PERSPEKTIF ETIKA PROFESI KEDOKTERAN, HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Presented by Dr. Aswin Boy Pratama
Moderator: Dr. Hj. Hartati, SpOG(K) 1. Pendahuluan
Aborsi keluarnya hasil konsepsi sebelum usia
kehamilan 20 minggu dengan BB <500 gram. Aborsi masalah dalam kesehatan yang menimbulkan pro dan kontra Saat ini kontroversi terkait aborsi ramai dibicarakan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Masyarakat beranggapan bahwa Undang-Undang yang baru ini telah melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan. Terdapat 3 ( tiga ) pendirian tentang aborsi, yaitu: 1. Pendirian konservatif: aborsi tidak boleh dilakukan dalam keadaan apapun juga. Di sini terdapat alasan-alasan keagamaan dan filisofis; 2. Pendirian liberal yang memperbolehkan aborsi dalam berbagai keadaan yang berbeda. Di sini aborsi dipandang sebagai keputusan moral, 3. Pendirian moderat: menempatkan diri di posisi tengah yang mengakui kemungkinan legitimasi moral bagi sementara aborsi, Ada berbagai alasan yang menyebabkan seseorang melakukan aborsi, seperti: kontrasepsi yang gagal, indikasi ekonomi, hamil di luar nikah, kehamilan yang membahayakan ibu dan atau janin yang dikandungnya maupun hamil akibat pemerkosaan. Alasan terakhir inilah yang menjadi pokok permasalahan selanjutnya. Dalam perspektif etika profesi kedokteran, aborsi pada korban pemerkosaan menimbulkan satu dilema. Puncak dilema wanita hamil akibat pemerkosaan yang mengalami trauma psikologis dan berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya. Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia, terdapat 2 (dua) perundang-undangan yang mengatur masalah aborsi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Musa Perdanakusuma membagi aborsi menjadi dua jenis, yaitu: (a) Abortus spontanea yaitu aborsi yang terjadi dengan sendirinya, dan (b) Abortus provocatus yaitu aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia. Dalam ilmu kedokteran, jenis aborsi dibedakan berdasar cara terjadinya, yaitu: (a) Abortus spontanea dan (b) Abortus provocatus Ditinjau dari aspek hukum, abortus provocatus, dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu: (a) Abortus provocatus legal, dan (b) Abortus provocatus ilegal, Pemerkosaan
Kejahatan/kekerasan seksual oleh laki-laki
Tidak atas Persetujuan PR tapi ditipu
persetujuan PR Persetujan PR tapi diancam 2. ABORSI KORBAN PERKOSAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Agama aborsi sebagai perbuatan dosa dan apapun alasannya Madzhab Hanafi memperbolehkan aborsi sebelum peniupan roh jika kedua orangtuanya sebagai pemilik janin itu mengizinkan. Pendapat ini memunculkan permasalahan karena dalam kitab Al Bahr dijelaskan bahwa janin sudah terbentuk pada usia dua kali empatpuluh hari (80 hari). Madzhab Maliki memberikan pandangan yang berbeda tentang hukum aborsi sebelum peniupan roh. Ada yang mengharamkan aborsi setelah air mani berada dalam rahim, ada yang memakruhkan aborsi sebelum janin berusia empatpuluh hari dan mengharamkannya sesudah itu. Madzhab Syafii mengharamkan aborsi setelah peniupan roh dan dibolehkan jika dilakukan sebelumnya. Madzhab Hambali secara umum berpendapat membolehkan aborsi dengan usia janin maksimal empatpuluh hari, setelah usia janin empat puluh hari tidak boleh dilakukan aborsi. Para ulama sepakat menyatakan bahwa pembunuhan janin setelah berumur 4 (empat) bulan adalah haram berdasarkan secara umum ayat-ayat tentang larangan pembunuhan dan secara khusus berdasarkan firman Allah SWT: Dan janganlah kamu membunuh anak- anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (Q.S. Al-Isra 17: 31). Aborsi yang dibolehkan berdasarkan ijtihad para ulama hanyalah aborsi yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan. Dalam kasus ini para ulama me-milih yang paling sedikit resikonya dari dua hal yang mendatangkan mudharat (irtikab akhaffi adh-dharain), sedangkan aborsi yang dilakukan bukan atas dasar indikasi medis seperti karena kondisi ekonomi, itu yang disebut dengan aborsi kriminalis dan haram hukumnya menurut ijtihad para ulama karena menghentikan proses kehidupan seorang insan. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG ABORSI Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan Fatwa tentang aborsi pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1426 H, bertepatan dengan tanggal 21 Mei 2005, sebagai berikut: a. Bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama b. Bahwa aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat pada umumnya; c. Bahwa aborsi sebagaimana yang terdapat pada point a dan (b) telah menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu d. (d) Bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman. 2. ABORSI KORBAN PERKOSAAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA KEDOKTERAN Pro dan kontra terkait aborsi bagi korban pemerkosaan tidak saja terjadi di kalangan para ahli. KUHP melarang abortus dengan alasan apapun dan siapapun juga yang melakukannya akan dikenai sanksi pidana. Hal itu diatur dalam pasal 299, 346-349 KUHP. Perkembangan selanjutnya terlihat pada pasal 75-77 UU No. 36 tahun 2009. Dalam pasal itu abortus provocatus medisinalis diperbolehkan. Jika terjadi pertentangan antara peraturan yang lama (KUHP) dengan peraturan yang baru (UU No. 36 tahun 2009) padahal peraturan tersebut mengenai hal yang sama, maka berlaku asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu jika ada peraturan baru yang me- ngatur materi yang sama sementara peraturan lama tidak dicabut dan bertentangan satu sama lain maka peraturan yang baru itu mengalahkan peraturan yang lama. Selain itu juga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis, yaitu peraturan yang bersifat khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum. Dalam hal ini UU No. 23 Tahun 1992 adalah lex specialis, sementara KUHP adalah lex generalis. Abortus provocatus medisinalis diperbolehkan di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 75-77 UU No. 36 tahun 2009. Dalam Deklarasi Oslo (1970) disebutkan bahwa moral dasar yang harus dijiwai oleh seorang dokter adalah butir lafal sumpah: Saya akan menghormati hidup insani sejak saat pembuahan. Karena itu: (a) Aborsi. hanya dilakukan berdasar indikasi medis; (b) Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka; (c) Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di instalasi yang diakui oleh suatu otoritas yang sah; (d) Jika dokter itu merasa bahwa hati nuraninya tidak membenarkan ia melakukan abortus tersebut, maka ia berhak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medis itu kepada sejawatnya yang lain yang kompeten