Anda di halaman 1dari 18

Disampaikan Oleh:

H. Mairijani, M. Ag
(Dosen D4 Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah)
Politeknik Negeri Banjarmasin
Nilai Filosofi Jual Beli dalam Islam
1. tidak menyulitkan Ibadah
Jika akad jual beli itu menyulitkan ibadah, misalnya mengambil waktu shalat.
Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat melakukan shalat jamaah
di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq. Berniaga yang sampai
melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman.

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari
Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. [Al Jumuah :9-10].
2. Di antara jual beli yang dilarang dalam
Islam, yaitu menjual barang yang
diharamkan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang
yang berkaitan dengan khamr.

Sesungguhnya Allah melaknat khamr, pemerasnya, yang minta


diperaskan, penjualnya, pembelinya, peminum, pemakan hasil
penjualannya, pembawanya, orang yang minta dibawakan serta
penuangnya. [HR Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Definisi
Jual beli artinya menjual, mengganti dan menukar
sesuatu dengan yang lain mengambil dan
memberikan sesuatu.
Akad jual beli : petukaran barang antara penjual
dan pembeli.
Penjual mendapatkan uang pembayaran dan
pembeli mendapatkan barang. Sebagai
konsekuensinya, penjual dapat memanfaatkan
uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembelia
dapat memanfaatkan barang pembeliannya.
Definisi
Jual beli adalah transaksi tukar menukar yang
berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan
hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa
ucapan maupun perbuatan.
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan
bahwa al-bayu adalah transaksi tukar menukar
harta yang dilakukan secara sukarela atau proses
mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain
dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan
dalam koridor syariat.
Definisi
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual
beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk
saling menjadikan milik. Pengertian lainnya jual beli
ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (
yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang)
danpembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli
barang yang dijual).Pada masa Rasullallah SAW
harga barang itu dibayar dengan mata uangyang
terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat
dari perak(dirham).
Dasar Hukum Jual Beli
Allah taala berfirman,

padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba


(QS. Al Baqarah: 275)

Al Allamah As Sadiy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat


dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai
kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan
manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang
transaksi tersebut.
Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia
mempunyai landasan yang amat kuat dalam islam, contohnya dalam
sabda Rasulullah disebutkan : Nabi Muhammad SAW pernah ditanya:
Apakah profesi yang paling baik ? Rasulullah menjawab,Usaha
tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkahi
Jual beli yang mendapatkan berkah dari Allah adalah jual beli yang
jujur, yang tidak curang, dan tidak mengandung unsur penipuan dan
penghianatan (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan
Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10)

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:









Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung
diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian
namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan (HR. Muslim: 2970)
Ijma

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli


sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu
untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa
melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli
yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah
sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena
seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki
orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu
dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik
berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung
hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu
sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang
diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
RUKUN JUAL BELI
Menurut Mazhab Hanafi rukun dalam jual beli yaitu
dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam
bentuk perbuatan ( saling memberi, yaitu
penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut Jumhur Ulama rukun jual beli ada 4, yaitu:
orang yang berakad (penjual dan pembeli), sighat
(lafal ijab kabul), ada barang yang dibeli, ada nilai
tukar pengganti barang.
SYARAT JUAL BELI
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik
penjual maupun pembeli, yaitu:
Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela,

tanpa ada paksaan. Allah taala berfirman:



janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara
kalian (QS. An-Nisaa: 29)
Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia
adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur
uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak
cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya
melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang
gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak
mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya
sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya.
SYARAT JUAL BELI
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-
syaratnya yaitu:
Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan
barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang
haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk
diperjualbelikan.
Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang
yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu. (HR. Abu Dawud
3503, Tirmidzi 1232, An Nasaai VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan
434; dishahihkan Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan
miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang
dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah
adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu hal. 24)
SYARAT JUAL BELI
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara,
menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang
mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan
menjual barang yang tidak dapat diserahkan.Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui
secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan
menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual
beli gharar. (HR. Muslim: 1513)Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan
cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:


Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual
barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus
menjelaskan cacat itu kepadanya (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8,
Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:



Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan
makar dan tipu daya tempatnya di neraka (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mujamul
Kabiir 10234, Abu Nuaim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Muamalah Islam mendukung kemajuan
Muamalah Islam mendukung kemajuan

Anda mungkin juga menyukai