Anda di halaman 1dari 19

HEGEMONI BAHASA

TERHADAP
KEKUASAAN POLITIK Omi Shobrina
Pengertian bahasa
Menurut Gorys Keraf (1997) bahasa
adalah alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia.
KBBI : Bahasa merupakan sistem bunyi
yang arbitrer, yang digunakan oleh suatu
masyarakat untuk berkomunikasi,
berinteraksi, bekerjasama, dan
mengidentifikasi diri
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-
fungsi tertentu yang digunakan
berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni
sebagai alat untuk mengekspresikan diri,
sebagai alat untuk berkomunikasi,
sebagai alat untuk mengadakan integrasi
dan beradaptasi sosial dalam lingkungan
atau situasi tertentu, dan sebagai alat
untuk melakukan kontrol
Salah satu cara yang kerap dipakai untuk
mempertahankan kekuasaan adalah
melalui prinsip hegemoni
Dalam perkembangannya, ada dua
konsep hegemoni yang serupa namun
tidak sama. Kedua konsep tersebut yaitu
Hegemoni konsep Marxis dan
Hegemoni konsep Antonio Gramsci.
Namun, keduanya mencoba melihat
dari sudut pandang yang berbeda
terkait dengan bagaimana cara praktik
hegemoni.
Konsep kaum Marxis lebih kepada cara-
cara kekerasan atau penindasan secara
fisik dan nyata atau kongkrit, yang
membuat sebuah kelompok
mendominasi kelompok lain karena
ketakutan atas kekuasaan yang kuat.
Richard West dan Lynn H. Turner, 2007,
Pengantar teori komunikasi, Hlm 68
konsep Gramsci yang lebih lembut
namun juga bisa sangat mematikan
orang yang dikuasai. Konsep ini
berbahaya dalam artian yang dikuasai
tidak sadar bahwa mereka sedang
dikuasai, sehingga apa saja yang
diserukan oleh penguasa dianggap
sebagai hal yang wajar dan
melakukannya dengan sukarela, tanpa
pemaksaan secara kekerasan fisik.
Bagi Gramsci pertarungan kekuasaan
dapat dipahami sebagai pertarungan
ide.
Ide-ide dominan menjadi penentu
keberhasilan penguasa karena ide
tersebut dapat memengaruhi keinginan
dan tingkah laku seseorang.
Hegemoni ide-ide menemukan
bentuknya ketika direproduksi melalui
bahasa untuk memberikan dominasi
makna yang diinginkan penguasa.
Artinya ide-ide hanya berjalan efektif
tatkala ia menggunakan bahasa sebagai
alat dominasi.
Bahasa merupakan salah satu media komunikasi
paling dasar sekaligus paling efektif dalam
menyalukan ide, gagasan, atau pemikiran kita
kepada orang lain. Fungsi bahasa yang semacam ini
tentu sejalan dengan fungsi hegemoni.
Praktik kebahasaan guna menunjang praktik
hegemoni tentu lebih berjalan mulus, tanpa ada
kekerasan fisik, kita (penguasa atau kelompok
dominan) hanya menyampaikan ide kita yang
didalamnya termuat ideologi kita melalui diksi dan
gaya bahasa yang retoris dan persuasif yang tentu
dapat dipahami oleh kelompok yang kita kuasai dan
dicerna secara wajar, sehingga apapun yang kita
ucapkan menjadi sebuah kebenaran dan keharusan
untuk dilaksanakan.
Language is also a medium of domination
and social force, demikian kata
Habermas.
Hegemoni bahasa terhadap
kekuasaan politik di Indonesia
Pada masa Orde Baru, politisasi bahasa
sudah menjadi karakter dari penggunaan
bahasa kekuasaan. Penguasa Orde Baru
telah menjadikan bahasa sebagai subordinat
dari kekuasaan politik yang tercermin dalam
pembangunan. Bahasa telah direkayasa
sebagai komoditas politik demi kepentingan
kelompok-kelompok dominan.
Kata demi persatuan atau demi stabilitas
negara dieksploitasi untuk kepentingan
politik agar kita tidak berpikir kritis.
rezim Orde Baru juga tidak lepas dari
penggunaan bahasa hegemoni untuk
menancapkan kekuasaannya. Orde Baru
mengoperasikan semacam oposisi biner, yaitu
struktur bahasa, sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang dibangun dengan pasangan
konsep yang saling berseberangan.
Pasangan-pasangan konsep seperti: pancasilais-
antipancasilais, abdi pembangunan-anti
pembangunan, pahlawan-pembangkang,
pemersatu bangsa-pemecah belah bangsa,
aparat pemerintah-oknum tidak bertanggung
jawab, adalah beberapa pasangan konsep
yang digunakan di dalam struktur politik atau
depolitisasi orde baru.
Menurut Lewuk, sebagaimana dikutip
Dadang Anshori, terdapat empat
kategorisasi ideologi kebahasaan yang
dipergunakan oleh kelompok kekuasaan
Pertama, bahasa berdimensi satu, suatu
ideologi kebahasaan yang menuntut orang
yang menyatakan sikap dan pernyataan
yang sama (satu), sesuai dengan kemauan
penguasa.
Kedua, orwenlianisme bahasa, dalam konteks
ini adalah teknik penyatuan dua pengertian
yang sebenarnya bertentangan, sehingga
perbedaan antara yang benar dengan yang
salah menjadi kabur. dipakai istilah kritik
konstruktif atau kritik membangun yang
maknanya setiap kritik tidak boleh
menyinggung kebijakan dan tidak boleh
bertentangan dengan kehendak kekuasaan
Ketiga, bahasa takut-takut, yaitu bahasa yang
diucapkan masyarakat yang memiliki
kepanutan monoloyalitas terhadap berbagai
instruksi yang dilambangkan melalui simbol
bahasa. Pada saat Pemilu, kita mendengar
Golput haram atau Golput berarti tidak
bertanggung jawab terhadap demokrasi.
Keempat, bahasa menyembunyikan pikiran,
artinya bahasa bukan lagi sebagai alat
menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu
terdapat kepentingan yang memanipulasi
bahasa itu sendiri. Kita bisa menyaksikan
model bahasa yang terakhir ini di saat
kampanye Pemilu.
Selain itu, Melanie Barnes menuturkan ada
dua model bahasa politik yang sering
digunakan oleh pemerintah, para politikus,
para aktivis, dan masyarakat umum.
Pertama, model singkatan-singkatan,
akronim, dan jargon yang lebih banyak
digunakan oleh Pemerintah (penguasa) dan
para politikus.
Kedua, model ungkapan-ungkapan plesetan,
yang sering digunakan oleh para aktivis dan
masyarakat umum, yang berada di luar
struktur pemerintahan dan tidak memiliki
kekuasaan untuk mempengaruhi secara
langsung keputusan politik.
Selama masa kampanye pemilu 2004-
2009 (Pemilu Legislatif, Pilpres, dan
Pilkada), ada banyak contoh singkatan,
akronim, atau jargon politik yang sering
digunakan oleh para calon. Antara lain:
pemberantasan/bebas KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme), penegakkan HAM
(Hak Asasi Manusia), pemilu yang Jurdil
(Jujur dan Adil), dan sebagainya.
Beberapa contoh plesetan yang sering muncul dalam
bahasa politik antara lain:
Harmoko yang pernah menjabat Menteri Penerangan
pada masa Orde Baru, diplesetkan masyarakat
dengan ungkapan Hari-hari Omong Kosong.
UUD (Undang Undang Dasar) diplesetkan menjadi
Ujung Ujungnya Duit.
KUD (Koperasi Unit Desa) diplesetkan menjadi Ketua
Untung Duluan.
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
diplesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara.
PDI-P yang memiliki jargon Partainya Wong Cilik,
namun begitu berkuasa banyak rakyat kecil yang
tidak puas dan kecewa. Kemudian jargon tersebut
diplesetkan menjadi Partainya Wong Licik, dan
sebagainya. Walfajri, dalam artikel Peran Bahasa
Dalam Hegemoni Politik, Sosial, Dan Budaya
Bagaimana dengan
penguasa saat ini?
Menjelang Pilpers 2014 lalu, Jokowi-JK
memproduksi dan mereproduksi kosakata
untuk perubahan hidup rakyat sebagai isu
penting guna menarik simpati calon pemilih.
Beberapa waktu lalu pemerintah
mereproduksi kata agar masyarakat bisa
menerima kenyataan pahit tentang kenaikan
BBM bersubsidi, dengan istilah
menyesuaikan harga BBM dengan harga
pasar dunia.
KESIMPULAN
Dengan demikian, bahasa memainkan peran yang
sangat vital sebagai media dan alat yang sangat efektif
untuk mempengaruhi opini publik dalam membangun
atau mempertahankan hegemoni (kekuasaan) politik.
Kekuatan bahasa dalam prinsip hegemoni mempunyai
peranan yang sangat penting dalam upaya
memperebutkan penerimaan publik
Sekarang saatnya semua elemen masyarakat harus
berani bersikap kritis atas berbagai produksi dan
reproduksi kosakata oleh penguasa. Hal ini supaya
permainan bahasa yang diproduksi penguasa tidak
menjadi bahasa hegemoni, yang sekadar ungkapan
hampa makna, atau bahkan bermakna sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai