Anda di halaman 1dari 42

SUMBER PEMBIAYAAN (II)

Christian Adytia S.
Nindia Nur A P
Sherly Meilana
Anjak Piutang (Factoring)
Pengertian Anjak Piutang
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan pasal 1
(e) bahwa Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang
jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut
Manfaat Anjak Piutang
Menurunkan biaya produksi
Memberikan fasilitas pembayaran di muka
Meningkatkan daya saing perusahaan klien
Meningkatkan kemampuan perusahaan klien memperoleh
laba
Menghindari kerugian karena kredit macet
Mempercepat proses ekonomi
Pengaruh Pajak terhadap Pembiayaan
Anjak Piutang
1. Pajak Penghasilan
Berdasarkan Surat Direktur Jendral pajak No. S-78/PJ-
311/1996 tanggal 19 April mengenai Pembebasan Pasal 23
atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan Anjak Piutang,
ditegaskan bahwa penghasilan dari perusahaan anjak piutang
yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan baik yang
diterima berupa diskon, service charge dan provisi tidak
dikenakan pemotongan PP Pasal 23 oleh perusahaan yang
membayarkan. Hal ini menunjukkan bahwa klien tidak boleh
memotong pajak penghasilan pasal 23 yang terutang oleh
factor serta bagi klien peraturan ini tidak mempengaruhi
jumlah pajak yang harus dibayarkan.
Pengaruh Pajak terhadap Pembiayaan
Anjak Piutang
2. Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.
202/KMK.04 /1996 tanggal 18 April 1996 tentang Nilai Lain
dasar Pengenaan Pajak, disebutkan bahwa Penyerahan Jasa
Anjak Piutang terutang pajak pertambahan nilai sebesar
sebesar 10% x 5% x jumlah seluruh imbalan yang diterima
berupa service charge, provisi, dan diskon yang terutang
pada saat penandatanganan perjanjian pembiayaan.Adanya
peraturan tersebut, klien akan membebankan pajak
pertambahan nilai sebagai tambahan biaya, karena sifat pajak
pertambahan nilai dari transaksi anjak piutang tidak dapat
dikreditkan sebagai pajak masukan.
Contoh Kasus
PT ABC Sukses Mandiri telah mendatangani perjanjian anjak
piutang dalam rangka mendapatkan fasilitas anjak piutang
financing dari PT Multi Finance Company dengan syarat dan
kondisi sebagai berikut:
Leasing (Sewa Guna Usaha)
Pengertian Sewa Guna Usaha
Menurut PSAK No. 30 ( 1169/KMK.01/1991 Jo SE-
(Revisi 2007) 10/PJ.42/1994)
menyebutkan bahwa Adalah kegiatan pembiayaan
Sewa (Lease) adalah suatu dalam bentuk penyediaan
perjanjian di mana lessor barang modal baik secara
memberikan hak kepada SGU dengan hak opsi
lessee untuk menggunakan maupun
tanpa hak opsi untuk
suatu aset selama periode digunakan oleh Lessee
waktu yang disepakati. selama jangka waktu
tertentu berdasarkan
pembayaran secara
berkala.
Leese adalah perusahaan Lessor adalah perusahaan
atau perorangan yang pembiayaan atau
menggunakan barang perusahaan sewa guna
modal dengan pembiayaan usaha yang telah
dari lessor. memperoleh ijin usaha
dari Menteri Keuangan
dan melakukan kegiatan
sewa usaha.
2 Jenis Sewa Menurut PSAK No. 30
1. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah sewa yang
mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada
akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan
2. Sewa Operasi (Operating Lease) adalah sewa yang tidak
mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan suatu aset
Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa
guna usaha dengan hak opsi (finance lease) apabila
memenuhi semua kriteria berikut:
Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa
sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa
barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor;
Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya
sebagai berikut:

- 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I,


- 3 (tiga) tahun untuk barang modal II dan III
- 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan.

Penggolongan jenis barang modal ini mengacu kepada ketentuan dalam Undang -
undang Pajak Penghasilan;
Perjanjian sewa guna usaha membuat ketentuan
kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa
guna usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut:

Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa


sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga
perolehan barang modal yang disewa guna usahakan
ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
Perjanjian sewa guna usaha tidak membuat ketentuan
mengenai opsi bagi lessee.
Contoh kasus leasing
Dalam rangka meningkatkan produksinya, PT ABC
merencanakan menambah sebuah mesin dengan harga
Rp 1.000.000.000. PT ABC sedang mempertimbangkan
untuk membeli langsung atau menggunakan sewa guna
usaha dengan hak opsi. Dengan diketahui tingkat suku
bunga sebagai berikut:

Bunga pinjaman : 20% (digunakan sebagai


tingkat diskon)
Bunga sewa guna usaha : 22%
Umur aset : 4 tahun
Guna Usaha dengan Hak Opsi atau membeli
mesin baru ?
Pengadaan Mesin Melalui Sewa Guna usaha
dengan Hak Opsi
Setelah melakukan perhitungan biaya angsuran
pengadaan mesin melalui sewa guna usaha dengan hak
opsi yang menggunakan tingkat suku bunga 22% dan
tingkat diskon 20% selama 4 tahun atau 48 bulan, maka
didapat hasil berikut:
Penyusutan Mesin yang di Beli dan di sewa guna
usahakan dengan hak opsi dengan tingkat diskon 20%.
Nilai aset : Rp100.000.000
Metode penyusutan : saldo menurun
Umur Aset : 8 tahun
Pengadaan Mesin Melalui Pembelian
Beban Penyusutan dan Nilai Tunainya
Nilai Aset : Rp 1.000.000.000
Umur mesin : 8 tahun
Metode Penyusutan : Saldo menurun
Tingkat diskon : 20%
Hybrid Financial Instruments

Dapat didefinisikan sebagai intrumen keuangan yang


memiliki karakteristik ekonomi yang tidak konsisten, baik
secara parsial maupun secara keseluruhan terhadap
bentuk legalnya. Sementara itu, OECD mendefinisikan
hybrid financial instrument sebagai intrumen keuangan yang
diklasifikasikan berbeda diantara negara negara yang
terlibat dalam transaksi intrumen tersebut.
Pada dasarnya, sumber pembiayaan perusahaan secara garis besar
terdiri dari 4 hal, yaitu:
Pendanaan internal, misalnya dengan menahan laba
Pendanaan melalui modal (equity financing) dan distribusi laba
(distributing dividend)
Pendanaan melalui utang (debt financing)
Anjak piutang (factoring) dan leasing
Namun, walaupun demikian, ada kalanya untuk meningkatkan
pembiayaan, suatu perusahaan perlu menggunakan lebih dari satu
sumber pembiayaan, sehingga perhitungan akuntansi dan pajaknya
merupakan gabungan dari jenis pembiayaan yang dipilih.
Salah satu instrumen keuangan yang saat ini banyak digunakan oleh
perusahaan dalam melakukan investasi adalah hybrid financial instruments. Dari
sisi pertimbangan komersial, inovasi instrumen keuangan dengan menggunakan
hybrid financial instruments akan memberikan keuntungan bagi perusahaan saat
menghadapi risiko investasi yang besar. Inovasi instrumen keuangan dalam
hybrid financial instruments dapat dilihat dari karakteristiknya yang
mencampurkan karakteristik instrumen utang dan juga karakteristik instrumen
modal.

Utang Modal

Dana akan dikembalikan dalam jangka waktu Dana hanya akan dikembalikan pada saat
yang telah ditetapkan
likuidasi

Imbalan dari utang harus tetap dibayar Imbalan dari penyertaan modal tergantung
meskipun penerima utang dalam keadaan dari performa usaha penerima modal
merugi
Dalam keadaan likuidasi, pemberi utang Hak pemberi mdoal (pemegang saham) atas
(kreditor) memiliki hak prioritas atas aset asset merupakan hak tagih terakhir setelah
kreditor
Pemberi utang (kreditor) tidak memiliki Pemberi modal (pemegang saham) memiliki
kontrol atas perusahaan
kontrol atas perusahaan
Contoh hybrid financial instruments
Saham preferen
Shareholder loan
Participation bonds
Convertible bonds
Warrant bonds
Dalam aspek pajaknya, hybrid financial instrument seringkali digunakan dalam
perencanaan pajak pada tingkat internasional karena terdapat perbedaan dalam
pengklasifikasian dan perlakuan pajak di beberapa negara yang mengakibatkan peluang
tax arbitrage meningkat. Hybrid financial instruments sering digunakan untuk tujuan
penghindaran pajak (tax avoidance) melalui profit shifting yang mengakibatkan dasar
pengenaan pajak dalam negeri suatu negara bisa terkikis (Base Erosion Effect). Isu ini
membuat OECD membahas secara mendetail dalam laporannya yang berjudul
Addressing BEPS (Base Erosion Profit Sharing). Dalam laporan tersebut, OECD
memaparkan bagaimana BEPS menjadi ancaman serius terhadap penerimaan,
kedaulatan, dan keadilan dalam sistem perpajakan. Hal ini menandakan bahwa isu BEPS
ini tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang saja, melainkan juga negara-
negara maju yang merupakan negara asal dari perusahaan multinasional.
Tujuan perpajakan yang dapat dicapai dengan
menggunakan instrumen keuangan hibrid dalam
perencanaan pajak adalah sebagai berikut:

a. Memperoleh pengurangan ganda (double dipping) atas


pembayaran bunga
Perusahaan yang memungkinkan pembebanan bunga
b.
pada suatu negara dan tidak dikenakan pajak di negara
lainnya
Mengatasi tax avoidence rule dengan struktur
c.
pembiayaan yang menghindari permasalahan thin-
capitalization rule atau aturan back-to-back loan
Menghindari atau mengurangi tarif pemotongan pajak
d.
penghasilan dan pajak atas laba pengalihan harta
Menunda penerimaan penghasilan atau mendapatkan
e.
pengurangan pajak secara dini
Suatu instrumen keuangan hybrid yang bertujuan
memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan di antara
dua negara dan tidak memiliki tujuan komersial yang
bonafide mengakibatkan dasar pengenaan pajak dalam
negeri suatu negara bisa terkikis sehingga hal ini
dianggap sebagai bentuk penghindaran pajak yang
menjadi ancaman serius berbagai negara dan saat ini
berupaya diatasi melalui reformasi pajak
Saat ini, Indonesia belum memiliki ketentuan pencegahan
penghindaran pajak baik secara khusus maupun umum
yang dapat menangkal praktik penghindaran pajak melalui
penggunaan instrumen keuangan hybrid. Walaupun
otoritas pajak Indonesia memiliki wewenang untuk
merekarakterisasi transkasi utang sebagai modal, namun
dengan tidak adanya peraturan yang dapat digunakan
sebagai batasan antara utang dan modal menjadi kendala
bagi kepastian hukum menjustifikasi wewenang otoritas
pajak tersebut.
Contoh
Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Ciamik,
mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan
asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi
selama tahun 1995 sebesar Rp 1 Miliar.
Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1
Miliar = Rp500.000.000,-
PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000,-
= Rp100.000.000,- (10% x Rp1 Miliar)
* Jika PT Ciayo mengasuransikan kepada perusahaan
asuransi di dalam negeri, PT Hore (Perusahaan asuransi di
Indo), dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar
Rp1 Miliar, dan kemudian PT Hore mereasuransikan
sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan
asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar
Rp500 juta.
Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500 juta =
Rp50.000.000,-
PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT Hore adalah =
20% x Rp50 juta = Rp10.000.000,- (2% x Rp500.000.000,

Anda mungkin juga menyukai