Anda di halaman 1dari 16

Analisa Anorganik

pada Batubara
Tahap Pembentukan Batubara
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap
dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan
dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem
pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada
kedalaman 0,5 10 meter. Material tumbuhan yang
busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk
senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus.
Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah
menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).
Adapun proses kimia dari coalification adalah sebagai berikut;
(T&P)
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan
proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh
pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan
waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit
Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat,
sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer,
1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara
dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari
lignit, sub bituminus, bituminus, hingga antrasit.
2(C125H105O10NS) C137H97O9NS + 5CH4 + 1OH2O + 8C02 + CO
(Lignit) (bituminous) (gas metan)

2(C137H97O9NS) C240H90O4NS + 5CH4 + 1OH2O + 8C02 + CO


(bituminous) (antrasit) (gas metan)
Mineral Matter
Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuh- tumbuhan pembentuk batubara atau
disebut inherent mineral serta mineral yang berasal dari luar rawa atau endapan yang kemudian di transport ke dalam
cekungan pengendapan batubara melalui air atau angin dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter.
Materi anorganik di dalam batubara terbagi menjadi tiga katagori menurut pembentukannya (Taylor et.al., 1998), yaitu:

1. Syngenetic anorganic matter


Merupakan materi anorganik yang berasal dari tumbuhan pembentuk batubara. Contoh: Silika.

2. Syngenetic inorganic/organic complexs


Materi anorganik yang terbentuk selama tahap awal penggambutan, berasal dari luar yang
terbawa oleh air atau angin kedalam gambut. Contoh: Mineral zirkon(ZrSiO4) dan pertukaran
hidrogen dalam karbonat menjadi kalsium karbonat.

3. Epigenetic minerals
Terbentuk setelah proses konsolidasi batubara oleh kristalisasi dalam rekahan atau lubang atau
oleh alterasi mineral yang terendapkan secara primer. Contoh: Pirit dan mineral Karbonat.

Kebanyakan dari kehadiran bahan anorganik dalam batubara ialah berupa mineral mineral yang
terdistribusi di dalam atau diantara maseralmaseral. Mineral terdistribusi diantara maseral dengan
ukuran antara satu m hingga ratusan mikrometer. Mineral yang banyak terdapat dalam batubara
ialah mineral lempung, mineral karbonat, mineral sulfida dan mineral oksida.
Unsur kimia anorganik dalam batubara mencakup unsur dari tanaman asal, unsur
yang terikat pada molekul organik sebelum tanaman mati, maupun unsur yang terikat
dalam molekul organik atau mengisi lubang antar bahan organik setelah tanaman mati
menjadi gambut sampai dengan akhir diagenesis batubara (Bouska, 1981).

Kelimpahan unsur anorganik dalam batubara umumnya tergolong kecil sekali


dan disebut unsur jejak (trace element).Menurut Cox, et al. (1979) unsur tergolong unsur
jejak apabila terkonsentrasi dalam batuan lebih kurang sebesar beberapa ribu ppm; menurut
Rollinson (1995) berjumlah < 0,1% (1000 ppm) berat; dan menurut Abernethy, & Gibson
(1963) apabila konsentrasinya tidak lebih dari 0,01 % (100 ppm) berat.

Kandungan unsur jejak dalam batubara pada umumnya dinyatakan dalam ppm
atau % untuk keseluruhan tebal satu lapisan hasil rerata gabungan nilai ppm percontoh
selang (misalnya per meter) tebal lapisan. Unsur itu disebut tersebar homogen apabila
kelimpahannya dalam selang-selang tegak dari tebal lapisan sama besarnya, dan tidak
homogen apabila bervariasi. Kehomogenan unsur tadi menunjukkan bahwa mineral yang
terdiri dari unsur tadi telah terdeposisi sebelum diagenesis (pradiagenesis) gambut, dan
variasi unsur menunjukkan bahwa pembentukan mineral terjadi selama diagenesis.
INORGANIK MATTER (Zat Anorganik) BATUBARA
Elemen dari zat anorganik disebut dengan mineral atau disebut juga
dengan mineral matter.
Satu hal yang selalu perlu diingat bahwa batubara tidak mengandung abu akan
tetapi mengandung mineral, abu hanyalah residu sisa dari pembakaran
batubara. Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik
pada tumbuh-tumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent
mineral serta mineral yang berasal dari luar rawa atau endapan kemudian
ditransport ke dalam cekungan pengendapan batubara melalui air atau angin
dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter (Falcon dan Snyman,
1986; Speight, 1994).
Kadar miniral matter di dalam batubara bisa didapat melalui uji di
laboratorium. Mineral matter yang terdapat di dalam batubara terbagi dalam
dua bentuk :
1. INHERENT MINERAL
Material ini terdapat di dalam batubara dalam bentuk partikel halus yang
tersebar keseluruh bagian batubara, pada dasarnya sebagian material ini ialah
unsur-unsur anorganik yang berasal dari tumbuhan yang membentuk batubara
tersebut dan sebagian lainnya berasal dari material sampingan yang terbawah
ke dalam batubara selama proses pembentukan batubara, oleh karena itu
jumlah serta sifat mineral dalam batubara setiap lapisannya berbeda. Hampir
dapat di pastikan bahwa mineral ini tidak dapat dipisahkan dari batubara
dengan cara mekanis (pencucian) berdasarkan bentuk ikatan mineral ini
dengan batubara.
2. EXTRANEOUS MINERAL
Zat-zat mineral ini berasal dari lapisan floor, roof serta dirt band yang
terbawah kedalam batubara pada saat berlangsungnya proses
penambangan dan terkadang mineral ini disebut juga sebagai Free
stone.
Pada umumnya tingkat banyaknya kandungan mineral pada batubara
bervariasi mengikuti ukuran partikelnya dimana partikel yang lebih halus
akan mempunyai kandungan mineral yang lebih tinggi sehingga proses
liberasi dengan penggilingan ke ukuran yang lebih kecil dapat
dimanfaatkan.
Tingkat banyaknya kandungan mineral dalam batubara yang
diperlukan diukur berdasarkan pemanfaatan batubara tersebut. Pada
batubara tertentu kandungan mineral yang terlalu rendah mungkin sama
tidak diinginkannya dengan kalau kandungan mineralnya terlalu tinggi,
contohnya kandungan mineral yang terlalu rendah pada mechnical
stoker dapat menyebabkan overheating pada grate (jeruji).
Kalau dilihat dari segi ekonomi, kuantitas kandungan abu merupakan
faktor yang sama pentingnya dengan kualitas serta sifat abu suatu
batubara akan tetapi konsistensi kualitas batubara (% abu) pada
pengiriman-pengiriman batubara berikutbya faktor yang jauh lebih
penting.
Berdasarkan atas kelimpahannya, maka mineral-
mineral pada batubara dapat dibedakan atas :
mineral utama (major minerals), mineral
tambahan/mineral dalam jumlah sedikit (minor
minerals). Ranton (1982), menggolongkan
mineral utama jika kadarnya > 10 % berat,
mineral tambahan 1-10 %. Umumnya yang
termasuk mineral utama adalah mineral
lempung dan kuarsa sedangkan mineral minor
yang umum adalah karbonat, sulfida dan sulfat.
Mineral utama
1. Mineral Lempung (Clay)
Mineral ini merupakan kelompok yang palaing dominan dijumpai pada
batubara, sekitar 60-80 % dari total mineral matter. Umumnya terdapat
sebagai mineral primer yang terbentuk akibat adanya aksi air atau angin
yang membawa material detrital ke dalam cekungan pengendapan
batubara. Distribusi mineral lempung dalam batubara dikendalikan oleh
kondisi kimia rawa (Bustin, 1989). Spesies mineral lempung yang umum
terdapat dalam batubara adalah kaolinite, illite dan montmorilonit.
Kaolinit umumnya terdapat dalam batubara secara syngenetic yang
terkonsentrasi pada bidang perlapisan, tersebar pada vitrinit sebagai
pengisi rekahan dan lainnya berbentuk speris. Sedangkan illite biasanya
lebih banyak terdapat pada batubara dengan lapisan penutup (roof)
batuan sedimen marin.
Mineral lempung yang terbentuk pada fase ke dua (secondary),
umumnya dihasilkan oleh adanya transformasi dari lempung fase
pertama. Bila kedalaman penimbunan bertambah, maka proporsi
kaolinit berkurang sedangkan illite bertambah. Asosiasi mineral lempung
pada lapisan batubara berupa inklusi halus yang tersebar dan sebagai
pita-pita lempung (tonstein).
2. Kuarsa
Kuarsa (SiO2) adalah salah satu mineral oksida yang paling
penting terdapat dalam batubara (Tylor et al, 1998). Ada
dua tipe kuarsa yang dapat dibedakan berdasarkan
teksturnya yaitu : butiran kuarsa klastik berbentuk bulat
jika terendapkan melalui media air dan
berbentukmenyudut jika melalui media angin. Sedangkan
tipe lainnya adalah kuarsa kristal halus yang terbentuk
dari larutan setelah pengendapan batubara. Kebanyakan
merupakan silika yang terlarut dari hasil pelapukan
felspar dan mika. Kuarsa merupakan
mineralsyngenetic dan jarang ditemukan
sebagai epigenetic (Ranton, 1982).
Mineral dalam Jumlah Sedikit :
1. Karbonat
Terdapat 4 (empat) spesies mineral karbonat yang biasa
ditemukan dalam batubara yaitu : kalsit (CaCO3), siderit
(FeCO3), dolomit (Ca, Mg) CO3 dan ankerit (CaMgFe)CO3.
Mineral-mineral ini dapat terbentuk baik pada fase
syngenetic akhir maupun epigenetic (Diessel, 1992).
Karbonat syngenetic umumnya terdapat dalam bentuk
konkresi speroidal dan sebagai pengisi ronga-rongga
fusinite dan semifusinite.
Siderit yang terbentuk dalam kondisi reduksi dapat
dianggap sebagai karbonat primer, sedangkan kalsit
dapat terbentuk baik dalam lingkungan air tawar
maupun laut (Ranton, 1982). Hadirnya dolomit
merupakan indikasi lingkungan pengendapan
laut (Stach, 1982).
2. Sulfida
Pirit dan markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum
terdapat pada batubara. Ke dua spesies mineral ini memiliki komposisi
kimia yang sama (FeS2) hanyan berbeda dalam bentuk kristalnya. Pirit
berbentuk kubik dan markasit berbentuk ortorombik.
Mineral ini dapat terbentuk baik secara syngenetik maupun epigenetik
dalam berbagai bentuk(Diesel, 1992). Beberapa bentuk mineral pirit
yang telah ditemukan dalam batubara adalah sebagai berikut :
Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinit
dan semufusinit dan seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal.
Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter
yang umumnya terdiri dari kristal-kristal membulat atau memanjang.
Bentuk Fe-Sulfida syngenetic yang paling umum adalah kristal pirit
dengan ukuran lebih kecil dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk
speroidal atau framboidal dan berasosiasi dengan vitrinit.
Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa-lensa pipih
atau pita-pita yang menunjukkan presipitasi pirit generasi ke dua yang
terjadi selama diagenesa akhir. Hal ini dianggap sebagai peralihan ke
pirit epigenetic.
Pirit epigenetic yang terbentuk sebagai material pengisi rekahan, kekar
dan celah.
3. Sulfat
Mineral sulfat yang paling dominan terdapat pada
batubara adalah bassanit dan gypsum. Umumnya
mineral ini terbentuk dari hasil oksidasi mineral sulfida
(pirit) pada batubara terutama bila berhubungan
dengan udara luar dalam waktu lama.
Formula untuk Menentukan Kadar Mineral Matter
Kandungan mineral dari batubara terdiri dari extraneous mineral/ash, zat
organik ikutan selama coalifikasi dalam bentuk clay, pyrit, calcite, Ca, dan Mg
Karbonat, dan inherent mineral/ash yaitu zat anorganik yang ada dalam
batubara yang berasal dari tumbuhan dan lumpur. Beberapa formula yang
diajukan untuk menentukan kadar mineral matter. Formula yang dapat
digunakan adalah Parr formula dan King-Mavies-Crossley formula. Formula
Parr dapat dinyatakan sebagai berikut :
Mineral matter (% w/w ) = 1,08A + 0,55S
Dengan : A adalah persentase kadar abu dan S merupakan kadar sulfur total.

King-Mavies-Crossley formula merupakan formula yang sedikit kompleks


karena berusaha melibatkan kemungkinan reaksi kimia karena keberadaan
mineral matter.
Mineral matter (% w/w ) = 1,09A + 0,5Spyr + 0,8CO2 + 1,1SO3(Ash) + SO3(Coal) +
0,5Cl
Dengan : Spyr adalah persentase sulfur dalam bentuk pyrit, CO2 adalah
persentase CO2 dalam mineral matter, SO3(Ash) merupakan persentase SO3
dalam abu dan SO3(Coal) adalah SO3 dalam batubara dan Cl adalah persentase
chlorin dalam batubara.
TERIMA KASIH
Daftar Pustaka
https://achmadinblog.wordpress.com/tag/anorganik-pada-batubara/ (
diakses pada tanggal 6 September 2015 )
Bouska, V., Geochemistry of Coal, Coal Science and Technology 1, Elsevier
Science Publishing Co.,h. 189-216 (1981).
Cox, K.G., Bell, J.D. & Pankhurst, R.J. The Interpretation of Igneous Rock,
George Allen & Unwin London, h. 332-358 (1981).
Rollinson, H.R., Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, and
Interpretation, Longman Group, United Kingdom (1995).
Abernethy, R.F. &. Gibson, F.H. Rare Elements in Coal, Information Circular
8163, Bureau of Mines, United States Department of lnterior (1963).
Ward, C.R., Mineral Matter in Coal, dalam Coal geology and coal
technology, Blackwell Science Publishing, Melbourne, h. 60-66 (1984).
Harris, L.A., et.al., Elemental Concentration and their Distribution in Two
Bituminous Coals of Different Paleoenvironment, International Journal of
Coal Geology, Vol. 1, Elsevier Science Publishing Co., h. 175-193 (1981).
Dorsey, A.E. & O.C. Kopp, Distribution of Elements and Minerals between A
Coal and its Overlying Sedimentary Rocks in a Limnic
Environment, International Journal of Coal Geology, Vol. 5, Elsevier Science
Publishing Co., h. 262-274 (1985).

Anda mungkin juga menyukai