
lanjutan selama 3 bulan pada saat kapan pun, pasien diterapi ulang dengan
injeksi intravitreal ranibizumab dan PRP (dalam 2 minggu). Pemeriksaan
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) best corrected visual
acuity (BCVA), pengukuran intraocular pressure (IOP), pemeriksaan mata, slit-
lamp, gonioscopy, color fundus photography, FA, and Stratus optical coherence
tomography (OCT) dilakukan setiap visit. USG dilakukan untuk
mengesampingkan TRD dan pendarahan vitreal (VH) jika pemeriksaan retina
yang adekuat tidak bisa dilakukan akibat rendahnya opasitas media refraksi.
SUBJECT SELECTION
Pasien yang memenuhi syarat adalah
Pasien dengan usia di atas 18 tahun dengan diabetes melitus (DM)
Katarak yang padat
Rubeosis iridis akibat PDR
Memiliki hgba1c<12% yang diukur dalam 60 hari visit.
Kriteria eksklusi yaitu
Kehamilan atau menyusui
Adanya TRD yang telah dikonfirmasi dengan USG
Telah melakukan operasi katarak/glaukoma
Sebelumnya telah melakukan pars plana vitrectomy (PPV)
Konjungtivitis, keratitis, skleritis, atau endophtalmitis
Penggunaan steroid untuk intravitreal peribulbar atau retrobulbar dalam 3
bulan terakhir
Pernah melakukan terapi anti-vegf intravitreal dalam 60 hari terakhir
Penggunaan bersamaan dengan anti-vegf agents
Kondisi sistemik yang tidak terkontrol seperti hipertensi, hiperkolesterolnemia,
coronary artery disease, DM hgba1c 12%)
Mengkonsumsi obat-obatan untuk tujuan eksperimen dalan 12 minggu terakhir
Sedang dalam pengobatan untuk penyakit infeksi sistemik
OUTCOME MEASURES
.

Titik akhir utama pada studi ini adalah insidens dan keparahan AEs yang

berhubungan dengan operasi katarak (seperti hifema dan pendarahan vitreus)

dan yang terjadi selama pengobatan PDR saat bulan ke 12. Titik akhir kedua

dari studi ini telah dirangkum pada tabel 1.


RESULTS
Demografi pasien dan karakter dasar

Empat pasien telah didaftarkan pada percobaan ini. Demografi pasien dan
karakter dasar telah dirangkum pada Tabel 2. Untuk catatan, pasien 1 dan 3
telah menyelesaikan intervensi dan observasi; pasien 2 telah menyelesaikan
hanya fase intervensi karena pasien berpindah tempat tinggal, dan pasien 4
keluar dari studi 2 bulan setelah injeksi ranibizumab injeksi.
ADVERSE EVENTS

Tidak ada efek samping yang berhubungan dengan operasi katarak maupun
pengobatan PDR yang terjadi pada 4 pasien tersebut. Tiga pasien dirawat di
rumah sakit karena kondisi yang sudah ada sebelumnya dan komplikasi terkait,
seperti kaki diabetes, tamponade jantung, insufisiensi renal, dan gastritis [Tabel
3].
PROLIFERATIVE DISEASE
Rubeosis iridis yang terobservasi dan telah terselesaikan pada hari
keempat setelah injeksi inisial ranibizumab sebelum operasi katarak pada
3 dari 4 pasien. Rubeosis telah ditandai berkurang pada pasien ke 4 pada
saat ini dan telah menghilang pada visit 2 minggu berikutnya. Kejadian
berulang rubeosis atau NVA seletah injeksi ranibizumab 3 bulan tidak
ditemukan pada setiap kali visit pada setiap pasien. Pada bulan ke 12,
pada 3 pasien tidak menunjukkana danya PDR (1 pasien tidak ter-follow
up setelah bulan ke 3). Satu pasien didapatkan neovaskularisasi pada disk
saat bulan ke 5 dan kemudian menjalani injeksi ranibizumab dan PRP.
NVD segera mengalami kemunduran dan tidak tercatat pada minggu
kedua visit pasca-injeksi saat PRP dilakukan dengan slit-lamp seperti
protokol studi. Tidak ada PDR yang tampak pada bulan ke 7; tetapi pada
bulan ke 9, NVD dan neovaskularisasi di tempat lain ditemukan secara
klinis dan pada FA. Terapi kombinasi dilakukan dengan ranibizumab
intravitreal dan tambahan PRP 1 minggu setelahnya, dan
neovaskularisasi tampak berkurang dengan segera. Tidak ada rekurensi
selanjutnya pada pasien selama studi berlangsung.
SECONDARY MEASUREMENTS

Hasil akhir dari titik akhir kedua telah dirangkum pada Tabel 1.
CASE REPORTS
Seorang laki-laki hispanik berusia 63 tahun dengan riwayat DM tipe 2 insulin dependent.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi dan hiperkolestrolemia yang signifikan.
Penyakit Diabetesnya telah menyebabkan ulcer pada kedua kakinya dan hallux kiri telah
diamputasi 3 bulan SMRS. Pasien direkrut ke dalam penelitian dengan NVI yang diperluas dari
pukul 5.30 sampai pukul 10, katarak yang padat, dan PDR tanpa traksi ablasio retina dengan
ultrasound. NVI pasien mengalami regresi setelah 2 minggu setelah injeksi pertama
ranibizumab. Tidak ada PDR tercatat pada pemeriksaan retina setelah operasi katarak pada
bulan pertama. Akan tetapi NVD dan NVE tercatat pada follow up pada bulan ke 5 dan 9.
ETDRS BCVA mengalami peningkatan dari 20/160 menjadi 20/50 pada bulan ke 2 dan 20/63
pada bulan ke 12. Hasil pemeriksaan mata tetap stabil setelah pengobatan pada bulan ke 9
dengan tanpa pengulangan rubeosis setelah bulan ke 24
Seorang wanita berusia 65 tahun dengan riwayat 23 tahun mengalami DM
tipe 2 noninsulin dependent, hiperkolestrolemia dan gastritis. Riwayat
penyakit matanya termasuk VH minimal pada mata kirinya dan pasien ini
berstatus post PRP karena PDR pada kedua matanya. NVI pasien berespon
tepat dan tidak tercatat pada visite hari ke 4 setelah injeksi pertama
ranibizumab. Pasien telah selesai di follow up selama 24 bulan tanpa
adanya rekurensi PDR. Penelitian yang signifikan selama 2 hari perawatan
untuk gastritis yang sudah ada sebelumnya selama 15 bulan setelah 3 bulan
terakhir diinjeksi ranibizumab. ETDRS BCVA pasien meningkat dari
20/200 menjadi 20/80 pada bulan ke 2 dan 20/25 pada bulan ke 7 dan bulan
ke 12.
Seorang laki-laki afrika-amerika berusia 43 tahun dengan riwayat DM,

CHF, dan hipertensi dirawat dengan obat-obatan. Pasien telah mendapat

PRP untuk PDR sebelumnya dan juga mempunyai riwayat glaukoma

sudut terbuka kronik. Pasien selesai diteliti setelah bulan ke 3 visite dan

dikeluarkan dari penelitian setelahnya. NVI telah sembuh setelah hari

ke 4 setelah injeksi ranibizumab tanpa rekurensi tercatat pada visite

berikutnya. ETDRS BCVA pasien meningkat dari 20/200 menjadi 20/80

pada bulan ke 2 dan 20/100 pada bulan ke 3.


DISCUSSION
Kami melaporkan hasil penelitian percobaan dari injeksi intravitreal multiple dari

ranibizumab untuk mengatasi rubeosis iridis dikarenakan PDR pada mata dengan

katarak yang padat yang menghalangi PRP sebagai inisial terapi untuk rubeosis.

Pada penelitian percobaan ini injeksi intravitreal secara multiple dari ranibizumab

di toleransikan dengan baik pada pasien dengan rubeosis iridis, PDR,dan katarak

yang menghalangi PRP. Tidak ada efek samping pada mata terutama yang

berhubungan dengan penggunaan ranibizumab. Ranibizumab, ketika digunakan

sebagai tambahan pre operatif untuk operasi katarak, dapat meminimalisir

perdarahan segmen anterior selama operasi.


Hal ini juga dapat mencegah perlambatan terapi untuk rubeosis dan PDR
pada mata dimana salah satunya dapat dilakukan PRP jika ekstraksi
katarak dilakukan. Resolusi sempurna dari rubeosis iridis didapatkan secara
klinis pada semua mata setelah injeksi ranibizumab. Regresi dari rubeosis
tercatat selama 4 hari setelah injeksi dalam 3 dari 4 kasus dan pada minggu
ke 2 pada subjek ke 4. Tidak ditemukan perubahan dari retinal proliferative
pada mata setelah ekstraksi katarak pada bulan pertama visite. Pada satu
mata terjadi perkembangan vaskularisasi baru pada bulan ke 5 dan 9 ( 3 dan
4 bulan setelah injeksi ranibizumab)
Injeksi Anti-VEGF digunakan oleh banyak ophthalmologist secara global untuk terapi PDR;
akan tetapi PRP masih dipertimbangkan menjadi standard pengobatan untuk PDR untuk saat
ini. Beberapa pandangan penelititan retrospective melaporkan regresi dari PDR dengan
intravitreal anti-VEGF tanpa PRP. Akan tetapi, tidak ada penelitian acak prospektif jangka
panjang telah dilakukan untuk membandingkan intravitreal anti-VEGF dengan PRP dalam
pengobatan PDR. Hasil dari penelitian retrospektif ini perlu di validasi. Penelitian prospective
percobaan kami di rancang untuk mengevaluasi keamaan pada injeksi ranibizumab selama
bulan dan keperluan terapi PRP setelah 3 injeksi ranibizumab dalam terapi PDR.
Beberapa penyelidik telah mengusulkan bahwa rusaknya sawar darah retina pada pasien

dengan PDR dapat meningkatkan paparan sistemik terhadap ranibizumab setelah injeksi

intravitreal, hal ini menyebabkan peningkatan resiko, terutama yang dari perdarahan non-

ocular dan tromboemboli. Selama penelitian, 2 pasien diperikan perawatan untuk CHF.

Sedangkan satu pasien dilakukan debridement untuk ulkus diabetes pada kaki. Dua pasien

dilakukan pengobatan untuk nephropathy DM, dan satu pasien dilakukan perawatan untuk

gastritis. Mereka dirawat karena faktor komorbid ini.


Selama periode penelitian, pasien pertama menderita Methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) infeksi kaki dan osteomielitis selama

hospitalisasi. Semua faktor komorbid muncul dalam jangka waktu lama

setelah mendahului injeksi intravitreal ranibizumab. Dikarenakan sifat

alami yang tidak terkontrol ini, penelitian percobaan open-label dan

terjadinya komorbit yang kompleks, hal ini mustahil untuk menentukan

peran dari ranibizumab dapat mengakibatkan komplikasi ini.


SUMMARY
Kesimpulannya, hasil akhir dari studi ini menunjukkan injeksi ranibizumab

intravitreal multipel dapat dinyatakan aman, terapi tambahan yang efektif

untuk PDR dan rubeosis iridis akibat diabetes. Injeksi ranibizumab intravitreal

bisa saja diperkenankan untuk lain pengobatan yang cepat untuk pasien

dengan NVI dan katarak yang padat yang dapat mencegah mereka

mendapatkan PRP, standar terapi untuk PDR, sampai katarak pasien dapat

dihilangkan dan juga dapat meberikan potensi keuntungan dari berkurangnya

pendarahan pada mata akibat komplikasi saat operasi katarak.

Anda mungkin juga menyukai