Retinopati diabetikum adalah penyebab utama kebutaan pada populasi pasien usia kerja di negara maju.
Penelitian terakhir menyatakan peran dari vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai kunci mediasi
dari angiogenesis retina dan permeabilitas vascular pada kondisi neovaskularisasi mata seperti neovascular
age-related macular degeneration (NV ARMD), diabetic macular edema (DME), and proliferative diabetic
retinopathy (PDR). Ranibizumab adalah humanized monoclonal antibody antigen-binding fragment yang
digunakan sebagai terapi intravitreal pada NV-ARMD dan DME. Dalam studi ini, ranibizumab digunakan
untuk menginaktivasi atau mengurangi tingkat VEGF dalam mata untuk mengobati PDR dengan rubeosis
iridis.
Pan-retinal photocoagulation (PRP) adalah standar terapi untuk PDR. Namun, pada jenis
katarak yang padat, fundus tidak dapat terlihat dengan mudah untuk dilakukan PRP yang
adekuat. Pada praktek saat ini untuk mata yang tidak bisa dilakukan laser karena katarak,
akan dilakukan ekstrasi katarak segera yang diikuti dengan PRP. Terapi PDR dapat diundur
beberapa hari pada pendekatan ini. Sebagai tambahan, pandangan ke retina mungkin tidak
terlalu optimal untuk beberapa minggu jika operasi disertai komplikasi dengan hifema pada
mata dengan rubeosis ini, dimana dapat menyebabkan penundaan terapi PRP atau
dilakukannya pembersihan ruang anterior. Selain itu, pengangkatan lensa mata pada pasien
dengan PDR dapat mempercepat perkembangan retinopati dan memperburuk
neovaskularisasi pada iris, kemungkinan dengan mengambil batas difusi dari faktor
angiogenik dari segmen posterior ke anterior.
Kami melakukan percobaan penelitian pada mata dengan katarak
yang padat dan rubeosis terkait diabetes (tanpa tractional retinal
decahment (TRD)) terapi dengan injeksi intravitreal ranibizumab
dan berikutnya operasi katarak beberapa hari setelah injeksi
pertama. Tujuannya adalah untuk mengembangkan terapi yang
lebih cepat untuk mata dengan rubeosis iridis akibat diabetes dan
katarak yang menghalangi PRP.
MATERIALS AND METHODS
-Desain Studi
Studi ini adalah open-label, single-center, phase I trial dengan periode terapi selama 12
bulan (fase intervensi) dimana termasuk 3 bulan injeksi ranibizumab intravitreal dan
operasi katarak setelah injeksi pertama, diikuti dengan fase observasi selama 12 bulan
yaitu pada bulan ke 12, 18 dan 24. Studi ini telah disetujui oleh University of Medicine
and Dentistry of New Jersey (UMDNJ) Institutional Review Board (IRB), yang
dilakukan sesuai dengan prinsip Deklarasi Helsinki, dan merupakan persyaratan
HIPAA. Setelah informed consent tertulis diperoleh, pasien yang telah terdaftar
menerima injeksi intravitreal ranibizumab 0,5 mg (hari ke 0) diikuti dengan operasi
katarak di antara hari ke 6 dan 16, dan dua injeksi tambahan pada bulan ke 1 dan 2.
Visit follow-up dilakukan kemudian pada bulan ke 3, 5, 7, 9 dan 11. Jika
neovaskularisasi pada iris, diskus optikus, dan/atau retina tampak pada injeksi
lanjutan selama 3 bulan pada saat kapan pun, pasien diterapi ulang dengan
injeksi intravitreal ranibizumab dan PRP (dalam 2 minggu). Pemeriksaan
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) best corrected visual
acuity (BCVA), pengukuran intraocular pressure (IOP), pemeriksaan mata, slit-
lamp, gonioscopy, color fundus photography, FA, and Stratus optical coherence
tomography (OCT) dilakukan setiap visit. USG dilakukan untuk
mengesampingkan TRD dan pendarahan vitreal (VH) jika pemeriksaan retina
yang adekuat tidak bisa dilakukan akibat rendahnya opasitas media refraksi.
SUBJECT SELECTION
Pasien yang memenuhi syarat adalah
Pasien dengan usia di atas 18 tahun dengan diabetes melitus (DM)
Katarak yang padat
Rubeosis iridis akibat PDR
Memiliki hgba1c<12% yang diukur dalam 60 hari visit.
Kriteria eksklusi yaitu
Kehamilan atau menyusui
Adanya TRD yang telah dikonfirmasi dengan USG
Telah melakukan operasi katarak/glaukoma
Sebelumnya telah melakukan pars plana vitrectomy (PPV)
Konjungtivitis, keratitis, skleritis, atau endophtalmitis
Penggunaan steroid untuk intravitreal peribulbar atau retrobulbar dalam 3
bulan terakhir
Pernah melakukan terapi anti-vegf intravitreal dalam 60 hari terakhir
Penggunaan bersamaan dengan anti-vegf agents
Kondisi sistemik yang tidak terkontrol seperti hipertensi, hiperkolesterolnemia,
coronary artery disease, DM hgba1c 12%)
Mengkonsumsi obat-obatan untuk tujuan eksperimen dalan 12 minggu terakhir
Sedang dalam pengobatan untuk penyakit infeksi sistemik
OUTCOME MEASURES
.
Titik akhir utama pada studi ini adalah insidens dan keparahan AEs yang
dan yang terjadi selama pengobatan PDR saat bulan ke 12. Titik akhir kedua
Empat pasien telah didaftarkan pada percobaan ini. Demografi pasien dan
karakter dasar telah dirangkum pada Tabel 2. Untuk catatan, pasien 1 dan 3
telah menyelesaikan intervensi dan observasi; pasien 2 telah menyelesaikan
hanya fase intervensi karena pasien berpindah tempat tinggal, dan pasien 4
keluar dari studi 2 bulan setelah injeksi ranibizumab injeksi.
ADVERSE EVENTS
Tidak ada efek samping yang berhubungan dengan operasi katarak maupun
pengobatan PDR yang terjadi pada 4 pasien tersebut. Tiga pasien dirawat di
rumah sakit karena kondisi yang sudah ada sebelumnya dan komplikasi terkait,
seperti kaki diabetes, tamponade jantung, insufisiensi renal, dan gastritis [Tabel
3].
PROLIFERATIVE DISEASE
Rubeosis iridis yang terobservasi dan telah terselesaikan pada hari
keempat setelah injeksi inisial ranibizumab sebelum operasi katarak pada
3 dari 4 pasien. Rubeosis telah ditandai berkurang pada pasien ke 4 pada
saat ini dan telah menghilang pada visit 2 minggu berikutnya. Kejadian
berulang rubeosis atau NVA seletah injeksi ranibizumab 3 bulan tidak
ditemukan pada setiap kali visit pada setiap pasien. Pada bulan ke 12,
pada 3 pasien tidak menunjukkana danya PDR (1 pasien tidak ter-follow
up setelah bulan ke 3). Satu pasien didapatkan neovaskularisasi pada disk
saat bulan ke 5 dan kemudian menjalani injeksi ranibizumab dan PRP.
NVD segera mengalami kemunduran dan tidak tercatat pada minggu
kedua visit pasca-injeksi saat PRP dilakukan dengan slit-lamp seperti
protokol studi. Tidak ada PDR yang tampak pada bulan ke 7; tetapi pada
bulan ke 9, NVD dan neovaskularisasi di tempat lain ditemukan secara
klinis dan pada FA. Terapi kombinasi dilakukan dengan ranibizumab
intravitreal dan tambahan PRP 1 minggu setelahnya, dan
neovaskularisasi tampak berkurang dengan segera. Tidak ada rekurensi
selanjutnya pada pasien selama studi berlangsung.
SECONDARY MEASUREMENTS
Hasil akhir dari titik akhir kedua telah dirangkum pada Tabel 1.
CASE REPORTS
Seorang laki-laki hispanik berusia 63 tahun dengan riwayat DM tipe 2 insulin dependent.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi dan hiperkolestrolemia yang signifikan.
Penyakit Diabetesnya telah menyebabkan ulcer pada kedua kakinya dan hallux kiri telah
diamputasi 3 bulan SMRS. Pasien direkrut ke dalam penelitian dengan NVI yang diperluas dari
pukul 5.30 sampai pukul 10, katarak yang padat, dan PDR tanpa traksi ablasio retina dengan
ultrasound. NVI pasien mengalami regresi setelah 2 minggu setelah injeksi pertama
ranibizumab. Tidak ada PDR tercatat pada pemeriksaan retina setelah operasi katarak pada
bulan pertama. Akan tetapi NVD dan NVE tercatat pada follow up pada bulan ke 5 dan 9.
ETDRS BCVA mengalami peningkatan dari 20/160 menjadi 20/50 pada bulan ke 2 dan 20/63
pada bulan ke 12. Hasil pemeriksaan mata tetap stabil setelah pengobatan pada bulan ke 9
dengan tanpa pengulangan rubeosis setelah bulan ke 24
Seorang wanita berusia 65 tahun dengan riwayat 23 tahun mengalami DM
tipe 2 noninsulin dependent, hiperkolestrolemia dan gastritis. Riwayat
penyakit matanya termasuk VH minimal pada mata kirinya dan pasien ini
berstatus post PRP karena PDR pada kedua matanya. NVI pasien berespon
tepat dan tidak tercatat pada visite hari ke 4 setelah injeksi pertama
ranibizumab. Pasien telah selesai di follow up selama 24 bulan tanpa
adanya rekurensi PDR. Penelitian yang signifikan selama 2 hari perawatan
untuk gastritis yang sudah ada sebelumnya selama 15 bulan setelah 3 bulan
terakhir diinjeksi ranibizumab. ETDRS BCVA pasien meningkat dari
20/200 menjadi 20/80 pada bulan ke 2 dan 20/25 pada bulan ke 7 dan bulan
ke 12.
Seorang laki-laki afrika-amerika berusia 43 tahun dengan riwayat DM,
sudut terbuka kronik. Pasien selesai diteliti setelah bulan ke 3 visite dan
ranibizumab untuk mengatasi rubeosis iridis dikarenakan PDR pada mata dengan
katarak yang padat yang menghalangi PRP sebagai inisial terapi untuk rubeosis.
Pada penelitian percobaan ini injeksi intravitreal secara multiple dari ranibizumab
di toleransikan dengan baik pada pasien dengan rubeosis iridis, PDR,dan katarak
yang menghalangi PRP. Tidak ada efek samping pada mata terutama yang
dengan PDR dapat meningkatkan paparan sistemik terhadap ranibizumab setelah injeksi
intravitreal, hal ini menyebabkan peningkatan resiko, terutama yang dari perdarahan non-
ocular dan tromboemboli. Selama penelitian, 2 pasien diperikan perawatan untuk CHF.
Sedangkan satu pasien dilakukan debridement untuk ulkus diabetes pada kaki. Dua pasien
dilakukan pengobatan untuk nephropathy DM, dan satu pasien dilakukan perawatan untuk
untuk PDR dan rubeosis iridis akibat diabetes. Injeksi ranibizumab intravitreal
bisa saja diperkenankan untuk lain pengobatan yang cepat untuk pasien
dengan NVI dan katarak yang padat yang dapat mencegah mereka
mendapatkan PRP, standar terapi untuk PDR, sampai katarak pasien dapat