Dilema Pergulaan Indonesia Keinginan meningkatkan produksi gula dalam negeri agar mandiri memenuhi kebutuhan nasional masih jauh dari target yang dibutuhkan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering kali masih kurang sesuai. Tak jarang juga menyisakan dilema di lapangan. Aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 16/M- DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan GKR melalui Pasar Lelang Komoditas misalnya. Aturan itu telah menetapkan ketentuan gula kristal rafinasi (GKR) yang diproses dari gula mentah impor hanya didagangkan melalui mekanisme pasar lelang komoditas. Sesuai aturan tersebut maka seharusnya gula rafinasi tidak dijual bebas di masyarakat. Namun faktanya gula rafinasi mudah ditemukan di masyarakat setelah dikemas rapi layaknya gula biasa. Sulit membedakan secara fisik antara gula biasa dan gula rafinasi. Mereka dilema. Kalau itu ditindak, pasokan gula untuk masyarakat berkurang dan menyebabkan harga akan tinggi. Ujung-ujungnya inflasi akan sangat tinggi. Di sisi lainnya, Pemda setempat juga bisa jadi ditegur oleh pemerintah pusat. Hal ini sudah terjadi semenjak tahun 2000-an, tutur Khudori. kepada Validnews, Senin (8/8/2017). Bumerang Bernama Pemerintah Produksi pabrik gula rafinasi bila dibiarkan tanpa ada pengawasan memang tak akan adil bagi pabrik GKP. Alasannya, pabrik gula rafinasi mampu beroperasi sepanjang tahun asalkan tetap terus dapat izin impor bahan baku. Sementara pabrik gula konsumsi (GKP), masih harus tergantung pada beberapa faktor. Seperti halnya harus memastikan kualitas tebu bagus dan petani tidak gagal panen. Titik masalahnya memang adalah ketimpangan antara produksi gula konsumsi dan gula rafinasi. Berdasarkan kecenderungan yang ada, izin impor gula mentah sebagai bahan baku pabrik gula rafinasi itu melebihi dari kebutuhan industri. Akibatnya ketika gula rafinasi itu berlebih, otomatis bakal mencari pasar berikutnya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi, pabrik gula yang dimiliki BUMN masih belum dapat diharapkan produksinya. Alasannya sederhana. Karena pabrik gula BUMN pada umumnya justru masih didukung oleh teknologi lawas sehingga berefek kapasitas produksi yang kecil. Selain itu, kepastian bahan baku pabrik gula BUMN pun juga rendah akibat tak memiliki lahan sendiri. Kebijakan Impor Yang Merugikan Selain kebijakan tentang impor, kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah harga patokan gula. Tahun 2012 dikeluarkan Permendag No.28/M-DAG/PER/5/2012 Tentang Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih. Dalam Permendag tersebut harga di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 8.100/kg. Kebijakan mengenai harga patokan tersebut terus diperbaharui setiap tahunnya. Hingga tahun 2016 berdasarkan Permendag No. 63/M-DAG/PER/9/2016 Tahun 2016, ditetapkan bahwa harga acuan pembelian di tingkat petani masing-masing sebesar Rp 9.100/kg untuk harga dasar dan Rp 11.000/kg untuk harga lelang. Sementara di tingkat konsumen harga jualnya adalah sebesar Rp 13.000/kg. Berbagai pertimbangan dalam penyusunan strategi besar pergulaan nasional tersebut pada dasarnya bertujuan menciptakan swasembada gula. Namun demikian, hal tersebut bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Besarnya ego sektoral merupakan salah satu persoalan besar yang selama ini belum mampu diselesaikan secara tuntas. Jika tidak terselesaikan, strategi besar pergulaan nasional hanya berhenti di tataran rencana, tanpa tahu kapan hal tersebut dapat terimplementasikan dengan sempurna. Sekian Dan Terimakasih