Anda di halaman 1dari 99

Penyakit Kusta/Lepra/Morbus

Hansen

By
Alit Suwandewi,Ns.M.Kep
Menurut WHO (2005)
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit
kronik yang masih menjadi masalah kesehatan di
dunia, khususnya di negara berkembang.

Indonesia
Menduduki peringkat terbesar ketiga penderita
kusta setelah India dan Brazil.

Menurut Depkes RI (2005),


Indonesia merupakan salah satu negara endemis
kusta di dunia.
Manifestasi Klinis
Terdapat tiga tipe utama penyakit kusta yaitu:
1.Lepromatous
2.Boderline
3.Tuberkuloid

Sementara di lapangan, klasifikasi yang digunakan


adalah yang bertujuan untuk menentukan regimen
pengobatan dan perencanaan operasional.

Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multi Drug


Therapy (MDT), dengan menggabungkan rifampisin,
lamprene, dan DDS.
Patofisiologi

Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran


pernapasan dan kulit yang tidak utuh.
Sumber penularannya adalah penderita kusta
yang banyak mengandung kuman (Tipe
Multibasiler) yang belum diobati dan ada
syaratnya yaitu :
Prolonged contact dan intimate
Artinya bisa menular jika terdapat kontak yang
lama dan intim. (Misal dalam satu anggota
keluarga dan pergaulan sehari-hari yang kontens)
Patogenesis

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum


diketahui pasti, beberapa penelitian menyatakan
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh,
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung imunitas


seseorang, kemampuan hidup M.Leprae pada suhu
tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat
kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler )
terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah baik pada dermis atau sel
Schwann jaringan saraf.
Bila kuman masuk tubuh, tubuh bereaksi
mengeluarkan macrofag ( salah satunya berasal
dari monosit darah) untuk memfagosit.
Pada Tipe LL/PB ; terjadi kelumpuhan system
imun seluler tinggi, macrofag tidak mampu
menghancurkan, kuman dapat membelah diri
dengan bebas merusak jaringan.

Pada Tipe TT/MB ; fase system imun seluler


tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman
hanya setelah kuman difagositosis macrofag,
terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, bila
tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan
masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitar.
ETIOLOGI

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam


(BTA) bersifat obligat intraseluler, yaitu:
Menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain
seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati,
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.

Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21


hari dan masa tunasnya antara 40 hari - 40 tahun.

Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran


panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro.
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman
penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh
sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada
tahun 1873.
Biasanya hidup ada yang berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu dalam sel.
Hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu
dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan.
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik
kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama
dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikobakterium leprae ialah:
Cuping telinga kiri atau kanan
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya
dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae
pada selaput lendir hidung apabila sedian apus
kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan
bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat
lain.
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien
kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali

Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,


yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett

Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode


yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid),
pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
Konsep Pencegahan Penyakit Kusta
1. Pencegahan primer
a. Penyuluhan kesehatan
Pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit
kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar
atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita
dan tetangga penderita (Depkes RI, 2006).

Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang


penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum
menderita sakit sehingga dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit
kusta.
b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan


primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi
(Saisohar,1994)

Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan


bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,
sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%
Namun demikian penemuan ini belum menjadi
kebijakan program di Indonesia karena penelitian
beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian
vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
2. Pencegahan sekunder
a. Pengobatan pada penderita kusta
Untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita,
mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan.
Pemberian Multi drug therapy pada
penderita kusta terutama pada tipe
Multibaciler karena tipe tersebut
merupakan sumber kuman menularkan
kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
3. Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan
cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas
(Depkes RI, 2006) :
b. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan
dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara
teratur dan penangan reaksi untuk mencegah
terjadinya kerusakan fungsi saraf.
c. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi
perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan
perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
4. Rehabilitasi kusta

Merupakan proses pemulihan untuk memperoleh


fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha
untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik,
mental dan sosial.

Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat


secara umum dapat dikondisikan sehingga
memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik
(Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :

a. Latihan Fisioterapi pada otot yang mengalami


kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
b. Bedah rekontruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang
berlebihan
c. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
d. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan
bila gerakan normal terbatas pada tangan.
e. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada
penderita cacat.
Konsep Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang
diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya
berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada
kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis
(nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi
pada organ tubuh
c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah
terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria,
stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


Morbus hansen merupakan penyakit menular yang
menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.
e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Klien yang menderita morbus hansen akan malu


karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup
diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya


kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan.

Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam


perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan


proses inflamasi.
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan
dengan proses inflamasi jaringan .
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
kelemahan fisik.
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan
dengan ketidak mampuan dan kehilangan fungsi tubuh
INTERVENSI
Diagnosa 1
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi berhenti
dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan regenerasi jaringan
b. Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi
dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi


Rasional: Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan
sekitar.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam


Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan


Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
Diagnosa 2
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
proses inflamasi berhenti dan berangsur-
angsur hilang

Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses
inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang
dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu
dalam memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau
keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan
relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan
rasa nyeri
5. Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria hasil:
a. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
b. Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit


Rasional: Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif


kemudian aktif
Rasional: Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode


istirahat
Rasional: Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan
tubuh dapat berfungsi secara optimal dan
konsep diri meningkat

Kriteria hasil:
a. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
b. Memasukkan perubahan dalam konsep diri
tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan


perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan


yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan
untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif


Rasional: Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat


Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien
PENYULUHAN

Anda mungkin juga menyukai