Anda di halaman 1dari 87

DASAR-DASAR KONSTITUSIONAL

Oleh
SUWANDI, S.H.,M.H.
Widyaiswara Utama Kemenkumham

Di sampaikan pada Diklat Perancangan Peraturan Perundang-


Undangan
Badan Diklat Propinsi DIY April 2017

1
1. KEDUDUKAN PANCASILA DAN UUDN RI TAHUN
1945 DALAM PEMBENTUKAN PUU
Konstitusi dalam berbagai bahasa
Konstitusi, Undang-Undang Dasar, Constituer,
Constitution, Grondwet, Grundgesetze, Vervassung,
Masyrutiyah ;
Konstitusi = UNDANG-UNDANG DASAR (Oliver
Cromwel, Sri Sumantri, Lord James Bryce, CF Strong);
Konstitusi lebih luas dari pada UUD (Apeldoorn);
(Carl Schmitt) Konstitusi dalam artian positif berisi
keputusan politik tertinggi suatu bangsa (rakyat) yang
dalam perspektif Indonesia suatu perjanjian luhur
bangsa Indonesia yang dituangkan dalam PANCASILA
dan UUDN RI Tahun 1945, dimana PANCASILA
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara
Indonesia dan UUDN RI Tahun 1945 sebagai hukum
dasar dari Peraturan Perundang-Undangan Indonesia.

2
PENGERTIAN
Konstitusi adalah sistem yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang
tertulis, maupun tidak tertulis yang menjadi pola dasar acuan suatu
negara dalam menjalankan roda pemerintahan.
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam PUU.
Peraturan Daerah adalah Peraturan PUU yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dengan
persetujuan bersama (Gubernur/Bupati/Walikota)
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama
Presiden.
Program Legislasi Nasional adalah Instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan UU yang disusun secara terencana, terpadu,
dan sistimatis.

3
Dalam menyusun suatu PUU, landasan konstitusional
memegang peranan penting dan strategis, karena konstitusi
merupakan Hukum dasar bagi suatu bangsa. Sebagai hukum
dasar suatu bangsa atau negara, maka secara hierarki semua
PUU yang dibentuk oleh negara haruslah tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat) sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan
UUD Tahun 1945 yang kemudian diangkat ke dalam Pasal 1
ayat (3) perubahan ke-tiga UUDN RI Tahun 1945 dengan
rumusan Negara Indonesia adalah negara hukum
Dalam TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang sumber
hukum dan tata urutan perundang-undangan, menempatkan
Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUDN RI Tahun
1945, dan Batang Tubuh UUDN RI Tahun 1945 sebagai
sumber hukum dasar nasional

HMA 4
Dengan perkataan lain, TAP MPR No.III/MPR/2000 telah
menetapkan bahwa Sumber hukum dasar nasional
Pancasila dan UUDN Negara 1945 adalah Hukum dasar
tertulis.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan konstitusional,
maka semua tindakan negara dan pemerintah (termasuk
seluruh masyarakat), haruslah sesuai dan berlandaskan
kepada konstitusi.
Demikian pula PUU yang dibuat sebagai pelaksanaan atau
penjabaran konstitusi harus mencerminkan isi dari
konstitusi, bukan malah bertentangan dengan konstitusi.
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam
sistem norma yang ditetapkan terlebih dahulu merupakan
gantungan bagi norma yang berada dibawahnya.

5
Menurut Maria, yang mengutip pendapat A.Hamid,SA berdasarkan
teori jenjang Stoefen Theory Hans Kelsen, suatu norma hukum itu
selalu berdasar dan bersumber pada norma diatasnya, norma hukum
tersebut menjadi sumber dan dasar bagi norma yang lebih rendah.

HANS KELSEN HANS NAWIASKY


GRUNDNORM Membagi 4 kelompk

NORM Staats
fundamental
norm
NORM Staatsgrund
gezetz
NORM
Formell Gesetz

NORM VVVbbbDASAR M
vveVerordnung
NORM danrAutonome Satzung

6
Kelompok pertama (Staatsfundamentalnorm) bila
dikaitkan dengan sistem hierarki Peraturan PUU di
Indonesia, yang disebut dengan norma fundamental
negara maka Pancasila adalah merupakan cita hukum
(rechts idee), sebagai bintang pemandu (leitstern) bagi
UUDN RI Tahun 1945 yang berisi aturan dasar/pokok
negara (sebagaimana dikatakan oleh A Hamid SA.)
Kelompok kedua (Staatsgrundgezetz) atau aturan
dasar/pokok negara, yang merupakan aturan umum dan
masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan
norma tunggal dan belum disertai norma skunder (yang
berisi sanksi). Aturan dasar/pokok kalau dituangkan dalam
satu dokumen resmi menurut A.Hamid SA yang mengutip
pendapat Hans Nawiasky, dinamakan staatsverfassung dan
bila dituangkan dalam berbagai dokumen disebut
staatsgrundgesetz.
7
Kelompok ketiga (Formell gesetz) yang kita kenal
dengan Undang-Undang. Pengertian UU dalam arti formil
(wetin formele zin) dan UU dalam artian materiel (wet in
materiele zin) kurang tepat diterapkan disini, karena yang
dimaksud dalam Formell Gesetz disini hanyalah peraturan
yang dibentuk DPR dan Presiden yang namanya Undang-
Undang. Dalam kelompok inilah norma hukum yang dapat
dilekati dengan norma skunder yaitu berupa sanksi untuk
penegakan hukumnya.
Kelompok keempat (Verordnung dan Autonome
Satzung) yaitu peraturan pelaksanaan dan peraturan
otonom yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang (Fomell Gesetz) yang dibuat oleh
lembaga atau pejabat baik berdasarkan kewenangan
atribusi

8
Sistem Hukum Indonesia

Sistem Hukum Indonesia adalah Suatu


rangkaian konsepsi atau pengertian hukum yang
saling terkait dan tergantung, saling pengaruh-
mempengaruhi, yang terdiri atas perangkat
peraturan perundang-undangan, aparatur
penegak hukum, dan kesadaran hukum atau
budaya hukum masyarakat Indonesia yang saling
terpadu (totalitas) yang unsur-unsurnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya yang
semuanya dilandasi oleh falsafah Pancasila dan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9
SISTEM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Sistem Peraturan Perundang-undangan


Indonesia adalah Suatu rangkaian unsur-unsur
hukum tertulis yang saling terkait, pengaruh-
mempengaruhi, dan terpadu yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya yang terdiri atas :
azas-azas pembentukan PUU, azas materi
muatan, jenis dan hirarki, kedudukan dan fungsi,
serta tahapan pembentukannya,
penyebarluasan, penegakan dan pengujian, yang
semuanya dilandasi oleh falsafah Pancasila dan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10
DASAR HUKUM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Merupakan Pelaksanaan dari perintah Pasal 22A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 :
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan undang-undang diatur lebih
lanjut dengan undang-undang

11
Peraturan Perundang-undangan yang baik
Memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Pancasila Merupakan Sumber Segala
Sumber Hukum negara
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Praturan Perundang-Undangan
Tunduk dan patuh kepada asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, agar PUU dapat
berlaku secara efektif di masyarakat (Pasal 5 UU N0.
12 Tahun 2011);
Jenis, Hierarki PUU (Pasal 7, dan Pasal 8 UU
12/2011);
Azas Materi muatan (Pasal 6 UU No. 12/2011);

12
Lanjutan.......

Penyusunan berdasarkan Prolegnas (Ps. 45 ayat (1),


Prolegda Pasal 32 UU No. 12 Tahun 2011);
RUU : harus disertai dengan Naskah Akademik
(Ps.43 ayat (3)), PERDA : disertai dengan penjelasan
atau keterangan dan/atau NA (Ps.56 UU No. 12
Tahun 2011),
Pengharmonisasian (RUU Ps.46,47, RPP Ps.54,
RPERPRES Ps.55, dan PERDA Ps. 58 UU No. 12
Tahun 2011);
Peran serta masyarakat/partisipasi masyarakat
(Pasal 96).
Peranan seorang perancang peraturan perundang-
undangan, peneliti dan tenaga ahli (Pasal 98, dan
Pasal 99 UU 12/2011 jo PP no. 59 Tahun 2015).
Pokok Pikiran Dalam Konsideran pembentukan
peraturan PUU
Filosofis : menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yg bersumber
dari Pancasila dan pembukaan UUDN RI Tahun 1945.
Sosiologis : menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam berbagai aspek
Yuridis : menggambarkan bahwa yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut, guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat

14
Azas-Azas Pembentukan PUU
(Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011)

Kejelasan Tujuan

1
kelembagaan/pejabat
keterbukaan 7 2 pembentuk yg tepat

kejelasan rumusan kesesuaian antar


6 3
jenis, hierarki, dan
materi muatan

Kedayagunaan dan 5 4 dapat dilaksanakan


kehasilgunaan
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat;
Undang-Undang /Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), juga
mencakup Peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR,
DPD, MA, MK, BEPEKA, KY, BI, Menteri, Badan,
Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk
Undang-Undang, atau pemerintah atas perintah
undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat (Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011).

Peraturan PUU tersebut diakui keberadaannya dan


mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan PUU yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat
(2) UU No. 12 Tahun 2011)
Materi muatan PUU (harus mencerminkan azas-azas
Pasal 6 ayat (1)

Pengayoman

1
Keseimbangan, keserasian Kemanusiaan
dan keselarasan 10 2

Ketertiban dan kepas Kebangsaan


tian hokum 9 3

Kesamaan kedudukan
8 4 Kekeluargaan
Dlm Hk & Pem

Keadilan 7 5 Kenusantaraan

6
Binneka Tunggal Ika
Landasan Formil Konstitusional Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Daerah adalah Pasal 18, Pasal
18A dan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **)

19
Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan


pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. **)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang. **)

20
Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan


pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang. **)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang. **)

HMA 21
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
DASAR HUKUM
Merupakan Pelaksanaan dari perintah Pasal 18 ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 :
Pemerintah daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan
tugas pembantuan

HMA 22
Beberapa Prinsip yang perlu diperhatikan dalam
Pembentukan PUU
1. Pancasila : merupakan sumber dari segala sumber hukum negara;
(Pasal 2) ;
2. Pasal 18 ayat (6) UUD NEGARA RI Tahun 1945 merupakan
Hukum Dasar negara (tertulis) dalam Peraturan PUU yang meru
pakan dasar kewenangan dalam pembentukan PERDA;
3. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 ttg Pembentukan Peraturan
PUU (Azaz pembentukan, Materi muatan, Jenis dan khirarki
PUU):
4. Undang-undang tentang Pembentukan daerah yang bersangkutan;
5. Undang Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
6. PUU (dibawah UUD Negaras RI Tahun 1945) yang memerintah
kan secara langsung pembentukan ; Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah;
7. Khirarki PUU dan kepentingan umum
24
Gambaran Empiris Regulasi Perda

Jumlah Perda yang Bermasalah

Tahun 2010 3000 407 Sumber Data:


Biro Hukum Kemendagri
Tahun 2011 9000 351

Tahun 2012 3000 173

Tahun 2013 2500 215

Tahun 2014 2500 355

Tahun 2015 1 1 dibatalkan

JUMLAH 20.001 1.502


RINCIAN PERDA YANG DIBATALKAN

Perda tahun 2002 sampai dengan 2009 :


1878 Perda

1779 - Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;


22 - Perda tentang Minuman Beralkohol;
29 - Perda tentang Sumbangan Pihak
Ketiga;
48 - Perda lain-lain.
KLARIFIKASI PERDA
TAHUN 2010 dari 3000 Perda
407 Perda Bermasalah

324 - Perda tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah;
7 - Perda tentang Minuman Beralkohol;
2 - Perda tentang Sumbangan Pihak Ketiga;
74 - Perda lain-lain.
Lanjutan

TAHUN 2011 dari 9000 Perda


351 Perda Bermasalah

265 - Perda tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah;
12 - Perda tentang Minuman
Beralkohol;
69 - Perda tentang Sumbangan Pihak
Ketiga;
5 - Perda lain-lain.
Tahun 2012 dari 3000 Perda
173 Perda Bermasalah

61 - Perda tentang Pajak Daerah dan;


Retribusi Daerah;
18 - Perda tentang Perizinan;
35 - Perda tentang Air Tanah;
2 - Perda tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu
4 - Perda tentang Minuman Beralkohol;
24 - Perda tentang Sumbangan Pihak Ketiga;
26 - Perda lain-lain.
Tahun 2013 dari 2500 Perda ditemukan
215 Perda Bermasalah
91 - Perda Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah;
116 - Perda lainnya.

Tahun 2014 dari 2500 Perda ditemukan


355 Perda Bermasalah
Tahun 2015 2 Peraturan Daerah
Tahun 2016 Presiden mensinyalir terdapat
Peraturan yang bermasalah sebanyak 3.164

- Perda/Perkada Provinsi yang dicabut/dibatalkan


Mendagri 164;
- Perda/Perkada Kab/Kota yang dicabut/dibatalkan
Mendagri 1600;
- Perda/Perkada Kab/Kota yang dicabut/dibatalkan
Gubernur 1289;
- Perat/Keput Mendagri yg dicabur/direvisi oleh
Mendagi 111;
KENAPA
???????? ????????
TERJADI
355
UNDANG-UNDANG NOMOR 12/2011 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEBAB
JENIS
AZAS-AZAS AZAS MATERI
HIERARKI
PEMBENTUKAN MUATAN
PUU (Ps. 7 ayat
PUU (Pasal 5) Ps.6 ayat (1)
(1), Ps.8
MATERI
MUATAN
PERDA (Ps. 14)

HARMONISASI NA (Ps. 56- PROLEGDA (Ps.


(Ps. 58-63) 57) 32-41)

SUMBER DAYA
MANUSIA
PERKEMBANGAN KONSTITUSI INDONESIA
INDIESCHE Perubahan status dari negara
STAATSREGELING jajahan Belanda (Nederlands Indie) UUD 1945
menjadi Negara Indonesia (18-8-1945)
(IS 1925)
yang merdeka dan berdaulat

Perubahan bangunan organisasi negara


dari NKRI (eenheidsstaat) KRIS 1949
UUD 1945 menjadi negara serikat (federale staat) (27-12-1949)
(Keppres No. 48/1950)
dengan sebutan RIS (27 Desember 1949) (6-2-1950)

Perubahan bangunan organisasi negara


KRIS 1949 dari RIS kembali menjadi NKRI UUDS 1950
(namun dengan sistem (17-8-1950)
(UU (Fed.) No. 7/1950)
pemerintahan parlementer)

bangunan organisasi negara tetap NKRI


UUDS 1950 sistem pemerintahan parlementer UUD 1945
(5-7-1959)
kembali menjadi sistem (Keppres No. 150/1959)
pemerintahan Presidensiil
(melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
34
LEMBAGA NEGARA
I

MENURUT UUD 1945 (PASCA AMENDEMEN)

UUD 1945

BPK bank
Presiden/
Wkl-Presiden DPR MPR DPD MA MK
kpu sentral KY
Kementerian
Negara

DP-Presiden

TNI POLRI PUSAT

Lingkungan
perwklan PEMDA
Peradilan PROVINSI
BPK PROVINSI Pengadilan
Tinggi Umum
KEPDA DPRD
Pengadilan Tinggi
Agama
Pengadilan Tinggi
TUN
Pengadilan Militer

Lingkungan KAB/KOTA
Peradilan
PEMDA Pengadilan
KAB/KOTA Umum

KEPDA DPRD Pengadilan Agama

Pengadilan TUN
35
Pengadilan Militer
I
KEKUASAAN KEHAKIMAN
MENURUT UUDN RI TAHUN 1945
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
(Bab IX UUD 1945)

MK MA KY
(Psl 24 (2) dan (Pasal 24 (2), Psl 24A,
(Psl 24A (3), Psl 24B
Psl 24C UUD 1945) dan Psl 25 UUD 1945)
UUD 1945)

LINGKUNGAN
PERADILAN UMUM

Dijabarkan dalam LINGKUNGAN


Pasal 24 (2) PERADILAN AGAMA
UU No. 24/2003
tentang MK UUD 1945
LINGKUNGAN
PERADILAN TUN

LINGKUNGAN
PERADILAN MILITER

PENYIDIKAN
(POLRI)
Pasal 24 (3)
UUD 1945
PENUNTUTAN
(KEJAKSAAN AGUNG)
36
GAGASAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DAN
PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Gagasan Mohammad Yamin bukannya tidak ditindaklanjuti setelah
kemerdekaan. Dengan berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950 walaupun tindak
lanjut tersebut sebatas pada salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi yaitu
menguji UU. Hanya saja pengujian itu pun terbatas pada pengujian UU dan
peraturan perundang-undangan negara/daerah bagian terhadap KRIS 1949.
Lembaganya pun bukan bernama Mahkamah Konstitusi namun Mahkamah
Agung. Pada masa UUDS 1950 Mahkamah Agung juga diberikan kewenangan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU (bukan
terhadap UUD).

Dalam KRIS 1949 (federal), peraturan perundang-undangan Negara/daerah


bagian dapat diuji oleh Mahkamah Agung terhadap Konstitusi (vide Pasal 156-
158 KRIS 1949). Sedangkan UU federal tidak dapat diganggu gugat
(onschendbaar) (vide Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949). Artinya, UU (federal) tidak
dapat diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD. Aturan dasar dalam
konstitusi ini kemudian dijabarkan dalam UU No. 1 Tahun 1950 tentang
Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU
No. 1/1950). UU No. 1/1950 ini telah diubah dengan UU No. 56 Tahun 1958,
karena adanya perubahan sistem ketatanegaraan dari negara federal menjadi
negara kesatuan. Selama kurang lebih 35 tahun UU No. 1/1950 ini berlaku dan
baru pada tahun 1985 diganti dengan UU No. 14/1985 setelah terlebih dahulu
ditetapkannya UU No. 14/1970 sebagai payung peraturan perundang-undangan
di bidang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.

37
APAKAH UU BOLEH DIUJI TERHADAP UUD 1945 ?
Kalau dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 ada larangan secara tegas bahwa UU
tidak boleh diuji terhadap UUD atau UU tidak dapat diganggu gugat
(ondschendbaar) , bagaimanakah pengujian UU terhadap UUD di bawah
naungan UUD 1945 (pra amendemen)?

Dalam UUD 1945 tidak diatur larangan semacam dalam KRIS 1949 dan UUDS
1950. Oleh karena itu secara teoritis-akademis pengujian UU terhadap UUD
dapat dilakukan di bawah naungan UUD 1945. Alasannya, secara
konstitusional pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya ada di tangan MPR.
Sedangkan pembentuk UU (wetgever) yaitu Presiden dan DPR, bukan
pelaksana kedaulatan rakyat, sehingga secara teoritis-akademis, UU dapat
diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945.

Karena dalam UUD 1945 sistem yang dianut adalah sistem Supremasi MPR ,
menurut Prof. Padmo Wahyono karena posisi Mahkamah Agung berada di
bawah MPR kedudukannya , MA tidak dapat menguji produk hukum yang
dibuat oleh DPR dan Presiden yang sederajat dengannya. Oleh karena itu UU
dapat diuji terhadap UUD hanya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dengan demikian pengujiannya bukanlah pengujian yang dilakukan oleh
lembaga peradilan (judicial review) namun oleh lembaga politik
(political/legislative review).

HMA 38
Lanjutan..........

Setelah memasuki era reformasi dan diadakan perubahan


terhadap UUD 1945. pada tahun 2000 ditetapkan TAP MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan (Pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966).
Dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No. III/MPR/2000: MPR
berwenang menguji UU terhadap UUD dan TAP MPR. Pengujian
ini bukan pengujian judicial (judicial review) melainkan
pengujian politis atau legislatif (political/legislative review)
karena yang menguji adalah lembaga politik (legislatif) yaitu
MPR.
Pasal 5 ayat (2) dan (3) TAP MPR No. III/MPR/2000: Mahkamah
Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah UU terhadap UU, dan dapat dilaksanakan tanpa melalui
proses peradilan kasasi. Aturan ini mengadpsi aturan Perma No.
1/1999 tentang Hak Uji Materiil.

39
Lanjutan ......

Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 itulah kemudian dalam


TAP MPR No. X/MPR/2001, MPR merekomendasikan kepada
Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah,
perlu segera melakukan penanganan khusus untuk uji materiil
(judicial review) terhadap semua peraturan daerah (Perda) yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tanpa melalui proses peradilan kasasi sesuai dengan
Pasal 5 TAP MPR No. III/MPR/2000. Namun rupanya
rekomendasi MPR tersebut tidak dapat dilaksanakan
Mahkamah Agung karena jumlah Perda ribuan yang terserak di
seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Dan menurut Paulus
Effendi Lotulung (TUADA TUN Mahkamah Agung) TAP MPR
tersebut tidak benar.

HMA 40
BENTUK/JENIS DAN HIRARKI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN (ORDE LAMA)

Surat Presiden Soekarno kepada DPR No. 2262/HK/59, 20 Agustus


1959 dijelaskan lebih lanjut dengan Surat Presiden No. 3639/HK/59,
26 November 1959, bahwa bentuk-bentuk Peraturan-peraturan
Negara:
1. Undang-Undang (UU);
2. Peraturan Pemerintah (PP);
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
4. Penetapan Presiden (Penpres);
5. Peraturan Presiden (Perpres);
6. Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Peraturan
Presiden;
7. Keputusan Presiden (Keppres), dan
8. Peraturan/Keputusan Menteri (Permen/Kepmen).
Penetapan Presiden (Penpres) adalah untuk melaksanakan Dekrit
5 Juli 1959 tentang Kembali kepada UUD 1945.

41
Lanjutan ...........

Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan yang didasarkan


pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan untuk melaksanakan
Penpres.
Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Peraturan
Presiden (Perpres) kemudian diralat dan dihapuskan oleh Surat
Presiden No. 3639/HK/59 untuk mencegah supaya tidak ada
Peraturan Pemerintah yang berbeda jenis, maka Peraturan
Pemerintah jenis kedua ini dihapus dan diberi bentuk
Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden (Keppres) berisi tindakan/perbuatan
tertentu Presiden yang bersifat penetapan (beschikking)
misalnya dalam pengangkatan pejabat tertentu.
Peraturan/Keputusan Menteri, yang dibuat di Kementerian-
kementerian Negara/Departemen-departemen Pemerintahan,
masing-masing untuk mengatur sesuatu hal (regeling) dan untuk
melakukan/meresmikan pengangkatan (beschikking).

HMA 42
BENTUK/JENIS PERATURAN NEGARA VERSI MOHAMMAD YAMIN YANG
MENGILHAMI LAHIRNYA TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966

(ASS Tambunan mengutip Moh. Yamin: Naskah Persiapan


Undang-Undang Dasar)
UUD 1945;
Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
Putusan MPR;
Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit 5 Juli
1959;
Peraturan Presiden, peraturan tertulis untuk mengatur
kekuasaan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD
1945;
Keputusan Presiden, peraturan tertulis untuk menjalan
Peraturan Presiden atau Undang-Undang di bidang
pengangkatan/pemberhentian personalia;
Surat Keputusan Presiden, penentuan tugas pegawai;
Undang-Undang;

43
Lanjutan.........

Peraturan Pemerintah (jenis pertama) untuk


melaksanakan Penetapan Presiden;
Peraturan Pemerintah (jenis kedua) untuk pengganti
Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah (jenis ketiga) untuk
menjalankan Undang-Undang;
Peraturan dan Keputusan Penguasa Perang;
Peraturan dan Keputusan Pemerintah Daerah
(Pemda);
Peraturan Tata Tertib Dewan dan
Peraturan/Keputusan Dewan. Yang dimaksud dengan
Dewan misalnya MPR, DPR, Dewan Menteri, DPA, dan
Dewan Perancang Nasional;
Peraturan dan Keputusan Menteri, yang diterbitkan
atas tanggungan seorang atau bersama Menteri.

44
JENIS/BENTUK DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN MENURUT TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966
PANCASILA
DEKRIT DAN SUPERSEMAR

UUD 1945

TAP MPR(S)

UU/PERPU

PP

KEPPRES

Per-pelaks: Permen, Inmen, dll


45
AGENDA REFORMASI
Amendemen Undang-Undang Dasar 1945
Penghapusan Dwifungsi ABRI
Penegakan supremasi hukum, penghormatan
HAM, dan pemberantasan KKN
Otonomi daerah
Mewujudkan kebebasan pers dan kehidupan
demokrasi

46
PERUBAHAN UUD 1945
PERUBAHAN (AMENDEMEN) BESAR-BESARAN (1999-2002)
TERHADAP UUD 1945 YANG MENGUBAH SISTEM SUPREMASI
MPR MENJADI SISTEM SUPREMASI KONSTITUSI YANG
MEMPENGARUHI SISTEM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA.
PERGESERAN KEKUASAAN LEGISLATIF DARI PRESIDEN
KEPADA DPR, SEHINGGA DPR MENJADI PEMBENTUK
UNDANG-UNDANG YANG UTAMA (PRIMAIRE WETGEVER)
SEDANGKAN PRESIDEN MENJADI PEMBENTUK UNDANG-
UNDANG SERTA (MEDE WETGEVER)
DIBENTUKNYA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBAGAI
PEMBENTUK UNDANG-UNDANG SERTA YANG MINI (KLEINE
MEDE WETGEVER) DENGAN SEGALA KETERBATASANNYA.
DIBENTUKNYA MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) YANG SALAH
SATU KEWENANGANNYA MENGUJI UNDANG-UNDANG
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

47
LANDASAN FORMAL MATERIIL KONSTITUSIONAL

Landasan formal konstitusional dimaksudkan untuk


memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (ada hubungannya dengan
teori wet in formele en materiele zin) yang dicantumkan dalam
dasar hukum mengingat.

1. UUD: Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 37 UUD 1945


2. UU: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945
3. Untuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu):
Pasal 22 UUD 1945
4. Peraturan Pemerintah (PP): Pasal 5 ayat (2) UUD 1945
5. Peraturan Presiden (Perpres): Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
6. Peraturan Daerah (Perda): Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Landasan materiil konstitusional dimaksudkan untuk memberikan
sign bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
merupakan penjabaran dari Pasal-pasal UUD 1945 yang dicantumkan
juga dalam mengingat suatu Peraturan Perundang-undangan yang
(akan) dibentuk.

48
Lanjutan .........

Pencantuman Pasal-pasal UUD 1945 tersebut disesuaikan


dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam batang
tubuh Peraturan Perundang-undangan tersebut. Sebagai
contoh, misalnya akan dibentuk RUU (UU) tentang Partai
Politik, dicantumkan Pasal 28 UUD 1945 karena pasal ini
memuat hak-hak dasar manusia (dalam hal ini warga negara)
untuk menyatakan ekspresinya dalam suatu kegiatan politik
atau membentuk organisasi partai politik.
Pencantuman Pasal 33 UUD 1945 dalam dasar hukum
mengingat suatu RUU (UU) memberikan indikasi bahwa
landasan materiil konstitusional RUU (UU) adalah yang
berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di bidang
ekonomi dan kekayaan alam (SDA).
Pasal-pasal UUD yang dijadikan landasan materiil
konstitusional tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam menimbang, batang tubuh, sampai dengan
penjelasan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
49
DASAR PEMIKIRAN DAN
LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945

Sistem Supremasi MPR berakibat pada tidak


terjadinya checks and balances antar Lembaga Negara
yang seakanakan tanpa ada hubungannya lagi dengan
rakyat.
UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada presiden (executive heavy) sehingga tidak
bekerjanya prinsip checks and balances dan
berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang
otoriter.
UUD 1945 mengandung pasalpasal yang terlalu "luwes"
sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu
penafsiran (multitafsir).
Presiden sebagai legislator utama dapat merumuskan
hal-hal penting (mendasar) sesuai kehendaknya
dalam UU.
50
Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara
dalam Penjelasan belum cukup didukung ketentuan konstitusi
yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis,
supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM,
dan otonomi daerah yang membuka peluang bagi
berkembangnya praktek penyelenggaraan negara yang tidak
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 antara lain :
a. Tidak adanya checks and balances antarlembaga negara dan
kekuasaan terpusat pada Presiden.
b. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik
dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan
berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagai mana
mestinya.
c. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi
persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan
tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak
tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoll,
oligopoli, dan monopsoni.
51
TUJUAN PERUBAHAN UUD 1945

menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat


lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan Pembukaan
UUD 1945 itu yang berdasarkan Pancasila dalam wadah NKRI;
menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai
dengan perkembangan paham demokrasi;
menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan
perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM
dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi
suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945;
menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara
demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan
yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan
transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru
untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan
tantangan zaman;
52
Lanjutan.......
menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan
konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan
kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan
bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sesuai harkat dan martabat kemanusiaan
dalam perjuangan mewujudkan negara
kesejahteraan;
melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan
negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan
perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti
pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan
bernegara dan berbangsa sesuai perkembangan
aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan
negara Indonesia dewasa ini sekaligus
mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun
waktu yang akan datang.
53
KESEPAKATAN DASAR

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945


Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif
yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945 yang mengandung
staats idee berdirinya NKRI, tujuan (haluan) negara serta dasar
negara yang harus tetap dipertahankan.

2. Tetap mempertahankan NKRI


Didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk
negara yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara RI dan yang
dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah
bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang.

3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial


Bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil
dan demokratis yang dianut oleh negara RI dan telah dipilih oleh
para pendiri negara pada tahun 1945.

54
Lanjutan ............

4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif


dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal
Peniadaan Penjelasan UUD 1945 untuk menghindarkan
kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari sisi
sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan.
Penjelasan UUD 1945 bukan produk BPUPKI atau PPKI
karena kedua lembaga ini menyusun rancangan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 tanpa
Penjelasan.

5. Perubahan dilakukan dengan cara "adendum


Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap
mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana
terdapat dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959
hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah perubahan-
perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah
asli.
55
PERUBAHAN UUD 1945

LAMA BARU

71 BUTIR 199 BUTIR

25 BUTIR
LAMA (12%)
199 BUTIR

174 BUTIR
BARU (88%)

56
KEDUDUKAN TAP MPR
DALAM DASAR HUKUM MENGINGAT
Ketetapan MPR (TAP MPR) dapat dimuat dalam mengingat
sebagai landasan materiil konstitusional (kalau TAP MPR
dikategorikan aturan/hukum dasar).
TAP MPR sebagai landasan materiil-yuridis atau yuridis-
materiil namun dalam TAP MPR tersebut ada perintah
langsung (secara tegas) untuk mengatur lebih lanjut dengan
UU.
Pada masa Orde Baru TAP MPR tentang GBHN pada umumnya
menjadi dasar hukum (mengingat) suatu UU . Contoh lain
misalnya TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
memerintahkan secara tegas agar dibentuk UU tentang
Referendum.
Jadi sepanjang terdapat mendelegasian (perintah tegas) maka
TAP MPR dapat dimasukan dalam dasar hukum /konsiderans
Mengingat

57
Lanjutan .........

Contoh lain adalah perintah TAP MPR No.


VI/MPR/2002 kepada DPR dan Presiden untuk
merevisi (mengubah) UU No. 22/1997 tentang
Narkotika dan UU No. 5/1997 tentang Psikotropika.
Ke depan, disepakati MPR tidak akan membuat lagi
produk hukum berbentuk TAP MPR, walaupun dalam
Keputusan MPR No. 7 jo No. 13/MPR/2004 tentang
Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih dimungkinkan
dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74).
TAP MPR tidak pernah akan menjadi landasan formal
konstitusional karena tidak pernah memuat
prosedur atau tata cara pembentukan UU.

58
POLITIK HUKUM DAN PERATURAN
PUU
Pembuatan regulasi atau PUU di Indonesia dilaksanakan
melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahsan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentu
kan PUU menentukan bahwa perencanaan penyusunan
Undang-Undang dilakukan dengan Program Legislasi
Nasional (Prolegnas).
Maka dari itu Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
merupakan potret politik hukum Indonesia yang berisi
rencana pembangunan PUU dalam periode tertentu.
Misalnya ; 5 tahun kedepan, sasaran politik hukum akan
dibawa kepada good governace.
59
Maka baik RUU yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR
maupun RUU yang di prioritaskan untuk dibahas di DPR
akan berkaitan dengan good governace.
Sasaran politik hukum nasional dirumuskan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang dimuat dalam
Pembukaan UUDN RI Tahun 1945.
Politik Hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru, maupun dengan penggantian
hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara
(Mahfud MD).
Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum
yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-
hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan, yang
kesemuanya itu untuk mencapai tujuan negara.

60
Hubungan Politik Hukum dengan PUU
Peraturan Perundang-Undangan merupakan bagian dari
Hukum yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang, hal itu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi
dibuat dengan tujuan dan beberapa alasan tertentu,
mengingat harus ada konsistensi dan korelasi antara apa yang
ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang inrgin dicapai
sebagai tujuan negara.
Politik hukum dibedakan dalam DUA dimensi :
PERTAMA adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar
dari diadakannya suatu PUU;
KEDUA tujuan atau alasan yang muncul dibalik
pemberlakuan suatu PUU, yang kemudian disebut sebagai
Kebijakan Pemberlakuan. Karena melalui kebijakan ini
dapat dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan
pemberlakuan Undang-Undang di Indonesia.
61
Dalam setiap proses pembentukan PUU didalamnya terjadi
politik hukum yang hendak dilakukan terhadap hukum
tidak boleh bertentangan dengan cita hukum yang telah
disepakati bersama.
Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar pengikat
dalam pembentukan PUU.

Peran Politik Hukum Dalam Pembentukan PUU Di


Indonesia
Peraturan PUU yang baik akan membatasi, mengatur dan
sekaligus memperkuat hak warga negara.
Pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka disatu
sisi dapat menekan dampak negatif yang dapat
ditimbulkan oleh tindakan warga negara, sekaligus juga
meningkatkan danpak positif dari aktivitas warga negara.
62
Dengan demikian hukum pada dasarnya memunculkan
aspek-aspek positif dari kemanusiaan dan menghambat
aspek negatif dari kemanusiaan.
Penerapan hukum yang ditaati dan diikuti akan
menciptakan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi
potensi masyarakat.
Permasalahan dalam Penyelenggaraan sistem dan politik
hukum pada dasarnya meliputi ; substansi hukum, struktur
hukum, dan budaya hukum;
Disisi inilah politik hukum memainkan perannya untuk
menciptakan sebuah peraturan PUU yang mampu
menciptakan sistem hukum yang transparan, independen
dan tidak memihak. Karena keberadaan PUU dan
perumusan pasal merupakan jembatan antara politik
hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum
tersebut dalam tahap implementasi PUU
63
HMA 64
65
HMA 66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
HMA 78
HMA 79
80
HMA 81
HMA 82
83
84
85
86
87

Anda mungkin juga menyukai