Anda di halaman 1dari 19

Pesawat Comet

Kelelahan Logam (Metal fatigue)

Nama: Acraz Muhammad Bahrum


Wahyu Trianto
50% faster, with a 490 MPH cruising speed.

Two pairs of de Havilland Ghost 50 Mk1 turbojet engines


were buried in the wings close to the fuselage

Ghost engine;
smooth
relatively simple
fuel-efficient
low maintenance costs
30,000ft enabled operations above weather rough.

Comet had 44 seats or used an even roomier arrangement of 36 seats.

30,000 passengers were carried during the first year of service and over
50 Comets were ordered.
Innovative Design Elements;
low-drag
a swept leading edge
integrated wing fuel tanks
four-wheel bogie main undercarriage

The Comet was also the first pressurised jet-propelled commercial aircraft.

For emergencies, life rafts were stored in the wings near the engines and
a life vest was stowed under each seat bottom.

The Comet's thin metal skin which saved weight and reduced the risk of fatigue
cracks spreading from the rivets.
Pesawat Comet, pesawat jet pertama yang diproduksi pada masanya.
Diproduksi oleh de Havilland di Hatfield, Hertfordshire, Inggris, prototipe
Comet 1 terbang perdana pada tanggal 27 Juli 1949. Fitur aerodinamis
dilengkapi dengan empat Ghost Turbojet Engine yang dipasang pada kedua
sayapnya membuat pesawat ini menjadi icon pesawat jet paling nyaman di
masanya. Kesuksesan ini pun mengantarkan de Havilland unggul dalam
persaingan maskapai penerbangan lainnya saat itu.
10 Januari 1954, Comet G-ALYP terbang dari Roma ke London, rute terbang terakhir
dari rangkaian penerbangan panjangnya dari Singapura, membawa 29 penumpang
dan enam awak pesawat. Dipimpin oleh kapten Alan Gibson, pesawat tersebut lepas
landas pada pukul 09.34 waktu setempat ke bandar udara London Heathrow, London.

Pesawat Comet direncanakan terbang di ketinggian 11.000 kaki di atas permukaan laut.
Dengan ketinggian tersebut, pesawat dilengkapi dengan sistem kontrol tekanan udara
di dalam kabin agar penumpang dapat tetap bernapas dengan normal. Dalam
perjalanan mengudaranya, pesawat Comet G-ALYP tersebut masih dapat
berkomunikasi dengan pesawat lain, Argonaut G-ALHJ, yang dipimpin oleh kapten
Johnson lewat radio pesawat. York Peter adalah kode untuk Comet G-ALYP, dan How
Jig untuk Argonaut G-ALHJ, sesuai dengan kode pesawat masing-masing. Namun
setelah 20 menit mengudara, hubungan dengan pesawat Argonaut pun terputus.
George How Jig, did you get my begitu pesan terakhir dari Comet. Dan tepat pada
saat ini lah puing-puing badan pesawat terlihat berjatuhan di sekitar pulau Elba, Italia.
Kecelakaan ini sontak mengejutkan publik, termasuk BOAC, korporat maskapai
penerbangan Inggris. BOAC memutuskan untuk membatalkan semua penerbangan
dengan de Havilland Comet hingga investigasi ini berujung kepada simpulan yang
signifikan. Gerry Bull, senior engineer dari BOAC yang bertugas memeriksa kelayakan
pesawat sebelum lepas landas yakin bahwa ia tidak menemukan kerusakan komponen
atau bagian penting lain pada pesawat tersebut. What did I do? Did I missed
something? begitu katanya sesaat setelah mendengar berita jatuhnya pesawat.
Investigasi
Tanpa bukti, black box, cockpit voice recorder, dan saksi selamat,
investigasi diperkirakan akan sulit dilakukan. Media melansir bahwa
kecelakaan adalah bentuk sabotase. Ada pula pemberitaan terkait
terorisme. Untuk meredam isu tersebut, BOAC memerintahkan Abell
Committee Court untuk menyelidiki sumber kecelakaan. Hipotesis awal
Abell Committee adalah bahwa penyebab potensial kecelakaan tersebut
bersumber dari ledakan. Karena itu, beberapa perubahan terkait
proteksi engine dan desain sayap pun dilakukan.
Selama investigasi, Royal Navy memimpin operasi recovery. Operasi ini sangat
berat, terutama karena ketidakmapanan teknologi saat itu. Bangkai pesawat
yang tenggelam sedalam 102 meter di bawah permukaan laut menyulitkan
pasukan maritim untuk menyelam dan mengangkatnya. Puing pertama dari
pesawat ditemukan pada Februari 1954 dan diinvestigasi hingga September
1954. Hasil rekonstruksi forensik belom menunjukkan hasil signifikan, kecuali
bahwa mayat korban tidak menunjukkan adanya luka akibat ledakan, namun
hanya patah tulang dan retaknya tempurung kepala. Karena tidak ditemukan
penyebab signifikan lainnya, pemerintah Inggris memutuskan untuk
mempublikasikan hasil penyelidikan mengenai kronologi kecelakaan pesawat,
hasil investigasi yang dilakukan, serta efek finansial dari dihentikannya
penerbangan Comet.

Menimbang besarnya kerugian finansial yang ditimbulkan


akibat parkirnya pesawat Comet, pada tanggal 2 April di
tahun yang sama, pemerintah Inggris memberikan izin
kepada BOAC untuk kembali membuka penerbangannya.
Ya, pesawat Comet siap untuk kembali lepas landas
melayani publik.
Cacat rancangan

Another fact was that the supports around the


windowsAnother fact was that the supports around the
windows were only riveted not glued, as the original
specifications ofwere only riveted not glued, as the
original specifications of the air craft.the air craft.

The problem was exacerbated by the punch rivet


construction technique employed. Unlike drill riveting,
the imperfect nature of the hole created by punch
riveting caused manufacturing defect cracks, which
may have caused fatigue cracks to start around the
rivet. The investigators examined the final piece of
wreckage with a microscope and found this defect.
Investigasi G-ALYP dan G-ALYY
Hasil penelusuran forensik terhadap korban pesawat Comet
menunjukkan tidak adanya luka akibat ledakan, namun pola
yang sama ditemukan adalah kerusakan tempurung kepala,
serta kebocoran pada paru-paru. Jelas bukti ini bukan
disebebkan oleh ledakan bom teroris. Dari bukti ini hipotesis
kembali mengerucut kepada kemungkinan bahwa kecelakaan
pesawat disebabkan oleh tekanan tinggi dalam ruang kabin.
Untuk membuktikan hal tersebut, Cohen Committee, yang
dipimpin oleh Sir Arnold Hall, ilmuwan dari Cambridge
University, diperintahkan untuk melakukan investigasi
tekanan kabin. Pada percobaan ini, Hall melakukan
simulasi tekanan udara dalam kabin pada pesawat Comet
GL-ALYU (York Uncle) yang disumbangkan untuk
keperluan investigasi. Pesawat ini ditempatkan di dalam
tangki air raksasa (sebesar badan pesawat, tentunya). Air
dipompakan ke dalam pesawat untuk mensimulasikan
kondisi tekanan pesawat saat terbang.
Hasil dari simulasi ini adalah bahwa pada tekanan tertentu,
logam badan pesawat terbuka, sambungannya lepas terutama
pada sambungan antar logam dengan jendela, dan kabin bagian
depan terbuka terlebih dahulu. Bagian kabin yang terbuka
disinyalir adalah ADF window, suatu bagian pesawat berupa
celah, didesain sebagai jalan masuk-keluarnya udara dari sistem
navigasi elektronik. Temuan sederhana ini menjadi awal mula
ditemukannya konsep (dengan istilah yang terasa lebih
modern), metal fatigue.

Metal fatigue adalah perubahan struktur logam yang disebabkan oleh


tekanan secara berulang (repetitif). Metal fatigue dalam investigasi ini terjadi
akibat perubahan tekanan dalam kabin yang repetitif sehingga
menyebabkan perubahan struktur dari logam bahan dasar atap kabin.
Perubahan struktur tersebut berujung pada robeknya plat atap kabin
sehingga atap kabin terlepas.
Fakta berikutnya ditemukan bahwa plat logam tersebut disambung
dengan rivet (semacam paku), bukan disambung dengan lem seperti
rancangan asli pesawat Comet. Dengan penelitian semodern saat ini,
dapat diketahui bahwa terdapat masalah yang terjadi jika penyambungan
logam dengan metode rivet dilakukan dengan cara di-punch (ditekan),
bukan dengan dibor terlebih dahulu. Punching rivet ini menyebabkan
adanya retakan kecil yang kasat mata pada sambungan logam.

Ditambah dengan adanya perubahan tekanan dalam kabin secara


repetitif, retakan ini semakin membesar sehingga pada satu titik tekanan
tertentu, sambungan logam robek dan menyebabkan tekanan udara
terlampau besar di dalam kabin. Inilah yang menjadi penjelasan
ditemukannya kebocoran paru-paru pada jenazah korban.
Pasca Investigasi

Kecelakaan ini mengubah pola pikir dan paradigma di


industri manufaktur pesawat. Pemasangan rivet tidak lagi
menggunakan metode punching, bentuk window dibuat
tidak lagi berujung tajam, namun dengan ujung yang
melengkung, dan beberapa pembelajaran penting lain
dalam ilmu desain pesawat terbang. Ditambah dengan
teknologi simulasi yang lebih canggih, perubahan desain
tersebut dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat
dengan hasil yang akurat.

52 tahun setelah kejadian Comet G-ALYY, seorang ahli


penerbangan, Paul Whitey, melakukan pemeriksaan
bangkai pesawat Comet dan mencoba mendeteksi
lempengah logam dengan menggunakan mikroskop
elektron. Dari hasil mikroskop tersebut ditemukan
retakan kecil yang tak terlihat. Ia menemukan kesalahan
desain manufaktur setelah melakukan pembesaran citra
sebanyak 800 kali, dan kemudian menyatakan bahwa
investigasi Sir Arnold Hall adalah benar.
Sudut tajam jendela membuat logam di sekitarnya mengalami tekanan ekstra dalam ketinggian--
dengan tekanan dua hingga tiga kali lebih besar dibanding pesawat pada umumnya.

Tegangan yang terkonsentrasi di sempat sudut jendela menyebabkan logam pesawat menjadi lelah.
Setelah dilakukan penyelidikan, de Havilland membuat sejumlah perubahan pada desain pesawat,
termasuk mengubah jendela menjadi bulat. Dengan demikian, tegangan mengalir lebih merata di
sekitar tepi jendela.

"Kita paling sering belajar dari kesalahan. Hal ini terutama berlaku untuk kemajuan di bidang teknik.
Sayangnya bagi para insinyur di industri penerbangan, harga untuk membayar kegagalan tinggi,"
ujar mantan peneliti dan insinyur desain, Brian McManus, dalam rekaman yang ia unggah di saluran
situs berbagi video miliknya, Real Engineering.
dibutuhkan cara berpikir integral untuk memahami
suatu permasalahan. Kecelakaan pesawat yang
dahulu diduga bersumber dari kesalahan manusia,
atau terlebih mesin yang tiba-tiba rusak, namun
ternyata dapat juga oleh desain pesawat

Anda mungkin juga menyukai